Amal Paling Utama



Amal Paling Utama
Suatu hari Rasulullah SAW ditanya oleh sahabat tentang amal yang paling utama. Pertanyaan sahabat itu terdapat dalam sebuah hadits yang ditakhrij oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah RA:
حديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل: أي العمل أفضل؟ فقال: إيمان بالله ورسوله، قيل ثم ماذا؟ قال: الجهاد فى سبيل الله، قيل ثم ماذا؟ قال: حج مبرور. أخرجه البخاري
Artinya: “Hadits Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah SAW.ditanya: “Amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Ditanyakan (kepada beliau): “Kemudian apa?”. Beliau menjawab : “Berjuang pada jalan Allah”. Ditanyakan lagi (kepada beliau): “Kemudian apa?”. Beliau menjawab: “Haji yang mabrur”. (Ditakhrij oleh al-Bukhari)
Hadits diatas menjelaskan tentang amal yang paling utama dari seorang hamba. Saat ditanya tentang amal yang paling utama dihadapan Allah, Rasulullah SAW menjawab bahwa amal yang paling utama adalh Iman kepada Allah dan Rasulullah SAW.  Setelah itu berjuang dijalan Allah dan Haji yang mabrur.
Iman kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi amal yang paling utama dibandingkan dengan amal yang lain oleh karena keimanan ini menjadi pondasi dari semua amal yang lain. Amal yang tidak didasari iman kepada Allah dan Rasul-Nya niscaya akan menjadi amal yang sia – sia belaka dan tidak berguna. Ibarat orang berdagang maka dagangannya justru menuai rugi bukannya untung.
Pada hadits diatas kata iman kepada Allah dirangkai dalam bentuk jar majrur berupa ba’ dan Allah. Dalam kajian ilmu nahwu ba’ adalah huruf jar yang memiliki arti ‘ilshaq’, artinya perjumpaan. Jual beli kontan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ‘yadan biyadin’. Artinya dalam jual beli semacam ini dilakukan secara kontan. Begitu ada uang maka ada barang.
Kaitannya dengan penggunaan huruf jar pada lafadz Allah yang terdapat pada rangkaian kalimat pada hadits diatas maka hal itu menunjukkan tingkatan keimanan. Iman yang dianggap sebagai amal paling utama, bukan hanya sekedar iman bi al-lisan yang terucap melalui lisan saja. Akan tetapi lebih dari itu iman yang dimaksudkan sebagai amal yang paling utama disini adalah iman billah yang dalam kajian ilmu tasawuf dikenal juga dengan nama iman musyahadah.
Iman musyahadah diartikan sebagai iman yang sudah menancap dalam hati hingga pemiliknya mampu merasakan kehadiran Allah dalam setiap detik dalam kehidupannya. Seolah – olah orang yang berada pada maqam ini selalu melihat –musyahadah- Allah dalam setiap saat. Inilah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam menerangkan ihsan saat Malaikat Jibril A.S. menemuinya ditengah – tengah para sahabat untuk mengajarkan tentang iman, islam dan ihsan.
Saat ditanya tentang ihsan Rasulullah SAW menjawab: “Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah – olah engkau melihat-Nya, andai engkau tidak dapat melihat-Nya maka –sadarlah- sesungguh-Nya Ia melihatmu.” Ini adalah gambaran iman yang telah mengakar dalam hati seseorang sehingga dalam setiap detik dalam kehidupannya iman selalu menjadi ruh yang menjadikan semua amal dan perbuatannya hidup.
Lebih dalam lagi gambaran iman musyahadah ini terdapat dalam sebuah hadits Qudsi: “Dan tiadalah seorang hamba yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah sunnah hingga Akuu mencintainya dan dia mencintai-Ku, maka jadilah Aku penglihatannya yang dengan penglihatan itu dia melihat, jadilah Aku pendengarannya yang dengan pendengaran itu ia mendengar, dan jadilah Aku tangannya yang dengan tangan itu ia memegang.” Artinya bagi seseorang yang telah sampai pada maqam iman billah/musyahadah ini maka ia selalu merasakan bahwa setiap ‘obah museknya’, seluruh gerak – geriknya semua terjadi karena semata fadlal dan rahmat Allah SWT. Tanpa rahmad dan kasih sayang Allah, tanpa digerakkan Allah maka ia tidak mampu melakukan apa – apa. Ibarat wayang yang diobahne ‘Dalang’. Geraknya wayang karena digerakkan  dalang, tidurnya wayang ya karena ditidurkan dalang, makannya karena dimakankan dalang, bicaranya karena dibicarakan oleh dalang begitu seterusnya. Jadi manusia tidak bisa melakukan apapun yang mampu melakukan hanyalah Allah  semata. Inilah yang dimaksud dengan iman billah/musyahadah.
Dasar dari iman musyahadah ini sebenarnya terdapat pada al-Qur’an: “Dan Allahlah yang menciptakanmu dan menciptakan apa yang akan kamu kerjakan.” Menurut para ulama sufi khususnya ini adalah dasar dari iman billah/musyahadah. Siapapun orang yang mencapai maqam seperti ini maka amalnya akan betul – betul murni sehingga menjadi amal yang dianggap paling utama sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
Namun yang perlu kita cermati disini adalah penggunaan kata warasulihi yang terangkai dalam susunan ‘athaf dengan huruf athaf wawu. Dalam tradisi ilmu nahwu faidah dari huruf athaf  wawu” adalah untuk menunjukkan arti limutlaqi al-jam’i, artinya mutlak harus bersamaan. Dengan demikian maka bisa dipahami bahwa iman billah/musyahadah saja tidak cukup harus ada iman bi al-rasul. Menurut para ulama sufi khususnya, iman bi al-rasul artinya sadar sesadar – sadarnya bahwa kita bisa merasakan dan mendapatkan nikmat semacam ini karena jasa Rasulullah SAW. Tanpa jasa Rasulullah SAW maka kita tidak akan terwujud didunia ini bahkan dunia beserta isinya tidak akan terwujud tanpa ada jasa Rasulullah SAW.
Adapun yang menjadi dasar dari para ulama menganai hal ini adalah hadits Qudsi, “Andai tanpa engkau Muhammad maka aku tidak akan menciptakan cakrawala”. Oleh karena itulah maka setiap manusia harus merasa berhutang budi kepada Rasulullah SAW. Iman bi al-Rasul harus bersamaan dengan iman billah/musyahadah agar bisa menjadikan setiap apa yang kita kerjakan sebagai sesuatu yang paling utama dihadapan Allah SWT. Antara iman billah dan bi al-rasul harus bersamaan sama halnya dengan syahadatain. Syahadat tauhid dan syahadat rasul harus bersamaan tidak sah syahadat seseorang yang hanya syahadat tauhid tanpa syahadat rasul begitu pula sebaliknya. Maka antara keduanya harus seiring dan sejalan bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Iman bi al-rasul akan menjadi jiwa kita manakala kita sudah benar – benar ikut ‘nderek’ kepada Rasulullah SAW dengan sungguh – sungguh. Tanpa ikut/manut pada Rasulullah dengan sungguh – sungguh maka mustahil kita bisa mendapatkan iman bi al-rasul yang benar. Dalam suatu riwayat al-Syaikh Imam al-Syadzili pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW.  Dalam mimpinya itu Imam al-Syadzili menanyakan hal ‘hakikat nderek’ kepada Rasulullah SAW yang sesungguhnya, “Wahai Rasulullah, apakah hakikat ikut penjengengan yang sejati?, Rasulullah SAW bersabda: “Hakikat ikut yang sejati adalah melihat yang diikuti ada didekat segala sesuatu, bersama segala sesuatu dan pada segala sesuatu.”
 
Makna dalam riwayat ini menggambarkan bagaimana iman bi al-rasul dalam arti yang sesungguhnya. Iman bi al-rasul juga menuntut adanya kesadaran sebagaimana yang terdapat dalam iman musyahadah. Iman bi al-rasul menuntut adanya kesadaran yang terwujud dalam rasa bahwa aslu al-khilqah untuk semua makhluk di dunia ini adalah Rasulullah SAW. Diakui maupun tidak asal kejadian dari seluruh makhluk di dunia ini adalah nur Muhammad SAW. Oleh karena itu amal yang paling utama dihadapan Allah SWT tidak lain hanyalah iman billah/musyahadah dan iman bi al-rasul.
Setingkat dibawah iman billah dan bi al-rasul ini adalah jihad fi sabilillah, berjuang dijalan Allah. Berjuang dijalan Allah termasuk amal yang utama. Perjuangan sudah barang tentu membutuhkan pengorbanan yang besar. Tidak hanya berupa harta benda, waktu dan kesempatan, lebih dari itu jihad fi sabilillah juga menuntut kerelaan kita untuk mengorbankan jiwa dan raga demi tegaknya kalimah Allah di bumi.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa makna jihad tidak selalu diartikan dengan peperangan menumpahkan darah orang kafir. Perjuangan semacam ini mungkin dahulu memang diperlukan bahkan umat islam dituntut untuk andil di dalamnya. Dalam konteks saat ini tentu harus dipahami secara berbeda meski terkadang mungkin hal itu dalam kondisi tertentu juga diperlukan. Saat ini konteks jihad bisa diartikan dengan dakwah untuk mengajak umat semakin sadar kepada Allah SWT. Tidak melulu mengurusi masalah dunia yang fana belaka tetapi bagaimana menyadarkan umat sehingga dalam kegiatan mereka yang bersifat duniawi juga terdapat unsur ubudiyah kepada Allah SWT.
Jihad fi sabilillah juga bisa dilakukan dengan cara memerangi kebodohan yang masih banyak tersebar dinegeri ini. Bisa juga dengan mengentaskan kemiskinan, memberdayakan potensi yang ada disetiap lini kehidupan manusia sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan semakin makmurnya kehidupan masyarakat, semakin meningkat kesejahteraannya maka diharapkan semakin besar rasa syukur mereka kepada Allah SWT.
Amal berikutnya yang utama adalah haji mabrur. Diterangkan dalam suatu hadits bahwa haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga. Untuk menunaikan ibadah haji mungkin adalah hal yang sulit, terutama saat – saat sekarang ini. Sekarang untuk bisa berangkat haji orang harus bersabar bertahun – tahun menunggu antrian. Semakin lama mungkin antrian itu semakin panjang. Oleh karenanya dibutuhkan kesabaran dalam menunggu gilirannya.
Meski proses untuk berangkat sulit namun masih ada yang lebih sulit yaitu meraih gelar haji mabrur. Haji mabrur hanya Allahlah yang tahu. Oleh karenya sebelum keberangkatan perlu persiapan bathin yang sebaik – baiknya agar bisa meraih hajii yang mabrur. Sebagaimana janji Allah, haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Komentar