KUPAT


KUPAT



Istilah kupat tentu sudah tidak asing bagi kita umat Islam Indonesia. Kupat menjadi tradisi yang harus ada di setiap moment Idul Fitri, yakni hari raya umat Islam yang dilaksanakan pada tiap satu Syawal selesai menuntaskan puasa di bulan suci Ramadhan.

Entah bagaimana asal muasalnya, yang jelas kupat telah dikenal luas di tengah masyarakat. Menarik tentunya untuk semakin melihat apa yang sesungguhnya ada di balik tradisi kupat-an di Indonesia ini.

Tradisi kupat mungkin tidak dijumpai di tengah masyarakat muslim luar negeri. Barangkali ini merupakan salah satu di antara upaya para penyiar Islam periode awal untuk memperkenalkan Islam secara damai dan toleran di bumi Nusantara ini.

Sebagian orang menganggap bahwa “Kupat” berasal dari bahasa Jawa, yakni akronim dari kata “Aku Lepat”, yang berarti mengakui kesalahan. Memang sudah menjadi tradisi di kalangan umat Islam bahwa di setiap Idul Fitri mereka saling mengakui kesalahan, meminta maaf atas segala salah dan khilaf yang dilakukan selama ini. Tidak peduli orang tua, muda, bahkan anak-anak semua mengakui salahnya dan meminta maaf.

Menurut penulis, memaknai kata “kupat” sebagaimana di atas sah-sah saja, dan nyatanya memang di masyarakat keadaannya demikian. Mereka saling mengakui kesalahan hal mana ini jarang di temukan di luar moment Idul Fitri.

Untuk mensukseskan pemaknaan sebagaimana di atas biasanya para tokoh kiai di desa menjelaskan bahwa setelah tuntas menunaikan Idul Fitri dan diterima puasanya, maka semua orang akan kembali suci tanpa dosa. Seluruh dosa-dosanya diampuni oleh Allah Swt, akan tetapi ada dosa yang belum diampuni dan harus diselesaikan secara haqqul adamiy, yakni dosa sesama manusia.

Agar dosa sesama manusia ini diampuni, maka mereka harus meminta maaf kepada siapa saja yang mereka pernah berbuat salah. Karena itulah mereka melakukan kunjungan/silaturahim dari satu rumah ke rumah lainnya, dari satu teman ke teman lainnya, saudara ke saudara lainnya dan seterusnya untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf.

Tradisi silaturahim di hari raya tentu juga menjadi hal menarik yang perlu kita pertahankan. Silaturahim bisa menncairkan suasana beku antara seseorang dengan lainnya, mempererat tali ukhuwwah dan ikatan persaudaraan antara satu dengan lainnya. Tentu hal ini sangat banyak manfaatnya.

Selain berasal dari bahasa Jawa ada juga yang mengatakan bahwa “Kupat” berasal dari bahasa Arab “Kuffat”, yang artinya dihentikan. Kupat-an biasanya dilaksanakan setelah hari ke tujuh di bulan Syawal. Rasulullah Saw bersabda dalam satu hadits:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي سَعْدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتِ بْنِ الْحَارِثِ الْخَزْرَجِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ أَخُو يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ ثَابِتٍ أَخْبَرَنَا أَبُو أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بِمِثْلِهِ و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أَيُّوبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ

Artinya: (MUSLIM - 1984) : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa'id dan Ali bin Hujr semuanya dari Isma'il - Ibnu Ayyub berkata- Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far telah mengabarkan kepadaku Sa'd bin Sa'id bin Qais dari Umar bin Tsabit bin Harits Al Khazraji dari Abu Ayyub Al Anshari radliallahu 'anhu, bahwa ia telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang berpuasa Ramadlan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." Dan Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Sa'd Sa'id saudaranya Yahya bin Sa'id, telah mengabarkan kepada kami Umar bin Tsabit telah mengabarkan kepada kami Ayyub Al Anshari radliallahu 'anhu, ia berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda. Yakni dengan hadits semisalnya. Dan Telah menceritakannya kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mubarak dari Sa'd bin Sa'id ia berkata, saya mendengar Umar bin Tsabit ia berkata, saya mendengar Abu Ayyub radliallahu 'anhu. Berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: yakni dengan hadits yang serupa. (HR. Muslim)

Hadits di atas menjelaskan bahwa barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian melanjutkannya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, seolah-olah orang tersebut berpuasa setahun penuh. Meskipun hadits tersebut tidak memerintahkan secara langsung untuk berpuasa di bulan Syawal, namun perintah itu bisa kita simpulkan dari ungkapanya, bahwa barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka dia sama dengan berpuasa setahun penuh.

Puasa syawal ini biasanya dilaksanakan mulai tanggal dua hingga tanggal tujuh syawal. Karena itulah, setalah hari ke tujuh, maka muslim di Indonesia biasanya menghentikan puasanya dengan ditandai syukuran dan selamatan yang didalamnya di sajikan “kupat”.

Yang menarik lagi, bahwa “kupat” selalu dibungkus dengan daun kelapa muda yang disebut dengan “Janur”, bukan dengan lainnya. Cara masaknya pun terbilang cukup lama bila dibandingkan dengan menanak nasi pada umumnya. Para kiai dawuh kalau “Janur” berasal dari bahasa Arab, Ja’a Nuurun, yang artinya telah datang cahaya.

Apa yang bisa kita petik darinya? Bahwa setelah tuntas dengan puasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka datanglah cahaya kebenaran dalam diri seserorang. Masuklah nur itu ke dalam hati setiap muslim yang karenanya dia semakin meningkat ketaqwaan-Nya kepada Allah Swt. Karenanya, puasa tidak sekadar menahan diri dari makan dan minum, serta segala hal yang bisa membatalkannya. Lebih dari itu, puasa bisa menanamkan dan meningkatkan ketaqwaan dalam diri setiap muslim, hingga semakin meningkat kualitas dirinya sebagai makhluk individu, sosial dan berketuhanan. Jika tidak, maka dia bukanlah orang yang beridul fitri, kembali pada kesuciannya, melainkan kembali kepada sarapan paginya.

Komentar