Jumat, 03 Maret 2017

Menjaga Shalat



Menjaga Shalat
(Edisi Khutbah Jum’at)

Tema khutbah jum’at kali ini adalah menjaga shalat. Shalat adalah tiang agama sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa shalat adalah tiang agama, barangsiapa yang mendirikan shalat, maka sama artinya dengan mendirikan agama, dan barangsiapa yang meninggalkan shalat, sama artinya dengan meruntuhkan agama.

Pada hari khatib menyampaiakan pesan tentang pentingnya mejaga shalat. Shalat bisa dijadikan sebagai benteng pertahanan agar kita menjadi seorang yang selamat di dunia dan akhirat. Dengan senantiasa menjaga shalat tepat pada waktunya maka hidup kita akan dijaga oleh Allah SWT.

Ibadah shalat sebaiknya dilaksanakan dengan berjamaah bersama – sama baik di masjid maupun mushalla. Dalam khutbah kali ini khtaib juga menyampaikan hadits Rasulullah SAW yang menerangkan tentang fadlilah shalat berjamaah di Masjid Nabawi selama 40 kali berturut – turut. Sabda Rasulullah SAW:

عن انس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم  من صلى فى مسجدى أربعين صلاة لا تفوته صلاة كتبت له براءة من النار وبراءة من العذاب وبراءة من النفاق (أحمد عن أنس)

Artinya: “Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa shalat di Masjidku ini 40 shalat yang tidak terlewatkan satu shalatpun, maka dicatat baginya bebas dari neraka, bebas dari siksa dan bebas dari munafik.” (H.R. Ahmad dari Anas)

Hadits diatas menjelaskan bahwa barangsiapa yang 40 kali berturut – turut shalat di masjid nabawi maka Allah akan mencatatnya terbebas dari tiga hal, pertama, bebas dari neraka, kedua bebas dari siksa dan ketiga bebas dari munafik. Empat puluh shalat itu harus dilaksanakan secara berjamaah dan tidak boleh ada sekali saja yang terlewatkan. Artinya harus istiqamah dan kontinyu.

Apabila kita tidak bisa menjalankan shalat di Masjid Nabawi karena kondisi biaya dan sebagainya, maka Rasulullah SAW memberikan kemudahan bagi kita dengan melaksanakan shalat berjamaah di masjid ataupun mushalla yang berdekatan dengan rumah kita. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

عن أنس قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :  من صلى أربعين ليلة في جماعة كتب له براءة من النار و براءة من النفاق 

Artinya: “Dari Anas ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘Barangsiapa shalat 40 malam secara berjamaah, maka ia akan dicatat bebas dari neraka dan bebas dari munafik.”

            Hadits diatas menjadi dasar tentang fadlilah shalat berjamaah. Orang yang secara istiqamah melaksanakan shalat berjamaan di masjid ataupun mushalla dengan istiqamah selama 40 kali berturut – turut, Allah SWT akan membebaskanya dari api neraka dan dari sifat munafik.

            Semoga bermanfaat…
            Allahu A’lam …



Rabu, 01 Maret 2017

Jangan Biarkan Nuranimu Tertutup Akalmu



Jangan Biarkan Nuranimu Tertutup Akalmu

Akal diciptakan oleh Allah agar manusia menggunakannya untuk berfikir. Berfikir yang dimaksud disini tentunya adalah berfikir positif. Dengan akal manusia bisa membedakan antara yang haq dan bathil. Disinilah peranan akal sebagai organ penting dalam diri manusia.

Meskipun akal memiliki peran penting dalam kehidupan manusia akan tetapi keberadaannya masih tetap terbatas. Keterbatasan itu lah yang menyebabkan akal tidak mampu untuk menjangkau hal – hal yang bersifat ghaib. Wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal ini harus diimani bukan lantas kemudian dikesampingkan karena dianggap tidak masuk akal.

Tidak semua hal harus dirasio dengan akal yang kita punya. Terkadang memang kita harus percaya dan beriman kepada hal yang tersebut karena telah diinformasikan oleh Allah dalam kitab suci-Nya. Kebenaran kitab suci –dalam hal ini al-Qur’an-  sebagai kitab yang diturunkan oleh Allah untuk pedoman hidup umat manusia sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejarah telah mencatat berapa banyak orang yang hendak membuat tandingan yang semisal al-Qur’an, namun pada akhirnya harus bertekuk lutu dihadapan al-Qur’an. Andai al-Qur’an bukanlah wahyu Allah SWT tentulah didalamnya banyak terdapat kontradiksi. Toh nyatanya samapai saat ini setidaknya, belum ada orang yang mampu menyaingi al-Qur’an.

Di dalam al-Qur’an Allah SWT memberikan jaminan secara langsung terhadap kemurnian al-Qur’an. Kemurnian al-Qur’an sampai kapanpun akan terjaga berdasarkan firman tersebut. Ayat tersebut sekaligus menjadi bukti adanya kekuatan diluar diri manusia yang tak terbatas. Kekuatan yang Maha diatas segala maha. Kekuatan yang kekuasaan-Nya meliputi seluruh alam raya.

Pada kenyataannya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang semakin pesat tiap harinya terkadang menjadikan manusia lupa akan kekuatan Maha Dahsyat diluar dirinya. Otak manusia yang tadinya memiliki kecenderungan untuk menangkap hal positif dan selalu tunduk pada kemauan Tuhannya, tidak jarang karena penuh sesaknya otak itu dengan ilmu – ilmu rasionalnya menyebabkannya menjadi lupa daratan. Banyak hal yang menjadi wilayah – wilayah keimanan seringkali diterjang bahkan dikesampingkan karena dianggap sebagai hal yang tak masuk akal.

Artikel singkat ini ingin mengingatkan khususnya pada penulis sendiri bahwa seberapapun kehebatan akal, ia tidak akan mampu untuk menjangkau hal – hal yang bersifat esoteric dan transenden. Wilayah yang menuntut adanya ketertundukan akal pada yang Maha diatas segalanya. Akal harus didudukkan dan difungsikan sebagaimana mestinya sehingga tidak mengalami overloud sehingga keluar dari kodratnya.

Kebenaran tertinggi dari manusia biasanya muncul dari nurani. Nurani dianggap sebagai relung hati terdalam yang memiliki kepekaan tingkat tinggi. Nurani manusia biasanya muncul sebagai bagian dari kasih sayang Tuhan untuk menunjukkan kepada manusia jalan yang benar. Bisikan nurani biasanya muncul pertama kali sebagai getaran hati.

Kecerdasan akal yang luar biasa seringkali menyebabkan ia menganggap bahwa akal adalah segalanya. Hal inilah yang sering menyebabkan nurani itu tertutupi sehingga manusia tidak lagi berbuat hal luhur dan suci. Perbuatan yang muncul hanyalah perbuatan – perbuatan yang didasari karena kehendak nafsu yang ada dalam dirinya.

Sebagai catatan penting, bahwa nafsu menjadi faktor dominan yang menyebabkan akal selalu berfikir apa untungnya bagi saya. Akal selalu itung – itungan ketika melakukan sesuatu. Inilah yang seringkali menyebabkan nurani mati dan tidak memiliki kepekaan dalam kehidupan social maupun sebagai makhluk berketuhanan.

Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW mengingatkan umatnya dengan salah satu haditsnya:

ألا إن فى الجسد لمضغة إن صلحت صلح الجسد كله وإن فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب

Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya dalam jasad manusia itu terdapat segumpal darah, apabila ia baik, maka baiklah seluruh jasad, jikalau ia buruk maka buruklah seluruh jasad, ingatlah segumpal darah itu adalah hati.”

Rasulullah SAW mengingatkan kepada umat manusia agar senantiasa berusaha membersihkan hati. Hati inilah yang disebut – sebut sebagai nurani. Nurani yang secara bahasa berasal dari kata nur yang artinya cahaya. Hati yang selalu mendapat cahaya ketuhanan dari Allah SWT. 

Ilmu pengetahuan adalah hal yang baik. Bahkan tanpa ilmu pengetahuan manusia bagaikan binatang. Oleh karena itulah islam sangat menekankan kepada umatnya untuk senantiasa menuntut ilmu dimanapun dan kapanpun ia berada. Bahkan semenjak manusia masih ada dalam kandungan manusia sudah diwajibkan menuntut ilmu. Itulah mengapa sabda Rasulullah SAW dalam hadits:

طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة من المهد إلى اللحد

Artinya: “Menuntut ilmu itu diwajibkan atas semua muslim laki – laki dan perempuan mulai dari bandulan sampai liang lahat”.

Ketika manusia berada di dalam rahim, posisinya adalah menggantung. Itulah mengapa dalam al-Qur’an untuk menunjuk salah satu dari proses perkembangan janin saat masih dalam kandungan ibunya digunakan kata ‘alaqah, yang artinya tergantung. Isyarat ini menunjukkan bahwa posisi janin dalam rahim itu menggantung. Fakta ini didukung oleh ilmu sains modern yang juga menyatakan hal yang sama.

Urgensi ilmu memang penting bagi manusia, namun lagi – lagi Rasulullah SAW juga mengingatkan dalam haditsnya:

من ازداد علما ولم يزدد هدى لم يزدد من الله إلا بعدا

Artinya: “Barangsiapa yang semakin bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah petunjuknya, maka ia tidak semakin dekat kepada Allah meliankan semakin jauh”.

Orang yang semakin cerdas terkadang menjadi kagum dengan kecerdasan yang dimiliki. Ia selalu mengandalkan kekuatan akal dalam melakukan setiap tindakan yang dilakukannya. Tidak jarang sesuatu yang salah juga menjadi benar dan sah karena kelihaian akal dalam mengolah berbagai alasan pembenaran tindakannya. Hal inilah yang menyebabkan munculnya kelompok antrophosentris, kelompok yang menganggap bahwa manusia adalah pusat dari segalanya. 

Hadits Rasulullah SAW diatas kiranya sudah cukup menjadi bukti bahwa seperti apapun kecerdasan kita, kekayaan ilmu yang kita miliki, jangan sampai menutup nurani kita untuk tetap berpegang kepada kebenaran suci yang bersumber dari ilahi. Untuk kepentingan ini, maka hidayah Allah memiliki peran yang sangat penting untuk mendapat hidayah.

Hidayah bisa diupayakan. Caranya adalah dengan memperbanyak dzikir, shalawat dan mujahadah. Berusaha untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah dan mengingat Allah dalam setiap waktu dan kesempatan. Dengan selalu mengingat Allah dan bermujahadah, maka hati kita akan diberi hidayah Allah sehingga bisa berjalan pada jalan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Senin, 27 Februari 2017

Ibadah Bercampur Cinta Dunia



Ibadah Bercampur Cinta Dunia

Dunia selalu menjadi pilihan menarik bagi setiap orang yang ingin meraih kebahagiaan dalam hidup. Gemerlap kehidupan dunia telah memperdaya banyak manusia sehingga mereka tertipu dan larut dalam kehidupan dunia yang fana. Kehidupan dunia lebih tampak nyata bila dibandingkan dengan kehiudupan di akhirat yang masih dirahasiakan Allah SWT. Itulah sebabnya mengapa banyak sekali orang yang tertipu dalam kehidupan dunia ini.

Seorang yang menghendaki wushul ilallah harus senantiasa berusaha agar hatinya tidak memiliki kecenderungan kepada dunia. Memiliki harta benda di dunia bukanlah hal yang dilarang, oleh karenanya seorang sufi boleh dan sah – sah saja memiliki dunia. Akan tetapi yang tidak diperbolehkan bagi seorang sufi adalah menjadikan harta dan kehidupan dunia sebagai tujuan hidupnya. Dengan kata lain ia memiliki rasa mahabbah/cinta kepada dunia.

Berkaitan dengan hal ini, al-Syaikh Abu al-Mawahib al-Syadzili R.A. berkata:

العبادة مع محبة الدنيا شغل قلب وتعب جوارح، فهي وإن كثرت قليلة، وإنما هي كثيرة فى وهم صاحبها، وهي صورة بلاروح وأشباح خالية غير حالية (منح السنية: 4)

Artinya: “Ibadah yang dilakukan bersamaan dengan cinta kepada dunia itu hanyalah menyibukkan hati, melelahkan anggota badan, meskipun ia banyak tetapi sesunggunya sedikit, ia hanya banyak menurut prasangka pemiliknya, ia bagaikan gambar tak bernyawa, dan gembok yang tak berbelenggu dan tanpa hiasan.” (Minahus Saniyyah: h.4)

Demikianlah menurut al-Syaikh Abu al-Mawahib al-Syadzili R.A. Orang yang beribadah kepada Allah tetapi dalam dirinya masih terdapat rasa cinta kepada dunia maka ia ibarat orang yang hanya menyibukkan hatinya dan melelahkan fisiknya. Amal ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba betapapun banyaknya tetapi apabila dilakukan dengan disertai kecintaan pada dunia maka amal itu dihadapan Allah tidaklah memiliki nilai yang tinggi. Sebaliknya amal itu dianggap hanyalah sedikit dihadapan Allah SWT oleh karena cinta dunia telah merusakkan nilai dari ibadah tersebut.

Di dunia ini Allah tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya semata – mata untuk memurnikan agama Allah. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Surat al-Bayyinah; 98: 5:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Artinya: “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya mereka menyembah Allah dengan ikhlas untuk memurnikan agama.” (Q.S. al-Bayyinah; 98: 5)

Secara tegas dan jelas ayat di atas mengatakan bahwa Allah SWT tidak pernah memerintahkan kepada manusia dan jin melainkan supaya mereka beribadah kepada-Nya secara ikhlas. Ikhlas artinya tulus tanpa pamrih semata untuk memurnikan agama. Oleh karenanya hal ini penting untuk diketahui setiap pribadi muslim khususnya mereka yang sedang menempuh perjalanan/salikin menuju kepada Allah SWT.

Perintah ibadah ini secara tegas juga disebutkan dalam Surat al-Dzariyat; 51: 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)

Artinya: “Dan tiadalah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah/menyembah-Ku.” (Q.S. al-Dzariyat; 51: 56)

Jadi antara jin dan manusia memiliki tugas yang sama, yaitu menyembah kepada Allah SWT. Oleh karenanya jin ada yang muslim dan ada yang kafir. Jin muslim mereka sama halnya dengan manusia melaksanakan perintah Allah sebagaimana kita, hanya saja mereka berada dalam dimensi yang berbeda dengan dimensi kita sehingga kita pada umumnya tidak mampu mengetahui apa yang mereka kerjakan. Pendapat ini tentu bukan pendapat yang mengada – ada. Pendapat ini diperkuat dengan ayat al-Qur’an yang terdapat Surat al-Jin; 72: 1-2:

قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآَنًا عَجَبًا (1) يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآَمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا (2)

Artinya: “Katakan wahai Muhammad, telah diwahyukan kepadaku bahwasannya sekelompok jin telah mendengar (bacaan al-Qur’an), kemudian mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendengar al-Qur’an yang menakjubkan (1) yang menunjukkan kepada kebenaran kemudian kami beriman kepadanya dan sekali – kali kami tidak akan mempersekutukan Tuhan kami dengan seorangpun (2).” (Q.S. al-Jin; 72: 1-2)

Ayat diatas nmenjadi penjelas sekaligus menegaskan bahwa jin dan manusia memiliki tugas yang sama dalam menjalankan perintah Allah untuk beribadah. Maka salah besar jika ada pendapat yang menyatakan setiap jin mesti kafir dan ahli neraka. Dengan mengkaji ayat diatas maka semakin jelas dan mantaplah keyakinan dan pengetahuan kita bahwa antara jin dan manusia memiliki tugas yang sama. Diakhiratpun keadaannya juga sama. Sebagian menjadi penduduk surga dan sebagian yang lain menjadi penduduk neraka.

Ibadah yang dilakukan dengan disertai rasa cinta kepada dunia bagaikan gambar tanpa nyawa, bagaikan gembok tanpa belenggu dan tanpa hiasan. Artinya amal itu tidak memiliki nilai dihadapan Allah SWT. Betapapun banyaknya amal ibadah itu, hingga semua orang menyanjungnya sebagai ahli surga tetapi apabila dalam hati pelakunya masih tersimpan rasa cinta pada dunia maka tidak ada artinya dihadapan Allah SWT. Amal ibadah tersebut masih tercampuri dengan unsur syirik/mempersekutukan Allah SWT.

Sebaliknya amal ibadah sedikit namun disertai dengan keikhlasan yang tulus semata karena Allah/lillah dan billah, maka amal itu memiliki nilai yang tinggi dihadapan Allah SWT. Dalam hal ini para ulama sufi mengatakan:

ذرة من أعمال القلب خير من أمثال الجبال من أعمال الجوارح

Artinya: “Sebiji sawi ibadah hati (yang disertai dengan lillah dan billah) maka itu lebih baik daripada segunung ibadahnya orang yang jahl (bodoh lillah billah) dari amal – amal jawarih/anggota badan.”

Nah, disinilah sebenarnya letak perbedaan orang yang telah berhasil dalam membersihkan hatinya sehingga hatinya menjadi hati yang suci. Hati yang suci ketika digunakan untuk beribadah kepada Allah SWT, maka amal yang terlahir darinya adalah amal ibadah murni kepada Allah SWT bukan karena yang lain. Amal yang murni inilah yang kemudian menjadikan nilainya berharga dihadapan Allah.

Seorang salik yang menjalankan usaha lahir dan batin untuk menuju kepada Allah SWT harus memiliki pengetahuan ini. Apabila tidak, boleh jadi amal ibadahnya hanyalah berupa bayang – bayang semu yang keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Kualitas semacam ini dalam dunia sufi hanya akan didapatkan oleh seseorang yang terus menerus melatih diri dengan riyadlah dan mujahadah. Oleh karenanya di dalam dunia sufi terkenal istilah, “Nglempit usus meres moto”. Seorang yang menuju perjalanan untuk menggapai ma’rifat billah, iman musyahadah, wushul ilallah harus sering nglempit usus, berpuasa, dan meres moto, jarang tidur. Maka seorang murid yang masih senang dalam menuruti keinginan nafsunya berupa makan, minum, tidur, dan syahwat yang lain maka sulit baginya untuk sampai pada maqam “Qurbah”, dekat dengan Allah SWT. 

Artikel ini sedikit memberikan penjelasan kepada seorang salik untuk berusaha menata hati agar hatinya tidak dipenuhi dengan rasa cinta kepada dunia. Memang untuk meninggalkan rasa cinta kepada dunia bukanlah hal yang mudah semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi bukan berarti hal itu tidak bisa dilakukan. Semua orang bisa sampai kepada Allah, namun dalam perjalanannya selalu ada hambatan dan ujian. Hambatan dan ujian itu bukan untuk dihindari tetapi diselesaikan sehingga diperoleh sebuah kematangan dan kedewasaan.

Artikel ini diambil dari qaul seorang al-Syaikh al-Arif Billah Abu al-Mawahib al-Syadzili R.A. yang termaktub dalam kitab Minahus Saniyyah, salah satu kitab tasawuf populer dikalangan pesantren salafiyah terutama yang dikarang oleh al-A’rif Billah al-Syaikh Abdul Wahhab al-Sya’rani. Kitab tersebut saat ini juga dikaji di Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung sebagai upaya untuk membentuk karakter mahasantri agar mampu menjadi pribadi cendekia yang tetap berpegang pada nilai luhur ulama salaf. Semoga sekelumit artikel ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis yang masih dalam tahap belajar menulis.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…




Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...