Siapa yang tidak kenal ibu? Setiap
manusia terlahir dari Rahim seorang ibu. Ibu adalah permata di dunia yang tiada
tara. Peran dan jasanya dalam kehidupan kita tidak akan pernah tergantikan
meski emas permata dan berlian kita berikan kepadanya. Dialah wanita tangguh
tiada taranya di dunia. Mengandung kita selama Sembilan bulan, dengan rasa
berat yang semakin bertambah, bertarung antara hidup dan mati dikala berjuang
melahirkan kita. Ya, itulah ibu, manusia terhebat dan terkuat di dunia. Sosok
yang siap mengorbankan dirinya demi kebahagiaan putra – putrinya
Sosok ibu memiliki peran dan dimensi
yang istimewa dalam Islam. Islam sangat menganjurkan kepada umatnya agar
senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, terlebih ibu. Dalam Surat Luqman
(31); 14, Allah SWT berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ
بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)
Artinya:
“Dan Kami telah mewasiatkan kepada
manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan lemah yang bertambah – tambah dan menyapihnya di usia dua tahun,
bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku tempat
kembali.” (Q.S. Luqman
(31); 14)
Ayat di atas menjelaskan kewajiban
kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Ayah telah bekerja keras,
menghabisakn waktu dan tenaganya untuk memberikan nafkah kepada kita, mencari
biaya untuk kehidupan sehari – hari, membiayai sekolah kita dan seterusnya.
Tanpa mengenal lelah seorang ayah rela bekerja di siang hari yang panas,
dibawah terik matahari yang membakar kulit. Waktu di mana biasanya kita
bermalas – malasan di kamar, ditemani bantal guling dan smart phone untuk
bermain. Tetapi seorang ayah, meski capek ia rasakan, keringat bercucuran,
pakain lusuh dan kumul ia kenakan demi anak – anaknya ia rela untuk banting
tulang dan keluarkan keringat. Itulah ayah, yang demi kemapanan dan kebahagiaan
kita ia rela korbankan segalanya untuk kita.
Ibu, wanita terkuat di dunia. Dialah
yang telah mengandung anaknya selama Sembilan bulan tanpa mengenal lelah. Meski
tubuhnya merasakan lemah yang terus bertambah tetapi karena curahan kasih
sayang dan cintanya kepada kita, ia rela menanggunggnya. Itulah ibu. Ia juga
yang senantiasa menjaga dan merawat kita semenjak kita masih dalam kandungan
sampai kita beranjak dewasa. Bahkan, disaat kita sudah berumah tangga, ia pun
masih sibuk memikirkan kita, berusaha terus bekerja untuk membantu perekonomian
kita yang masih belum tertata. Ia juga sering terjaga, terbangun ditengah malam
saat kita masih terlelap dalam tidur sembari mengangkat kedua tangannya untuk
mendoakan kesuksesan dan kebahagiaan kita. Perhatian dan curahan kasih
sayangnya tidak pernah pudar di makan zaman. Seperti apapaun kita dan
bagaimanapun keadaan kita, ibu selalu sayang dan mencintai kita dengan
ketulusan hatinya. Beliau tidak pernah menginginkan balasan dari kita, hanya
satu yang menjadi harapan dan kebanggaannya, kebahagiaan dan kesuksesan kita.
Itulah ibu.
Kedua orang tua memang orang yang
paling berperan dalam kehidupan kita. Oleh karenanya berbakti kepada mereka
adalah satu keharusan yang tidak bisa ditawar. Setiap muslim harus senantiasa
berbakti kepada kedua orang tuanya. Meski keduanya sudah tiada kita masih tetap
saja memiliki kewajiban untuk berbakti kepada keduanya dengan mewujudkan
keinginannya dan menyambung tali silaturrahmi dengan orang – orang yang pernah
beliau pergauli dalam kehidupannya.
Tidak berlebihan kiranya al-Qur’an
memerintahkan kepada umatnya agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua
mengingat jasa dan perannya yang sangat besar dalam kehidupan anak – anaknya.
Begitulah agama memerintahkan kepada umatnya agar selalu memenuhi hak – hak
kedua orang tua. Berusaha berbakti kepada keduanya senyampang kita masih
mempunyai kemampuan dalam melakukannya.
Mengenai hak antara keduanya,
siapakah yang harus kita dahulukan? Ayah atau ibu? Dalam sebuah hadits riwayat
Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ
سَعِيدِ بْنِ جَمِيلِ بْنِ طَرِيفٍ الثَّقَفِيُّ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا
حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ
بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ
ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ وَفِي حَدِيثِ قُتَيْبَةَ مَنْ أَحَقُّ
بِحُسْنِ صَحَابَتِي وَلَمْ يَذْكُرْ النَّاسَ (رواه مسلم)
Artinya:
“Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif Ats Tsaqafi
dan Zuhair bin Harb keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Jarir dari
'Umarah bin Al Qa'qa' dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah berkata; "Seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu dia
bertanya, "Siapakah orang yang paling berhak dengan kebaktianku?"
Jawab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Ibumu!" dia bertanya
lagi; "Kemudian siapa?" beliau menjawab: "Ibumu!" dia
bertanya lagi; "Kemudian siapa?" beliau menjawab: "Kemudian
Ibumu!" dia bertanya lagi; "Kemudian siapa?" dijawab:
"Kemudian bapakmu!" sedangkan di dalam Hadits Qutaibah disebutkan;
'Siapakah yang paling berhak dengan kebaktianku? -tanpa menyebutkan kalimat;
'An Nas.'” (H.R. Muslim)
Hadits di atas memberikan penjelasan
tentang hak seorang ibu yang lebih tinggi bila dibandingkan ayah. Seorang ibu
memiliki kedudukan yang lebih tinggi bila dibandingkan ayah. Perannya dalam
membentuk pribadi seorang anak jauh lebih banyak bila dibandingkan ayah. Ibulah
yang setiap hari bergumul dalam merawat anak. Setiap keluh kesah anak adalah
sayatan perih dalam hati ibu. Tak heran, bila seorang ibu memiliki ikatan batin
yang kuat dengan anak – anaknya melebihi seorang ayah.
Saat para sahabat bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang siapa yang lebih berhak untuk mendapatkan kebaktiaannya,
dengan tegas Rasulullah SAW menjawab “Ibumu”. Tidak tanggung – tanggung sahabat
itu bertanya hingga berkali – kali tetapi jawaban Rasulullah tetap sama “ibu”.
Baru setelah kali keempat pertanyaan itu disampaikan Rasulullah menjawab
ayahmu.
Jawaban Rasulullah SAW ini
memberikan isyarat kepada umat Islam tentang sakralitas dan ketinggian posisi
dan kedudukan ibu di dunia ini. Seorang anak wajib berbakti kepada kedua orang
tuanya terutama ibu. Bila kedua orang tua memerintahkan sesuatu kepada kita,
maka orang yang pertama harus kita laksanakan perintahnya adalah ibu. Itulah
yang benar. Saat sungkem di hari raya untuk meminta maaf atas segala kesalahan
dan mohon doa restu, maka ibulah orang pertama yang berhak untuk
mendapatkannya. Subhanallah begitulah kedudukan ibu di hadapan Allah SWT.
Namun, bagaimana realitas yang kita
jumpai saat ini? Apakah realitas telah menunjukkan bahwa seorang ibu telah
didudukkan pada posisi yang semestinya? Sudahkan seorang ibu kita tempatkan
pada derajat yang tinggi dan mulia sebagaimana keramat yang diberikan Allah
kepadanya? Jawabannya mungkin sebaliknya.
Di zaman sekarang ini, kita justru
menjumpai fenomena yang sangat bertolak belakang dari apa yang telah digariskan
dan diajarkan oleh Rasulullah SAW. Ibu yang semestinya menduduki tempat yang
mulia di sisi anak – anaknya, seringkali justru didudukkan pada tempat yang
tidak semestinya. Banyak sekali anak yang berani kepada ibunya, kata – kata dan
nasihatnya tak lagi diindahkan. Seorang anak seringkali takut kepada ayahnya,
tetapi berani kepada ibunya. Secara fisik, memang ibu memiliki fisik yang lebih
lemah sehingga anak cenderung berani kepada ibu bila dibandingkan kepada ayah.
Fakta semacam ini seringkali kita
jumpai dalam kehidupan sehari – hari. Banyak ibu yang terabaikan dan
tersisihkan dari kehidupan anak – anaknya, apalagi ketika anaknya sudah
berkeluarga. Tidak jarang perselisihan kecil antara seorang ibu dan menantu
perempuannya berubah menjadi permusuhan. Anak karena jatuh cintanya kepada
istri seringkali melupakan ibunya. Hubungannya menjadi renggang bahkan tidak
jarang yang lantas memusuhi ibunya sendiri karena kecinta butaannya yang tidak
beralasan. Na’udzu billah…
Ketika menikah seharusnya seseorang
menyadari bahwa dia tidak hanya menjadi pasangan hidup bagi suami atau
istrinya. Ia harus sadar bahwa setelah menikah dia harus siap menerima setiap kekurangan
dan kelebihan yang dimiliki suami/istri berikut semua keluarganya. Keluarga
istri adalah keluarga suami, pun pula sebaliknya keluarga suami adalah keluarga
istri. Seorang istri harus taat kepada suami karena semenjak ia menikah,
surganya berada di telapak kaki suaminya bukan pada ibunya. Sebaliknya suami
tidak boleh lantas melupakan ibunya, karena sampai kapanpun surganya terletak
dibawah kaki sang ibu. Begitu seharusnya.
So, mari senantiasa koreksi diri dan
ingatlah bahwa ibumu adalah keramatmu. Dialah orang yang menjadi penentu
kesuksesan dan kebahagiaanmu di masa yang akan datang. Jangan pernah engkau
mengabaikannya. Jadikanlah istrimu sebagai bagian dari kehidupanmu dan
kehidupan ibumu yang tak terpisahkan. Semoga kita selalu diberikan kekuatan
untuk selalu menjaga ibu, menunaikan semua haknya dan berbakti kepadanya hingga
akhir hayat kita. Amin.
Allahu A’lam…
Semoga bermanfaat…
Komentar
Posting Komentar