Ibadah Bercampur Cinta Dunia
Dunia selalu menjadi pilihan menarik bagi setiap orang yang ingin
meraih kebahagiaan dalam hidup. Gemerlap kehidupan dunia telah memperdaya
banyak manusia sehingga mereka tertipu dan larut dalam kehidupan dunia yang
fana. Kehidupan dunia lebih tampak nyata bila dibandingkan dengan kehiudupan di
akhirat yang masih dirahasiakan Allah SWT. Itulah sebabnya mengapa banyak
sekali orang yang tertipu dalam kehidupan dunia ini.
Seorang yang menghendaki wushul ilallah harus senantiasa berusaha
agar hatinya tidak memiliki kecenderungan kepada dunia. Memiliki harta benda di
dunia bukanlah hal yang dilarang, oleh karenanya seorang sufi boleh dan sah –
sah saja memiliki dunia. Akan tetapi yang tidak diperbolehkan bagi seorang sufi
adalah menjadikan harta dan kehidupan dunia sebagai tujuan hidupnya. Dengan
kata lain ia memiliki rasa mahabbah/cinta kepada dunia.
Berkaitan dengan hal ini, al-Syaikh Abu al-Mawahib al-Syadzili R.A.
berkata:
العبادة
مع محبة الدنيا شغل قلب وتعب جوارح، فهي وإن كثرت قليلة، وإنما هي كثيرة فى وهم
صاحبها، وهي صورة بلاروح وأشباح خالية غير حالية (منح
السنية: 4)
Artinya: “Ibadah yang dilakukan bersamaan dengan cinta kepada
dunia itu hanyalah menyibukkan hati, melelahkan anggota badan, meskipun ia
banyak tetapi sesunggunya sedikit, ia hanya banyak menurut prasangka
pemiliknya, ia bagaikan gambar tak bernyawa, dan gembok yang tak berbelenggu
dan tanpa hiasan.” (Minahus Saniyyah: h.4)
Demikianlah menurut al-Syaikh Abu al-Mawahib al-Syadzili R.A. Orang
yang beribadah kepada Allah tetapi dalam dirinya masih terdapat rasa cinta
kepada dunia maka ia ibarat orang yang hanya menyibukkan hatinya dan melelahkan
fisiknya. Amal ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba betapapun banyaknya
tetapi apabila dilakukan dengan disertai kecintaan pada dunia maka amal itu
dihadapan Allah tidaklah memiliki nilai yang tinggi. Sebaliknya amal itu
dianggap hanyalah sedikit dihadapan Allah SWT oleh karena cinta dunia telah
merusakkan nilai dari ibadah tersebut.
Di dunia ini Allah tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah kepada-Nya semata – mata untuk memurnikan agama Allah. Hal ini
sebagaimana termaktub dalam Surat al-Bayyinah; 98: 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ
Artinya: “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya
mereka menyembah Allah dengan ikhlas untuk memurnikan agama.” (Q.S.
al-Bayyinah; 98: 5)
Secara tegas dan jelas ayat di atas mengatakan bahwa Allah SWT
tidak pernah memerintahkan kepada manusia dan jin melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Nya secara ikhlas. Ikhlas artinya tulus tanpa pamrih semata
untuk memurnikan agama. Oleh karenanya hal ini penting untuk diketahui setiap
pribadi muslim khususnya mereka yang sedang menempuh perjalanan/salikin menuju
kepada Allah SWT.
Perintah ibadah ini secara tegas juga disebutkan dalam Surat
al-Dzariyat; 51: 56:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)
Artinya: “Dan tiadalah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka beribadah/menyembah-Ku.” (Q.S. al-Dzariyat; 51: 56)
Jadi antara jin dan manusia memiliki tugas yang sama, yaitu
menyembah kepada Allah SWT. Oleh karenanya jin ada yang muslim dan ada yang
kafir. Jin muslim mereka sama halnya dengan manusia melaksanakan perintah Allah
sebagaimana kita, hanya saja mereka berada dalam dimensi yang berbeda dengan
dimensi kita sehingga kita pada umumnya tidak mampu mengetahui apa yang mereka
kerjakan. Pendapat ini tentu bukan pendapat yang mengada – ada. Pendapat ini
diperkuat dengan ayat al-Qur’an yang terdapat Surat al-Jin; 72: 1-2:
قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ
فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآَنًا عَجَبًا (1) يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ
فَآَمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا (2)
Artinya: “Katakan wahai Muhammad, telah diwahyukan kepadaku
bahwasannya sekelompok jin telah mendengar (bacaan al-Qur’an), kemudian mereka
berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendengar al-Qur’an yang menakjubkan (1) yang
menunjukkan kepada kebenaran kemudian kami beriman kepadanya dan sekali – kali kami
tidak akan mempersekutukan Tuhan kami dengan seorangpun (2).” (Q.S. al-Jin;
72: 1-2)
Ayat diatas nmenjadi penjelas sekaligus menegaskan bahwa jin dan
manusia memiliki tugas yang sama dalam menjalankan perintah Allah untuk
beribadah. Maka salah besar jika ada pendapat yang menyatakan setiap jin mesti
kafir dan ahli neraka. Dengan mengkaji ayat diatas maka semakin jelas dan
mantaplah keyakinan dan pengetahuan kita bahwa antara jin dan manusia memiliki
tugas yang sama. Diakhiratpun keadaannya juga sama. Sebagian menjadi penduduk
surga dan sebagian yang lain menjadi penduduk neraka.
Ibadah yang dilakukan dengan disertai rasa cinta kepada dunia bagaikan
gambar tanpa nyawa, bagaikan gembok tanpa belenggu dan tanpa hiasan. Artinya amal
itu tidak memiliki nilai dihadapan Allah SWT. Betapapun banyaknya amal ibadah
itu, hingga semua orang menyanjungnya sebagai ahli surga tetapi apabila dalam
hati pelakunya masih tersimpan rasa cinta pada dunia maka tidak ada artinya
dihadapan Allah SWT. Amal ibadah tersebut masih tercampuri dengan unsur syirik/mempersekutukan
Allah SWT.
Sebaliknya amal ibadah sedikit namun disertai dengan keikhlasan
yang tulus semata karena Allah/lillah dan billah, maka amal itu memiliki nilai
yang tinggi dihadapan Allah SWT. Dalam hal ini para ulama sufi mengatakan:
ذرة من
أعمال القلب خير من أمثال الجبال من أعمال الجوارح
Artinya: “Sebiji sawi ibadah hati (yang disertai dengan lillah
dan billah) maka itu lebih baik daripada segunung ibadahnya orang yang jahl
(bodoh lillah billah) dari amal – amal jawarih/anggota badan.”
Nah, disinilah sebenarnya letak perbedaan orang yang telah berhasil
dalam membersihkan hatinya sehingga hatinya menjadi hati yang suci. Hati yang
suci ketika digunakan untuk beribadah kepada Allah SWT, maka amal yang terlahir
darinya adalah amal ibadah murni kepada Allah SWT bukan karena yang lain. Amal yang
murni inilah yang kemudian menjadikan nilainya berharga dihadapan Allah.
Seorang salik yang menjalankan usaha lahir dan batin untuk menuju
kepada Allah SWT harus memiliki pengetahuan ini. Apabila tidak, boleh jadi amal
ibadahnya hanyalah berupa bayang – bayang semu yang keberadaannya sama dengan
ketiadaannya. Kualitas semacam ini dalam dunia sufi hanya akan didapatkan oleh
seseorang yang terus menerus melatih diri dengan riyadlah dan mujahadah. Oleh karenanya
di dalam dunia sufi terkenal istilah, “Nglempit usus meres moto”. Seorang
yang menuju perjalanan untuk menggapai ma’rifat billah, iman musyahadah, wushul
ilallah harus sering nglempit usus, berpuasa, dan meres moto, jarang tidur. Maka
seorang murid yang masih senang dalam menuruti keinginan nafsunya berupa makan,
minum, tidur, dan syahwat yang lain maka sulit baginya untuk sampai pada maqam “Qurbah”,
dekat dengan Allah SWT.
Artikel ini sedikit memberikan penjelasan kepada seorang salik
untuk berusaha menata hati agar hatinya tidak dipenuhi dengan rasa cinta kepada
dunia. Memang untuk meninggalkan rasa cinta kepada dunia bukanlah hal yang
mudah semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi bukan berarti hal itu tidak
bisa dilakukan. Semua orang bisa sampai kepada Allah, namun dalam perjalanannya
selalu ada hambatan dan ujian. Hambatan dan ujian itu bukan untuk dihindari
tetapi diselesaikan sehingga diperoleh sebuah kematangan dan kedewasaan.
Artikel ini diambil dari qaul seorang al-Syaikh al-Arif Billah Abu
al-Mawahib al-Syadzili R.A. yang termaktub dalam kitab Minahus Saniyyah, salah
satu kitab tasawuf populer dikalangan pesantren salafiyah terutama yang
dikarang oleh al-A’rif Billah al-Syaikh Abdul Wahhab al-Sya’rani. Kitab tersebut
saat ini juga dikaji di Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung sebagai upaya untuk
membentuk karakter mahasantri agar mampu menjadi pribadi cendekia yang tetap
berpegang pada nilai luhur ulama salaf. Semoga sekelumit artikel ini bisa
bermanfaat khususnya bagi penulis yang masih dalam tahap belajar menulis.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar