Memahami Sistem Penanggalan Masehi dan Hijriyyah

 Memahami Sistem Penanggalan Masehi dan Hijriyyah
(Seri Khuthbah Jum'at)



Hadirin jama’aah jum’ah yang dimuliakan Allah,

Mengawali khutbah jum’ah kali ini, izinkan khatib berwasiat kepada diri pribadi khatib khususnya dan para jama’ah yang hadir pada umumnya, marilah senantiasa meningkat kualitas iman dan taqwa kepada Allah swt., karena hanya dengan berbekal iman dan taqws, kita akan menjadi pribadi yang beruntung dalam menjalani kehidupan di dunia, terlebih saat kembali menghadap-Nya, dan khususnya kelak di hari kiamat.

Dan mari kita bersyukur kepada-Nya, karena hanya dengan nikmat, karunia, taufiq dan hidayah-Nya, saat ini kita bisa bernafas dan berkumpul di masjid yang penuh berkah ini untuk bersimpuh bersama menunaikan shalat jum’at. Selain itu, syukur patut kita sanjungkan dan panjatkan kepada-Nya, karena Ia masih memberikan kesempatan kepada kita semua untuk bertemu kembali dengan bulan Muharram, dimana bulan ini menjadi awal perhitungan penanggalan umat muslim, yang membedakannya dengan umat nashrani yang berpegang pada penanggalan masehi.

Hadirin Jama’ah Jum’ah yang dimuliakan Allah,

Kedua sistem penanggalan ini, tidak patut dipertentangkan, meskipun ada perbedaan yang cukup signifikan di dalam perhitungannya, cukup bagi kita semua untuk paham dan mengetahuinya sebagai bagian dari ketentuan Allah swt atas makhluk-Nya di bumi. Karena sesungguhnya, semua itu terjadi tidak lain atas izin-Nya. Keduanya adalah bagian dari sunnatullah di bumi sebagai penguat atas keagungan dan ke Maha Kuasaann-Nya.

Penggalan hijriyah dalam sistem perhitungannya bertumpu pada perputaran bulan mengelilingi bumi atau yang dikenal dengan istilah revolusi bulan. Oleh sebab itu, penanggalan hijriyyah dikenal dengan istilah kalender komariyyah atau kalender Islam. Perjalanan bulan mengelilingi bumi membutuhkan waktu 29,5 hari, yang karenanya satu tahun hijriyyah terdiri dari 354 hari. Dalam penanggalan hijriyyah juga berlaku pembulatan dalam hitungan hari dii setiap bulan antara 29-30, terkecuali bulan Dzulhijjah.

Adapun penanggalan Masehi sistem perhitungannya didasarkan pada revolusi bumi terhadap matahari. Dalam revolusinya bumi membutuhkan waktu 365 ¼ hari. Adapun dalam satu tahun, kelender masehi membutuhkan waktu 365 hari. Oleh sebab itu, agar penanggalannya sesuai dnegan lamanya peredaran bumi, maka setiap 4 tahun sekali, jumlah hari dalam bulan Februari ditambah satu menjadi 29 hari. Karena itu, maka setiap tahun terjadi selisih hitungan antara kalender hijriyyah dan masehi. Selisihnya adalah 11 hari.

Hadirin Jama’ah Jum’ah yang dimuliakan Allah,

Kedua sistem penanggalan ini, terjadi atas seizin Allah sekaligus menunjukkan keagungan Allah swt dalam mengatur dunia beserta isinya. Allah swt menunjukkan kebenaran kedua sistem penanggalan ini, ditunjukkan oleh Allah swt di dalam Surat Yunus (10); 5:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Qs. Yunus (10); 5).

Hadirin jama’ah jum’ah yang dimuliakan Allah,

Di dalam Tafsir Al-Thabari disebutkan bahwa berkaitan dengan  ayat tersebut, Abu Ja’far menjelaskan bahwa “dhiya’an” menunjuk pada keadaan dimana matahari memiliki sinar yang terpancar dari dzat-nya secara mandiri, yang dengannya siang itu ada. Sedangkat kata “nuran” mengindikasikan bahwa bulan memiliki cahaya yang karenanya malam menjadi ada, namun cahaya bulan tidak berasal dari dzat-Nya secara mandiri, tetapi ia merupakan cahaya yang dipantulkan dari cahaya matahari. Karenanya dalam ilmu sains, saat posisi bulan sejajar dengan bulan dan terhalang bumi, maka bulan tidak bisa memantulkan cahaya. Terjadilah gerhana bulan. Pun pula sebaliknya manaka bulan sejajar dengan matahari dan posisi bumi terhalang oleh bulan, terjadilah peristiwa gerhana matahari akibat cahaya matahari ke bumi terhalang oleh bulan tersbeut. Yang demikian itu, merupakan bagian dari sunnatullah yang terjadi dalam hukum alam.

Selanjutnya dalam menafsirkan kata “Waqaddarahu manazila”, ia  mengatakan bahwa Allah swt telah menetapkan bagi bulan dan matahari itu tempat peredarannya, sehingga ketika orbit masing-masing sudah ditetapkan, maka keduanya tidak keluar dari jalur orbit masing-masing, sehingga tidak terjadi tabrakan antar planet satu dengan yang lainnya. Meskipun, sekilas jika kita perhatikan seolah diam dan tidak berubah, namun sejatinya mereka tidak stagnan, berhenti dalam satu titik, tetapi mereka berjalan sesuai dengan orbitnya masing-masing.

Melalui perjalanan keduanya atas orbit masing-masing untuk mengelilingi yang lebih besar diantaranya, maka terjadilah pergantian hari, minggu, bulan dan tahun yang karenanya kita mengenal sistem penanggalan baik sistem masehi maupun sistem hijriyyah. Keduanya sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai bagian dari ilmu, yang dengannya, Allah swt menjelaskan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada orang-orang yang mengetahui.

Semua tersebut ditetapkan Allah swt untuk umat manusia agar mereka mampu memanfaatkan setiap waktu yang diberikan oleh Allah swt kepadanya untuk kerangka ibadah kepada-Nya. Agar mereka bisa memanage setiap waktu diberikan dengan baik, mengevalusi setiap apa yang telah berlalu dan menjadikannya sebagai bahan pelakaran untuk memperbaiki masa yang akan datang.

Hadirin Jama’ah Jum’ah yang dimuliakan Allah,

Semoga kita semua mendapatkan pertolongan Allah swt dalam menjalani kehidupan ini. Kita bisa memanfaatkan setiap waktu yang telah diberikan Allah kepada kita dengan baik, dan mudah-mudahan, saat kita ditakdirkan kembali menghadap kepada-Nya, kita menghadap kepada-Nya dengan husnul khatimah. Aamiin

Komentar