Kekuatan di Balik Tulisan




(Sebuah Refleksi atas Buku “The Power of  Writing” Karya Dr. Ngainun Naim, M.Ag.)

.
Ah… malu rasanya, saya yang sehari – hari berkecimpung di tempat yang sama dengan beliau, tetapi terlambat memiliki buku penuh inspirasi ini. Tapi tidak apalah daripada tidak sama sekali, mending terlambat tapi tetap dapat. Begitulah kiranya ungkapan hati saya setelah resmi saya membeli buku ini sesaat sebelum acara literasi yang beliau adakan atas nama LP2M di kampus IAIN Tulungagung tercinta untuk memompa semangat kawan – kawan dalam dunia literasi.

Buku “The Power of Writing” diterbitkan oleh penerbit Lentera Kreasindo, dicetak untuk pertama kalinya pada Januari 2015 dengan tebal 230 halaman. Terbagi menjadi enam bab dengan tema, Spirit Menulis, Motivasi Menulis, Alasan Menulis, Hambatan Menulis, Strategi Menulis, Belajar Menulis Dari Para Tokoh. Buku ini telah mendapatkan banyak komentar dan penilaian dari berbagai pakar dan pegiat literasi. Pada umumnya komentar dan penilaian mereka bersifat positif.

Buku ini memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dalam menghipnotis pembaca, khususnya saya. Tulisannya sederhana namun mengena, tidak banyak menggunakan kata – kata yang sulit dipahami layaknya karya ilmiah yang bertaraf internasional. Namun, saya merasa, saat saya memulai perjalanan membaca karya ini, seolah - olah saya dihipnotis dengan kekuatan tulisan yang ada di dalamnya. Tanpa terasa saya telah membaca berlembar – lembar tulisan dengan judul yang berbeda – beda di buku ini namun dengan tema yang sama yaitu “Menulis”. Membaca buku ini, membuat saya merasa tidak ingin berhenti dan ingin terus membaca. Setiap kata yang tertulis seolah memiliki kekuatan memengaruhi alam pikiran saya sehingga dorongan membacanya begitu kuat.

Terlepas dari kekuatan tulisan penulis yang profokatif ini, terdapat dua judul yang seolah menusuk jauh ke dalam hati saya yang paling dalam. Dua judul tulisan itu adalah “(Maaf) Babu Saja Menulis” dan “Write or Die!”.

(Maaf) Babu Saja Menulis, sekilas ketika saya melihat judul ini, hati kecil saya seolah seperti tertusuk sembilu. Bagaimana tidak, dalam tulisan ini penulis menyajikan informasi yang begitu menusuk naluri setiap pembaca khususnya mereka yang pernah mengenyam pendidikan formal sampai perguruan tinggi dengan menunjukkan satu kenyataan yang boleh dibilang bertolak belakang dengan prestasi mereka yang pernah mengenyam pendidikan formal. Seorang Sri Lestari yang sehari – hari bekerja sebagai buruh migran di Hongkong membuktikan kepada dunia bahwa menulis bukanlah hal yang sulit, buktinya dia (maaf) yang kerjanya babu saja bisa. Sementara di sisi lain banyak di antara para sarjana dan lulusan perguruan tinggi yang semestinya mereka lebih lihai dan mampu menghasilkan banyak karya, justru sama sekali mandul dan tidak menghasilkan tulisan sama sekali. Padahal, kalau kita lihat dari satu sisi potensi pendidikan formal yang di enyam seharusnya menunjukkan kenyataan yang berbeda. Sebagai buruh tentu jam kerjanya jauh lebih banyak dan kerjanya lebih berat, apalagi di luar negeri, namun nyatanya Sri tetap bisa, bagaimana dengan kita?

Secara jujur penulis mengatakan, “Sebagai orang yang merasakan manfaat menulis, saya ingin “mempermalukan” teman – teman yang punya banyak potensi dan peluang menulis melebihi Sri Lestari tetapi belum menulis. Sri Lestari yang (maaf) babu saja bisa, mau, dan mampu menulis, masak kaum yang lebih terpelajar tidak bisa?”. Pernyataan ini menurut saya, sangat mengena dan menusuk hati bagi yang mau berpikir secara mendalam. Tetapi lain halnya kalau tidak, ya mungkin hanya dianggap angin yang  berlalu saja.

Judul kedua yang menurut saya sangat profokatif adalah “Write or Die!”. Judul ini mungkin terinspirasi dari perbincangan beliau dengan penulis senior yang juga dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Much. Khoiri. Menurutnya, dalam perbincangan santai di sebuah sanggar kepenulisan di Tulungagung, Pak Emcho –sapaan akrab Much. Khoiri- mengatakan bahwa komitmen menulis itu harus dipegang teguh. Bagi pak Emcho, menulis adalah hidup itu sendiri. Bagi beliau, pilihannya hanya dua: write or die, menulis atau mati, tulis Ngainun Naim.

Memang diakui maupun tidak, kekuatan tulisan akan lebih bertahan lama daripada ucapan. Ucapan hanya akan memiliki pengaruh spontan dan seketika, mampu menggerakkan masa, namun sifatnya hanya sementara. Berbeda dengan tulisan, kekuatan tulisan lebih bertahan lama daripada kata yang terucap. Bila kata yang terucap akan hilang dan dilupakan bersamaan dengan berpisahnya orang yang mengucap atau minggalnya, maka tulisan masih tetap bisa dibaca dan diambil setiap hikmah dan pelajarannya meski penulisnya sudah meninggal dunia. Oleh karenanya menulis bisa jadi menjadi jariyah bagi si penulis setelah ketiadaannya. Namanya akan tetap terkenang bagi setiap orang yang menjadi pengagumnya sepanjang zaman. Berbeda dengan para orator yang namanya akan menghilang seiring dengan kepudaran popularitas dan produktivitasnya. Maka tidak berlebihan kiranya, jika penulis mengambil judul “Write or Die!” sebagai satu objek bahasan dalam buku ini.

Menulis membutuhkan perjuangan, perjuangan dalam mengatasi berbagai godaan yang menghampiri untuk berhenti menulis. Saya sendiri merasakan hal itu. Saya mungkin belum bisa disebut penulis oleh karena belum ada karya saya yang menghias di penerbitan. Setidaknya, saya pingin belajar menulis. Itulah yang saat ini saya lakukan. Saya mengikuti beberapa kegiatan yang di dalamnya memberikan pendidikan dan pengajaran dalam menulis, sebagaimana yang di adakan oleh Dr. Ngainun Naim. Saya ingin banyak belajar tentang dunia tulis menulis.

Buku “The Power of Writing” ini merupakan satu suntikan power bagi para pemula dalam dunia tulis – menulis. Kekuatan daya hipnotis kata dalam setiap tulisan begitu terasa sehingga menggiring para pembaca untuk terus membaca dan mendorong mereka untuk tergerak dalam menulis. 

Diakui maupun tidak dunia literasi memberikan banyak manfaat bagi setiap pembelajar. Dunia literasi semakin membantu para pembelajar untuk merekam setiap informasi dan pengetahuan lewat berbagai artikel, catatan dan tulisan – tulisan sederhana. Biarlah tulisan kita saat ini jelek, yang penting kita tetap menulis. Jangan menggunakan kesibukan sebagai alasan pembenaran bagi kita untuk tidak menulis. Penulis buku ini mengatakan, “Menulis itu, menurut saya, merupakan bentuk perjuangan. Banyak yang berpendapat bahwa menulis itu membutuhkan waktu tenang, khusus, dan sedang tidak sibuk. Jika rumus ini dipakai, barangkali saya akan sangat jarang menghasilkan tulisan. Lima hari dalam seminggu saya harus pergi ke kantor. Brangkat dari rumah sekitar jam 6 pagi dan sampai di rumah setelah magrib. Hari sabtu dan minggu biasanya saya pakai untuk kegiatan keluarga, sehingga nyaris tidak ada waktu khusus untuk menulis.”

So, bagaimana dengan kita sobat? Masihkah kita beralasan bahwa kesibukan membuat kita tidak bisa menulis. Bukankah mestinya kita yang memanfaatkan waktu, bukan sebaliknya, kita tergilas oleh waktu. Semoga kita bisa menulis seperti beliau… Amin… 

Semoga bermanfaat…

Allahu A’lam bish Shawab…

Komentar