Pribadi Sederhana, Supel, Kritis, Teliti dan Penuh Dedikasi

 

Pribadi Sederhana, Supel, Kritis, Teliti dan Penuh Dedikasi



(Catatan Mengenang Almarhum Prof. Dr. Mohamad Jazeri)

Saya mengetahui Prof. Mohamad Jazeri saat masih duduk di bangku kuliah jenjang S1, namun nama beliau belum saya kenal. Wajar, karena beliau memang tidak pernah mengajar saya di kelas, mungkin karena saat itu beliau tidak di homebase kan di prodi dimana saya belajar, yakni program studi bahasa Arab (PBA). Yang saya tau dari beliau, beliau di stafkan di perpustakaan kampus.

Di awal saya mengenal beliau, saya hanya tahu bahwa beliau itu penjaga perpus. Waktu itu, saya belum mengetahui jika bagi para dosen muda ada kewajiban untuk melakukan semacam “magang” dengan menjadi staf atau di perbantukan di unit-unit tertentu yang tersebar di kampus.

Penceramah yang Memukau

Kekaguman awal saya pada Prof. Jazeri adalah saat beliau mengisi “kultum” di masjid kampus. Seingat saya pada tiap bulan Ramadhan di masjid kampus selalu diadakan kuliah tujuh menit sebagai siraman ruhani yang ditujukan utamanya pada semua mahasiswa yang hadir pada jama’ah shalat lima waktu.

Masjid kampus kala itu, masih sangat sederhana dan tak seberapa luas. Tentu, ini dimaklumi karena pada saat itu, -masih berstatus STAIN, jumlah mahasiswa hanya sedikit, mungkin tiap angkatan hanya berkisar antara 300-400 mahasiswa. Jumlah yang cukup sedikit, bila dibandingkan dengan perguruan tinggi lain, termasuk diantaranya kampus yang bertetangga dengan STAIN, yakni STKIP.

Dulu, nama STAIN tidak banyak dikenal. Yang lebih dikenal sebagai kampus, justru STKIP. Jumlah mahasiswanya pun juga melebihi STAIN. Kondisi yang berkebalikan dengan UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung saat ini.

Singkatnya, kekaguman saya pada pribadi prof. Jazeri diawali dari suara ceramahnya yang tegas, lugas, tidak banyak ‘slengek’-an dan menyentuh hati. Saat itu, saya keluar kelas dan menuju ke masjid untuk menunaikan shalat. Namun, jama’ah shalat telah usai dan terdengar suara ceramah yang menarik perhatian. Dalam hati, saya bertanya, ‘Siapakah yang sedang ceramah ini? Kok suara dan bawaannya belum pernah saya dengar?’.

Rasa penasaran itu, mendorong saya untuk lebih mempercepat langkah kaki agar setidaknya bisa melihat siapa yang sedang ceramah. Benar saja, setiba di masjid saya kaget, karena ternyata yang sedang ceramah tersebut adalah ‘Penjaga Perpus’, Prof. Jazeri, yang saat itu belum saya ketahui namanya.

Pribadi yang Sederhana, Supel, Kritis dan Teliti

Saya mulai mengenal beliau sejak diterima mengabdi di STAIN kala itu sebagai dosen tetap luar biasa (DLB). Beberapa kali berkesempatan untuk berbincang-bincang bersamanya di sela-sela jam mengajar. Namun, perjumpaan dan kesempatan ‘ngobrol’ itu tak terlalu banyak. Maklum, umumnya sebagai DLB, kami tidak berkewajiban untuk ngantor. Karenanya, jika tidak ada jam mengajar, maka para DLB lebih memilih untuk mencari ‘kesibukan’ lain di luar kampus.

Prof. Jazeri merupakan pribadi yang sederhana, dalam arti beliau tidak termasuk seorang yang suka menonjolkan kelebihan finansial yang dimilikinya. Dalam penampilannya, beliau nampak biasa saja, tidak ada hal yang menunjukkan bahwa beliau seorang yang “kaya”, meskipun ya, “kaya”. Tentu, ini menarik karena umumnya orang kalau sudah memiliki banyak uang akan merubah bentuk penampilannya. Namun, nyatanya, ini tidak berlaku bagi prof. Jazeri.

Beliau juga tipe orang yang supel, pandai bergaul dan tidak membatasi pergaulan dengan memilih teman. Beliau tidak sungkan-sungkan menyapa teman-teman DLB saat bertemu atau sedang berkumpul di ruang Lab Bahasa kala itu (kini Pusat Pengembang Bahasa (P2B)). Saya teringat salah satu obrolan yang pernah beliau sampaikan, entah dari mana mulainya, saat beliau menjelaskan tentang orang berumah tangga. Beliau menyampaikan satu ungkapan bijak orangtua, “Wong omah-omah iku, nek cedhak wong tuo sing mambu banyu peceren, nek adoh, sing mambu ambune minyak wangi”. Ungkapan sederhana, namun penuh dengan makna.

Ya, maknanya adalah bahwa saat seorang membangun rumah tangga dan tinggal di dekat orangtua, maka keburukan yang dimiliki oleh masing-masing akan diketahui. Orangtua sedikit banyak akan mengetahui ‘kekurangan’ dan ‘keburukan’ dari anak serta menantunya, pun pula sebaliknya. Dampaknya, terkadang muncul ‘kesalahpahaman’ atau bahkan ‘kerenggangan’ hubungan antara keduanya, yang terkadang juga berakhir dengan perpisahan.

Sebaliknya, mereka yang berumahtangga dan memiliki rumah yang jauh dari kedua orangtuanya, hanya akan mendengar cerita manis dan baiknya. Keburukan yang dimiliki tidak tercium, atau jika toh tahu pun, tidak terlalu berdampak besar. Namun, umumnya yang tercium minyak wanginya, artinya kebaikannya saja. Tentu, hal ini positif, namun negatifnya, tingkat intensitas bertemu dan interaksinya tidak sebagaimana jika tinggal berdekatan. Ini salah satu pesan yang masih saya ingat saat ‘ngobrol’ santai dengan beliau kala itu.

Selain supel, beliau juga pribadi yang kritis dan teliti. Ini dibuktikan dalam berbagai kegiatan yang kebetulan saya turut bersama beliau, semisal di seminar atau workshop. Tidak jarang beliau menyampaikan berbagai masukan, kritikan, bahkan koreksi, namun dengan bahasa yang dibalut secara sopan. Tentu, ini menjadi kelebihan yang dimiliki beliau sehingga tidak menyakiti hati orang yang sedang dikritik, dikoreksi. Mungkin karena beliau adalah seorang dosen bahasa Indonesia yang mumpuni sehingga pilihan diksi nya cenderung terasa pas. Sikap ini, sekaligus membuktikan kecerdasan dan intelektual yang dimilikinya.

Pribadi yang Dermawan

Salah satu diantara karakter yang dimiliki prof. Jazeri adalah kedermawanan. Saya memang tidak/bukan saksi langsung atas kedermawanan itu. Namun, cerita kedermawanan itu, saya dengar dari orang-orang yang pernah bersama beliau, termasuk tetangga beliau.

Kebetulan salah satu diantara teman saya mengabdi di lembaga pendidikan,-sebelum focus di UIN Sayyid Ali Rahmatullah adalah tetangga beliau. Ia menceritakan kedermawanan prof. Jazeri serta kesederhanaan dan kesahajaannya. Menurut cerita yang saya dengar darinya, prof. Jazeri tidak segan-segan memberikan bantuan kepada siapapun yang membutuhkan. Bahkan menurut ceritanya, prof. Jazeri juga membiayai pendidikan beberapa anak yang membutuhkan. Allahu A’lam.

Niatan yang Belum Kesampaian

Lebaran Idul Fithri kemarin, menjadi saksi niatan dalam hati saya untuk bersilaturahim ke dalem Prof. Jazeri. Tidak tahu alasannya, yang jelas waktu itu, tetiba saja saya ingin ‘sowan’ ke rumahnya. Saya berharap bisa ‘sowan’ dan berbincang dengan beliaunya.

Waktu itu, kebetulan saya silaturahim ke rumah teman saya yang kebetulan tidak jauh dari rumah beliaunya. Di situlah terbesit niatan untuk ‘sowan’ ke rumahnya dengan menanyakan posisi arah rumah beliau dari kediamannya.

Saya bergegas ke rumah beliau, akan tetapi rupanya Allah belum mengizinkan. Mungkin beliau sedang bepergian atau mungkin juga sedang beristirahat. Yang jelas, saat itu rumah beliau tertutup rapat, sehingga saya bersama istri melanjutkan perjalanan.

Kenangan Terakhir Bersama Prof. Jazeri

Sekitar satu atau dua bulan sebelum berpulang, Prof. Jazeri masih sempat memberikan ‘khutbah jum’at’ di masjid UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Khutbah itu, adalah khutbah terakhir yang saya dengar dari beliau. Khutbah yang disampaikan dengan suara yang begitu dalam, yang mengisyaratkan beratnya ‘sakit’ yang beliau rasakan.

Ya, sudah agak lama, Prof. Jazeri sakit. Namun, sakit itu hanya dirasakan oleh fisiknya, bukan jiwa dan semangatnya. Beliau membuktikan, meski fisiknya sakit, namun pengabdiannya untuk umat, tidak akan pernah berhenti. Kiranya, itulah pesan yang ingin disampaikan. Semangat yang jarang dimiliki oleh umumnya orang. Terlebih saat berada di puncak kesuksesan. Umumnya orang saat berada di puncak kesuksesan, mencari keuntungan pribadi untuk bekal di hari tua. Namun tidak bagi Prof. Jazeri. Beliau tetap mengabdi, dan tetap mengabdi untuk umat, agama dan ibu pertiwi.

Khutbah jum’at itu, mengambil tema tentang moderasi beragama. Beliau menjelaskan secara gamblang tentang pentingnya bersikap moderat dalam beragama. Jangan sampai memahami agama dengan pemahaman yang radikal, sehingga berujung pada kebiasaan saling menyalahkan, berebut kebenaran, tanpa mau mengakui kesalahan. Ini lah pesan terakhir beliau, pesan dalam beragama sekaligus dalam berbangsa dan bernegara.

Selain khutbah ini, interaksi terakhir saya dengan beliau adalah saat melakukan finger print di Gedun Pascasarjana UIN Sayid Ali Rahmatullah Tulungagung. Begitu melihat saya menaiki tangga, dari atas beliau menyapa dengan memanggil nama saya, ‘Pak Fatoni!’. Saya langsung mendongak dan menjawab sapaan beliau. Kemudian kami sedikit berbincang-bincang. Salah satunya, adalah beliau menanyakan perihal adik ipar saya, Intan Wahyu Suryani yang kebetulan menjadi mahasiswanya beberapa tahun lalu. Beliau menanyakan bagaimana kebarnya dan apa kesibukannya setamat dari kampus.  Hal ini kiranya cukup menjadi bukti ‘kepedulian’ Prof. Jazeri pada setiap mahasiswanya.

Prof. Jazeri Berpulang

Beredar kabar melalui group whatsap bahwa Prof. Jazeri dirawat di Rumah Sakit Saiful Anwar di Malang. Kabar tersebut sekaligus memohonkan do’a agar beliau segera diberi kesehatan dan bisa kembali menjalani aktifitas sebagaimana sebelumnya.

Manusia hanya bisa berharap, berencana dan berdo’a, namun ketentuan tetap menjadi hak Prerogatif Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa. Allah lebih mencintai hamba-Nya yang bertaqwa, sehingga memanggilnya untuk sowan keharibaannya. Selamat Jalan Prof. Semoga Allah menerima semua amal baikmu dan menjadikan surga sebagai tempat persinggahan terakhir panjenengan. Semoga kami yang di dunia, bisa mengambil hikmah, pelajaran, serta mencontoh semua dedikasi baik panjenengan.


 

 

Komentar