Syaikh Ahmad Abdul Hadi Abdul Ghawwad Fliefil, Mab’uts Azhar
Kedatangan, Selama, dan Kepulangan
Syaikh Ahmad Abdul Hadi Abdul Ghawwad Fliefil merupakan salah satu diantara mab’uts azhari yang ditugaskan di Indonesia. Bersamanya para mab’uts azhari lain yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia yang jumlahnya berkisar antara 30 an orang. Ia merupakan native speaker pertama yang ada di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung dan secara intens mengajar di Kampus Dakwah dan Peradaban.
Kedatangan
Saya tidak ingat secara pasti kapan ia tiba di Indonesia. Yang saya
ingat, ia datang di Indonesia pada awal tahun 2022. Jika melihat pada
kepulangannya di tanggal 31 Januari 2025, maka kedatangannya di awal bulan
Februari 2022.
Pertama datang, Syaikh Ahmad langsung diarahkan di Ma’had Al-Jami’ah UIN Sayyid Ali Rahmatullah. Bahkan, ia sempat tinggal di Mabna Fatimah Az-Zahro’ untuk beberapa minggu sebelum akhirnya ditempatkan di rumah dinas. Masa-masa ini adalah masa terberatnya di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Saya katakan “masa terberat” karena ini adalah masa-masa dimana ia
harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia sempat mengeluh tidak bisa
tidur karena setiap kali terganggu dengan kereta api. Selain itu, ia juga
sempat mengeluh tidak bisa “hidup jauh” dari istri dan anak-anaknya.
Ia sempat juga meninjau ruangan di Masjid UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung karena merasa kurang nyaman tinggal di Ma’had. Namun,
ia juga tidak berkenan dengan kondisi ruangan tersebut sampai akhirnya “rumah
dinas” khusus mab’uts disiapkan.
Selama di UIN Sayyid Tulungagung
Setelah beradaptasi dengan lingkungan barunya, Syaikh Ahmad
menemukan dan merasakan bahwa Indonesia, khususnya Tulungagung merupakan negara
yang sangat luar biasa. Bahkan, tidak jarang ia bilang “Indonesia Jannat
Al-Ardl,” Indonesia adalah surga di bumi.
Ia bahkan merasa sangat nyaman, sampai-sampai tidak ingin kembali
ke negara asalnya, Mesir. Seandainya ia diminta memilih, ia ingin tetap berada
di Indonesia bersama dengan keluarganya.
Selama di Indonesia, Syaik Ahmad lebih banyak berkecimpung di
Ma’had. Sebagai pengajar Al-Qur’an bagi mahasantri ma’had mukim, mengisi
berbagai kegiatannya, dan juga sebagai pengajar di madrasah diniyah, pada
program tahfidz.
Selain itu, banyak juga prodi yang menggunakannya untuk mengajar
sekaligus memberikan ketrampilan tertentu. Misalnya pada matakuliah “maharah
al-kalam, al-qira’ah” pada prodi Bahasa dan Sastra Arab dan juga Pendidikan
Bahasa Arab. Disamping itu, beliau juga mengajar matakuliah lain seperti Studi
Qur’an dan Hadits, Fiqih Ibadah, Tafsir dan sebagainya. Semua dijalaninya
dengan penuh dedikasi, kedisiplinan, dan penuh keikhlasan.
Syaikh Ahmad berbagi ilmu dan pengetahuannya tidak hanya di kampus,
tetapi juga di tempat-tempat yang lain. Tidak jarang ia diminta untuk mengisi
kegiatan di Pondok Pesantren, madrasah, sekolah dan sebagainya. Saat Ramadhan
tidak jarang ia diminta untuk menjadi imam tarawih di masjid di sekitar kampus,
maupun di luar seperti Blitar dan Kediri. Ia benar-benar mencurahkan segenap
perhatiannya untuk i’lai kalimatillah di bumi “Zamrud Kathulistiwa.”
Penulis sendiri pernah mendampinginya saat mengisi kegiatan di SMP
IT dan SMA IT KH. Bisyri di bawah naungan Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum Sempu.
Saat itu ia memberikan motivasi kepada para santri agar giat dalam menuntut
ilmu. Bahwa islam didirikan atas ilmu dan para santri sebagai generasi penerus
juga sudah seharusnya memiliki perhatian serius pada perkembangan ilmu.
Demikian halnya mereka harus mempersiapkan dirinya untuk menjadi “pemimpin” di
masa mendatang, tentunya dengan “bekal” ilmu.
Penulis juga mendampinginya saat mengisi Isra’ Mi’raj di SD Negeri
Winong I Kalidawir. Kehadiran Syaikh Ahmad atas undangan Kepala Sekolah SD
Negeri Winong I, Bapak Imam Sopingi, S.Pd.I. Di sini ia berbagi ilmunya untuk
siswa-siswi juga untuk para wali siswa. Dan setelah itu, kami berkunjung ke
Pantai Sinei untuk bersantai, menikmati panorama alamnya yang indah serta untuk
menikmati ikan bakar.
Pribadi Sederhana dan Supel
Syaikh Ahmad merupakan pribadi yang sederhana dan supel. Kesederhanaan
itu tercermin dari cara berpenampilan, bergaul, dan perilaku kesehariannya. Ia
tidak pernah mengeluhkan tentang fasilitas yang diberikan, ia juga tidak
menuntut untuk dihormati secara lebih. Bahkan ia dengan santainya bergaul
dengan semua orang layaknya saudara.
Syaikh Ahmad juga tidak menuntut untuk diantar dengan mobil. Bahkan
beberapa kali saya mengajaknya ke rumah dengan mengendarai sepeda motor. Ia
tidak mengeluh. Baginya yang paling penting bisa bersilaturahim, dimana
silaturahim merupakan ajaran dari Rasulullah Saw.
Penulis merasa beruntung karena banyak pengalaman serta pengetahuan
yang penulis dapatkan dengan keberadaan Syaikh Ahmad. Tidak jarang kami
terlibat diskusi kecil. Diskusi ini mengalir tanpa diplaning sebelumnya.
Tentang masalah hukum agama, fiqih, tafsir, budaya dan banyak hal.
Penulis masih teringat di awal kehadirannya, Syaikh Ahmad sempat
marah melihat seorang mahasiswi yang “salim” dengan “dosen laki-laki”. Panjang
sekali nasihatnya. Waktu itu di Pondok Pesantren Darul Akhwan yang diasuh oleh
Prof. Sokib, M.Pd.I. saat bulan Syawwal. Ya, lebaran pertama di Indonesia. Satu
tradisi yang tentunya dianggap “lumrah” oleh muslim Indonesia, bukan untuk
orang Mesir.
Alhamdulillah, ia merasa nyaman dan enjoy meski dengan fasilitas
yang terbatas dan sederhana. Makanan sederhana pula, “sambel terong” dan
kelengkapannya. Alhamdulillah tetap saja beliau merasa nyaman, bersyukur dan
tidak mengeluh.
Kembali ke Mesir
Kepulangan Syaikh Ahmad ke Mesir sudah mulai terasa pada
pertengahan tahun 2024. Para sahabatnya yang tergabung dalam gruop “Relawan
Syaikh Ahmad” mulai merasakan hawa kepulangannya.
Hari-hari terakhir Syaikh Ahmad di Tulungagung diisi dengan
berbagai kegiatan untuk memberikan penghormatan kepadanya. Ada rasa carut marut
dalam diri setiap orang yang pernah mengenalnya. Gembira karena ia akan bertemu
dengan keluarga, namun sekaligus sedih karena secara fisik akan berjauhan.
Di hari-hari akhir sebelum kepulangannya, Alhamdulillah Syaikh
Ahmad sempat berkunjung ke rumah bersama dengan para sahabat. Masak bersama,
makan bersama dan berbagi cerita bersama. Saya juga meminta do’a kepadanya agar
diberi keberkahan bagi keluarga.
Syaikh Ahmad nampak sangat berat meninggalkan Tulungagung. Bahkan
beberapa kali ia nampak menangis karena akan berpisah dengan keluarga barunya
di Tulungagung ini.
Saya bersama dengan kru Ma’had dipercaya untuk mengantar kepulangan
Syaikh Ahmad sampai ke Jakarta. Saat perjalanan menuju Jakarta Syaikh berkata,
di awal kehadirannya di Tulungagung, saya bersama ustadz Fatoni dan saat
akhirnya di Indonesia saya juga bersama ustadz Fatoni. Terima kasih ustadz
Fatoni. Jazakallahu Khairan. Aamiin. Semoga dipertemukan kembali di lain
kesempatan. Aamiin.
Sang pembaca ikut hanyut atas kepulangan beliau bapakk
BalasHapusSemoga di jumpakan lagi di lain kesempatan. Aamiin
Hapus