Untuk dapat mengetahui perkembangan suatu pondok pesantren, tentunya
kita harus dapat memahami perubahan-perubahan di dalam pondok pesantren .
Dan seharusnya diketahui terlebih dahulu sebab-sebab yang mendorong
terjadinya perubahan itu sendiri.
Perubahan-perubahan itu dapat kita lihat pada pondok, masjid, santri,
pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kyai yang merupakan lima elemen
dasar dari tradisi pesantren. Ini berarti bahwa suatu lembaga pengajian
yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut, akan
berubah statusnya menjadi pesantren . Dengan melihat perubaha-perubahan
dari lima elemen itu maka nantinya kita dapat mengetahui perkembangan
dari pondok pesantren. Di dalam perkembangan Pondok Pesantren Kedunglo
ini, kita kelompokkan dalam tiga (3) periode, yaitu :
A. Periode Awal tahun 1901 – 1955
Setelah hampir tiga ratus tahun umat Islam melakukan perjuangan
menentang kolonial Salibiyah, yang berakhir dengan kekalahan, maka pada
tahun-tahun tersebut umat Islam mencoba bangkit kembali. Karena medan
perjuangan telah mengalami banyak perubahan, maka pola perjuanganpun
mengalami perubahan, walau sasaran utama tetap sama yaitu tegaknya
negara Islam, dimana syari’at Islam dapat dilaksanakan secara utuh .
Maka dengan kondisi seperti itu pola perjuangan dari umat Islam berubah.
Yaitu banyak yang mendirikan organisasi-organisasi ke Islaman.
Organisasi-organisasi ke-Islaman didirikan karena pada saat itu ekspansi
Kristenisasi sangat mencolok, yang dilakukan oleh missi dan zending
Kristen (Katolik dan Protestan) dengan bantuan sepenuhnya oleh penguasa
kolonial Belanda . Dengan kondisi masyarakat yang terombang-ambing
seperti itu maka banyak juga yang mendirikan pondok pesantren.
Pada tahun 189… berdirilah pondok pesantren Kedunglo yang didirikan oleh
KH. Mohammad Ma'roef. Karena tempat didirikannya pondok saat itu sering
terkena banjir, maka pada tahun 1901 lokasi pondok dipindahkan
keselatan lokasi yang lama ( + 50 m ). Periode ini dikatakan periode
awal, karena periode inilah yang mengawali kehidupan baru di dalam
pondok pesantren Kedunglo yang bertujuan menyiarkan dan mengembangkan
ajaran Islam, artinya bahwa pondok pesantren membina akhlaq, tingkah
laku dan perbuatan yang dilaksanakan masyarakat berdasarkan pada ajaran
Islam, sehingga terciptalah masyarakat yang Islami. Karena melihat
kondisi lingkungan sekitar yang masyarakatnya lebih dekat dengan adat
istiadat atau lebih banyak menganut kepada aliran-aliran kebatinan.
Pada saat itu pendidikan agama belum banyak berkembang dan pesantren
inilah yang berfungsi sebagai sarana untuk menyiarkan agama islam secara
utuh dalam masyarakat Ds. Bandar Lor.
Konon KH. Mohammad Ma'roef mempunyai temperamen yang keras. Kalau dia
sedang marah pada seseorang ya marah betul. Bahkan kalau dia sedang
marah dan sempat mengeluarkan kata-kata celaka, maka orang yang dimarahi
akan celaka betul. Akan tetapi dia sangat terbuka. Segala peristiwa
yang terjadi pada dirinya hampir pasti diceritakan kepada keluarga dan
murid-murid kesayangannya mengetahui perjalanan hidup gurunya dari yang
sifatnya umum sampai pribadi.
Setelah pondok pesantren Kedunglo didirikan akhirnya
berbondong-bondonglah santri untuk mengaji, akan tetapi pada periode
awal tersebut jumlah santri belum begitu banyak. Sistem pengajarannya
menggunakan struktur, metode dan literature tradisional. Pendidikan
pengajaran tradisional dapat berupa pendidikan formal di sekolah atau
madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun
pemberian pengajaran dengan sistem halaqah (lingkaran) dalam bentuk
pengajian weton dan sorogan. Ciri utama dari pengajian tradisional ini
adalah cara pemberian pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan
harfiah (letterlijk) atas suatu kitab (teks) tersebut, untuk kemudian
dilanjutkan dengan pembacaan kitab (teks) lain . Kitab-kitab yang
diberikan kepada santri adalah kitab-kitab sebagaimana yang ada di
pondok-pondok salaf lain yaitu mengacu pada bidang tauhid serta
do’a-do’a yang menjadi tren pada saat itu, seperti tahlil, wirid-wirid
dan masih banyak lagi. Tetapi sat itu di Pondok Pesantren Kedunglo belum
didirikan madrasah untuk sarana belajar, karena santri masih sedikit,
maka pengajaran santri langsung ditangani sang pengasuh pondok.
Adapun fasilitas pondok pada saat itu masih sangat terbatas sekali.
Misalnya jumlah pondok, mengingat bahwa santri yang mondoknya masih
sangat terbatas. Adapun pondok pada zaman KH. Mohammad Ma'roef ini
adalah pondok yang sekarang diberi nama Al Ma'roef dan Al Mundir.
Keadaan masjid yang ada di pondok pesantren Kedunglo pada saat itu
sampai saat ini masih tetap belum ada perubahan akan tetapi sudah ada
penambahan-penambahan.
B. Periode Pertengahan, Tahun 1955 – 1989
Pada periode ini dikatakan masa pertengahan karena berada diantara masa
awal berdiri dan masa perkembangan. Pada periode ini pucuk kepemimpinan
berganti. Setelah KH. Mohammad Ma'roef meninggal dunia pada tahun 1955
lalu digantikan oleh putranya yaitu KH. Abdul Madjid Ma'roef. Dia
mempunyai kepribadian yang sangat mempesona. Kalau bicara tenang dan
santai disertai senyum, dia juga sering melontarkan kalimat-kalimat
canda, dia berbicara dengan jawami kalam, artinya kata-kata yang
dituturkannya mengandung makna yang banyak. Dia mengucapkan kata-kata
dengan jelas, tidak lebih dan tidak kurang dari yang dikehendaki. Dia
memperhatikan sungguh-sungguh kepada orang yang berbicara dengannya.
KH. Abdul Madjid Ma'roef juga terkenal sangat dermawan. Tidak jarang
tamunya yang sowan dan nampak tidak punya ongkos buat pulang diberi uang
olehnya. Bila marah, dia cuma diam. Hanya roman mukanya sedikit
berubah. Kalau dia mau berbicara pertanda bahwa marahnya sudah hilang
dan tidak terjadi apa-apa.
Pada periode pertengahan ini, santri masih tetap. Dalam artian belum
begitu banyak yang mondok. Sampai pada tahun 1963 muncullah Shalawat
Wahidiyah yang ditaklif langsung oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef. Pro dan
kontra saat itu terjadi namun tidak begitu banyak hambatan, yang
akhirnya dapat mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai sekarang
ini.
Setapak demi setapak langkah KH. Abdul Madjid Ma'roef menuju suasana
yang lebih terang, ini terbukti semakin banyaknya
peningkatan-peningkatan. Misalnya banyaknya santri yang berdatangan di
pondok pesantren Kedunglo untuk mondok. Dan setiap tahunnya jumlah
santri selalu meningkat. Akan tetapi sistem pendidikan tradisional yang
digunakan adalah sistem pengajaran semacam asrama seakan-akan mereka
hanya butuh tempat saja, karena banyak yang sekolah umum di luar pondok.
Akhirnya sebagaimana yang telah dikatakan oleh KH. Abdul Madjid
Ma'roef, sesuai dengan perkembangan zaman, dia ingin mencetak wali yang
intelek dan intelek yang wali. Maka dikumpulkanlah orang-orang dekat
untuk mewujudkan cita-citanya. Pada pertengahan era tujuh puluhan di
Pondok Pesantren Kedunglo didirikan madrasah diniyah sebagai sarana
belajar santri tentang berbagai disiplin ilmu agama.
Serta pada tahun 1982 dibuatlah sekolah umum di dalam lingkungan
pesantren, yaitu didirikannya SLTP dan SLTA, serta pada tahun 1985
didirikan TK. Pada saat itu gedung dan perlengkapan yang dimiliki masih
sangat terbatas sekali, lokasinya ditempatkan di depan Masjid atau
disekeliling pondok pesantren Kedunglo. Dengan adanya pendidikan umum
itu disambut antusias oleh pengamal Wahidiyah yang ingin tabaruk atau
yang ingin keberkatan, keselamatan, kesentosaan kepada mu’alif Shalawat
Wahidiyah. Sehingga membawa pondok pesantren mengalami kemajuan. Sistem
pendidikan yang dianut di Pondok Pesantren Kedunglo memakai sistem
pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan salafi ( tradisional ) serta
kurikulum nasional. Karena sistem pendidikan di SLTP dan SLTA mengikuti
pada sistem pendidikan Nasional.
Tenaga pengajar di dalam pendidikan wahidiyah itu diajar oleh guru-guru
yang juga para pengamal wahidiyah dan para simpatisan wahidiyah yang
mengajar di sekolah negeri di wilayah karisidenan Kediri. Lama-kelamaan
jumlah santri meningkat sekitar + 400 orang santri putra dan putri yang
sebagian besar hampir 95 % masuk di sekolah wahidiyah yang lainnya hanya
mondok saja. Disamping santri dibekali oleh pengetahuan umum dengan
adanya TK, SLTP dan SMU, seluruh santri diharuskan mengikuti segala
kegiatan yang diadakan dalam pesantren.
Kegiatan yang diadakan dalam Pondok Pesantren Kedunglo adalah jama’ah
shalat witir dilanjutkan dengan jama’ah shalat shubuh beserta
mujahadahnya (pengamalan shalawat wahidiyah), pagi sampai siang
mengikuti pelajaran di SLTP dan SLTA, bagi yang tidak sekolah pagi
diadakan pengajian kitab kuning, pada malam harinya semua santri
diwajibkan mengikuti sekolah agama atau sekolah diniyah sebagai
perbekalan kepada masyarakat setelah ia pulang dari pondok pesantren
Kedunglo. Adapun kitab-kitab yang diajarkan seperti fiqh meliputi
safinatush sholeh, sulam taufiq, takrib, fatkhul mu’in serta kitab lain
yang menunjang. Kitab nahwu seperti jurumiyah, imriti dan alfiah, kitab
taukhid meliputi jawahirul kalamiyah, aqidatul kalamiyah.
Setiap kamis malam jum’at KH. Abdul Madjid Ma'roef memberikan pengajian
umum kitab Al-Hikam karya sheikh Ibn Aththo’illah di dalam masjid.
Santri yang hadir dalam pengajian tersebut tidak hanya dari Pondok
Pesantren Kedunglo, namun juga dari wilayah karisidenan Kediri, dari
wilayah yang jauh seperti Jawa Barat, Jawa tengah, bahkan luar Jawapun
juga datang. Yang intinya pada pengajian itu adalah tabarukan kepada
mu’alif shalawat wahidiyah serta untuk semakin memahami tentang ajaran
wahidiyah. Waktu untk pengajian kitab al Hikam ini kemudian diganti pada
hari ahad pagi, hal ini memperhatikan permintaan dari jama’ah yang mana
mereka bisa mengikuti pengajian pada hari ahad, karena bertepatan
dengan libur kerja.
Dengan semakin bertambahnya santri yang mondok di pondok pesantren
Kedunglo tersebut akhirnya jumlah pondokpun juga semakin bertambah.
Adapun penambahan jumlah pondok adalah yang sekarang disebut pondok
Al-Fikr dan pondok Al-Hikam.
Perkembangan demi perkembangan telah tersusun, namun usialah yang
membatasi. Pada tahun 1989 KH. Abdul Madjid Ma'roef telah kembali ke
Rahmatullah.
C. Periode Perkembangan Tahun 1989 – 2005
Setelah KH. Abdul Madjid Ma'roef meninggal dunia, pucuk pimpinan Pondok
Pesantren Kedunglo dan perjuangan wahidiyah ( Penyiar Shalawat
Wahidiyah Pusat ) digantikan oleh putranya yang bernama KH. Abdul Latief
Madjid. Hal ini diputuskan dalam musyawarah keluarga pada tanggal 8
maret 1989 + jam 02.00 Wib. sebelum jenazah KH. Abdul Madjid Ma'roef
dikebumikan yang saat itu dibacakan oleh Mayor TNI (Purn) AF. Badri dan
M. Machrus.
KH. Abdul Latif Madjid sangat disiplin dalam memimpin pondok pesantren
Kedunglo dan Penyiar Sholawat Wahidiyah. Kalau terjadi sesuatu masalah,
dia tidak segan-segan turun tangan dan memberikan pemecahan masalah.
Sifatnya yang seperti itu menyebabkan sebagian orang yang dari awal
kontra dengan dia semakin tidak senang. Disamping itu dia juga mempunyai
pemikiran yang modern dalam upaya peningkatan mutu madrasah atau pondok
pesantren yang merupakan tuntutan yang makin mendesak dan tidak dapat
dihindari.
Era pasar bebas yang dimulai pada tahun 2003 menuntut kemampuan bersaing
untuk sumber daya manusia kita. Kemampuan bersaing hanya mungkin muncul
bila kita berkualitas. Tanpa kualitas, maka Sumber Daya Manusia kita
akan menjadi tenaga kerja dan tenaga lapis bawah dalam era pasar bebas
tersebut .
Untuk memberi gambaran madrasah pada masa depan, maka perlu dirumuskan
gambaran tentang Visi madrasah dalam alam globalisasi. Visi madrasah
tersebut adalah menjadi madrasah sebagai sekolah plus yang berkualitas,
berkarakter dan mandiri. Madrasah plus adalah madrasah yang menyiapkan
anak didik mampu dalam sains dan teknologi, namun tetap dengan identitas
keislamannya. Ini sesuai dengan konsep madrasah adalah sekolah umum
yang berciri khas Islam.
KH. Abdul Latief Madjid mengatakan bahwa seorang santri pondok pesantren
Kedunglo harus mempunyai ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan selain
ilmu agama. Dia menata managemen pondok pesantren Kedunglo sebagai
pelaksana apa yang dicita-citakan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef yang
ingin menjadikan santri-santri Kedunglo sebagai wali yang intelek dan
intelek yang wali. Maka rehabilitas pondok ditingkatkan.

Pada tahun 1990, KH. Abdul Latief Madjid mendirikan gedung baru untuk
SLTP dan SMA dengan menelan biaya + 1 M. Biaya pembangunan gedung lantai
dua ini didapat dari para pengamal wahidiyah, alumni Pondok Pesantren
Kedunglo dan kas pondok pesantren. Seluruh managemen pondok, SLTP dan
SMU Wahidiyah ditingkatkan. Sehingga menjalin hubungan timbal balik
antara pengamal wahidiyah, para alumni pondok, dan pondok pesantren
Kedunglo.
Managemen berarti kegiatan-kegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan
pokok yang telah ditentukan dengan menggunakan orang-orang pelaksana.
Sedang fungsi dari managemen antara lain untuk perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan da pengawasan. Managemen pada pokoknya
bertujuan untuk mendapatkan hasil kerja yang efektif, yaitu sesuai
dengan yang telah direncanakan . Dengan banyaknya tuntutan dari para
pengamal disekitar pondok pesantren Kedunglo yang menginginkan anaknya
memperoleh pendidikan Wahidiyah yang masih berusia Sekolah Dasar,
akhirnya pada tahun 1996 KH. Abdul Latief Madjid mendirikan Sekolah
Dasar (SD).
Dengan lebih meningkatnya mutu pendidikan di pondok pesantren Kedunglo,
maka pengamal wahidiyah tidak meragukan lagi untuk menyekolahkan
putra-putrinya di TK, SD, SLTP dan SMA Wahidiyah. Santri pondok
pesantren Kedunglo semakin lama semakin meningkat dengan pesat. Dan
peningkatan sarana dan prasaranapun dicukupi. Santri diharapkan hanya
untuk belajar. Misalnya kebutuhan makan dan minum terorganisir dengan
baik dengan terbentuknya catering pondok pada akhir tahun 1996.
Sistem yang dianut pondok pesantren Kedunglo menggunakan sistem
konfensional atau adat. Sehingga pada tahun 1997 KH. Abdul Latief Madjid
melegalkan satu bentuk yayasan perjuangan Wahidiyah dan pondok
pesantren Kedunglo yang telah didaftarkan pada Akta No. 05 tahun 1997
pada Tambahan Berita Negara (TBN), yaitu Nomor : I/AD/1998 BN. No. 1/98.
Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo adalah
lembaga pusat kegiatan wahidiyah yang mempunyai cabang di seluruh
pelosok indonesia dan luar negeri. Inilah yang mengolah sepenuhnya para
santri yang berada di pondok pesantren Kedunglo dan para pengamal
shalawat wahidiyah. Di lembaga ini terdapat 11 Departemen yang
masing-masing membidangi dalam acuan organisasi untuk meluaskan,
membina, menyiarkan Sholawat Wahidiyah kepada masyarakat yang
masing-masing departemen di pimpin oleh seorang Pramu . Adapun ke
sebelas Departemen tersebut adalah sebagai berikut :
1. Departemen Urusan Wilayah
2. Departemen Penyiaran dan Pembinaan Wahidiyah (DPPW)
3. Departemen Pembina Remaja Wahidiyah (DPRW)
4. Departemen Pembina Wanita Wahidiyah (DPWW)
5. Departemen Pembina Kanak-kanak Wahidiyah (DPKW)
6. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wahidiyah (Depdikbudwa)
7. Departemen Keuangan Wahidiyah (DKW)
8. Departemen Koperasi Wahidiyah (Depkop)
9. Departemen Perlengkapan Wahidiyah
10. Badan Penyalur Bantuan Koperasi Wahidiyah
Saat ini telah terbentuk cabang kepengurusan Yayasan Perjuangan
Wahidiyah di 15 propinsi dan ratusan kota/kabupaten di wilayah
Indonesia. pada perkembangannya di Luar Negeri pun sudah banyak yang
mengamalkan Shalawat Wahidiyah seperti di Brunai Darussalam, Malaysia,
Australia, Thailand, Hongkong, Saudi Arabia, Singapura, Amerika,
Perancis yang penyebarannya sebagian besar dibawa oleh para TKI.
Untuk mencetak kader-kader Wahidiyah sejak dini seperti yang
dicita-citakan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef, KH. Abdul Latief Madjid
pada tahun 1998 mendirikan pondok pesantren kanak-kanak, yang bertujuan
untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia yang berwawasan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan bertaqwa berlandaskan ajaran islam.
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin menuntut SDM (Sumber Daya
Manusia) yang berkualitas, pada tahun 1998 KH. Abdul Latief Madjid
mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Wahidiyah (STIEWA) dengan jurusan
Menejemen dan Akuntansi, dan pada tahun 2002 mendirikan Sekolah Tinggi
Ilmu Syari’ah (STIS) dengan jurusan Ahwalus Syahsiyah dan KH. Abdul
Latief Madjid juga ingin mendirikan Sekolah Tinggi Teknik (STT) dengan
jurusan Teknik Informasi dan Teknik Industri untuk menambah kualitas
SDM.
Pada masa ini pula nama Kedunglo mendapatkan tambahan gelar al
Munadzdzarah dari pengasuh pengasuh perjuangan wahidiyah dan pondok
pesantren kedunglo sehingga menjadi Pondok Pesantren Kedunglo Al
Munadzdzarah.
Pada tanggal 22 Rajab 1426 / 27 Agustus 2005 di Pondok Pesantren
Kedunglo Al Munadzdzarah telah diresmikan laboratorium bahasa dan sedang
dipersiapkan pula laboratorium komputer. Dengan bertambahnya sarana
pendidikan umum di pondok pesantren Kedunglo, maka jumlah santri juga
semakin lama semakin bertambah.
Pada tahun 1995 jumlah santri Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah
sekitar 220-an, sementara pada tahun 2005 jumlah santri sudah mencapai
1.500-an. Ini adalah santri yang statusnya tinggal di dalam pesantren,
sedangkan santri yang tidak bertempat tinggal dalam pesantren atau bisa
diistilahkan sebagai santri kalong pun juga banyak.
Dengan perjuangan yang begitu besar yang dilakukan oleh KH. Abdul Latief
Madjid. Akhirnya Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan pondok pesantren
Kedunglo dapat berkembang dengan pesat dan sejajar dengan
organisasi-organisasi lain sampai sekarang.
Keadaan Masjid pada periode perkembangan ini masih tetap seperti semula.
Akan tetapi untuk lokasi pondok semakin luas, dengan semakin banyaknya
santri yang mondok, maka jumlah lokasi di pondok pesantren Kedunglo juga
semakin bertambah. Sampai sekarang jumlah lokasi yang ada di pondok
pesantren Kedunglo ada 10 lokasi, adapun nama-namanya adalah sebagai
berikut :
Pondok Putra ada 4 Asrama :
1. Asrama Al Ma'roef
2. Asrama Al Fikr
3. Asrama Al Hikam
4. Asrama Al Mundir
Pondok Putri ada 5 asrama :
1. Asrama Al Hasanah
2. Asrama Al Fatimiyah
3. Asrama Al Ma'rifah
4. Asrama An Nadhrah
5. Asrama Al Jadid
Serta pondok kanak-kanak ada 1 lokal. Dalam perkembangannya telah
dibangun beberapa asrama untuk para santri yang setiap tahunnya terus
bertambah.
AKTIVITAS PONDOK PESANTREN KEDUNGLO
A. Bidang Agama
1. Madrasah Diniyah
Semua santri di Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah diwajibkan
mengikuti pelajaran di madrasah diniyah. Madrasah diniyah ini dibagi
menjadi : Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA), Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs.), dan Madrasah Aliyah (MA).
2. Pengamalan Shalawat Wahidiyah
Dalam bidang agama, yang paling tampak sekali di pondok pesantren
Kedunglo adalah adanya pengamalan shalawat wahidiyah. Dengan adanya
shalawat wahidiyah ini banyak umat yang berbondong-bondong datang ke
pondok pesantren Kedunglo untuk bermujahadah (istilah Wahidiyah) atau
tabarukan (ngalap barokah).
Berbagai jalan ditempuh manusia untuk memenuhi kebutuhan batinnya
seperti shalat, zikir dan itu merupakan latihan jiwa. Menurut Imam al
Ghozali bahwa jiwa itu dapat diolah, diubah, dikuasai, sehingga
bermanfaat bagi seseorang yaitu dapat berakhlak mulia dan terpuji serta
ada hubungan erat antara anggota badan dan perbuatan dengan jiwa atau
hati manusia.
Untuk melatih dan mengolah jiwa (hati) agar senantiasa ingat kepada
Allah diperlukan cara-cara tertentu. Dalam ilmu tasawuf, ilmu itu
dikenal dengan thareqat. Menurut Aboe Bakar Atjeh, thareqat adalah
jalan, petunjuk dalam melakukan ibadah sesuai dengan ajaran yang
ditentukan dan dicontohkan oleh nabi.
Jalan yang ditempuh oleh shalawat wahidiyah untuk melatih dan mengolah
jiwa (hati) agar senantiasa ingat kepada Allah dengan jalan mujahadah.
Mujahadah berarti berjuang, bersungguh-sungguh memerangi hawa nafsu
untuk diarahkan Ma'rifat kepada Allah Swt.
3. Qiyamul Lail
Semua santri wajib bangun malam untuk untuk melaksanakan shala tahajut,
shalat witir berjama’ah dan dilanjutkan dengan jama’ah shalat shubuh
beserta mujahadahnya. Hal ini dimaksudkan untuk melatih santri agar
terbiasa dengan amalan sunah yang sangat dianjurkan sehingga bisa
terbawa kebiasaan tersebut sampai dirumah.
4. Setiap selesai jama’ah sholat maghrib, semua santri melaksanakan tadarus al Qur’an.
5. Kamis malam jum’at semua santri membaca surat Yasin, Tahlil dan
diba’iyah, juga melaksanakan muhadhoroh sebagai sarana lahitah pidato.
6. Minggu siang pengajian kitab Al-Hikam. Dimana Pengajian kitab Al
Hikam inidiberikan langsung oleh Kyai atau Pengasuh Pondok Pesantren
Kedunglo, yang peserta dari pengajian tersebut tidak hanya berasal dari
santri saja akan tetapi dari pengamal wahidiyah yang datang dari
berbagai daerah, seperti : Kediri, Tulug Agung, Nganjuk, Blitar,
Jombang, Surabaya, bahkan dari Jawa tengah, Jawa Barat ataupun dari luar
Jawa.
B. Bidang Pendidikan
Sekian lama pesantren dipandang sebagai lembaga eksklusif, sampai
akhirnya mengalami perubahan yang sangat terbuka dan menggembirakan.
Kini saatnya orang berfikir bahwa sekolah an sich tidak mungkin dapat
diandalkan untuk mendidik manusia secara utuh. Banyak yang mengeluh
bahwa akhlak dan perilaku pelajar dewasa ini cenderung merosot dengan
berbagai bentuk tindakannya yang merisaukan banyak pihak. Karena itu,
patut dipikirkan kemungkinan “pesantren masuk sekolah” sesudah “sekolah
masuk pesantren”. Jika pesantren sudah bersedia menerima sekolah,
mungkinkah sebagaimana sedang diperlihatkan oleh beberapa sekolah
tertentu . Misalnya saja pondok pesantren Kedunglo ini. Di dalam pondok
pesantren Kedunglo ini terdapat pendidikan umum. Akan tetapi pendidikan
yang bersifat tradisional tetap diberikan.
Dalam kurun waktu yang panjang, pesantren mengkonsumsi Kitab Kuning
sebagai pedoman berfikir dan bertingkah laku. Ia telah menjadi bagian
intern dalam pesantren. Menurut masyarakat pesantren, kitab Kuning
merupakan formulasi final dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Sunah Nabi SAW .
Menurut bukunya Karel A. Steenbrink, bahwa pengajian kitab tradisonal
terbagi menjadi dua, santri harus menyediakan waktu untuk studi bahasa
Arab dan sesudah itu mulai mempelajari isi kitab-kitab agama yang
merupakan unsur paling penting .
Begitu juga di dalam pondok pesantren Kedunglo yang memberikan studi
bahasa Arab dan mempelajari kitab-kitab agama. Pendidikan agama di
pondok pesantren kedunglo diberikan pada saat sekolah diniyah pada malam
hari. Adapun pelajaran yang diberikan antara lain adalah : fiqh,
‘aqidah, nahwu, sharf, balaghah, dan masih banyak lagi.
Dunia pendidikan kita dewasa ini masih berada dalam taraf yang boleh
dikata kritis. Oleh karena itu, seluruh kemampuan untuk membuka
lembaga-lembaga pendidikan berupa sekolah harus digali terus menerus
dari masyarakat, baik yang berasal dari pemerintah maupun non
pemerintah. Untuk menggali kemungkinan mendirikan sekolah lebih banyak
inilah antara lain dapat ditafsirkan salah satu tujuan pelaksanaan
sebuah kurikulum mendirikan sekolah-sekolah baru dalam jumlah besar
dapat ditempuh melalui ajakan serius pada pesantren untuk mendirikan
sekolah umum di kalangan pesantren seperti : SD, SLTP, SMA dan Sekolah
Tinggi dapat diserahkan pengelolaannya dari segi fisik dan material pada
pesantren.
Berbagai upaya dilakukan dalam mengantisipasi keadaan krisis dan moral,
upaya yang paling efektif adalah dengan proses sosialisasi melalui
lembaga pendidikan formal.
Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo menyadari
betapa keberadaan lembaga pendidikan sangat diperlukan untuk mencetak
pejuang-pejuang handal dalam segala lapisan kehidupan yang bermoral dan
beretika, berkepribadian tangguh serta mempunyai integritas yang tinggi
didalam meneruskan Perjuangan Fafirruu Ilallah wa Rosulihi SAW.
Profil lembaga pendidikan Wahidiyah :
1. Motto Pendidikan Wahidiyah, yaitu “Mencetak wali yang intelek,
intelek yang wali” atau mencetak intelektual yang ulama’, ulama’ yang
intelek.”
2. Landasan Pendidikan Wahidiyah/islami.
3. Konsepsi atau Model Pendidikan Wahidiyah/islami.
Tujuan umum yang ingin dicapai oleh pendidikan Wahidiyah adalah wali
yang intelek, intelek yang wali atau intelektual yang ulama’, ulama’
yang intelek. Dengan istilah umum, keluaran Pendidikan Wahidiyah adalah
Insan berakhlakul karimah, berprestasi yang sekaligus terampil serta
siap menjadi pejuang Fafirruu Ilallah wa Rosulihi SAW.
Proses pendidikan Wahidiyah menerapkan pola terpadu antara pendidikan
umum dengan pendidikan pondok pesantren serta diberi bekal keprofesian
agar lulusannya siap melakukan pengabdian di masyarakat.
Basis utama sebagai masukan calon siswa pendidikan Wahidiyah adalah
seluruh keluarga pengamal shalawat wahidiyah yang tersebar diseluruh
tanah air, bahkan telah merambat ke beberapa negera luar negeri.
Pendidikan Wahidiyah dalam perkembangannya, TK (berdiri tahun 1985), SD
(berdiri tahun 1996), SLTP (berdiri tahun 1981), SMU (berdiri tahun
1981), STIE Wahidiyah (berdiri tahun 1998), STIS Wahidiyah (tahun 2002)
yang pada akhirnya pada tahun 2010, Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan
Pondok Pesantren Kedunglo mendirikan sebuah universitas yang bernama
UNIVERSITAS WAHIDIDIYAH yang kampusnya berada dilingkungan Pondok
Pesantren Kedunglo al Munadhdharah Kediri. Perkembangan pendidikan
diatas tidak terlepas dari upaya yang dilakukan oleh pramu pendidikan
Wahidiyah dibantu oleh staf pendidikan dalam kepanitiaan penerimaan
siswa atau mahasiswa baru.
C. Bidang Ekonomi
Dalam upaya meningkatkan ekonomi pondok pesantren Kedunglo, di Pondok
Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah berdiri koperasi wahidiyah sebagai
gerakan ekonomi rakyat (pengamal shalawat wahidiyah) atau sebagi peran
serta dalam mewujudkan masyarakat yang sadar kepada Allah wa Rosulihi
SAW, yang maju adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk
itu koperasi wahidiyah perlu membangun dirinya agar menjadi kuat dan
mandiri berdasarkan prinsip koperasi, sehingga mampu berperan menjadi
soko guru perekonomian Nasional.
Kegiatan mujahadah kubro yang dilaksanakan dua kali setahun, yaitu bulan
muharram dan rajab, ternyata bisa membangkitkan perekonomian rakyat,
terutama di Ds. Bandar Lor, Kediri.
Kegiatan yang dilaksanakan selama empat hari empat malam dan diikuti
oleh ratusan ribu pengamal wahidiyah dari segala penjuru ini telah
membangkitkan perekonomian warga sekitar. Mulai dari jasa parkir, tidak
kurang dari 1.500-an kendaraan yang parkir saat acara ini berlangsung,
jasa MCK, warung makan, penginapan dan lain sebagainya.
D. Bidang Sosial
Dalam bidang sosial ini Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok
Pesantren Kedunglo menitik beratkan pada bidang penyiaran shalawat
wahidiyah yang sangat dibutuhkan oleh umat masyarakat pada saat ini .
Penyiaran Shalawat wahidiyah ini dilakukan melalui beberapa cara,
seperti dengan mengadakan mujahadah usbu’iyah, mujahadah syahriah,
rubu’ussanah, mujahadah. Pondok Pesantren Kedunglo juga mengadakan
kegiatan lomba-lomba yang bernuansakan wahidiyah/islami yang dapat
diikuti juga oleh masyarakat non wahidiyah, pembinaan-pembinaan
da’i-da’iyah wahidiyah seperti up-grade, training dan masih banyak lagi .
selanjutnya :