Dua Tahun Silam
Tetiba setelah shalat dhuhur di Masjid kampus dan menyelesaikan
beberapa lembar dari buku yang ditulis Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf;
Sebuah Pengantar, tangan saya tergerak untuk melihat pemberitahuan HP yang
berada di dekat laptop jadul kesayanganku. Google mengingatkan sebuah peristiwa
penting dan bersejarah dalam hidupku, dua tahun yang lalu. Nampak jelas, betapa
bahagia dan bersinarnya wajah beliau, Bapak-ku tercinta, Supoyo.
Ya, foto itu saya ambil saat membersamai bapak dan ibu ke kantor
departemen agama di Blitar. Perjuangan bapak dan ibu bertahun-tahun membesarkan
anaknya, bercucuran keringat, menantang terik panasnya matahari, sedikit demi
sedikit mulai menampakkan hasilnya.
Bapak dan ibu berasal dari keluarga sederhana. Bapak tinggal jauh dari rumah orangtua dan sanak familinya yang ada di Jawa Tengah. Kondisi tersebut, memaksa beliau untuk bersikap mandiri, kuat dan tegar dalam menghadapi segala situasi dan kondisi. Apapun bentuknya. Di sisi lain, ibu seorang piatu yang sejak kecil, sementara kakek, menikah lagi. Tentu kasih sayang yang diberikannya berkurang dengan hadirnya keluarga lainnya.
Setelah menikah pun, mereka berjuang berdua menjadi buruh serabutan
sekadar untuk mencukupi kehidupannya. Pada akhirnya kehadiran empat buah
hatinya, turut serta menjadi motivasi bagi keduanya untuk semakin keras lagi
bekerja dan berusaha demi menghidupi dan mendidik putra-putrinya. Semangat kerjanya,
pengabdiannya dan kecintaannya pada dunia pendidikan, mendorongnya untuk tetap
mengobarkan api semangat belajar pada putra-putrinya, meski harus diakui
putra-putrinya tak selamanya memiliki rasa “semangat” yang sama dengan “semangat”
keduanya.
Pasca semua putra-putrinya menikah dan memiliki keluarga,
harapannya adalah bisa menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah dan Madinah.
Tapi, uang darimana? Sementara anak-anaknya juga masih belum bisa membantu,
bahkan sekadar mencukupi kebutuhan sendiri pun belum bisa. Namun, tekad
kuatnya, dengan fisiknya yang mulai melemah terus saja memotivasi keduanya
untuk bekerja. Meski sudah menua, semangatnya tetap membara. Meski fisiknya
sudah mulai rapuh, namun semangatnya tak pernah lapuk.
Satu petak tanah di belakang rumah, berukuran kurang lebih 10 ru,
dimanfaatkannya untuk membuat pembibitan. Setiap pagi hingga sore beliau berdua
terus bekerja, membuat pembibitan. Fisiknya yang lemah memaksa keduanya untuk
tidak lagi bisa pergi ke sawah. Satu-satunya yang bisa dilakukan ya hanya
membuat pembibitan, sementara sawahnya diserahkan kepada anak-anaknya untuk
digarap. Itu pun keduanya masih sesekali membantu untuk pupuk, obat dan
pembiayaan lainnya. karena itu bagi kalian yang masih punya orang tua, jangan sekali-kali menyakitinya. Tetaplah berbakti kepada keduanya, dan yakinlah surga ada di bawah telapak kaki mereka. Ridha mereka adalah ridha-Nya.
Singkat cerita, setelah kurang lebih menabung sejak 2014 selepas
anaknya semua menikah. Sedikit demi sedikit, tabungan bertambah. Sebagian diputar
untuk modal usaha pembibitan dengan menyewa tanah kosong di sebelah mushola,
kira-kira 7 atau 8 ru. Sebagian lainnya dibelikan seekor sapi yang dititipkan
pada seseorang agar bisa berkembang. Tahun 2020 setelah Idul Adha, ibu minta
tolong untuk diantarkan. Kemana? Ke tempat yang menjadi pintu jalan menuju
tujuannya, yakni tanah suci Makkah dan Madinah. Usia bapak sudah kisaran 65
tahun waktu itu.
Saya bersama istri mengantar bapak dan ibu dengan sepeda motor. Di perjalanan
saya banyak ngobrol dengan bapak. Salah satu rekamannya, beberapa saat sebelum
mengantar beliau, saya bermimpi. Saya matur ke bapak, “Pak kulo kok ngimpi,
nindakne haji. Tapi wekdal kulo medal saking hotel, rumaos kulo ingkang wonten
mriku, wonting ngajeng Ka’bah kok namun “Kanjeng Romo Kyai”. (Sebutan untuk
guru ruhani kami). Niku pripun pak?”. Bapak waktu itu hanya menjawab, “Aku
rumangsaku kok yo tahu ngimpi haji yo! Yo mugo-mugo iso budal”, dawuh
bapak.
Sepanjang menemani bapak, saya melihat kondisi fisik bapak sudah
lemah, bahkan untuk sekadar membenahi kancing bajunya yang lepas waktu itu,
beliau mengalami kesulitan. Namun sekali lagi, beliau selalu nampak kuat, tak
mengeluh dan nampak bersinar cahaya wajahnya.
Selang dua hari, saat hendak naik ke Mushala untuk menunaikan
jamaah shalat Ashar, beliau bilang, “Awakku kok ndak penak yo?”. Saya langsung
menjawab, “Mboten kepenak pripun? Pun diobati nopo dereng?”. Beliau menjawab,
“Lhah ora popo, engko tak gawe leren prayo penak meneh”, tutur beliau.
Saya pun sedikit tenang, karena merasa bahwa hal itu biasa saja,
ditambah lagi tidak ada tanda-tanda lainnya. Namun selang dua hari setelah itu,
tepatnya hari Sabtu, saat hendak mengambil air wudlu untuk jamaah shalat
dhuhur, kembali beliau mengalami hal aneh. Beliau tidak sadar, sampai kami
memanggil bidan. Saat diperiksa, berkali-kali diperiksa tekanan darahnya, semua
normal. Saya memapah bapak ke kamar mandi dan membantu memandikan beliau.
Selesai mandi, beliau menunaikan shalat dhuhur. Kami menyarankan
agar beliau shalat sambil duduk saja, namun beliau masih merasa kuat untuk
shalat sambil berdiri, dan semuanya tetap baik-baik saja.
Malam harinya, rutinan mujahadah usbu’iyah. Biasanya saya selalu
membonceng beliau untuk menuju tempat mujahadah. Namun, malam itu, saya hendak
membiarkan beliau istirahat di rumah karena kondisinya yang kurang baik. Tetapi,
tetap saja beliau ingin berangkat mujahadah. Dan Alhamdulillah, semua tetap
baik-baik saja.
Esok hari, menjelang waktu ashar beliau tidak bangun-bangun. Kami panik
sampai akhirnya beliau dilarikan ke rumah sakit. Setelah menjalani perawatan di
rumah sakit, kemudian beliau dinyatakan rawat jalan saja. Kisaran 25 hari dari
hari itulah, beliau berpulang ke rahmatullah untuk selamanya.
Bapak laksana karang yang kokoh. Beliau selalu kuat diterpa ombak
dan badai yang datang menghantam silih berganti. Beliau laksana air yang selalu
menjadi obat bagi orang yang dahaga. Bagaikan angina sepoi-sepoi yang terus
menyejukkan udara di sekelilingnya.
Meski, beliau belum sempat mewujudkan cita-cita terakhirnya,
memenuhi panggilan-Nya, namun saya yakin, seyakin-yakinnya, Allah swt sangat
mencintainya. Saya yakin, mesti bapak bukan seorang kyai, atau pun ulama, namun
kecintaannya pada ilmu dan ahli ilmu akan menjadikannya dicintai Rasul-Nya,
saw. Beliau selalu berpesan, shalawat, shalawat, shalawat. Saya teringat setiap
berpamitan melihat tontonan di waktu masih kecil, beliau selalu berpesan, “Oleh
budal poko moco sholawat sik ping satus”.
Bapak, maafkan kami putra-putrimu yang belum bisa membalas semua
jasamu. Maafkan kami yang sedikitpun belum pernah bisa berbagi denganmu. Hanya do’a
yang bisa kami panjatkan, semoga panjenengan selalu diberikan ridho dan kasih
sayang-Nya, dikumpulkan bersama Rasulullah saw serta seluruh sahabat, auliya’
dan kekasih-Nya. Aamiin. Al-Fatihah.
Semoga menjadi ahli sorga. Amin.
BalasHapusAamiiin yaa Mujiibassaailiin...
HapusTerima kasih prof...