Melacak Jejak Islam di Bumi Cirebon

Melacak Jejak Islam di Bumi Cirebon
(Resensi Buku Kerajaan Cirebon)

Judul Buku                  : Kerajaan Cirebon
Penulis                         : Didin Nurul Rosidin, M.A., Ph.D., dkk
Editor                          : Dr. Abdurrakhman, M. Hum
Jumlah halaman           : xii + 249 halaman; 14,8 x 21 cm
Cetakan                       : 1, Desember 2013
Desain & Layout         : Reza Perwira
Penerbit                       : Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

Louis Gottschalk menyatakan, “every man has his own historian”, setiap orang memang mempunyai sejarahnya sendiri dan harus menjadi sejarah bagi dirinya sendiri. Bingkai sejarah memang menjadi sesuatu yang menarik untuk mendapatkan perhatian. Bukan hanya sebagai sebuah informasi lebih dari itu sejarah bisa memberikan banyak ragam pengetahuan yang bisa kita petik hikmahnya untuk perbaikan kehidupan kita di masa mendatang. Banyak sekali peristiwa dan kejadian yang bisa kita jadikan pelajaran dalam kehidupan saat ini yang itu kita dapatkan dari mengkaji sejarah di masa silam. Itulah kenapa al-Qur’an menegaskan hal ini dalam Surat al-Hasyr; 18, “Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. al-Hasyr; 18)

Meminjam istilah Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, “jas merah”, jangan lupa sejarah. Apa yang disampaikan Soekarno menunjukkan arti pentingnya sejarah bagi setiap orang. Orang yang besar tidak pernah lupa terhadap orang yang pernah berjasa dalam kehidupannya, begitulah kira – kira. Meneladani sejarah juga merupakan bentuk syukur karena menurut hadits Rasulullah SAW, “Tidak dinamakan bersyukur kepada Allah orang yang tidak mau bersyukur kepada orang yang menjadi perantara diterimanya nikmat”. Ini merupakan ungkapan yang menggambarkan pentingnya sejarah dengan tetap menyambung tali silaturrahmi dengan orang – orang yang berjasa dalam kehidupan kita.

Berbicara tentang penyebaran Islam di wilayah Cirebon tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sosok Pangeran Cakhrabuana dan Sunan Gunung Jati. Pangeran Cakrabuana yang telah lebih dulu berada di Cirebon telah mengajarkan Islam kepada penduduk Cirebon dengan cara yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dengan memberdayakan masyarakat (community empowerment). Dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat Pangeran Cakhrabuana tidak monoton dengan mengajarkan ajaran – ajaran syariat yang kaku, akan tetapi ia juga mengajarkan kepada masyarakat tata cara teknologi pertanian yang sebelumnya belum dikenal, cara bertenun yang baik sehingga menghasilkan tenunan serat gebang yang bagus. Dengan demikian masyarakat semakin tertarik dan yakin akan agama yang dipeluk oleh Pangeran Cakhrabuana sehingga secara sukarela mereka masuk agama Islam.

Setelah Ki Gedeng Alang – alang, kuwu Cirebon pertama wafat Pangeran Cakhrabuana yang saat itu menjabat sebagai wakil kuwu diangkat menjadi kuwu Cirebon kedua menggantikan Ki Gedeng Alang – alang. Semakin hari perkembangan Cirebon dibawah pemerintahan Pangeran Cakhrabuana mengalami perkembangan yang pesat. Atas prestasinya ini Pangeran Cakhrabuana yang juga putra dari Raja Pajajaran diangkat menjadi Tumenggung dengan gelar Tumenggung Sri Mangana. Selama menjadi fatsa Kerajaan Galuh Pajajaran, Pangeran Cakhrabuana sangat loyal kepada rajanya dengan mengirim Bulu Bekti (upeti) berupa garam dan trasi.

Namun setelah kedatangan Syeikh Syarif Hidayatullah ke Cirebon yang kemudian ia nobatkan sebagai Raja Cirebon pertama dengan gelar Ingkang Sinuhun Sunan Jati Purba Wisesa tradisi mengirimkan Bulu Bekti itu dihentikan. Semenjak itu wilayah Cirebon menjadi sebuah kerajaan yang berdaulat penuh. Selain itu ketua Dewan Wali Sanga R. Ali Rahmatullah atau yang dikenal dengan Sunan Ampeldenta juga melantik Syeikh Syarif Hidayatullah menjadi Sunan Carbon Sinarat Sunda untuk menggantikan Syeikh Nurjati yang telah mangkat dengan gelar Ingkang Sinuhun Sunan Jati Purba Wisesa Panetep Panatagama Auliyaallahu Kutubil Zaman Kholifatu Rasulillah Shalallahu ‘alaihi wasallam pada tahun 1404 saka atau 1482 M.

Dengan dilantiknya Sunan Gunung jati sebagai Raja Cirebon maka pusat dakwah Islam berada dalam genggamannya. Wilayah Cirebon yang dahulu berada dibawah kendali kekuasaan Maharaja Pakuan Pajajaran memproklamirkan diri sebagai kerajaan sendiri yang berdaulat dibawah pimpinan Sunan Gunung Jati sebagai raja pertamanya.

Segera setelah terbentuknya kerajaan Cirebon baru Sunan Gunung Jati membangun struktur baru pemerintahan yang berbeda dari corak Hindu – Budha sebagaimana yang berlaku pada kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di Pakuan. Ia membangun protetipe kerajaan Islam yang merdeka. Dengan demikian penyebaran agama Islam tidak hanya melalui jalur kultural semata tetapi telah merambah ke wilayah politik dalam sistem pemerintahan.

Pemisahan diri kerajaan Cirebon dari kerajaan induknya Pajajaran bukan berarti tanpa mengalami pergolakan. Demi menertibkan kondisi Cirebon Sri Baduga Raja Pakuan Pajajaran mengutus Tumenggung Jagabaya ke Cirebon. Tetapi naas Tumenggung Jagabaya yang waktu itu disergap oleh pasukan Demak yang dibawa Raden Patah ketika menghadiri penobatan Sunan Gunung Jati bersama pasukannya justru berbelot memeluk Islam. Tidak ada alasan yang pasti tentang alasan mereka memeluk agama baru, Islam.

Selain melalui pemerintahan proses islamisasi di Cirebon juga dilakukan dengan memanfaatkan media seni sebagai sarana dakwahnya. Di tangan Sunan Gunung Jati seni sastra dan tembang maju pesat dan berubah menjadi media informasi dan sosialisasi Islam. Di tangan wali sanga yang termasuk di dalamnya Sunan Gunung Jati, seni menjadi bermartabat dan terhormat, tidak lagi menjadi konsumsi orang – orang bejat dan para pemabuk. Beberapa kesenian yang dijadikan media islamisasi di Cirebon diantaranya: Brai (Gembyung), Gamelan Sekaten, Wayang dan Topeng. Penyebaran agama Islam di Cirebon menurut Ridin Sofwan memiliki sifat dan kearifan lokal dalam menghadapi budaya sebelumnya, hal ini terjadi karena adanya persamaan spiritual dengan budaya pra Islam.

Buku Kerajaan Cirebon yang ditulis oleh Didin Nurul Rosidin dkk ini memberikan banyak data dan informasi bagi tumbuhkembangnya Islam di bumi Cirebon. Penulisan buku ini juga menggunakan gaya bahasa sederhana yang mudah untuk dicerna dan dipahami. Oleh karena itu bagi para pemerhati dan peminat kajian Islam Jawa khususnya Cirebon buku ini layak untuk dibaca.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Komentar