Peran Seorang Mursyid



Seorang murid yang menghendaki perjalanan menuju kepada Allah seharusnya memiliki seorang guru yang siap untuk mentarbiyahnya dalam setiap waktu dan kesempatan. Guru sejati selalu mendengar keluh kesah setiap muridnya di manapun murid itu berada. Meski secara fisik Sang Guru tidak ada berada di sampingnya, akan tetapi ia selalu mendengar keluh kesah para muridnya.

Ulama salafus shalih selalu menganjurkan kepada murid - muridnya, para salikin, yakni mereka yang menempuh perjalanan untuk wushul kepada Allah agar selalu menjalin hubungan yang erat bersama dengan gurunya. Hubungan batin dengan Sang Guru Mursyid akan membimbing dan mengarahkan sang murid sedikit demi sedikit untuk menapaki setiap tangga untuk menuju wusul kepada Allah SWT. yang menjadi cita - cita dan harapan seluruh muridin.

Pentingnya selalu menjaga hubungan baik dengan Guru Mursyid dalam thariqah - thariqah sudah menjadi hal yang tidak asing lagi. Bahkan ba'dlu al shufiyin mengatakan bahwa: معرفة الشيخ مقدم على معرفة الإله , ma'rifah kepada guru mendahului ma'rifah kepada Tuhan. Artinya, sebelum seseorang mencapai sadar ma'rifah kepada Allah, seseorang harus mengetahui dan mengenal hakikat gurunya, guru yang membimbing dan mentarbiyahnya dengan tarbiyah batiniyah.

Ketaatan kepada Guru Mursyid dalam perjalanan menuju kepada Allah adalah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam literatur - literatur sufi dikatakan, "المريد كالميت فى يد الغاسل", artinya seorang murid itu bagaikan mayyit di tangan guru yang memandikannya.

Seseorang harus menyerahkan dirinya secara dlahir dan bathin untuk ditarbiyyah Sang Guru. Ketasliman murid kepada guru akan menentukan langkah perjalanannya ke depan. Mereka yang memiliki ketasliman secara total tentu akan mengalami peningkatan yang cepat bila dibandingkan dengan mereka yang selalu protes dan bertanya kenapa guru melakukan hal itu. Inilah perbedaan antara guru dalam ranah ilmu tasawuf dan ilmu diluar tasawuf.

Dalam literatur sufi terdapat qaul yang mengatakan bahwa, "Barangsiapa yang mengatakan kepada guru "mengapa", maka ia tidak akan beruntung". Qaul ini semakin memperkuat pandangan sufi untuk semakin memantapkan hati dalam taslim kepada Guru Mursyid yang akan membimbing dan mentarbiyah muridnya.

Anjuran untuk mengambil seorang guru dalam perjalanan menuju kepada Allah ini sebenarnya sudah ada semenjak zaman Rasulullah SAW. Akan tetapi di zaman itu Guru Mursyid sejati yang menjadi sandaran umat adalah langsung beliau Rasulullah SAW. Segala urusan umat baik urusan dlahir maupun bathin semua selesai di hadapan Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat ketika Rasulullah SAW menyampaikan khutbahnya seluruh umat menangis dan meneteskan air mata, namun ada satu di antara sahabat yang tidak menangis karena kerasnya hati. Sahabat itu lantas berkata kepada Rasulullah, "Ya Rasul, kenapa semua orang bisa menangis dan meneteskan air mata, tetapi saya tidak?", Rasul kemudian mendekati sahabat tersebut sambil mengusap dadanya dan mengatakan, "Pergilah wahai setan yang berada di dada". Spontan sahabat itu menangis tersedu - sedu.

Kerasnya mata yang tidak bisa menangis kepada Allah disebabkan karena hati yang keras. Kerasnya hati disebabkan karena banyaknya dosa yang menumpuk sehingga seseorang tidak lagi memiliki kepekaan perasaan ketika melakukan dosa. Semakin banyak dosa yang dilakukan maka semakin keras hatinya.

Perjalanan menuju kepada Allah adalah perjalan rohani yang panjang dan penuh dengan liku - liku. Dalam perjalanan tersebut terdapat hijab yang menutupi sehingga seseorang harus berusaha menghilangkannya sehingga tersingkap 'ainul bashirahnya. Proses ini tidak sesederhana yang kita bayangkan. Disinilah peran seorang Guru Mursyid yang akan mengarahkan dan mentarbiyah muridnya, sehingga dia tidak terpedaya dengan berbagai tipuan dan tipu muslihat yang menjadi hijab antara dirinya dan Allah SWT. 

Ya Ayyuhal Ghautsu Salaamullah...
'Alaika Rabbinii Biidznillah...
Wandzur Ilayya Sayyidii Binadzrah....
Muushilatin lilhadlratil 'Aliyyah....

Al Fatihah......

Allahu A'lam...

Komentar