Ilmu Itu Buah
(Seri Ihya’ Ulum Al-Din)
Kredibilitas Al-Ghazali sebagai intelektual muslim di masanya tak
terbantahkan, meskipun ada sebagian orang yang mencoba melakukan kritik
terhadap karya-karya dan pemikirannya. Tidak jarang para pengkritiknya,
menisbatkan kemunduran Islam kepadanya.
Betapapun para pengkritik ingin meruntuhkan wibawa Al-Ghazali
sebagai ilmuan muslim, namun nampaknya nama Al-Ghazali terlanjur telah dikenal
sebagai tokoh yang lebih banyak digandrungi oleh umat muslim di hampir semua
penjuru dunia. Terlebih setelah jasanya mengangkat citra tasawuf sebagai ilmu
yang berdiri kokoh dan berwibawa setelah sebelumnya dianggap terpengaruh oleh
filsafat Plato dan Plotinus dengan corak teoritis dan filosofisnya.
Ihya’ Ulum Al-Din, salah satu diantara karyanya menjadi karya “otentik” yang begitu dikagumi oleh banyak umat muslim dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di bumi nusantara ini, kitab Ihya’ banyak dikaji di pesantren-pesantren sebagai kitab “rujukan” dalam pemikiran tasawuf sunni, dimana madzhab inilah yang paling mendominasi masyarakat muslim pribumi.
Di awal pembahasan Ihya’nya Al-Ghazali membahas tentang keutamaan
ilmu. Menurutnya ilmu memiliki kedudukan penting bagi umat muslim. Tentu pendapat
ini didasarkannya pada keterangan-keterangan yang termaktub baik di Al-Qur’an
maupun hadis Nabi Muhammad saw.
Urgensi ilmu sudah menjadi hal jamak yang disepakati oleh semua
umat muslim. Hanya saja persoalannya, tidak semua umat muslim menyadarinya
sehingga dengan kesungguhan hati berupaya untuk mencari ilmu, baik di bangku
sekolah maupun di tempat-tempat lainnya. Padahal, hampir semua umat muslim
hafal hadis Nabi Muhammad saw, “Mencari ilmu sangat wajib hukumnya atas
muslim laki-laki dan perempuan, mulai dari buaian hingga liang lahat.” Tetap
saja, umumnya umat muslim sekadar menghafal hadis ini dalam ingatan mereka,
namun jarang diantara mereka yang menyadarinya sehingga setiap waktunya
dimanfaatkan dalam rangka untuk “thalab al-ilmi”.
Al-Ghazali di awal Ihya’nya, telah banyak menukil ayat dan hadis
berkaitan dengan keutamaan ilmu. Salah satu diantaranya adalah sabda Nabi
Muhammad saw. berikut:
الإيمان
عريان ولباسه التقوى وزينته الحياء وثمرته العلم
Artinya: “Iman laksana seorang yang telanjang, pakaiannya adalah
taqwa, perhiasannya adalah malu dan buahnya adalah ilmu.”
Menurut keterangan yang tertulis dibawah teks
kitab ini, hadis ini merupakan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam “Tarikh
Naisabur” dari Abi Al-Dardak dengan sanad yang dha’if. Dengan demikian,
maka hadis ini jika ditinjau dari sisi ‘ulum al-hadis, belum cukup
dijadikan sebagai hujjah, akan tetapi bisa dijadikan sebagai fadha’il al-a’mal.
Meskipun hadis tersebut dinilai dha’if, tidak
ada salahnya,-menurut hemat saya, untuk mencermati sekaligus merenungkan
kandungan maknanya, yakni tentang kualitas iman yang selayaknya setiap muslim
bisa meraihnya.
Iman laksana
seorang yang telanjang, ungkapan ini menunjuk pada pengertian iman dalam arti
bahwa ia merupakan keyakinan yang ada di hati setiap mukmin. Iman merupakan
bentuk “keyakinan” yang pada hakikatnya, hanya “Allah” saja yang mengetahuinya.
Seberapa kadar keimanan seseorang, tidak ada yang tahu selain Allah swt. karena
letaknya ada di hati.
Boleh jadi seseorang mengaku beriman, namun
iman tidak ada dalam hatinya. Pengakuan lisan yang diucapkan sekadar sebagai
pengakuan lisan semata, bukan karena iman telah ada. Al-Qur’an, secara tegas
menjelaskan hal ini sebagaimana termaktub dalam Surat Al-Hujurat (49);19:
قَالَتِ
الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا
يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ
Artinya: “Orang-orang Badui mengatakan, “kami
beriman”, katakanlah (hai Muhammad), “Kalian belum beriman, tetapi ucapkanlah,
kami masuk islam, karena iman belum masuk ke dalam hati-hati kalian.” (Qs.
Al-Hujurat (49); 19).
Ayat ini cukup menjadi bukti bahwa iman tidak
cukup sekadar pengakuan lisan saja. Memang benar iman terletak di hati, tetapi
bukan berarti iman bisa diukur dari ucapan seseorang, meskipun terkadang ucapan
itu sangat menggiurkan banyak orang.
Sekadar iman, laksana seorang yang telanjang. Artinya
iman saja belumlah cukup menjadikan seseorang sebagai seorang mulia. Agar iman
tidak sebagaimana seorang yang telanjang, dibutuhkan pakaian sebagai penutup
auratnya. Pakaian tersebut adalah “taqwa”, dalam redaksi hadis tersebut, “Pakaiannya
adalah taqwa”.
Ini menunjukkan bahwa iman membawa
konsekuensi, menuntut pengakunya untuk tunduk patuh pada perintah dan larangan
yang diimaninya,-dalam hal ini Allah swt. Oleh karena itu, pengakuan iman yang
tidak didikuti dengan upaya sungguh-sungguh untuk menjalankan perintah Allah
swt.,-dengan dalih apapun, dan tanpa diikuti dengan upaya serius dan
sungguh-sungguh untuk menjauhi semua larangan-Nya, merupakan bentuk pengakuan
palsu.
Gejala ini nampaknya sejak dulu telah ada di
tengah-tengah umat muslim. Iman dipahami dalam satu sisi sebagai teoritis, di
sisi lain sebagian orang memahaminya sekadar pragmatis saja. Dua sudut
pemahaman yang berbeda inilah yang pada akhirnya membawa konflik intern umat
muslim di masanya, satu sisi, “nahkumu bi al-dhawahir la bi al-bawathin”, dan
sisi lain, jika diistilahkan dengan, “nahkumu bi al-bawathin la bi
al-dhawahir”.
Al-Ghazali tampil sebagai pencetus alternatif
pilihan dalam beragama, yang agaknya dipengaruhi oleh pemahamannya terhadap
petunjuk-petunjuk tersirat dalam hadis Nabi Muhammad saw., -mungkin diantaranya
hadis ini. Sehingga bentuk alternatif ini diungkapkan Al-Ghazali dalam salah
satu kitabnya, “Bidayah Al-Hidayah”, dengan mengatakan:
من تفقه ولا تصوف فقد نافق ومن تصوف ولا تفقه فقد تزندق ومن
تفقه وتصوف فقد تحقق
Artinya: “Barangsiapa berfiqh tetapi ia
tidak bertashawuf, maka sungguh ia telah munafiq, siapa yang bertashawuf tetapi
ia tidak berfiqih, maka sungguh ia telah zindiq, dan barangsiapa yang berfiqih
dan bertashawuf, maka sungguh ia telah mencapai hakikat.”
Ya, Al-Ghazali dengan diktum ini telah
memberikan alternatif bahwa kebenaran yang sesungguhnya tidak bisa diukur dari
satu sisi saja, melainkan dua sisi dhahir dan bathin harus berjalan seiring
sejalan. Keduanya tidak boleh dan bahkan tidak bisa dipisahkan satu dengan
lainnya. Keduanya mesti dijalankan bersama-sama untuk meraih kebenaran yang
sesungguhnya, yakni kebenaran pengakuan keimanan yang letaknya di dalam hati. Iman
tidak sekadar pengakuan dalam hati saja, karena ia laksana seorang telanjang,
tanpa pakaian. Karenanya, agar lebih mulia semestinya pemiliknya mengenakan
pakaian, yakni taqwa yang merupakan konsekuensi dari pengakuan dengan
bersungguh-sungguh menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
Namun demikian, agar iman semakin indah, perlu
ada perhiasan yang dikenakan. Perhiasan itu adalah “al-haya’,” rasa
malu. Malu merupakan perhiasan seorang mukmin. Tentu, malu yang dimaksud di
sini adalah malu yang positif, yakni malu jika berbuat keburukan, malu jika
tidak berbuat kebaikan.
Nah, buah dari iman adalah ilmu. Ini menarik
untuk dicermati, mengapa ilmu disebut sebagai “tsamrah al-iman”, dalam
redaksi hadis tersebut. Padahal, sudah menjadi pemahaman jamak di tengah masyarakat umum bila ilmu bisa saja
diperoleh oleh siapa saja yang menuntut ilmu dimanapun dan kapanpun. Bahkan,
tidak jarang, banyak orang berilmu yang perilakunya tidak menunjukkan dirinya
sebagai seorang mukmin. Lantas ilmu apa yang dimaksud dan mengapa ilmu itu tsamrah
al-iman?
Dalam perspektif islam, ilmu bisa
dikelompokkan menjadi dua, yakni ilm al-kasbi dan ilm al-wahbi. Ilmu
al-kasbi merupakan ilmu yang diperoleh oleh orang pada umumnya. Yakni ilmu
yang diperoleh dengan usaha belajar, observasi, penelitian, penalaran yang
kesemuanya itu bermuara pada usaha yang dilakukan manusia secara normal. Ilmu ini
berangkat dari tangkapan indera manusia yang kemudian dicerna oleh akal untuk
kemudian dikeluarkan dalam bentuk simbol-simbol yang diteorisasikan. Umumnya,
ilmu-ilmu ini merupakan hasil dari “dugaan-dugaan” yang diyakini kebenarannya,
sehingga sifatnya tentatif. Kebenarannya bersifat sementara, dalam arti jika
teori tersebut, belum ada yang mematahkannya, maka kebenarannya masih
dipertahankan. Namun, jika kebenarannya telah dibantahkan oleh teori lainnya,
tentunya dengan pengajuan bukti real maupun argumentatif yang lebih diterima,
boleh jadi teori tersebut akan “digeser” oleh teori lainnya. Ini lah karakter
dari ilm al-kasbi, ilmu yang bersumber dari usaha manusia.
Berbeda halnya dengan ilm al-wahbi.
Ilmu ini merupakan pemberian dari Allah swt. kepada hamba-Nya, yang
dikehendaki. Siapa mereka? Mereka bisa kita tangkap dari hadis yang dirujuk
Al-Ghazali di atas, yakni “watsamratuhu al-ilmu”, buahnya (iman), adalah
ilmu. Karena itu, ilmu sesungguhnya merupakan pemberian, bukan kasab. Kesungguhan
seseorang dalam menjalani “keimanannya” akan berbuah pada lahirnya pemahaman
yang langsung dirasakan dalam hatinya. Pemahaman ini, lantas membentuk karakter
“pribadi” seorang mukmin yang mampu tetap berdiri “kokoh” di tengah terpaan
badai ujian. Ia mampu menghadapi sekaligus menyelesaikan berbagai kesulitan
hidupnya dengan petunjuk ilmu yang diberikan Allah swt. kepadanya. Oleh sebab
itu, kebenaran ilmu ini, -menurut Amin Abdullah, terbebas dari dualisme
kebenaran oleh karena ia bersumber dari rasa. Kebenarannya mutlak dan tidak
bisa diperdebatkan, karena yang dirasakan tidak bisa dibantah dan dipatahkan
oleh sekadar “teori dan kata-kata.” Allahu A’lam.
Komentar
Posting Komentar