Refleksi Diri
Setiap waktu yang berjalan merajut kisah perjalanan yang membentuk
sejarah bagi setiap individu. Tentu, catatan sejarah yang tertorehkan itu,
tidak akan pernah sama dengan torehan sejarah bagi sebagian yang lain. Setiap individu
manusia memiliki keunikan yang menjadikannya memiliki nilai “lebih” sekaligus “kurang”
dari individu lainnya.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa, “Setiap anak cucu Adam pernah melakukan kesalahan, dan sebaik orang yang pernah berbuat salah, adalah mereka yang mau bertaubat.” Sekilas, pesan ini nampak sederhana, namun jika diuraikan, riwayat ini memiliki makna yang luas dan mendalam.
Perjalanan waktu tidak mungkin diputar kembali. Waktu yang telah
dilalui tidak akan pernah bisa kembali. Pukul sepuluh pagi di hari ini, tidak
sama dengan pukul sepuluh kemarin atau esok hari. Meski, nampaknya matahari
sama sinarnya antara sekarang, kemarin dan esok hari, namun sejatinya semua itu
berbeda. Tidak sama, dan tidak akan pernah sama selama-lamanya.
Selama di dunia, setiap orang menjalani peran dan fungsinya masing-masing.
Ada yang menjalani profesinya sebagai petani, pedagang, santri, kyai, pegawai,
maupun pejabat. Semua saling melihat dan merasam bahwa yang lain lebih “enak
dan nyaman” di bandingkan dengan profesi lainnya. Orang jawa bilang, “Wong
urip iku sawang sinawang”, artinya orang hidup itu saling melihat satu
dengan lainnya.
“Melihat” jelas lebih enak daripada menjalani. Sama halnya saat
seorang melihat ke sebuah “gunung” dari kejauhan. Nampaknya, gunung itu indah,
tanpa cacat sedikitpun. Namun, bagi mereka yang tinggal di dekatnya, atau
bahkan berada di sana, pikiran itu mungkin akan berbeda. Banyak lembah yang
curam, demikian juga jalan berkelok-kelok yang sekelilingnya berupa jurang. Belum
lagi mereka yang tingga di lereng-lereng, atau di kaki gunung, sewaktu-waktu
bahaya bisa mengancam. Longsor, kekeringan, jalanan yang terjal hingga bahaya
letusan yang tidak bisa ditentukan kapan tibanya. Ya, memang begitulah
kehidupan di dunia, “kabeh mung sawang sinawang.”
Di dunia ini, kita tidak hidup selamanya, kekal abadi tanpa
mengenal kata “mati”. Bukankah Al-Qur’an, jelas telah mengingatkan, “Setiap
yang bernyawa “pasti” akan mati, dan sungguh akan diberikan pahala kalian pada hari kiamat.” (Qs. Ali Imran (3); 184). Dunia sekadar
tempat persinggahan sementara yang kelak pasti ditinggalkan. Di sini,
semestinya setiap orang mempersiapkan perbekalan “secukupnya” untuk menghadapi
kehidupan “kekal abadi” di akhirat. Bukan tempat meluapkan semua bentuk “kesenangan”,
apalagi sekadar memperturutkan keinginan nafsu syahwat semata.
Nyatanya, banyak orang yang “terbuai” dengan
kehidupan “dunia”. Keindahan “semu”-nya kerap kali “menipu” para “penikmat” dan
“pemburu” nafsu syahwat semu. Tipuannya, begitu mempesona, membuat banyak orang terpedaya hingga
tunduk dalam buaiannya.
Tetap focus, ingat pada “tujuan akhir perjalanan”, adalah kunci
dimana kesuksesan akan di dapatkan. Kesuksesan bukan milik mereka yang “pintar”
dan ber “IQ” tinggi semata. Kesuksesan hanyalan bagi mereka yang mau “bertahan,
bersabar, ikhtiar dan istiqamah”. Menghadapi setiap cobaan, rintangan, dan
berbagai tantangan tanpa mengenal “lelah” apalagi “menyerah”. Dia yakin, bahwa
di setiap “kesulitan” ada “kemudahan”, dan kemudahan itu lah “kesuksesan” yang
sesungguhnya.
Komentar
Posting Komentar