Hakikat
Diri
“Apa
yang engkau lakukan saat tiada orang melihatmu, itulah diri kamu yang
sesungguhnya”
Ainun
Najib
Jika
kita ingin tahu siapa diri kita sesungguhnya, maka telitilah diri sendiri saat
sendiri. Perilaku seseorang ketika sendirian mencerminkan pribadi dirinya yang
sesungguhnya. Pribadi yang tidak dijajah oleh siapapun di luar dirinya.
Saat
seseorang berada di tengah-tengah kerumunan banyak orang, apa yang nampak dan
terlihat dari apa yang dikerjakannya tidak mencerminkan pribadinya yang sesungguhnya.
Seorang yang berada di tengah banyak orang lebih banyak menunjukkan perilaku
baik yang menunjukkan dirinya sebagai pribadi perfect dan istimewa dihadapan
orang lain. Dengan kata lain, setiap perilaku yang dilakukannya boleh jadi
merupakan bentuk pencitraan.
Banyak
orang yang rajin bekerja saat ditunggui atasan, namun sebaliknya saat atasan
sedang bepergian, mendadak malas menerpa. Banyak juga orang yang rajin ibadah
saat bersama dengan teman-temannya, berada di tengah banyak orang rajin memutar
tasbih, berlama-lama dalam i’tikaf dan sebagainya. Namun saat sendiri, dia
menyibukkan diri dengan kemaksiatan. Karena itu, jika anda ingin tahu bagaimana
sejatinya diri anda, maka lihatlah saat anda sedang sendiri.
Saat
anda sedang sendiri, maka seluruh perilaku anda murni anda lakukan karena
keinginan diri anda, bukan karena tekanan pihak lain. Jika diri anda di
dominasi oleh pribadi yang buruk, niscaya yang muncul adalah perilaku-perilaku
buruk. Sebaliknya, jika yang mendominasi diri anda adalah sifat-sifat yang
baik, maka perilaku yang muncul dari diri anda adalah bentuk perilaku baik
meski tanpa pengawasan dari pihak manapun.
Tanggung
jawab anda saat sendirian adalah kepada Allah Swt. semata, bukan kepada yang
lain. Sementara saat anda bersama dengan orang lain, maka tanggung jawab
perilaku yang anda lakukan adalah kepada Allah Swt dan kepada orang yang ada di
sekeliling anda. Fatalnya, banyak orang yang justru merasa takut bila aibnya
dilihat orang lain sesama makhluk, namun tidak merasa takut jika perilakunya
dihisab Allah Swt.
Berkenaan
dengan hal ini, Allah Swt. mengingatkan anak cucu Adam melalui firman-Nya:
وَإِذْ
تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ
عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ
مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ
فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ
اللَّهِ مَفْعُولا
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang
yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi
nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada
Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS. Al-Ahzab (33); 37)
Ayat di atas turun berkenaan dengan Sahabat Zaid ibnu Haritsah
yang merupakan anak angkat Rasulullah Saw. Beliau pada awalnya adalah seorang
hamba Rasulullah Saw yang kemudian masuk islam dan dimerdekakan. Rasulullah
menikahkannya dengan putri bibinya, Zainab binti Jahsyin al-Asadiyyah (Tafsir
Ibnu Katsir).
Setelah Zaid menceraikannya, maka Rasulullah Saw menikahinya,
supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin menikah dengan mantan istri
anak-anak angkatnya. Anak angkat tetaplah anak angkat yang tidak bisa
menjadikan seseorang menjadi senasab. Dia tetap saja orang lain bagi ayah dan
ibunya karena hubungan sebagai anak hanyalah hubungan yang dinisbatkan bukan
secara nasab atau keturunan.
Pada ayat tersebut terdapat kalimat وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ , “Engkau takut
kepada manusia, padahal Allah lebih berhak untuk engkau takuti.” Sekilas memang ayat ini sangat erat kaitannya dengan sabab nuzul
yang melatarinya. Akan tetapi dengan pemahaman bahwa بعموم اللفظ لا بخصوص السبب العبرة bisa
ditarik pemahaman bahwa ayat ini tidak sekedar dipahami dalam kasus yang menima
Zaid. Lebih jauh lagi, umumnya memang manusia lebih merasa takut dengan
sesamanya. Mereka takut, jika aibnya diketahui orang lain. Akibatnya bila aib
itu diketahui, maka buruklah citra diri mereka di hadapan manusia. Pada
akhirnya mereka cenderung melakukan pencitraan terhadap apa yang dilakukannya
saat bersama dengan orang lain.
Jika sedang bersama yang ditampilkan adalah hal-hal positif yang
bisa menarik perhatian yang lain. Sementara bila sedang sendiri, yang
ditampilkan adalah sebaliknya, sesuatu yang buruk, sesuai dengan apa yang
dikehendakinya. Itulah kebanyakan sifat yang dimiliki oleh mayoritas orang.
Karena itu, Cak Nun mengatakan, “Apa
yang engkau lakukan saat tiada orang melihatmu, itulah diri kamu yang
sesungguhnya”.
Lihatlah dirimu saat sendirian, jika
engkau ingin melihat kesejatian dirimu. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang
selalu berbenah diri.
Komentar
Posting Komentar