Nikmat

Nikmat
(Seri Pengajian Rutin Jum’at Pon bersama K.H. Syaikhudin)

Ah… benar saja apa yang dikatakan Ustadz Ngainun Naim, semakin kita sibuk, sebenarnya semakin banyak hal yang bisa kita tulis. Itulah kenyataanya, semakin sering kita menulis semakin banyak ide bertebaran untuk ditulis. Semakin sibuk aktifitas yang kita jalankan semakin banyak modal kita untuk menulis. Kuncinya hanya satu aksi, bukan lagi teori, begitulah mungkin.

Catatan ini adalah refleksi dari aktifitas rutin yang akuu lakukan setiap malam Jum’at Pon. Kebetulan di desaku setiap malam jum’at pon semua jam’iyyah di lingkungan diliburkan. Sebagai gantinya semuanya mengikuti pengajian rutin di Masjid Jami’. Kegiatan ini sudah menjadi kesepakatan masyarakat yang langsung di instruksikan oleh kepala desa. Sejak kapan kegiatan ini dimulai? Saya sudah lupa kapan tepatnya. Yang jelas semenjak aku duduk di madrasah aliyah kegiatan ini sudah berjalan dan Alhamdulillah masih istiqamah sampai hari ini meski jumlah yang hadir semakin surut. Tetapi tetap harus di syukuri.

Malam ini tema yang menjadi topik pembahasan adalah nikmat. K.H. Syaikhudin memulai pembahasan dengan menyampaikan ta’rif atau definisi dari nikmat. Menurut beliau nikmat adalah

هي التي تتلذذ وتحسن العقبى
“Nikmat adalah segala hal yang dianggap lezat dan baik akhirnya”

Dalam menjelaskan hal ini beliau memberikan analogi antara kopi dan wiski. Kopi adalah minuman yang lezat dan tidak dilarang oleh Allah, oleh karenanya ia minum kopi adalah satu kenikmatan karena akhir dari minum kopi adalah kelezatan yang tidak dilarang oleh syari’at agama. Sebaliknya wiski, minuman keras atau yang sejenisnya, saat mengkonsumsinya seseorang akan merasakan kelezatan pula akan tetapi wiski adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah. Akhir dari konsumsinya juga buruk bagi kesehatan. Oleh karenanya mengkonsumsinya adalah sesuatu yang menjadi larangan agama dan termasuk ke dalam maksiat.

Nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia tak terhitung jumlahnya. Andaikan manusia mau untuk menghitungnya niscaya manusia tidak akan sanggup untuk menghitung. Padahal semua nikmat itu wajib disyukuri, apabila tidak, maka adzab Allahlah yang akan diterima. Lantas bagaimana kita bersyukur sementara menghitung nikmat Allah saja kita tidak bisa? Bagaimana mau mensyukuri semua nikmat itu?

Dalam hal ini K.H. Syaikhudin menerangkan bahwa semua nikmat Allah itu bisa dikategorikan menjadi empat:
1.      Nikmat dunia
2.      Nikmat sehat tubuh
3.      Nikmat sehat akal
4.      Nikmat hati
Menurut beliau empat nikmat ini menunjukkan tingkatan nikmat. Nikmat yang paling rendah adalah nikmat dunia, diatasnya nikmat sehat tubuh, diatasnya lagi nikmat sehat akal, dan puncaknya adalah nikmat hati.

Nikmat dunia tergolong nikmat yang paling rendah di antara nikmat yang lain. Dunia seringkali datang tak diundang, pergi tanpa pamit. Nikmat dunia seringkali bila dikejar akan lari menjauh tetapi bila ditinggalkan justru mengejar. Demikianlah gambarannya menurut beliau. Sebanyak apapun harta yang kita miliki semuanya tidak kekal, semuanya bisa datang dengan tiba – tiba tanpa kita sangka, pun pula bisa hilang seketika tanpa bisa kita hindari. Oleh karenanya sifat kebahagiaan dunia hanyalah sementara dan fana’, tidak bisa menjadi sesuatu yang dibangga - banggakan.

Berikutnya adalah nikmat sehat tubuh. Nikmat ini setingkat lebih tinggi bila dibandingkan dengan nikmat yang sebelumnya. Bila nikmat harta kita berlimpah, tetapi tubuh kita tidak sehat, maka semua itu tidak ada artinya. Beliau mencontohkan lebih enak naik ‘ledok’ tapi badan sehat daripada naik mobil ambulance baru dengan tubuh yang sakit. Banyak orang lebih memilih tinggal di gubuk rumahnya dengan tubuh yang sehat daripada tinggal di bangunan megah rumah sakit karena sakit. Itulah gambaran nikmat sehat tubuh. Kesehatan tubuh mahal harganya bila dibandingkan dengan dunia beserta isinya. Buktinya, ketika sedang sakit, berapapun harta kita yang telah lama kita simpan rela kita keluarkan bahkan sampai ludes sekalipun untuk membayar biaya obat demi mendapatkan sehat tubuh. Karena itulah nikmat sehat tubuh jauh lebih penting bila dibandingkan dengan nikmat harta dunia.

Setingkat di atas nikmat sehat tubuh adalah nikmat sehat akal. Nikmat dunia, nikmat sehat tubuh yang tidak diikuti oleh sehat akal tidak aka nada gunanya. Seorang wanita tentu akan lebih memilih untuk menikah dengan seorang yang hidupnya biasa, tidak seberapa kaya harta ataupun rupa, bila dibandingkan dengan menikahi seorang yang kaya, rupawan namun akalnya tidak sempurna. Hal ini menjadi bukti akan pentingnya nikmat akal yang dimiliki seseorang. Beliau menambahkan seorang yang diberikan nikmat sehat akal, dan Allah memberikan karunia kecerdasan dan ilmu pengetahuan kepadanya, dimanapun tempat dia berada, maka ia akan memberikan manfaat kepada sesamanya. Dimanapun dia berada, maka Allah akan memuliakannya meski fisiknya tidak/kurang sempurna, tidak punya harta, tetapi kekayaan akalnya dalam hal ilmu dan pengetahuan akan menjadikan dia sebagai seorang yang terhormat dan mulia. Terhormat di hadapan Allah dan Rasul-Nya. Menurut beliau setiap nabi selalu diberikan sifat fathonah yang menunjukkan kesempurnaan akal. Tidak setiap nabi memiliki harta, tidak semua nabi fisiknya kuat,  tetapi setiap nabi pasti memiliki kecerdasan yang dengan kecerdasan itu ia mampu untuk memimpin umat. Beliau mencontohkan seorang ulama besar dari Tulungagung yang memiliki keterbatasan, K.H. Khabir  -kalau tidak salah- dari pondok pesantren Menara Mangunsari. Meski beliau memiliki keterbatasan secara fisik –maaf tidak bisa melihat- tetapi Allah menganugerahkan ilmu pengetahuan yang berlimpah kepadanya. Itulah sebabnya saat beliau menunaikan haji bersama K.H. Khabir, banyak para ulama Jawa Timur yang mencari dan sowan kepada beliau untuk tafa’ulan dan tabarukan. Hal ini tentunya adalah satu anugerah Allah yang diberikan kepada beliau lantaran nikmat akal yang sempurna yang diberikan kepada beliau. Makanya nikmat akal lebih tinggi nilainya bil adibanding dengan nikmat yang lain selain nikmat hati.

Puncak dari semua nikmat adlaah nikmat hati. Seperti apapun banyaknya dunia yang kita kumpulkan, kesehatan tubuh yang kita miliki, akal sempurna yang kita punya, akan tetapi bila tidak didukung dengan nikmat hati semua itu hanya akan sia – sia belaka. Hati adalah tempat dimana iman itu tumbuh. Iman akan tumbuh dengan subur manakala dua saratnya terpenuhi. Ibarat kita menanam diladang apabila dua sarat itu terpenuhi maka tanaman yang akan kita tanam akan tumbuh subur dan buahnya lebat seperti yang kita harapkan. Sarat pertama saat kita menanam adalah tanahnya subur dan kedua adalah tanahnya gembur. Tanah yang subur apabila tidak gembur maka tanaman tidak akan mampu menyerap makanan dari dalam tanah. Sebaliknya tanah gembur tetapi tidak subur, apa yang hendak dimakan.

Berkaitan dengan tanaman iman dalam hati beliau mengatakan bahwa sarat yang harus terpenuhi dalam menyuburkan dan memperkuat iman adalah ibadah dan nasihat. Ibadah ibarat tanah yang subur. Hati kita harus senantiasa kita siram dengan ibadah – ibdah terutama adalah ibadah mahdlah dengan istiqamah disamping ibadah yang lain. Keistiqamahan dalam ibadah menjadi penting untuk memupuk keimanan. Beliau menyitir qaul ulama:
خيرالعمل مادام وإن قل
“Sebaik – baik amal adalah yang berkelanjutan meskipun sedikit”

Amal sedikit yang dijalankan dengan istiqamah akan membawa dampak besar bagi tumbuhnya iman dalam hati manusia. Sebaliknya amal yang banyak tetapi tidak istiqamah, sedikit sekali manfaatnya. Oleh karenanya istiqamah menjadi sesuatu yang penting untuk selalu dijaga dan dipertahankan.

Selanjutnya nasihat. Nasihat penting didapatkan. Dengan mendengarkan berbagai nasihat maka hati kita akan semakin mudah untuk mengingat Allah SWT. dengan nasihat semakin mudah dan ringan untuk menjalankan setiap ibdah yang diperintahkan oleh Allah. Oleh karena itu sudah sepatutnya seorang muslim untuk selalu berusaha mendapatkan nasihat.

Iman itu suatu saat bisa bertambah, tetapi suatu saat juga bisa berkurang. Maka untuk mempertahankan semua itu, rajin – rajinlah untuk mendengarkan nasihat (Tutur beliau). Ingat yang bisa membawa kita sampai kepada surge Allah hanyalah iman yang terdapat dalam hati kita.

Semoga bermanfaat…

Wallahu A’lam bish Shawab…




Komentar