Sepintas banyak orang yang beranggapan bahwa rasa malu berkonotasi
negatif. Malu identik dengan rasa tidak percaya diri, minder dan penakut.
Asumsi semacam ini sah – sah saja, akan tetapi tidak semuanya benar. Adakalanya
malu itu justru menjadi tanda adanya rasa iman kepada Allah, bernilai positif
dan justru menjadi dambaan setiap mukmin.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari di sebutkan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مُحَمَّدٍ الْجُعْفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ
أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ
وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ (رواه البخاري)
Artinya:
Telah menceritakan kepada
kami Abdullah bin Muhammad Al Ju'fi dia berkata, Telah menceritakan kepada kami
Abu 'Amir Al 'Aqadi yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Sulaiman
bin Bilal dari Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Iman memiliki lebih dari
enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman". (H.R. Bukhari)
Hadits riwayat Imam Bukhari ini menjelaskan bahwa iman memiliki lebih
dari enam puluh cabang. Kata enam puluh dalam tradisi masyarakat Arab digunakan
untuk menunjukkan arti banyak, bukan bilangan khusus. Dengan demikian cabang
dari iman jumlahnya sangat banyak, termasuk didalamnya ‘rasa malu’.
Berdasarkan hadits di atas malu termasuk bagian dari iman. Mungkin
ada sebagian orang yang bertanya mengapa malu bisa termasuk bagian dari iman,
malu yang seperti apa yang dimaksud oleh hadits ini? Apakah setiap rasa malu
bisa dikategorikan sebagai bagian dari iman?
Malu yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah malu yang
positif, bukan melu yang bersifat negatif. Malu yang negatif tidak bisa
digolongkan sebagai bagian dari iman. Malu untuk melakukan kebaikan,malu untuk
memberikan nasihat kepada yang lain, malu dalam pergaulan dengan orang miskin,
malu dianggap sebagai orang bodoh, malu mengingatkan teman yang berbuat salah
tentu semua itu bukanlah yang diharapkan dalam hadits di atas. Lalu malu yang
bagaimana?
Malu yang diharapkan oleh hadits di atas adalah malu yang positif.
Malu dalam melakukan kemaksiatan, dosa dan pelanggaran kepada ketentuan –
ketentuan Allah SWT. menjaga rasa malu kepada Allah adalah hal yang sangat
diharapkan dan dianjurkan oleh agama. Oleh karenanya banyak sekali keterangan –
keterangan yang menunjukkan tentang pentingnya rasa malu kepada Allah SWT.
Apabila seseorang memiliki rasa malu kepada Allah, maka dalam
kesehariannya dia akan selalu dituntun dengan petunjuk – petunjuk Allah. Setiap
perilaku yang terwujud dalam kehidupan sehari – harinya adalah wujud dari
hidayah Allah yang diberikan kepadanya.
Dia akan berusaha untuk selalu memperbaiki diri dan setiap akan
melakukan hal yang dilarang oleh Allah maka hatinya akan mencegah dan
melarangnya karena rasa malu yang ada pada dirinya.
Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda:
عن أبي مالك الأشجعي ، عن ربعي ،
عن حذيفة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : ' آخر ما تمسك به كلام
النبوة الأولى : إذا لم تستحي فاصنع ما شئت '
Artinya:
Dari Abi Malik al-Asyja’I, dari Ruba’i dari Hudaifah ia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Akhir dari apa yang
dijadaikan pedoman oleh Kalam Nubuwwah yang pertama adalah Ketika engkau tidak
memiliki rasa malu maka lakukanlah apa yang kamu inginkan.’
Hadits ini secara tegas menunjukkan pentingnya rasa malu dalam diri
setiap muslim. Apabila rasa malu telah hilang dari diri seorang muslim maka
sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan melakukan apa yang mereka inginkan
tanpa rasa malu sama sekali meski pada hakikatnya sesuatu yang mereka lakukan
adalah sesuatu yang memalukan bahkan menjijikkan.
Kenyataan di era sekarang banyak sekali kita jumpai di sekeliling
kita orang yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu dalam dirinya. Banyak
sekali para pemuda hari ini yang tidak lagi
memiliki rasa malu. Pemuda – pemuda hari ini banyak yang menuruti keinginan
hawa nafsunya untuk memenuhi kenikmatan sesaat tanpa mereka memikirkan akibat
dari apa yang mereka lakukan. Banyak di antara pemuda yang terjerumus dalam
pergaulan bebas, tidak jarang pula yang sampai diluar batas sehingga terjadi
hal – hal yang tidak diinginkan.
Demikianlah, saat rasa malu sudah tidak lagi ada dalam diri muslim,
maka semua pagar dan batas – batas keimanan seolah telah runtuh. Banyak yang
kemudian terjerumus kedalam hal – hal yang tidak diinginkan. Bergelut dengan
dunia hitam, terjerumus kedalam kemaksiatan dan kedlaliman. Begitulah
seterusnya ketika rasa malu sudah tidak ada, maka yang ada hanyalah keinginan
syahwat nafsu. Melampiaskan segala keinginan tanpa ada kontrol yang menjadi
penyeimbang.
Semoga kita senantiasa bisa menjaga diri kita dari segala hal yang
tidak diridlai Allah SWT. Mudah – mudahan selama hidup kita, kita selalu bisa
menjaga rasa malau, malu kepada Allah SWT. seandainya kita melakukan maksiat
dan durhaka kepada-Nya. Amin
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar