Imam al-Ghazali
(Pegiat Literasi Kaum Santri)
Nama besar Imam al-Ghazali tentunya
tidak asing lagi bagi umat Islam, khusunya kaum santri. Dalam dunia kaum santri
al-Ghazali adalah ikon keshalehan dan ke –aliman- hakiki. Namanya begitu harum
ditengah – tengah kaum santri seolah dialah sosok ilmuan yang pesonanya tiada
duanya.
Kekaguman dan keta’juban kaum santri
pesantren pada figure seorang al-Ghazali adalah satu kewajaran. Bagaimana tidak
pemikiran – pemikirannya yang luar biasa telah tertanam dalam jiwa kaum santri.
Kitab – kitab yang merupakan buah karyanya dikaji di hampir seluruh pesantren.
Bagi kaum santri meski jasad al-Ghazali telah dimakamkan ratusan tahun silam,
tetapi ia tetap hidup dalam sanubari santri.
Imam al-Ghazali memiliki nama asli
Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Beliau hidup antara tahun 450 – 555
H/1058 – 111 M. Ia lahir di desa Ghazaleh, dekat Thus. Ia belajar di Thus,
Jurjan dan Nisyapur. Di usianya yang masih kecil orang tuanya meninggal
sehingga dititipkan sahabat ayahnya yang seorang sufi.
Perjalanan intelektual al-Ghazali
sangat menarik untuk diteladani. Meskipun ia masyhur sebagai ulama sufi di
akhir masa kehidupannya, ternyata al-Ghazali juga mempunyai sejarah perjalanan
intelektual dalam bidang yang lain. Meski ia dikenal sebagai orang yang
memelopori kritik terhadap para filosof, namun bukan berabrti al-Ghazali tidak
pernah belajar filsafat.
Saat beliau menjadi pemimpin dan
guru besar di Universitas al-Nidzamiyah di Baghdad, beliau berjuang keras
mempelajari filsafat dan menunjukkan keahliannya dalambidang tersebut.
Al-Ghazali kerap kali memberikan seminar dan ceramah – ceramah di berbagai
majlis ilmu. Kepiawaiannya dalam berdebat dan mempertahankan pendapat telah
mengantarkannya menjadi ulama pesohor yang mendapat gelar hujjatul Islam (argumentator
Islam). Konon siapapun yang berdebat dan berdiskusi dengan al-Ghazali akan
kagum kepadanya dan akan mengakui kehebatan dan keunggulannya. Ketekunan dan
kesungguhan al-Ghazali dalam mempelajri ilmu filsafat berbuah pada kepiawaiannya
dalam bidang ilmu dengan dengan melahirkan kitab Maqasid Al-Falasifah dan
kekritisan pemikirannya telah mendorongnya untuk melakukan kritik terhadap
pemikiran para filosof yang dituangkannya dalam kitab Tahafut al-Falasifah.
Dalam kitab Maqasid al-Falasifah,
al-Ghazali berupaya dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya untuk mengulas
pemikiran – pemikiran filsafat. Ia mendudukkan filsafat sebagaimana mestinya.
Menunjukkan kepada mereka tujuan – tujuan dalam berfilsafat. Karya ini
merupakan buah dari kerja kerasnya dalam mempelajari filsafat.
Namun, pasca ia mendudukkan
filsafat, mempelajari dengan teliti pemikiran – pemikiran filosof, al-Ghazali
mengendus adanya beberapa pemikiran yang menurutnya kurang tepat dan lemah
argumennya. Puncaknya beliau menulis sebuah buku yang merupakan kritik kerasnya
terhadap pemikiran para filosof. Pemikiran itu secara keseluruhan berjumlah 20,
yaitu:
1.
Alam
itu azali
2.
Alam
itu abadi
3.
Allah
adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan-Nya
4.
Menetapkan
adanya pencipta
5.
Membangun
argumen untuk menunjukkan kemustahilan adanya dua Tuhan
6.
Menafikan
sifat – sifat Tuhan
7.
Substansi
al-Awwal (Tuhan) bukan jenis (genus) dan bukan pula diferensia
8.
Al-Awwal
(Tuhan) bukan tubuh
9.
Al-Awwal
(Tuhan) merupakan wujud sederhana tanpa esensi
10.
Adanya
masa dan meniadakan pencipta
11.
Al-Awwal
(Tuhan) mengetahui selain diri-Nya
12.
Tuhan
mengetahui substansi-Nya
13.
Tuhan
tidak mengetahui hal – hal yang particular (juz’iyat)
14.
Langit
adalah hewan yang bergerak dengan kehendak
15.
Tujuan
Tuhan memperjalankan langit
16.
Jiwa
– jiwa langit mengetahui semua juz’iyyat
17.
Menyatakan
kemustahilan terjadinya peristiwa luar biasa
18.
Jiwa
manusia adalah substansi yang terdiri dari dirinya sendiri, bukan dengan tubuh
atau aksiden
19.
Keabadian
jiwa manusia adalah mustahil
20.
Kebangkitan
tubuh manusia untuk merasakan kesenangan jasmani di surga dan kepedihan di
neraka juga mustahil
Dengan mengerahkan segenap daya dan
kemampuan yang dimilikinya, al-Ghazali menolak pendapat nomor 1, 2, 6, 7, 8,
13, 14, 16, 17, dan 20. Memandang lemah argumentasi pendapat nomor 4, 5, 9, 11,
12, 15, 18, dan 19. Ia menyatakan bahwa seharusnya para filsuf mengubah
pendapat nomer 3 menjadi nomor 10.
Pada sesi akhir buku tahafut yang
ditulisnya al-Ghazali mengkafirkan paham nomor 1, 13, dan 20. Ini berarti
siapapun yang berpegang dan mengikuti salah satu madzhab di atas telah jatuh ke
dalam kekafiran menurut versi al-Ghazali. Pendapat al-Ghazali ini memberikan
dampak yang luas bagi umat Islam. Pendapat ini juga yang diklaim oleh sebagian
ilmuan yang menyebabkan kejumudan dan kemandekan umat Islam dalam tradisi
berfikir dan berfilsafat. Kendati demikian melimpahkan kesalahan ke pundak
al-Ghazali bukanlah pendapat yang bisa dibenarkan, karena ia tidak pernah
menginginkan kemandekan berfikir bagi umat Islam.
Di tengah puncak kegairahan
intelektualnya al-Ghazali sempat mengalami kehilangan nafsu makan dan tidak
bisa berbicara. Keadaan berlangsung berkisar antara enam bulan. Setelah
berhasil keluar dari situasi krisis ini, al-Ghazali mengalami konflik bathin
yang luar biasa dalam dirinya. Pada akhirnya al-Ghazali memutuskan untuk keluar
dari Baghdad dan menjalani kehidupan tasawuf selama kurang lebih sepuluh tahun
di Damaskus, Jerussalem, Mekah, Madinah, dan Thus. Setelah mengajar lagi di
Nisyapur, ia kembali ke Thus dan mendirikan Khanqah (pusat latihan bagi calon
sufi).
Akhir kehidupan al-Ghazali digunakan
untuk terus munajat dan bermujahadah sehingga mendapatkan pencerahan dengan
tersingkapnya mata hati. Para ulama sepakat bahwa al-Ghazali adalah mujaddid
pada zamannya. Sumbangsihnya dalam menyatukan umat Islam yang kala itu saling
bermusuhan karena perselisihan pendapat begitu besar. Ia berusaha mendamaikan
antara madzhab dhahiri dan bathini yang saling bertentangan.
Yang menarik dan perlu mendapat
perhatian adalah keproduktifan al-Ghazali dalam menulis karyanya. Meski usianya
tidak seberapa panjang, karena ia meninggal di usianya yang masih sekitar 53
tahun, al-Ghazali telah meninggalkan banyak karya. Tercatat buku yang
ditulisnya mencapai lebih dari 28 buah. Karya monumentalnya yang paling popular
adalah ihya’ ulum al-din yang lahir setelah beliau menjalani kehidupan
sebagai seorang sufi. Menariknya di sini, meski image yang muncul saat ini,
kaum sufi adalah kaum yang kuno, desit, tidak perduli pada kehidupan sosial,
hanya mementingkan ibadah semata kepada Allah, ternyata justru al-Ghazali
sebagai figure central kaum sufi pesantren menunjukkan akan kepeduliannya dalam
kehidupan sosial dan juga dalam lapangan ilmu dan pendidikan.
Apa yang di tunjukkan al-Ghazali
sebagai seorang santri sufi yang produktif dalam menggerakkan budaya literasi
seharusnya menjadi contoh teladan yang harus diikuti oleh setiap generasi
muslim. Keterbatasan kehidupan umat Islam dan manusia kala itu tentu sudah
menjadi rahasia umum. Bisa kita bayangkan bagaimana al-Ghazali menulis satu
bukuu ihya’ ulum al-din misalnya, yang memiliki ketebalan luar biasa dan
terdiri dari empat jilid. Tentu karya semacam ini adalah karya yang sangat luar
biasa bila dibandingkan dengan era saat ini yang cenderung dimanjakan oleh
iptek dan teknologi. Penulisan al-Ghazali terhadap buku karya – karyanya ini
adalah upaya yang harus dilestarikan oleh umat Islam, terlebih dunia santri di
pesantren. Pesantren tidak semestinya hanya mencetak generasi yang pandai dalam
berkhotbah dan berpidato, akan tetapi harus mencontoh dan meneladani apa yang
telah dicontohkan oleh para pendahulunya dalam menelurkan berbagai karya yang
kelak bisa dijadikan sebagai jariyah dan sumbangsih mereka untuk kemajuan
peradaban.
Berkaca dari al-Ghazali, bahwa
menjalani kehidupan tasawuf tidak lantas menyebabkan seseorang melarikan diri
dari dunia yang profan. Tasawuf tidak identik dengan kehidupan dalam
pengasingan dan uzlah saja. Tetapi tasawuf adalah motor penggerak dalam
perubahan zaman. Tasawuf adalah ruh yang selalu harus ada di setiap sendi
kehidupan. Tasawuf adalah spirit dalam berkarya dan beribadah. Itulah yang
ditunjukkan al-Ghazali, seorang santri pegiat literasi, dan sufi yang peduli
akan budaya literasi.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam bish Shawab…
Komentar
Posting Komentar