Membaca judul ini mungkin mengingatkan kita pada salah satu acara
di televisi nasional. Tetapi, sejatinya judul ini melintas begitu saja saat
menelusuri belantara pemikiran Dr. Ngainun Naim, M.Ag. dalam bukunya “The
Power of Writing” yang saya beli beberapa waktu lalu.
Tuhan memberikan kelebihan kepada setiap manusia yang menjadikannya
lebih mulia bila dibandingkan dengan makhluk yang lain. Kelebihan itu berupa
akal, yang dengan akal itu kita mampu mencerna, berfikir dan mengambil keputusan
yang tepat dalam kehidupan. Dengan keputusan yang tepat tentunya kita akan
mendapatkan hasil yang maksimal sesuai dengan apa yang kita harapkan dan kita
cita – citakan.
Dalam menciptakan makhluk-Nya, Tuhan selalu memberikan keseimbangan
di dalamnya. Keseimbangan disini dimaksudkan agar tercipta kemaslahatan
tentunya kembali kepada pribadi makhluk itu sendiri. Akan tetapi dalam proses
perjalanannya tidak semua makhluk mampu untuk menjaga keseimbangan yang pada
mulanya telah diamanatkan oleh Tuhan kepadanya. Sebagai contoh adalah
keseimbangan Tuhan dalam menciptakan ala mini. Semua yang ada di alam ini
diciptakan secara seimbang. Ekosistem alam yang seimbang ini menjadi timpang
gara – gara polah manusia yang sering berbuat sekehendaknya sendiri. Populasi antara
ular sawah dan tikus misalnya, sebenarnya Tuhan ciptakan dalam keadaan yang
seimbang, akan tetapi karena manusia banyak membunuh ular sawah pada akhirnya
tikus menjadi merajalela sehingga tanaman mereka yang mestinya menghasilkan
panen yang bisa menopang hidupnya seringkali mengalami ‘gagal panen’
karena serangan tikus. Pun pula bila kita mencoba memperhatikan beberapa kasus
di beberapa tempat. Ada beberapa tempat yang saat ini tidak kita jumpai lagi
tanaman pohon kelapa. Mengapa? Alasannya setiap menanam kelapa meski masih
kecil sudah habis dimakan ‘kwawong’. Lagi – lagi ini juga polah dari
manusia yang dengan membabi buta memberangus si tupai.
Apa korelasi uraian saya di atas dengan judul tulisan ini? Saya
hanya ingin menyampaikan bahwa kelebihan yang diberikan oleh Tuhan kepada kita
berupa akal pikiran itu harus kita syukuri dan kita potensikan sesuai dengan
apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Tuhan memberikan akal fikiran tentunya adalah
agar kita gunakan untuk berfikir, mencerna setiap kejadian yang kita lihat dan
alami untuk kemudian mengambil sikap dan tindakan demi kebaikan kedepan. Itu
saja.
Kok melawan lupa? Bukankah setiap kejadian yang kita lihat dan
alami adalah sebagai sarana untuk belajar? Bagaimana mungkin kita bisa belajar
dari setiap peristiwa dan kejadian yang kita alami serta kita lihat manakala
kita lupa dengan kejadian itu? Inilah kata kuncinya.
Ya, Tuhan menciptakan akal untuk manusia memang termasuk
diantaranya adalah untuk mengingat, tetapi tentunya tidak semua peristiwa bisa
kita ingat dan perlu kita ingat. Ada beberapa peristiwa dan kejadian yang harus
kita ingat, tetapi ada juga beberapa peristiwa yang harus kita lupakan.
Beberapa kejadian harus kita lupakan, misalnya adalah kejadian – kejadian yang
membuat kita menjadi takut, trauma dan sebagainya harus kita lupakan. Bila
tidak, boleh jadi justru kita akan menjadi stress dan berputus asa dalam
menjalani kehidupan.
Di sisi lain kejadian yang membahagiakan perlu untuk kita ingat
sebagai sebuah motivasi dalam menjalani kehidupan berikutnya. Semangat kita
dalam hidup akan tumbuh manakala kejadian – kejadian yang membahagiakan itu
kita ingat, semisal kesuksesan dalam meraih sesuatu dalam hidup. Ini penting
untuk diingat.
Sekarang urusannya adalah soal ilmu pengetahuan. Ilmu adalah sarana
membuka cakrawala kehidupan. Tentu ilmu itu harus kita ingat dan kita ikat
dalam pikiran kita sehingga dalam menjalani kehidupan ini kita semakin terarah
kepada hal yang positif dan progressif. Masalahnya? Seringkali dalam mengingat
informasi dan ilmu pengetahuan itu kita kesulitan. Banyak orang yang telah
menghabiskan waktunya untuk membaca tetapi selesai dia membaca, dia telah
melupakan kandungan isi buku yang dibacanya. Boro – boro mengingat isinya,
terkadang mengingat ‘Judul Buku’ yang dibaca saja tidak ingat. Terus
bagaimana?
Di sinilah sebenarnya masalah yang harus kita atasi. Memang
kapasitas akal manusia itu terbatas. Tidak semua hal itu bisa direkam dan
diingat oleh akal. Tetapi Tuhan memberikan kepada kita sepasang tangan, yang
dengan tangan itu, kita bisa menorehkan sekedar catatan untuk membantu kerja
akal dalam mengingat. Membuat catatan tentang apa yang sudah kita pelajari,
kita baca dan alami menjadi sesuatu yang penting untuk melawan lupa yang ada
pada diri kita.
Nah, dalam buku “The Power of Writing” ini Dr. Ngainun Naim,
M.Ag. mengajak kita selain menjadi seorang yang rakus dalam membaca, juga
menjadi orang yang giat dalam menorehkan catatan – catatan meski hanya dalam
sebuah buku tulis murahan. Jangan melihat ‘murahannya’ tetapi lihat
fungsinya. Tidak ada bedanya antara buku tulis murahan dengan yang ‘mahal’,
fungsinya sama, bedanya hanya dalam hal kualitas kertasnya.
Membaca itu penting, karena membaca bisa menambah wawasan kita.
Dengan membaca kita bisa membuka cakrawala dunia yang masih tertutup. Beliau
mengatakan, “Membacalah yang mampu membuat seseorang keluar dari tempurung
pengetahuannya yang kerdil.” Ya, acap kali memang seseorang merasa bahwa
dirinya adalah orang yang cerdas. Bahkan memproklamirkan diri sebagai orang
tercerdas di lingkungannya. Mungkin, karena seringnya dipakai oleh masyarakat
dalam event – event tertentu, semisal maulidan, tahlilan dan hari besar lainnya.
Wajar dong bila lantas ‘GR’ dan merasa orang terhebat, padahal ya, bila dipertemukan dengan yang lainnya atau
diluar daerahnya, ya belum ada apa – apanya. Inilah mungkin yang saya pahami
dari ‘tempurung pengetahuannya yang kerdil’.
Karena otak kita tidak bisa merekam dan mengingat semuanya, di sinilah
kita bisa melawan lupa itu dengan cara mencatat. Mencatat sebenarnya adalah
bagian dari menulis. Menulis yang paling sederhana tanpa embel – embel ‘analisis’
yang ribet. Tentu mudah hanya sekedar mencatat apa yang didengar, dibaca atau
dilihat. Kelihatannya sih mudah. Tetapi nyatanya mencatat yang menjadi bagian
dari media melawan lupa itu juga tidak semudah yang dibayangkan. Buktinya, ada
banyak orang yang tidak mau atau tidak telaten dalam mencatat. Mereka lebih
senang mendengar, melihat dan berbicara. Padahal usia kan semakin bertambah.
Dengan bertambahnya usia sudah barang tentu urusan yang kita hadapi semakin
bertumpuk dan boleh jadi menjadi beban dalam pikiran kita. Nah, semakin
banyaknya urusan kita dan seiring dengan usia yang menua tentunya kekuatan akal
semakin berkurang. Akibatnya seringkali hal – hal penting yang mestinya kita
ingat menjadi kita lupakan begitu saja.
Namun demikian, bagi sebagian orang mencatat adalah hal yang mudah
karena mereka selalu membiasakan membuat catatan. Taruhlah sebagai contoh ‘Diary’
yang menjadi media bagi cewek – cewek khususnya, -mungkin juga cowok- sekedar
untuk mengabadikan peristiwa yang mereka alami dalam kehidupan sehari – hari.
Tentu hal ini memiliki satu nilai tersendiri yang membuat mereka bisa mengingat
– ingat peristiwa yang ‘bersejarah’ dalam hidupannya. Begitu pula dengan
mencatat ilmu pengetahuan.
Dr. Ngainun Naim, M. Ag. Menyitir sebuah pepatah, “Ingatan lupa,
maka catatan akan ingat”. Di sinilah sebenarnya nilai pentingnya mencatat
ilmu pengetahuan. Meminjam istilah Imam Ali bin Abi Thalib, “Ikatlah ilmu
dengan pena”. Sebenarnya ungkapan beliau ini juga memiliki makna yang sama
dengan pepatah di atas. Meski Imam Ali seorang yang di sabdakan Rasul SAW
sebagai ‘Gerbang Pengetahuan’, nyatanya beliau masih menyarankan
pentingnya menulis ilmu dengan pena.
Terlepas dari semua pendapat yang setuju dan tidak dengan tulisan
ini, saya hanya ingin mengingatkan diri saya khususnya, syukur – syukur ada
yang mau mengikuti, memang membaca itu penting, tetapi jangan hanya berhenti
dengan bacaan kita, cobalah goreskan tinta kita, sayang bila tinta itu kering
tanpa kita gunakan. Cobalah menggerakkan jari – jari lentik itu di atas ‘keyboard’
barangkali saja bisa menghasilkan tulisan. Cobalah publish tulisan itu dalam
media sosial kali saja ada orang yang mau membaca, syukur – syukur menjalankan.
Bila tidak ya, tidaklah mengapa yang penting kita sudah berupaya berkarya.
Barangkali saja kita akan tertawa suatu ketika, begitu melihat tulisan kita
yang berantakan di media dan jejaring maya. Hehehe…
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar