Berawal dari sekedar obrolan ringan yang santai kemudian menjadi
diskusi kecil yang ringan namun sarat dengan ilmu dan pengetahuan. Obrolan ringan
bersama Mudir Ma’had al-Jami’ah dan para Murabbi yang sedang santai sembari menunggu
saat ceklok tiba. Waktu yang singkat namun bermakna setidaknya menurut saya.
Pada awalnya obrolan ini hanya sekedar mengisi waktu kekosongan,
secara spontan muncul sebuah pertanyaan dari seorang diantara murabbi yang
ingin mengetahui makna filosofis dari logo IAIN Tulungagung tercinta. Kampus dimana
kami mengabdi dan berkarya untuk mempersiapkan anak bangsa di masa yang akan
datang.
Spontan saja pertanyaan itu kemudian menjadi tranding topik yang gayeng
untuk didiskusikan, meski sekali lagi diskusi ini sangat santai jauh dari
suasana tegang sebagaimana yang terjadi di dalam ruang – ruang kelas saat
perkuliahan. Sepemahaman saya setidaknya logo itu bisa dimaknai dengan
menggunakan dua perspektif. Perspektif Islam dan Jawa.
Saya coba yang pertama dulu yakni dengan menggunakan perspektif
Islam. Ya ini sejauh pemahaman yang saya tangkap dari perbincangan yang gayeng.
Adapun yang saya belum paham mungkin kolega saya punya pemahaman lebih dan
mungkin berbeda dengan pemahaman saya. Maklum beda kepala beda pemahaman dan
pemikiran.
Dari perspektif pertama ini logo ini bisa dipandang sebagai lafdzul
jalalah (asma Allah). Dari sisi ini maka mata yang ada di atas itu bisa
dimaknai sebagai tasydid. Ini memiliki arti bahwa IAIN Tulungagung ingin
menegaskan bahwa tujuan dari kampus ini adalah ketauhidan yang semuanya kembali
kepada nilai meng-esakan Allah SWT. Kampus IAIN ingin mengedepankan substansi
dari pada sisi dzahir yang tampak.
Sebagaimana yang kita maklumi seringkali manusia terjebak pada
penampilan – penampilan dzahir yang tampak. Padahal belum tentu semua yang
tampak baik itu baik secara substansinya. Meskipun ada kaidah yang mengatakan: الظاهر يدل على الباطن , “Dzahir itu
menunjukkan bathin”. Kaidah ini
mungkin berlaku bagi sementara orang yang bersikukuh pada hukum fiqih. Tetapi bagi
beberapa kasus yang lain terutama mereka yang berkutat dalam dunia filsafat dan
sufi mungkin kaidah ini tidak begitu berpengaruh.
Salah satu ayat al-Qur’an yang mungkin menunjukkan akan hal
substansit yang terkandung dalam setiap kejadian yang harus kita cermati dan
ambil pelajaran adalah Surat al-Baqarah ayat; 216:
أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ
خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan terkadang kalian membenci sesuatu padahal ia baik
bagi kalian, dan terkadang kalian menyukai sesuatu padahal ia buruk bagi
kalian, Dan Allah Maha Mengetahui dan kalian tidak mengetahui”.(Q.S. al-Baqarah;
216)
Secara ekplisit ayat ini menunjukkan bahwa terkadang kita membenci
sesuatu padahal sesuatu itu baik, pun pula sebaliknya. Dari ayat ini pula
terkandung makna implisit bahwa dalam setiap peristiwa dan kejadian yang ada
didunia ini ada sesuatu yang terkadang tidak bisa kita pahami dari sisi
dlahirnya saja. Akan tetapi untuk memahami hal itu perlu dilakukan kajian dan
perenungan yang mendalam sehingga dapat diperoleh makna hakiki yang diharapkan.
Nah, dalam kerangka inilah IAIN Tulungagung ada. Artinya IAIN
Tulungagung sebagai salah satu perguruan tinggi dibawah kementerian agama ingin
menegaskan diri sebagai kampus yang tidak hanya berpegang pada symbol – symbol yang
nampak saja. Lebih dari itu IAIN Tulungagung ingin mencetak generasi yang juga
mampu untuk menangkap symbol – symbol yang bersifat maknawi dan substansial
tentunya semua itu bermuara pada satu asma yang terdapat pada lafadz jalalah
yang ada pada logo IAIN Tulungagung.
Salah satu yang menjadi indikator dari pemaknaan dengan menggunakan
perspektif ini adalah penegasan IAIN Tulungagung sebagai kampus dakwah. Dakwah merupakan
symbol dari ke-Islaman yang sempurna yang pada akhirnya menegakkan kalimah
Allah dalam bentuk amar ma’ruf nahi mungkar. Amar ma’ruf nahi mungkar ini
identik dengan dakwah. Muara dakwah itu sejatinya tetap satu yaitu membentuk
manusia yang men-tauhidkan Allah SWT.
Perspektif kedua yang juga bisa diambil dari logo IAIN Tulungagung
adalah perspektif Jawa. Artinya bila dihubungkan dengan sisi historisitas
keberadaan tanah Jawa, tempat dimana IAIN Tulungagung berad, symbol yang ada
dalam logo IAIN Tulungagung ini menunjukkan tokoh yang popular dalam dunia pewayangan
bernama Semar.
Konon di zaman dahulu tanah Jawa terkenal dengan keangkerannya. Saking
angkernya maka setiap ada orang yang masuk dan hendak tinggal di Jawa maka
mereka akan mati karena tidak sanggup melawah jin priyangan yang ada di Jawa. Dalam
istilah Jawa ini dikenal dengan istilah “Jalma moro jalmo mati”, manusia
datang, manusia mati. Karena angkernya tanah Jawa maka untuk menentramkan tanah
Jawa diutuslah seseorang yang punya keahlian dalam bidang “Tumbal” yaitu
Syaikh Subakir yang diyakinni sebagai orang yang numbali tanah Jawa sehingga
semua jin priyangan itu lari menuju laut selatan. Konon tumbal itu di pasang di
tengah – tengah pulau Jawa, tepatnya di gunung Tidar di daerah Magelang. Melihat
kejadian itu Semar yang merupakan Dhayangan pulau Jawa yang menetap di gunung
Semeru kaget dan ingin menemuai orang yang bisa melakukan hal yang luar biasa
itu yakni Syaikh Subakir yang sampai hari ini masih sangat terkenal dan selalu
disebut dalam setiap hadiah fatihah saat tahlil dan hajatan dalam kultur
masyarakat Jawa.
Sebagai informasi, tokoh Semar digambarkan dalam sosok yang buruk
rupa. Meski buruk rupa tetapi dia termasuk salah satu Dewa yang darinya
menurunkan raja – raja Jawa. Oleh karena itu maka lagi – lagi IAIN Tulungagung
ingin menegaskan jangan hanya melihat pada bentuk lahirnya tetapi lihatlah
substansi yang ada didalamnya. Kembali lagi pada nilai – nilai ketauhidan yang
harus menjadi sebuah tongkat pedoman yang harus tetap dipertahankan.
Berangkat dari nilai historisitas ini –terlepas kontroversinya
sebagai sejarah atau mitos- IAIN Tulungagung yang berada di belantara pulau
Jawa tidak ingin meninggalkan nilai – nilai yang diyakini oleh masyarakat
sebagai cikal bakal akal bakal tanah Jawa. Artinya IAIN Tulungagung ingin
menegaskan bahwa meskipun ia adalah perguruan tinggi yang kental dengan budaya
keilmuan yang berkembang secara pesat, namun jangan sampai meninggalkan budaya
dan peradaban yang telah diwariskan oleh nenek moyang dan leluhur bangsa ini. Visi
ini ditegaskan oleh Rektor IAIN Tulungagung Dr. Maftukhin, M.Ag. dengan apa
yang disebutnya dengan istilah kampus peradaban. Artinya IAIN Tulungagung
adalah kampus yang memiliki orientasi untuk mempertahankan sekaligus
mengembangkan peradaban Jawa yang lebih maju lagi.
Nilai – nilai keislaman dituangkan oleh kampus IAIN Tulungagung
sebagai kampus yang berorientasi pada dakwah sedangkan nilai ke-Jawa-annya
dengan peradaban. Oleh karena itu Islam di tanah Jawa memiliki ciri khas yang
berbeda dengan Islam Arab. Islam Jawa tidak harus berpakaian jubah dan gamis
ala orang Arab karena jubah dan gamis adalah bagian dari budaya. Tetapi boleh
juga dan tidak ada salahnya orang berpakaian jubah dan gamis. Substansinya pakaian
islami adalah pakaian yang menutup aurat. Oleh karena itulah dalam upaya
menangkap makna substansi dai Islam Sunan Kalijaga menciptakan pakaian ala Jawa
yang kemudian disempurnakan oleh Sultan Mataram yang dikenal dengan baju takwa.
Inilah wilayah peradaban.
Oleh karena itu IAIN Tulungagung ingin menjadi kampus rujukan dalam
pengembangan Islam Jawa. Sebagai upaya dalam merealisasikan hal itu adalah
dengan dibentuknya Pusat Kajian Islam Jawa. Satu langkah yang menurut saya
pribadi positif dan harus terus dikawal sebagai sebuah upaya dalam memperbaiki
umat. Sebuah upaya untuk mengejawantahkan dan meneguhkan Islam di belahan
Nusantara yang sarat dengan kebhinekaan.
Salah satu upaya juga yang dirintis IAIN Tulungagung adalah dengan
merintis “Ma’had al-Jamiah” sebagai wujud keseriusan dalam menggarap
kampus dakwah dan peradaban. Ma’had al-Jami’ah dahuluu tidak sama dengan
apa yang dipahami dari Ma’had al-Jami’ah saat ini. Dahulu Ma’had
al-Jami’ah hanya berkutat pada mahasantri mukim yang ada di asrama Ma’had IAIN Tulungagung. Namun, pengertian
Ma’had al-Jami’ah saat ini mencakup seluruh mahasantri baik yang mukim
maupun tidak yang belajar di kampus IAIN mulai dari jenjang S1 sampai dengan
jenjang S3. Semua adalah mahasantri yang berada dalam naungan Ma’had al-Jami’ah
IAIN Tulungagung. Dalam kerangka menegaskan orientasi IAIN Tulungagung sebagai
kampus dakwah dan peradaban, saat ini Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung
merintis Madrasah Diniyah ala pesantren salafi dengan kajian kitab
kuning dengan metode “maknani gandul” ala pesantren. Maknani gandul
adalah wujud pembelajaran yang menjadi warisan ulama’ salaf shalih yang sampai
saat ini masih tetap dipertahankan karena memiliki nilai historis dan cirri khas
tersendiri yang membedakan pembelajaran Islam di tanah Jawa dengan selainnya.
Logo IAIN itu tersemat dalam pintu masuk IAIN Tulungagung dengan
taman kecil yang berada disebelahnya sebagai symbol dari “bokonge”
Semar. Semoga upaya dalam memperbaiki umat ini mendapat ridla Allah SWT dan
kampus ini menjadi kampus yang jaya dimasa yang akan datang serta mampu menjadi
rujukan dari berbagai kampus di belahan Nusantara.
Inilah yang mungkin saya peroleh dari hasil diskusi ringan bersama
Dr. Muhammad Teguh Ridlwan, M.Ag. , Mudirul Ma’had al-Jami’ah IAIN
Tulungagung bersama dengan para murabbi. Diskusi yang mungkin hanya berkisar antara
waktu setengah jam, namun sarat dengan nilai ilmu dan pengetahuan menurut saya.
Terlepas dari yang pro ataupun kontra dengan pemahaman saya. Tetapi setidaknya
inilah yang saya pahami dan ingin saya bagikan dengan anda semua yang mau
singgah di blog saya dan membaca sekedar artikel sederhana saya.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar