Kyai Versi Gus Mus




Siapa yang tidak kenal Gus Mus. Kyai yang satu ini sangat popular dan fenomenal bagi kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Nahdlatul Ulama. Beliau termasuk salah satu di antara kyai sepuh yang memiliki kharisma besar di tengah – tengah warga Nahdliyyin. Meski sudah menyandang gelar kyai, namun agaknya nama gus yang merupakan nama bagi putra kyai (yang belum dianggap pantas disebut kyai) tetap melekat pada diri K.H. Musthafa Bisri.

Selain dikenal sebagai seorang kyai yang kalem, tawadlu’, lemah – lembut kepada umat, dan kaya akan ilmunya, beliau juga dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karya – karyanya sering menghias di berbagai media. Beliau selalu santun dalam berpenampilan, jauh dari sifat dengki, ujub, riya’ dan takabbur. Begitulah sekilas pribadi Gus Mus yang selalu menyejukkan setiap orang yang memandangnya.

Masih lekat diingatan kita bagaimana beliau mendamaikan perseteruan sesama warga Nahdliyyin pada saat muktamar di Jombang. Dengan sikap tawadlu’ dan kerendahan hatinya, beliau meminta maaf sambil menitikkan air mata, bahkan beliau mengatakan “kalau untuk mendapatkan maaf panjenengan saya harus mencium kaki panjenengan, maka saya akan melakukan hal itu.” Demikianlah ketulusan dan ketawadlu’an kyai yang satu ini. Kyai yang selalu jauh dari konflik, selalu memberikan kesejukan bagi setiap umat. Figur yang jarang kita temukan untuk kurun waktu ini.

Akhir – akhir ini umat Islam di hadapkan dengan berbagai persoalan yang pada dasarnya bermuara pada adanya khilaf atau perbedaan pandangan dan pemahaman. Khilafiyah ini nampaknya hampir mengarah pada perpecahan di antara umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Di saat seperti inilah sebenarnya kita membutuhkan sosok yang mampu untuk menetralisir keadaan, menciptakan suasana sejuk di tengah umat sehingga konflik yang bermuara pada perbedaan pandangan dan pendapat ini tidak semakin mengarah pada permusuhan dan perpecahan di antara umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, tetapi sebaliknya menjadi sesuatu yang indah karena keanekaragaman itu pada dasarnya adalah rahmah.

Dalam satu kesempatan, saat mengisi acara haul K.H. Abdul Wahid Zuhdi yang ke-6, Gus Mus memberikan pesan dan peringatan kepada kita untuk senantiasa berhati – hati dalam bersikap dan bertindak, terutama ketika kita mendengar dan hendak mengikuti pendapat seseorang, tidak terkecuali seorang ulama yang dalam tradisi masyarakat Jawa disebut dengan Kyai.

Gus Mus menjelaskan bahwa kyai itu macam – macam ragamnya. Setidaknya menurut beliau ada lima macam kyai, yaitu, kyai produk masyarakat, kyai produk pemerintah, kyai produk pers, kyai produk politik, kyai buatan sendiri. Semua itu disebut kyai oleh orang banyak, tetapi kita harus selektif dalam memilih dan menghormat pada kyai yang tepat.

Pertama, kyai produk masyarakat. Kyai seperti inilah yang sebenarnya kyai. Kyai produk masyarakat mendapatkan gelar kyai dari masyarakat, bukan karena meminta. Mereka mengajar anak orang lain, ikhlas tanpa pamrih dan tanpa mengharap imbalan apa – apa. Beliau mengatakan, “Kyai sing tenan iku kyai sing kepingin ngepas – ngepasne lakune koyo kanjeng Rasul SAW”. Seorang kyai yang sebenarnya adalah kyai yang selalu berusaha untuk berperilaku sebagaimana perilaku Rasulullah SAW. Menurut beliau banyak sekali orang yang alim, pinter bahkan hafal al-Qur’an tetapi perilakunya tidak mencerminkan perilaku yang qur’aniy, perilakunya jauh dari akhlak sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Orang yang seperti ini tidak layak disebut kyai, meski ilmunya banyak.

Dalam mendefinisikan kyai beliau mengatakan:
الذين ينظرون الأمة بعين الرحمة
Kyai itu adalah orang – orang yang memandang umat dengan pandangan kasih sayang. Padangan seorang kyai itu sama dengan pandangan Rasulullah SAW yang senantiasa merasa sayang kepada umatnya meski beliau dihina dan di caci maki. Rasulullah SAW adalah cerminan umat manusia dalam bertindak. Beliau selalu bersikap rauf rahim kepada umatnya, bahkan umat yang secara terang – terangan memusuhi bahkan menyakitinya.

Kisah perjalanan dakwah Rasulullah SAW ke Thaif kiranya bisa kita jadikan sebagai tauladan bagi kita umat Islam dalam bersikap. Rasulullah yang datang ke Thaif untuk mengajak mereka ke jalan yang benar justru harus mendapatkan penentangan dari kaum Thaif. Tidak hanya berhenti pada penentangan saja, Rasulullah SAW dicaci maki, dilempari dengan batu dan di usir dari Thaif. Kedua pipi Rasulullah mengeluarkan darah karena lemparan batu kaum Thaif. Malaikat Jibril yang mengetahui Rasulullah SAW, kekasih Allah, dihina, dicaci maki dan dilempari batu hingga berdarah merasa sangat marah. Dia minta kepada Rasulullah untuk mengangkat kedua tangannya, memohon kepada Allah agar bangsa Thaif dihimpit dengan kedua bukit yang ada di sekitarnya. Namun, dengan penuh kasih sayang  Rasulullah melarang Malaikat Jibril, bahkan beliau berdo’a kepada Allah, “Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu.” Begitulah jiwa besar Rasulullah SAW yang penuh dengan kasih sayang kepada umatnya.

Seorang kyai layak disebut kyai, manakala dia memiliki sifat dan kriteria semacam ini. Kyai bukan hanya orang yang mengenakan jubah, surban, dan berjenggot. Kyai juga bukan hanya orang yang memiliki pengetahuan yang luas dalam hal agama. Namun, seorang kyai harus mampu menjadi pewaris Rasulullah SAW dalam segala aspek kehidupannya, meski untuk meniru Rasulullah SAW secara keseluruhan adalah hal yang mustahil, setidaknya dia selalu berusaha untuk ‘ngepas-ngepasno’, berusaha meneladani Rasulullah SAW dalam seluruh aspek kehidupannya.

Kedua, kyai produk pemerintah. Menurut beliau kyai model ini pertama kali dibentuk saat rezim orde baru berkuasa pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Beliaulah yang pertama kali mendirikan MUI sebagai wujud perwakilan seluruh ulama. Menurut beliau dulu MUI terdiri dari orang – orang yang telah pensiun. Untuk memperkuat kedudukannya maka dipasanglah beberapa orang ulama. Sementara banyak orang yang berada di dalamnya yang masih belum memiliki kapasitas sebagai ulama. Tetapi karena mereka duduk dalam kepengurusan MUI maka mereka tetap dikenal sebagai ulama. Nah, untuk menjadi kyai model ini, -menurut  beliau- mudah, yaitu dengan mendekati orang – orang yang duduk dalam kepengurusan sehingga ia bisa dimasukkan ke dalam jajaran pengurus dan tentunya jadilah dia dikenal sebagai ulama.

Ketiga, kyai pers. Model kyai ini dibentuk oleh wartawan, baik media cetak maupun elektronik. Pada masa Arab Jahiliyah model bentuk pers ini diwakili oleh para penyair. Masyarakat Arab dahulu memiliki tradisi untuk membuat syair. Para penyair kelas atas memiliki dominasi yang kuat dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap seseorang atau sekelompok orang. Biasanya mereka akan menggantungkan syair – syair mereka di dinding Ka’bah yang dikenal dengan nama al-mu’allaqat. Sama dengan pers hari ini. Media pers sangat berpengaruh dalam membentuk persepsi masyarakat. Kyai model pers ini menurut beliau cukup mudah didapatkan. Misalnya dengan adanya kontes da’i dan da’iyah yang diselenggarakan oleh berbagai awak media. Kemudian media akan menobatkan mereka menjadi ustadz dengan menambahkan kata K.H. pada awal namanya, tanpa diketahui latar belakang kehidupannya secara pasti, peran dan jasanya dalam masyarakat dan seterusnya. Ustadz seperti ini biasanya sering nongol di televisi dan tidak jarang yang kemudian merambah dalam dunia perfilman. Pakaian yang dikenakan layaknya ulama besar yang alim dan seterusnya.

Keempat, kyai politisi. Kyai model ini biasanya dinobatkan oleh para politisi untuk mengkampanyekan partai yang diusung. Seringkali mereka bukanlah orang yang memiliki kapasitas sebagai seorang kyai, hanya karena kemampuan pidato, orasi dan sedikit dalil al-Qur’an dan al-hadits, maka kyai ini dinobatkan oleh para politisi sebagai kyai untuk melancarkan dan mensukseskan kepentingan politiknya.

Kelima, kyai buatan sendiri. Sangat mudah didapatkan dengan sedikit mengeluarkan modal saja. Membeli kopyah haji seharga Rp. 5000,00, mengenakan baju taqwa, memakai surban hijau dan sedikit mengeluarkan uang. Misalnya dalam sebuah kesempatan pengajian atau peringatan hari besar agama, memberikan uang kepada beberapa orang teman dan bilang kepada mereka, “nanti kalau saya datang, semua harus mencium tangan saya”. Meski dengan nada guyonan, mungkin ini juga terjadi dalam beberapa kasus di masyarakat. Dengan melakukan hal tersebut orang lain akan terpengaruh dan membaiat orang tersebut menjadi kyai atau ustadz.

Terlepas dari setuju atau tidak pembagian ulama, ustadz, atau kyai dalam versi Gus Mus, setidaknya menurut saya, ini menjadi sebuah catatan bagi kita untuk senantiasa berhati – hati dalam setiap hal terutama untuk mengikuti seseorang yang akan kita jadikan sebagai panutan. Gus Mus menegaskan bahwa seorang kyai harus mampu menjadi petunjuk bagi masyarakat kepada jalan kebaikan, jalan yang diridlai Allah SWT wa Rasulihi SAW. Kyai yang sering menimbulkan keresahan dalam masyarakat, sering berusaha untuk menjatuhkan yang lain, maka dia tidak pantas disebut kyai. Kyai harus mampu menjadi penyejuk hati disaat masyarakat sedang panas dengan emosi. Kyai harus menjadi penerang yang menyinari masyarakat disaat mereka dilanda gelap gulita.

Betapapun seseorang memiliki banyak ilmu agama, hafal ribuan hadits kalau perlu hafal al-Qur’an, tetapi bila perilakunya tidak menunjukkan akhlak yang islami, akhlaq qur’ani, maka orang itu tidak layak disebut kyai. Kyai bagaikan mata air yang menghidupkan tanah yang gersang. Ia menjadi pelipur lara disaat umat sedang berduka. Menjadi juru damai disaat umat sedang bertikai. Menjadi obat di saat umat sedang terluka. Itulah para pewaris Rasulullah SAW. Kyai bukanlah orang yang selalu mencari – cari kesalahan orang lain. Kyai bukan orang yang menebar beih kebencian antar sesama, tetapi dialah penebar rahmah bagi umat. Bukankah islam itu artinya selamat? Maka kyai adalah orang yang mampu menyelamatkan umat. Menyelamatkan dari kesesatan, menyelamatkan dari kebencian dan permusuhan, menyelamatkan dari perpecahan dan kehancuran.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam….


Komentar