Kamis, 19 Januari 2017

Sunan Kalijaga



Sunan Kalijaga
(Waliyullah Yang Merakyat)

Nama Sunan Kalijaga sudah tidak asing lagi bagi masyarakat muslim Jawa. Wali yang satu itu amat popular baik bagi masyarakat kelas bawah maupun kelas atas. Dialah wali yang berjiwa supel, memiliki rasa toleransi kepada sesama dan menjunjung tinggi nilai pluralisme dalam berbangsa dan berbudaya.

Terlahir sebagai anak bangsawan yang memiliki darah biru, Putra Adipati Tuban yang merupakan keturunan dari Ranggalawe, Tumenggung Wilatikta, ia memiliki nama asli Raden Said. Meski menjadi adipati majapahit yang beragama Hindu – Budha, Tumenggung Wilatikta telah memeluk agama Islam. Inilah yang menyebabkan Raden Said semenjak kecil telah mengenyam pendidikan Islam dari guru – guru muslim.

Said kecil tumbuh dan berkembang di wilayah kekuasaan Majapahit yang kala itu dalam keadaan carut – marut. Terjadi penindasan di sana – sini. Kerajaan dalam keadaan yang tidak stabil, muncul berbagai pemberontakan di mana – mana yang berakibat pada kondisi perekonomian yang sulit kala itu. Sebagai akibat dari kondisi semacam ini, maka wilayah – wilayah yang berada di bawah pemerintahan Majapahit harus membayar upeti yang mahal, bahkan tidak sewajarnya, tak terkecuali wilayah Tuban yang dipimpin ayahnya, Tumenggung Wilatikta.

Semenjak kecil, Raden Said senang membaca dan mempelajari al-Qur’an. Dia dikenal sebagai seorang yang berhati lembut dan penuh dengan sifat welas asih. Ayahnya, Tumenggung Wilatikta, yang menjadi adipati Tuban kala itu menerapkan kebijakan yang mencekik rakyat. Kondisi ini terjadi karena kebijakan Majapahit yang mengharuskan Tuban untuk membayar pajak kepada kerajaan dalam jumlah yang besar. Mau tidak mau kebijakan ini ditempuh sebagai upaya untuk menjaga kredibilitasnya sebagai adipati Tuban. Otomatis rakyatlah yang menjadi korban.

Raden Said yang kala itu mulai beranjak remaja merasa iba dan kasihan kepada rakyat. Ia berusaha untuk meminta kebijakan kepada ayahnya, tetapi apalah daya, ayahnya juga terpaksa dalam melakukan hal ini. Akibatnya seringkali Said keluar di waktu malam dan mencuri makanan dari gudang kadipaten untuk dibagikan kepada masyarakat fakir dan miskin yang membutuhkan. Lama – kelamaan penjaga yang mendapati gudang semakin hari upeti yang hendak diberikan kepada kerajaan menipis merasa curiga hingga akhirnya memata – matai untuk mencari tahu siapa pencuri bahan makanan itu. Akhirnya kedok Said terbongkar dan dia mendapat hukuman dengan dicambuk tangannnya.

Hukuman yang telah diberikan kepadanya, ternyata tidak membuat nyalinya ciut. Karena welas asihnya kepada rakyat, Said seringkali keluar diwaktu malam untuk mencuri harta orang – orang kaya yang pelit. Para perampok yang tahu ulah Said merasa geram dan akhirnya menjebaknya. Di suatu malam saat Said selesai shalat Isya’ ia mendengar seorang gadis yang berteriak minta tolong. Said segera mengenakan topengnya untuk menolong gadis yang ternyata diperkosa oleh seorang perampok yang mengenakan baju dan topeng sama seperti dia. Mengetahu Said datang, perampok itu kabur, Said berusaha mengejar, namun naas, tangan gadis itu menariknya sehingga ia tidak bisa berbuat apa – apa ketika warga datang menggerebeknya. Peristiwa ini spontan membuat geger Tuban. Lurah desa yang berusaha melindungi Said dari amukan warga lantas mengadukan hal itu kepada adipati Tuban Wilataikta. Betapa marahnya adipati Tuban yang mengetahui kelakuan Said, putra yang menjadi kebanggaannya.

Said pun akhirnya terusir dari Tuban. Tumenggung Wilatikta mengusirnya dan tidak mengizinkannya pulang ke Tuban sebelum ia bisa menggetarkan dinding – dinding Istana Tuban dengan lantunan ayat al-Qur’an. Adipati Wilatikta benar – benar marah dengan kejadian yang dialami Said yang sebenarnya hanyalah fitnah yang dituduhkan kepadanya.

Pengusiran ini telah menjadikan Said mengalami keguncangan batin yang luar biasa. Ia berkelana tanpa arah dan tujuan hingga akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di hutan Jatiwangi. Ia memutuskan untuk menjadi seorang perampok. Ia merampok orang – orang kaya yang lewat dan membagi – bagikan hasil jarahannya kepada masyarakat miskin yang membutuhkan. Di sinilah ia menanggalkan namanya Said dan bergelar sebagai brandal Lokajaya. Kebiasaan ini terus di lakukannya hingga akhirnya dia melihat ada seorang tua yang berjalan dengan menggunakan tongkat. Dari kejauhan Said mengawasinya. Ia mengira kalau tongkat itu bergagangkan emas. Akhirnya Said merampas tongkat itu yang menyebabkan orang tua itu terjatuh dan menitikkan air mata karena rumput yang tercerabut dari akarnya tanpa ada tujuan yang dibenarkan. 

Said kaget karena ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas. Ia mengembalikan kepada orang tua itu yang ternyata adalah Sunan Bonang. Pertemuan ini menjadi titik balik bagi Said yang mendapatkan pencerahan dari Sunan Bonang yang baginya masih sosok asing yang belum dia kenal. Sunan Bonang menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Said tujuannya adalah baik tetapi caranya salah. Tujuan baik tetapi cara yang salah itu tidak ada artinya di hadapan Allah. Sama saja seperti orang yang ingin mencuci baju yang kotor dengan air kencing, bukannya bersih tetapi justru semakin kotor. Pada akhirnya Sunan Bonang memberikan pencerahan dengan menunjukkan kepada Said pohon aren yang dilihatnya berupa pohon emas. Said memenjat namun sebelum dia sampai ke atas buah aren itu berjatuhan dan menimpa kepalanya hingga jatuh dan pingsan.

Setelah terbangun dari pingsannya, Said berusaha mengejar Sunan Bonang sehingga ia sampai dipinggir sungai. Di situlah Said mengutarakan maksud hatinya mengejar Sunan Bonang untuk berguru kepadanya. Sunan Bonang memberikan syarat kepada Said untuk menunggu tongkat yang ditancapkannya di pinggir sungai. Sarat itu dipenuhinya hingga waktu yang tidak ditentukan.

Menurut cerita Said berdoa kepada Allah agar ia ditidurkan sebagaimana Allah menidurkan Ashabul Kahfi. Alhasil ia menunggu tongkat itu kurang lebih selama 3 tahun. Sunan Bonang yang ternyata lupa dengan Said baru tersadar setelah 3 tahun lamanya. Ia bergegas mencari Said yang saat itu telah tertimbun oleh tumbuhan dan akar – akar yang tumbuh disekitarnya. Setelah menemukan Said, ternyata ia tidak bisa dibangunkan sehingga Sunan Bonang membangunkannya dengan lantunan adzannya.

Selepas Sunan Bonang mengumandangkan adzan, Said pun terbangun dan sungkem kepada orang yang dikaguminya. Melihat kesungguhan Said, Sunan Bonang akhirnya mengajaknya ke pesantrennya di daerah Tuban. Meski sudah kembali ke Tuban, tetapi Said belum berani kembali menemui orang tuanya. Di sini Said belajar agama dengan rajin dan bersungguh – sungguh.

Sementara itu di Tuban pasca terusirnya Said ternyata masih sering terjadi perampokan. Satu ketika perampok itu tertangkap dan ternyata perampok itu adalah orang yang mengenakan pakaian dan topeng yang sama dengan Said. Perampok itu juga mengakui bahwa dialah yang merampok dan memperkosa gadis yang kemudian dituduhkan bahwa Saidlah yang melakukannya. Tumenggung Wilatikta merasa sangat menyesal dengan apa yang dilakukannya, yaitu mengusir anaknya yang sangat dicintainya, terlebih setelah tahu bahwa hal itu hanyalah fitnah yang dituduhkan kepadanya. Istrinya menangis tersedu – sedu setelah mengetahui bahwa Said tidak bersalah.

Ibarat nasi telah menjadi bubur,begitulah mungkin peristiwa yang dialami oleh Said. Fitnah itu ternyata justru berbuntut pada perjalanan kehidupannya yang gemilang. Pengusiran itu mengantarkan dia kepada Sunan Bonang yang kemudian mengajarkan kepadanya ilmu tentang agama dan kehidupan hingga pada akhirnya kesungguhannya dalam belajar mengantarkannya kepada ilmu tingkat tinggi yang disebut dengan ma’rifatullah. Ketelatenannya dalam belajar dan sikapnya yang lurus sebagai seorang muslim mengantarkannya menjadi seorang wali diantara wali songo. Karena peristiwa yang di alaminya menunggu tongkat Sunan Bonang di tepi sungai inilah kemudian ia lebih dikenal dengan nama Kalijaga daripada nama Said. 

Sunan Kalijaga senang dengan membaca al-Qur’an. Apabila ia rindu dengan keluarganya, maka dia membaca al-Qur’an dan mengirimkannya kepada keluarganya di Tuban. Konon al-Qur’an yang dibacanya benar – benar mampu menggetarkan dinding Istana di Tuban. Kedua orang tuanya merasa sangat bersalah dengan apa yang mereka lakukan kepada Said. Tetapi itulah jalan yang harus ditempuhnya hingga dia samapi derajat kewalian yang agung.

Nama Sunan Kalijaga semakin popular di kalangan masyarakat Jawa karena metode dakwahnya yang berbeda dengan para wali yang lain. Apabila para wali yang lain berdakwah dengan mengajar para santri dan mendirikan pesantren, maka lain halnya dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga lebih suka berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain untuk mensyiarkan ajaran Islam. Selain itu Sunan Kalijaga juga sangat menghargai dan toleran terhadap adat Jawa. Bila para wali yang lain mengenakan pakaian Jubah sebagaimana para ulama Timur Tengah, Sunan Kalijaga lebih suka berpakaian seperti orang Jawa pada umumnya yang di desainnya sendiri dan menutup aurat. Beliau juga dikenal sebagai ahli tata kota dan kesenian.

Berikut di antara karya dan jasa Sunan Kalijaga:
-          Sebagai Muballigh
Dalam berdakwah Sunan Kalijaga lebih suka untuk berkeliling dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Karena kebiasaannya berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain dalam berdakwah, beliau dikenal dengan nama Syaikh Malaya. Cara berdakwah Sunan Kalijaga sangat luwes. Dalam berdakwah dia tidak serta merta melarang dan menentang adat kebiasaan masyarakat Jawa. Beliau mendekati masyarakat jawa dengan cara yang sangat halus. Menurut beliau masyarakat harus direbut simpatinya dulu, baru kemudian menanamkan ajaran Islam ke dalam dirinya. Metode dakwah yang dipakai oleh Sunan Kalijaga terbukti efektif. Banyak orang yang kemudian memeluk Islam baik dari kalangan rakyat jelata maupun kalangan birokrat. Semua karena pendekatan yang dilakukan oleh Sunan klaijaga yang sangat halus.
-          Sebagai ahli budaya
Tidak berlebihan kiranya memberikan gelar kepada Sunan Kalijaga sebagai ahli budaya. Kenyataannya Sunan Kalijaga memang seorang budayawan yang piawai dalam berbagai hal semisal menciptakan pakaiain, seni suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, bedug masjid, grebeg maulud, seni tata kota dan lain – lain.
·         Seni pakaiain:
Dalam hal seni berpakaian beliaulah orang pertama yang menciptakan baju taqwa. Baju taqwa ini pada akhirnya disempurnakan oleh Sultan Agung dengan dester nyamping dan keris dan rangkaian yang lain. Sampai saat ini masyarakat Jawa masih banyak yang mengenakan pakain seperti ini khususnya dalam upacara adat.
·         Seni suara
Dalam hal seni suara, Sunan Kalijaga adalh orang yang mula – mula menciptakan tembang Dandang Gula.
·         Seni ukir:
Beliau adalah pencipta seni ukir bermotif dedaunan, bentuk gayor atau alat menggantungkan gamelan dan bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap sebagai seni ukir Nasional. Sebelumnya seni ukir kebanyakan bermotifkan manusia dan binatang. Sunan Kalijaga memberikan nuansa baru dalam seni ukir.
·         Bedug atau Jidor di Masjid:
Beliaulah orang yang pertama kali mempunyai ide untuk membuat bedug sebagai alat untuk memanggil orang untuk pergi menunaikan shalat berjamaah. Sampai saat ini bedug masih tetap dipakai oleh masyarakat muslim di masjid – masjid khususnya pada masyarakat pedesaan.
·         Gerebg Maulud:
Grebeg Maulud adalah acara yang diprakarsai oleh Sunan Kalijaga. Acara ini sebenarnya berasal dari pengajian akbar yang digelar oleh para wali di Masjid Demak dalam rangka memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW.
·         Gong Sekaten:
Nama aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua kalimah syahadat. Bila gong ini dipukul maka akan berbunyi Di sana, di situ, mumpung masih hidup, berkumpullah untuk masuk agama Islam.
·         Pencipta Wayang Kulit:
Sebelumnya perhelatan wayang dahulu berupa gambar manusia yang di gambar pada kertas. Wayang dengan model semacam ini mendapat penentangan keras dari Sunan Giri yang mengharamkannya. Sunan Kalijaga akhirnya berinisiatif untuk menciptakan wayang baru yang digambar atau di ukir di kulit yang kemudian di kenal dengan wayang kulit.
·         Sebagai Dalang:
Selain sebagai pencipta wayang kulit, Sunan Kalijaga juga di kenal sebagai seorang dalang. Kata dalang sebenarnya berasal dari kata dalla yang artinya menunjukkan jalan yang benar. Lakon dalam wayang seringkali adalah ciptaannya sendiri, seperti: Jimat Kalimasada, Dewa Ruci, Petruk dadi Ratu, Wahyu Widayat dan lain – lain.
·         Ahli Tata Kota:
Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai arsitektur tata kota yang ulung. Hampir semua kota di Jawa dan Madura mengikuti seni arsitektur yang di rancang oleh Sunan Kalijaga. Seni tata kota yang menjadi karya Sunan Kalijaga biasanya terdiri dari:
1.      Istana atau Kabupaten
2.      Alun – alun
3.      Satu atau dua pohon beringin
4.      Masjid

Sunan  Kalijaga adalah seorang wali yang merakyat. Kehidupannya akrab dengan kehidupan rakyat biasa. Sikap dan pola hidupnya yang sederhana menjadikan dia sebagai seorang wali yang dicintai oleh masyarakatnya. Beliau memiliki sifat welas asih kepada sesame, menjunjung tinggi sikap toleransi dalam kehidupan. Berdakwah dengan pendekatan yang sangat halus sehingga mudah mendapat simpati.

Begitulah seharusnya seorang mubaligh dalam berdakwah. Sikap lemah lembut dan toleran harus menjadi sikap utama yang ditonjolkan. Keyakinan tidak bisa dipaksakan, oleh karenanya bersikap toleran sangat dianjurkan, tentunya sesuai dengan batasan – batasan yang telah ditentukan oleh Syari’at agama yang telah ditetapkan.

Semoga bermanfaat…

Allahu A’lam…

Selasa, 17 Januari 2017

Manisnya Iman




حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ (رواه البخاري)

(BUKHARI - 15) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi berkata, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman: Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka"  (H.R. Bukhari)

Hadits di atas menjelaskan bahwa apabila dalam diri seseorang terdapat tiga ciri sebagaimana yang terdapat dalam hadits riwayat Bukhari, maka itu adalah tanda bahwa ia telah merasakan manisnya iman. Tiga ciri tersebut adalah Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya, mencintai seseorang semata – mata karena Allah, membenci kepada kekufuran sebagaimana dia benci apabila dilempar ke neraka.

Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya. Ciri pertama ini adalah kata kuncinya. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi yang lain. Dalam kehidupan sehari – hari kita seringkali dihadapkan dengan berbagai persoalan yang menuntut kita untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan kita. Tidak jarang apa yang kita inginkan itu ternyata bersinggungan dengan sesuatu yang dimakruhkan atau bahkan dibenci oleh Allah SWT. Seringkali juga akhirnya kondisi semacam ini menuntut kita untuk memeilih sesuatu yang kita inginkan daripada kita menurut perintah Allah. Nah, disinilah akan tampak kualitas kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Apakah cinta kita kepada Allah akan mengalahkan cinta kita kepada selain-Nya atau justru sebaliknya, cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya kalah dengan cinta kita kepada selain Allah dan Rasul-Nya.

Cinta tentu membutuhkan pengorbanan. Orang yang mengatakan jatuh cinta tetapi ia tidak pernah mau berkorban untuk yang dicintainya, itu berarti cintanya perlu dipertanyakan. Demikian halnya dengan orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya menuntut untuk berani berkorban demi Allah dan Rasul-Nya dalam bentuk apapun, bahkan dengan taruhan nyawa sekalipun.

Pada kenyataannya banyak umat Islam yang mengaku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya akan tetapi dalam kehidupan kesehariannya mereka masih jauh dari cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini menunjukkan kualitas dan derajat kecintaan mereka yang masih jauh dari harapan Allah dan Rasul-Nya. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya akan tercermin dalam perilaku keseharian yang berupa aplikasi ketaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Mencintai seseorang hanya karena Allah. Cinta yang di dasarkan semata – mata karena Allah akan menjadikan kita sebagai pribadi yang tidak akan mudah berbangga disaat jaya dan berputus asa di saat tertimpa bencana. Kita akan senantiasa sadar bahwa segala hal yang ada di dunia sebenarnya hanyalah sebatas titipan yang diberikan Allah kepada kita agar digunakan sesuai dengan keinginan-Nya.

Kecintaan kita kepada selain Allah harus di dasari karena melaksanakan perintah Allah bukan yang lain. Kecintaan karena Allah akan menjadikan cinta itu sebgai sesuatu yang suci dan indah. Cinta karena Allah adalah wujud dari kesempurnaan iman. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال : من أعطى لله ومنع لله وأحب لله وأبغض لله فقد استكمل ايمانه

Artinya: Dari Rasulullah SAW sesungguhnya ia bersabda: “Barangsiapa memberi karena Allah, tidak memberi karena Allah,  cinta karena Allah, benci karena Allah, maka sungguh imannya telah sempurna.”

Hadits di atas menjadi penguat akan kesempurnaan iman seseorang manakala ia telah mampu memberi karena Allah, tidak memberi juga karena Allah, mencintai karena Allah, benci karena Allah. Dalam kehidupan ini segala sesuatu yang kita lakukan apabila diniati semata – mata karena Allah akan terasa indah dan nikmat. Berbeda bila apa yang kita lakukan hanya sebatas dorongan dari nafsu dan keinginan kita semata. Setiap hal yang kita kerjakan semata karena dorongan nafsu akan berakhir dengan ketidakpuasan belaka. Nafsu apabila kita turuti maka akan terus bertambah dan bertambah. Akibatnya rasa syukur akan hilang dari dalam diri kita. Oleh karenanya menata niatan dalam hati hanya semata karena Allah menjadi penting agar nilai dari apa yang kita perbuat semakin bermakna dalam kehidupan ini. 

Benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api neraka. Setiap orang tentu pernah melakukan kesalahan semasa hidupnya. Tidak ada manusia yang sempurna tanpa melakukan kesalahan meski hanya sekali. Keterjerumusan seseorang kepada kesalahan adalah tanda ketiadaan imannya saat melakukan kesalahan itu. Seseorang tidak akan terjerumus dalam kesalahan apabila dalam hatinya masih terdapat keimanan.

Kebencian untuk kembali kepada kekufuran akan mendorong seseorang untuk berbuat baik yang bisa menjauhkannya dari kekufuran. Ia akan berusaha untuk memperbaiki diri dalam setiap perbuatannya. 

Demikian kunci agar kita bisa merasakan manisnya iman. Ketiga ciri ini apabila terdapat dalam diri kita maka hidup akan terasa indah, hidup akan lebih bermakna dan setiap yang kita perbuat akan menjadi hal yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Semoga kita bisa merasakan manisnya iman. 

Semoga bermanfaat…

Wallahu a’lam bish shawab…



Sabtu, 14 Januari 2017

Imam al-Ghazali



Imam al-Ghazali
(Pegiat Literasi Kaum Santri)

Nama besar Imam al-Ghazali tentunya tidak asing lagi bagi umat Islam, khusunya kaum santri. Dalam dunia kaum santri al-Ghazali adalah ikon keshalehan dan ke –aliman- hakiki. Namanya begitu harum ditengah – tengah kaum santri seolah dialah sosok ilmuan yang pesonanya tiada duanya.

Kekaguman dan keta’juban kaum santri pesantren pada figure seorang al-Ghazali adalah satu kewajaran. Bagaimana tidak pemikiran – pemikirannya yang luar biasa telah tertanam dalam jiwa kaum santri. Kitab – kitab yang merupakan buah karyanya dikaji di hampir seluruh pesantren. Bagi kaum santri meski jasad al-Ghazali telah dimakamkan ratusan tahun silam, tetapi ia tetap hidup dalam sanubari santri.

Imam al-Ghazali memiliki nama asli Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Beliau hidup antara tahun 450 – 555 H/1058 – 111 M. Ia lahir di desa Ghazaleh, dekat Thus. Ia belajar di Thus, Jurjan dan Nisyapur. Di usianya yang masih kecil orang tuanya meninggal sehingga dititipkan sahabat ayahnya yang seorang sufi.

Perjalanan intelektual al-Ghazali sangat menarik untuk diteladani. Meskipun ia masyhur sebagai ulama sufi di akhir masa kehidupannya, ternyata al-Ghazali juga mempunyai sejarah perjalanan intelektual dalam bidang yang lain. Meski ia dikenal sebagai orang yang memelopori kritik terhadap para filosof, namun bukan berabrti al-Ghazali tidak pernah belajar filsafat. 

Saat beliau menjadi pemimpin dan guru besar di Universitas al-Nidzamiyah di Baghdad, beliau berjuang keras mempelajari filsafat dan menunjukkan keahliannya dalambidang tersebut. Al-Ghazali kerap kali memberikan seminar dan ceramah – ceramah di berbagai majlis ilmu. Kepiawaiannya dalam berdebat dan mempertahankan pendapat telah mengantarkannya menjadi ulama pesohor yang mendapat gelar hujjatul Islam (argumentator Islam). Konon siapapun yang berdebat dan berdiskusi dengan al-Ghazali akan kagum kepadanya dan akan mengakui kehebatan dan keunggulannya. Ketekunan dan kesungguhan al-Ghazali dalam mempelajri ilmu filsafat berbuah pada kepiawaiannya dalam bidang ilmu dengan dengan melahirkan kitab Maqasid Al-Falasifah dan kekritisan pemikirannya telah mendorongnya untuk melakukan kritik terhadap pemikiran para filosof yang dituangkannya dalam kitab Tahafut al-Falasifah.

Dalam kitab Maqasid al-Falasifah, al-Ghazali berupaya dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya untuk mengulas pemikiran – pemikiran filsafat. Ia mendudukkan filsafat sebagaimana mestinya. Menunjukkan kepada mereka tujuan – tujuan dalam berfilsafat. Karya ini merupakan buah dari kerja kerasnya dalam mempelajari filsafat.

Namun, pasca ia mendudukkan filsafat, mempelajari dengan teliti pemikiran – pemikiran filosof, al-Ghazali mengendus adanya beberapa pemikiran yang menurutnya kurang tepat dan lemah argumennya. Puncaknya beliau menulis sebuah buku yang merupakan kritik kerasnya terhadap pemikiran para filosof. Pemikiran itu secara keseluruhan berjumlah 20, yaitu:
1.      Alam itu azali
2.      Alam itu abadi
3.      Allah adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan-Nya
4.      Menetapkan adanya pencipta
5.      Membangun argumen untuk menunjukkan kemustahilan adanya dua Tuhan
6.      Menafikan sifat – sifat Tuhan
7.      Substansi al-Awwal (Tuhan) bukan jenis (genus) dan bukan pula diferensia
8.      Al-Awwal (Tuhan) bukan tubuh
9.      Al-Awwal (Tuhan) merupakan wujud sederhana tanpa esensi
10.  Adanya masa dan meniadakan pencipta
11.  Al-Awwal (Tuhan) mengetahui selain diri-Nya
12.  Tuhan mengetahui substansi-Nya
13.  Tuhan tidak mengetahui hal – hal yang particular (juz’iyat)
14.  Langit adalah hewan yang bergerak dengan kehendak
15.  Tujuan Tuhan memperjalankan langit
16.  Jiwa – jiwa langit mengetahui semua juz’iyyat
17.  Menyatakan kemustahilan terjadinya peristiwa luar biasa
18.  Jiwa manusia adalah substansi yang terdiri dari dirinya sendiri, bukan dengan tubuh atau aksiden
19.  Keabadian jiwa manusia adalah mustahil
20.  Kebangkitan tubuh manusia untuk merasakan kesenangan jasmani di surga dan kepedihan di neraka juga mustahil

Dengan mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang dimilikinya, al-Ghazali menolak pendapat nomor 1, 2, 6, 7, 8, 13, 14, 16, 17, dan 20. Memandang lemah argumentasi pendapat nomor 4, 5, 9, 11, 12, 15, 18, dan 19. Ia menyatakan bahwa seharusnya para filsuf mengubah pendapat nomer 3 menjadi nomor 10.

Pada sesi akhir buku tahafut yang ditulisnya al-Ghazali mengkafirkan paham nomor 1, 13, dan 20. Ini berarti siapapun yang berpegang dan mengikuti salah satu madzhab di atas telah jatuh ke dalam kekafiran menurut versi al-Ghazali. Pendapat al-Ghazali ini memberikan dampak yang luas bagi umat Islam. Pendapat ini juga yang diklaim oleh sebagian ilmuan yang menyebabkan kejumudan dan kemandekan umat Islam dalam tradisi berfikir dan berfilsafat. Kendati demikian melimpahkan kesalahan ke pundak al-Ghazali bukanlah pendapat yang bisa dibenarkan, karena ia tidak pernah menginginkan kemandekan berfikir bagi umat Islam.

Di tengah puncak kegairahan intelektualnya al-Ghazali sempat mengalami kehilangan nafsu makan dan tidak bisa berbicara. Keadaan berlangsung berkisar antara enam bulan. Setelah berhasil keluar dari situasi krisis ini, al-Ghazali mengalami konflik bathin yang luar biasa dalam dirinya. Pada akhirnya al-Ghazali memutuskan untuk keluar dari Baghdad dan menjalani kehidupan tasawuf selama kurang lebih sepuluh tahun di Damaskus, Jerussalem, Mekah, Madinah, dan Thus. Setelah mengajar lagi di Nisyapur, ia kembali ke Thus dan mendirikan Khanqah (pusat latihan bagi calon sufi).

Akhir kehidupan al-Ghazali digunakan untuk terus munajat dan bermujahadah sehingga mendapatkan pencerahan dengan tersingkapnya mata hati. Para ulama sepakat bahwa al-Ghazali adalah mujaddid pada zamannya. Sumbangsihnya dalam menyatukan umat Islam yang kala itu saling bermusuhan karena perselisihan pendapat begitu besar. Ia berusaha mendamaikan antara madzhab dhahiri dan bathini yang saling bertentangan.

Yang menarik dan perlu mendapat perhatian adalah keproduktifan al-Ghazali dalam menulis karyanya. Meski usianya tidak seberapa panjang, karena ia meninggal di usianya yang masih sekitar 53 tahun, al-Ghazali telah meninggalkan banyak karya. Tercatat buku yang ditulisnya mencapai lebih dari 28 buah. Karya monumentalnya yang paling popular adalah ihya’ ulum al-din yang lahir setelah beliau menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Menariknya di sini, meski image yang muncul saat ini, kaum sufi adalah kaum yang kuno, desit, tidak perduli pada kehidupan sosial, hanya mementingkan ibadah semata kepada Allah, ternyata justru al-Ghazali sebagai figure central kaum sufi pesantren menunjukkan akan kepeduliannya dalam kehidupan sosial dan juga dalam lapangan ilmu dan pendidikan.

Apa yang di tunjukkan al-Ghazali sebagai seorang santri sufi yang produktif dalam menggerakkan budaya literasi seharusnya menjadi contoh teladan yang harus diikuti oleh setiap generasi muslim. Keterbatasan kehidupan umat Islam dan manusia kala itu tentu sudah menjadi rahasia umum. Bisa kita bayangkan bagaimana al-Ghazali menulis satu bukuu ihya’ ulum al-din misalnya, yang memiliki ketebalan luar biasa dan terdiri dari empat jilid. Tentu karya semacam ini adalah karya yang sangat luar biasa bila dibandingkan dengan era saat ini yang cenderung dimanjakan oleh iptek dan teknologi. Penulisan al-Ghazali terhadap buku karya – karyanya ini adalah upaya yang harus dilestarikan oleh umat Islam, terlebih dunia santri di pesantren. Pesantren tidak semestinya hanya mencetak generasi yang pandai dalam berkhotbah dan berpidato, akan tetapi harus mencontoh dan meneladani apa yang telah dicontohkan oleh para pendahulunya dalam menelurkan berbagai karya yang kelak bisa dijadikan sebagai jariyah dan sumbangsih mereka untuk kemajuan peradaban.

Berkaca dari al-Ghazali, bahwa menjalani kehidupan tasawuf tidak lantas menyebabkan seseorang melarikan diri dari dunia yang profan. Tasawuf tidak identik dengan kehidupan dalam pengasingan dan uzlah saja. Tetapi tasawuf adalah motor penggerak dalam perubahan zaman. Tasawuf adalah ruh yang selalu harus ada di setiap sendi kehidupan. Tasawuf adalah spirit dalam berkarya dan beribadah. Itulah yang ditunjukkan al-Ghazali, seorang santri pegiat literasi, dan sufi yang peduli akan budaya literasi.

Semoga bermanfaat…

Allahu A’lam bish Shawab…


Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...