Ijtihad adalah salah satu sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an dan
al-Hadits. Secara bahasa ijtihad berasal dari kata jahada yang dengan segala
variasinya menunjukkan arti pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit
dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Ahmad bin Ahmad binAli al-Muqri
al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa memiliki pengertian:
بذل وسعه
وطاقته فى طلبه ليبلغ مجهوده ويصل إلى نهايته
Artinya: “Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam
melakukan pencarian sesuatu supaya sampai kepada ujung yang ditujunya.”
Sementara itu al-Syaukani mengartikan ijtihad scara bahasa dengan:
عبارة عن
استفراغ الوسع فى أي فعل
Artinya: “Pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam
pekerjaan apa saja”.
Dari beberapa pengertian secara bahasa di atas dapat disimpulkan
bahwa secara bahasa ijtihad memiliki arti pengerahan segala daya upaya dan
kekuatan dari seorang mujtahid dalam melakukan pembahasan dan pencarian sesuatu
sampai pada ujung pencarian yang dituju.
Adpun secara istilah Abu Zahrah mengartikan ijtihad sebagai:
بذل
الفقيه وسعه فى استنباط الأحكام العملية من أدلتها التفصيلية
Artinya: “Upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam
mewujudkan hukum – hukum amaliah yang diambil dari dalil – dalil yang rinci”.
Sementara itu Wahbah al-Zuhaili mengartikan ijtihad sebagai:
استفراغ الوسع فى طلب الظن من
الأحكام الشرعية
Artinya:
“Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhanni dari hukum
– hukum syara’”.
Definisi di atas menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada ranah
hukum fiqih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal, bukan bidang pemikiran. Dengan
demikian ijtihad adalah sebuah upaya sungguh – sungguh dengan mengerahkan
segala daya dan kemampuan untuk menemukan sebuah hukum fiqih yang sifatnya
masih zhanni agar ditemukan hukum yang sesuai dengan yang diharapkan syara’.
Benih – benih ijtihad sebenarnya sudah mulai bersemi semenjak masa
kenabian, hanya saja ijtihad sebagai sebuah konsep dalam hukum fiqih belumlah
dikenal sampai kemudian para imam madzhab membingkainya dalam sebuah konsep. Benih
– benih itu bertebaran dalam sabda – sabda Rasulullah SAW. Diantaranya adalah
hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad
yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله
أجران وإذاحكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر واحد
Artinya: “Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan
berijtihad, kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi,
jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu
pahala”.
Sementara hadits yang lain yang juga dijadikan dasar dalam
pelaksanaan ijtihad adalah hadits Mu’adz bin Jabal saat Nabi mengutusnya
sebagai hakim ke Yaman. Rasulullah SAW bersabda:
بم تقضى؟ قال : بما فى كتاب الله
. قال : فإن لم تجد فى كتاب الله؟ قال: أقضى بما قضى به رسول الله، قال : فإن لم
تجد فيما قضى به رسول الله؟ قال : أجتهد برأيي، قال: الحمدلله الذى وفق رسول رسوله
Artinya: “Dengan apa kamu memutuskan perkara wahai Mua’adz?” Mu’adz
menjawab: “Dengan sesuatu yang terdapat di dalam kitab Allah.” Nabi bersabda: “Kalau
kamu tidak mendapatkannya dari kitab Allah?” Muadz menjawab: “Saya akan
memutuskannya dengan sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasul Allah.” Nabi
berkata: “Kalau kamu tidak mendapatkan sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasul
Allah?” Mu’adz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya.” Nabi
bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah member taufiq kepada utusan dari
rasul-Nya.”
Kedua hadits di atas menjadi dasar dari ulama fiqih untuk melakukan
ijtihad ketika menjumpai hal – hal yang masih bersifat zhanni ataupun hal – hal
yang belum dijumpai dasar hukumnya secara jelas baik dalam al-Qur’an maupun
hadits. Ijtihad dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan hukum yang benar
sesuai tuntutan syara’ atau bila kebenaran mutlak itu sulit di dapat minimal
mendekati kebenaran syara’.
Meski ijtihad adalah sesuatu yang diperbolehkan bahkan dianjurkan
oleh syara’, akan tetapi ada syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh
seseorang yang bisa diterima ijtihadnya. Dengan demikian untuk menjadi seorang
mujtahid seseorang harus memenuhi kriteria – kriteria tertentu yang telah ditetapkan
oleh syara’. Diantara kriteria yang telah ditentukan oleh syara’ bagi seorang
mujtahid yang diajukan oleh Fakhr al-Din Muhammad bin Umar bin al-Husain
al-Razi adalah:
1.
Mukallaf,
karena hanya mukallaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum
2.
Mengetahui
makna – makna lafadz dan rahasianya
3.
Mengetahui
keadan mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan
4.
Mengetahui
keadaan lafadz, apakah memiliki qarinah atau tidak
Adapun menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang mujtahid ada tiga, yaitu:
1.
Memahami
tujuan – tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah), meliputi: dlaruriyyat yang
mencakup pemeliharaan agama (hifdz al-din), pemeliharan jiwa (hifdz al-nafs),
pemeliharaan akal (hifdz al-‘aql), pemeliharaan keturunan (hifdz al-nasl), dan
pemeliharaan harta (hifdz al-mal), hajiyyat, dan tahsiniyyat
2.
Mampu
melakukan penetapan hukum
3.
Memahami
bahasa Arab dan ilmu – ilmu yang berhubungan dengannya
Berbeda dengan syarat – syarat yang diajukan di atas, Muhammad bin
Ali bin Muhammad al-Syaukani menyodorkan syarat – syarat mujtahid sebagai
berikut:
1.
Mengetahui
al-Qur’an dan al-Sunnah yang bertalian dengan masalah – masalah hukum. Jumlah ayat
– ayat hukum di dalam al-Qur’an sekitar 500 ayat
2.
Mengetahui
ijmak sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijmak ulama
3.
Mengetahui
bahasa Arab karena al-Qur’an dan al-Sunnah disusun dalam bahasa Arab
4.
Mengetahui
ilmu ushul fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid karena
membahas dasar – dasar serta hal – hal yang berkaitan dengan ijtihad
5.
Mengetahui
nasikh – mansukh sehingga tidak tidak berfatwa atau berpendapat berdasarkan
dalil yang mansukh
Syarat – syarat di atas adalah beberapa syarat yang diajukan oleh
para ulama dalam menentukan criteria seorang mujtahid yang bisa diterima
ijtihadnya. Oleh karena itu tidak semua orang bisa melakukan ijtihad. Atau semua
orang bisa melakukan ijtihad, hanya saja untuk dirinya, sedangkan untuk dipakai
sebagai pedoman bagi umat maka criteria yang ditentukan oleh para ulama adalah
satu hal mutlak yang tidak boleh ditawar.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar