PESANTREN DI TENGAH ARUS MODERNITAS
Oleh: Muhamad Fatoni, M.Pd.I
Sekilas tentang
Pesantren
Salah satu model pendidikan yang dianggap sebagai model pendidikan
tertua di tanah air adalah model pendidikan pesantren. Pesantren merupakan
model pendidikan asrama yang menaungi semua lapisan masyarakat, khususnya
masyarakat lapisan bawah dan rakyat jelata, yang memiliki perbedaan dengan
sistem pendidikan asrama Hindu-Budha yang hanya menaungi anak-anak aristokrat.[1]
Pesantren menjadi salah satu lembaga pendidikan yang banyak memberikan
kontribusi pada bangsa ini jauh sebelum proklamasi kemerdekaan sebagai penanda
lepasnya bumi nusantara dari penindasan bangsa penjajah.
Di awal kehadirannya pesantren bersifat tradisional untuk mendalami
ilmu-ilmu agama Islam sebagai pedoman hidup (tafaqquh fi al-din) dengan
menekankan pada pentingnya moral dalam masyarakat.[2]
Karena itu moralitas menjadi karakter yang melekat pada diri seorang yang
mengeyam pendidikan di pesantren.
Pesantren bersifat egaliter dan mampu mengakomodasi setiap peminat
belajarya[3].
Siapapun bisa belajar di pesantren, tidak peduli dari kalangan mana ia berasal.
Tidak jarang, pesantren membebaskan beaya belajar santrinya yang berasal dari
kalangan bawah dan jelata. Bahkan, mereka yang tidak memiliki beaya untuk
mencukupi kebutuhan sehari-harinya, mulai makan, minum dan kebutuhan lain masih
tetap diterima belajar bahkan dipenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan ikut khidmah
di ndalem kyai.
Keterbukaan pesantren dalam menaungi semua lapisan masyarakat yang
ingin menimba ilmu ini, tidak disukai oleh para penjajah kala itu. Tentu
ketidaksukaan ini bukan tanpa alasan. Masyarakat terdidik akan sulit
dikendalikan, akibatnya bila dibiarkan akan terjadi gelombang arus perlawanan
terhadap pihak penjajah.
Kiprah pesantren sangat dirasakan oleh masyarakat.[4]
Salah satunya adalah melahirkan generasi ulama yang siap berkiprah di tengah
masyarakat. Para alumni pesantren umumya siap mengambil peran di tengah
komunitas masyarakatnya terutama dalam bidang keagamaan. Selain itu pada masa
pra kemerdekaan, pesantren melahirkan para ulama yang sekaligus pejuang. Bahkan
para santri siap berada di depan di bawah komando kyai tanpa berpikir materi
yang di dapatkan.
Di bawah komando kyai para santri bergerak melakukan perlawanan
terhadap para penjajah yang melakukan penindasan terhadap masyarakat pribumi.
Perlawanan Pangeran Diponegoro misalnya, adalah bentuk perlawanan yang
dilakukan kaum santri terhadap pendudukan penjajah di bumi nusantara ini.
Demikian halnya dengan Teuku Umar, Pangeran Antasari, Imam Bonjol, K.H Hasyim
Asy’ari dan sederetan nama pahlawan nasional lainnya yang juga merupakan tokoh
ulama di tengah pengikutnya.
Citra pesantren dalam keikutsertaannya membangun bangsa ini sudah
tidak diragukan lagi. Karenanya system pendidikan ala pesantren harus tetap
dijaga dan dipertahankan kelestariannya di bumi zamrud katulistiwa ini.
Keberadaan pesantren tidak seharusnya dipandang sebelah mata oleh siapapun,
apalagi pemerintah yang sejujurnya memiliki hutang budi pada pesantren.
Pola Hubungan
Kiyai dan Santri
Unsur terpenting yang tidak bisa dilepaskan dari citra pesantren
adalah adanya kyai dan santri. Kyai adalah seorang yang menjadi pengasuh di
sebuah pesantren yang siap meluangkan waktunya selama dua puluh emat jam bagi
para santrinya. Sementara santri merupakan anak asuh yang menimba ilmu pada
seorang kyai di pesantren. Umumnya mereka berasal dari berbagai daerah, dekat
maupun jauh yang kemudian tinggal di tempat yang telah disediakan oleh kyai.
Pesantren memiliki keunikan tersendiri yang tidak sama dengan
lembaga pendidikan yang lain diluar pesantren. Salah satu keunikan tersebut
terletak pada pola hubungan antara kyai dan santri.
Iva Yulianti Umdatul Izzah mengatakan bahwa ketaatan seorang santri
terhadap kyainya, akan dipandang sebagai suatu manifestasi ketaatan mutlak yang
dipandang sebagai ibadah.[5] Di
pesantren seorang santri akan menerapkan ketaatan totalitas pada seorang kyai
tanpa harus berpikir untuk kesekian kalinya lagi.
Hal ini tentu sangat menarik, hal mana tidak ditemukan pada pola
hubungan antara guru dan murid di lembaga pendidikan lain di luar pesantren.
Yang perlu untuk dilakukan penelitian lagi adalah mengapa ketaatan terhadap
kyai itu bisa mendarah daging pada diri seorang santri, bahkan pada saat santri
itu sudah boyong dari pesantren.
Di pesantren sabda kyai dianggap sebagai ‘sabdo pandito
ratu’, bagaikan perkataan raja yang harus dilaksanakan. Umumnya tidak ada
seorang santri pun yang berani membantah apa yang disampaikan oleh kyainya.
Berbeda dengan kasus pendidikan di luar pesantren.
Sering terdengar kabar di dunia pendidikan di luar pesantren ada
seorang murid yang berani kepada gurunya. Mereka kerap kali membuat gaduh baik
di dalam maupun di luar kelas pembelajaran. Tidak jarang pada satu kelas
pembelajaran di dapati seorang murid yang mengakses gadget, dengan
asyiknya di saat guru sedang menjelaskan materi pelajaran.
Hal ini tidak akan ditemukan di pesantren, kecuali pesantren yang
telah mengalami pergeseran dari nilai-nilai pesantren salafiyah. Umumnya di
pesantren santri tidak berani berlaku tidak hormat terhadap kyainya. Bahkan,
untuk mengangkat kepala dan memandang wajah kyai, dianggap sebagai sesuatu yang
tabu dan kurang beretika.
Martin Van Bruinessen[6] menyatakan menyatakan
bahwa kiai memainkan peranan yang lebih dari sekedar seorang guru. Kyai tidak
hanya sebagai pengajar ilmu pengetahuan untuk santrinya. Lebih dari itu, kyai
juga mengambil peran-peran lain yang lebih membekas dalam diri santri, salah satunya
adalah peran spiritual.
Pada peran spiritualnya, kyai diyakini memiliki kekuatan supra
natural yang dengan kekuatan tersebut, dia bisa membantu para santrinya dalam
berbagai urusan. Kyai dianggap mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit hanya
dengan menggunakan segelas air putih yang dibacakan do’a. selain itu, kyai juga
mampu menangkal berbagai gangguan pengaruh ghaib yang negative seperti santet, teluh dan
sejenisnya. Kyai juga mampu menjangkau hal-hal ghaib supra natural yang tidak
bisa dijangkau manusia pada umumnya.
Selain peran-peran sebagaimana di atas, terdapat peran spiritual
lain yang dimiliki oleh kyai, yakni kemampuannya mentarbiyah murid secara ruhani meski secara
fisik dia tidak melakukan kontak dengan santrinya. Hal ini kerap kali di dengar
dari kisah-kisah hikmah tentang seorang kyai dari para santri yang pernah
belajar kepadanya.
Sistem
Pembelajaran di Pesantren
System pembelajaran di pesantren cukup menarik untuk mendapat
perhatian. Pada umumnya pesantren menggunakan system sorogan dan bandongan
yang lebih mengedepankan system hafalan dan halaqah.[7]
Sorogan merupakan system pendidikan di mana seorang murid secara
individu menghadap gurunya untuk membaca beberapa ayat al-Qur’an atau beberapa
kitab.[8]
Kemudian seorang guru membacakan untuk santrinya dan santri tersebut menirukan,
selanjutnya menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan istilah ‘murodi’.
Biasanya seorang santri dipanggil ke depan untuk membaca dan menterjemahkannya
ke bahasa Jawa.
Adapun bandongan atau juga disebut wetonan merupakan system
pendidikan di pesantren yang diikuti oleh 5 atau lebih santri.[9]
Pada model pembelajaran ini biasanya seorang kyai akan membacakan satu kitab
klasik (kitab kuning) yang diberi makna (gandul) kemudian diterjemahkan
dalam bahasa Jawa dan di uluas dengan menggunakan bahasa kyai sendiri. Adapun
di sini peran santri adalah mendengar keterangan-keterangan tersebut, dan
membuat catatan-catatan sendiri yang dirasa penting dari penjelasan yang
diberikan.
Pendidikan di pesantren pada umumnya lebih mengedepankan system
hafalan. Para santri menghafal bait-bait nadzam yang terdapat pada kitab yang
sedang mereka pelajari. Biasanya sebelum pembelajaran dimulai atau pada
saat-saat tertentu yang disepakati para santri akan membaca bait-bait nadzam
tersebut secara bersama-sama dengan diiringi suara ‘tabuhan’ ala
kadarnya yang dikenal dengan lalaran.
Lalaran ini telah menjadi darah daging yang mengakar kuat dalam
diri setiap santri. Lalaran sangat bermanfaat untuk membantu para santri dalam
menghafal bait-bait nadzam yang dipelajarinya. Selain itu, hafalan nadzam ini
juga merupakan langkah awal bagi santri untuk memperoleh pemahaman yang benar
dari kitab yang sedang dipelajarinya.
System pembelajaran yang lain adalah system halaqah. Halaqah berarti lingkaran
murid, atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang ustadz dalam
satu tempat.[10]
System pembelajaran ini biasanya diperuntukkan bagi para santri yang sudah
menyelesaikan pembelajarannya sampai jenjang tertentu. Paling tidak mereka
sudah menyelesaikan jenjang alfiyah dan dinyatakan lulus dalam pembelajaran
kitab Alfiyah, Jauharul Maknun, atau Uqudul Juman. Karena
itu Mahmud Yunus mengatakan bahwa model halaqah ini hanya diperuntukkan
bagi santri yang memiliki kecerdasan intelektual dan mempunyai keinginan besar
untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya disertai dengan kerelaan untuk mengorbankan
sebagain waktu yang dimilikinya.
Modernitas yang
Tak Terelakkan
Era modern ditandai dengan semakin canggihnya teknologi informasi
yang berkembang di tengah masyarakat dunia. Semakin canggihnya teknologi
informasi meniscayakan seseornag mampu menerima informasi di belahan dunia yang
lain hanya dalam hitungan detik sesaat setelah terjadinya satu peristiwa.
Seolah tidak ada lagi jarak yang memisahkan antar satu negara dengan negara
yang lain.
Salah satu tanda modernitas lagi adalah adanya globalisasi yang
terjadi di semua aspek kehidupan manusia. Globalisasi dengan berbagai variannya
menuntut adanya persaingan ketat untuk memperoleh pengakuan dari berbagai
pihak.
Dalam bidang perekonomian, globalisasi sesungguhnya merupakan fase
perjalanan panjang dari system ekonomi kapitalisme liberal. System ekonomi yang
di dominasi oleh bangsa Barat yang seringkali menguntungkan bagi para pemilik
modal.
Dalam dunia pendidikan, dampak globalisasi juga sangat dirasakan
oleh para pelaku pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan dipaksa untuk saling
berkompetisi dan bersaing untuk memperoleh pengakuan dari konsumennya, yakni
masyarakat yang hendak mensekolahkan anak-anaknya.
Pada kasus ini, sekolah dan madrasah mau tidak mau harus memberikan
pelayanan dan jasa yang baik bagi para peserta didik. Sekolah yang mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat akan dibanjiri oleh masyarakat untuk
mensekolahkan putra-putrinya. Sebaliknya sekolah/madrasah yang tidak mampu
memberikan layanan yang baik dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan
ditinggalkan.
Fakta di lapangan telah banyak menunjukkan adanya lembaga-lembaga
sekolah dan madrasah yang dulu berjaya, kini mulai ditinggalkan oleh masyarakat
lantaran dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan zaman. Lembaga yang hanya puas
dengan pelayanan ala kadarnya dan tanpa berani mengambil langkah spekulatif
untuk melakukan inovasi semakin hari kian ditinggalkan.
Arus modernitas ini, merupakan hal yang tak mungkin dielakkan oleh
lembaga manapun, baik negeri maupun swasta. Modernitas dengan berbagai dampak
dan pengaruhnya, positif maupun negative harus diterima dan dihadapi, bukan
untuk ditolak dan ditinggalkan, tak terkecuali bagi lembaga pesantren.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia
harus berani menghadapi arus modernitas. Pesantren sebagai basis dari
pendidikan agama Islam harus mampu bertahan dan bahkan harus mampu bersaing
dengan lembaga-lembaga pendidikan di luar pesantren. Untuk itu kyai dan santri
sebagai actor utama lembaga pendidikan pesantren hendaknya bersikap inklusif
dan terbuka dengan berbagai masukan baik yang berasal dari dalam maupun
dari luar pesantren. Selain itu lembaga pendidikan pesantren hendaknya tidak alergi
dengan berbagai perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat
perkembangannya hingga kerap kali merambah ke lingkup pesantren.
Tantangan dan
Peluang Pesantren di Era Modern
Cepatnya arus informasi yang bisa di akses oleh siapa saja dan di
mana saja dia berada menjadi satu tantangan tersendiri yang kerap kali di alami
oleh siswa, santri, orang tua dan guru dalam mendidik anak-anaknya. Bagi siswa
dan santri, berbagai fitur menarik dari gadget yang bisa mereka dapatkan
dari smart phone yang mereka miliki menjadi satu godaan berat untuk
lebih fokus dalam belajar.
Semakin banyaknya media sosial dengan berbagai fitur layanan
yang menarik dan mudah lagi murah di dapatkan seringkali menjadikan para
pencari ilmu ini tergoda. Waktu luang yang semestinya digunakan untuk belajar
dan menimba ilmu justru dibuang sia-sia dengan mengakses berbagai fitur
ini. Tidak jarang ditemukan di kelas-kelas pembelajaran, para peserta didik
yang asik dengan smart phone yang dimilikinya, padahal guru sedang
serius menjelaskan materi.
Dampak terburuknya adalah banyaknya peserta didik yang tidak mampu
memahami materi dengan baik, sekaligus merebaknya berbagai kasus kenakalan
peserta didik disebabkan karena menjadi korban dari media sosial on line
yang dikonsumsinya.
Pada dekade terakhir, kita banyak mendengar kabar dari media bahwa
ada pelajar dan mahasiswa yang terlibat tawuran, mengkonsumsi narkoba dan
terjerembab pada pergaulan bebas. Semua itu di awali dengan akses media sosial
melalui internet yang ada pada smart phone yang dimilikinya. Kepemilikan
smart phone oleh para peserta didik tentu mempersulit pengawasan
terhadap mereka baik pengawasan oleh guru maupun orang tua. Akibatnya mereka
terlibat dengan berbagai hal yang tidak diinginkan sebagaimana di atas.
Alhamdulillah kenyataan di atas menjadikan para orang tua sadar
akan pentingnya membekali siswa dengan pendidikan agama yang baik. Jika dulu,
orang tua lebih memilih mensekolahkan putra-putrinya ke lembaga pendidikan umum
semisal SD, SMP, SMA, SMK dan sejenisnya, saat ini telah terjadi perubahan pola
pikir orang tua untuk memilihkan pendidikan putra-putrinya. Madrasah dan
pesantren kini, kian diminati dan dibanjiri oleh para peserta didik dari
berbagai kalangan. Tidak hanya mereka yang berada di kalangan menengah ke
bawah, akan tetapi kalangan menengah atas pun kini mulai banyak yang
mempercayakan pendidikan putra-putrinya di pesantren.
Bagi lembaga pesantren, hal ini tentu menjadi peluang besar yang
tidak boleh dilewatkan dan di sia-siakan. Pesantren harus mampu memberikan
layanan dan memenuhi kebutuhan peserta didik. Tidak hanya pada urusan yang
bersifat religius semata, tetapi pesantren dituntut juga mampu menjawab
berbagai kebutuhan peserta didik di luar kebutuhan religiusnya.
Pesantren yang mampu menjawab segala tantangan dan memanfaatkan
peluang tersebut akan semakin dibanjiri oleh para santri dari berbagai daerah.
Tidak jarang ada sebagian santri yang berasal dari negeri manca juga turut
belajar di pesantren. Hal ini, menjadi daya tarik tersendiri untuk dilakukan
kajian lebih lanjut mengenai pesantren.
Inovasi Sistem
Pembelajaran di Pesantren
Jika pesantren ingin tetap eksis dalam perjalanannya, kata kuncinya
adalah inovasi. System pembelajaran yang ada di pesantren tidak boleh hanya
sebatas mengandalkan model pembelajaran yang selama ini ada, tetapi tentunya
hal tersebut juga tidak boleh dihilangkan dari pesantren sebagai ciri khas
pesantren.
Di tengah arus modernitas seperti saat ini, pesantren tidak bisa
lagi tetap bersikukuh dengan kurikulum lama yang dimilikinya. Tetapi, kurikulum
pesantren juga mesti diinovasi sesuai dengan kebutuhan saat ini. Pesantren
tidak lagi hanya berbicara pada persoalan-persoalan kitab turats semata,
tetapi juga dituntut untuk bisa memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi
informasi dan berbagai kemajuan lainnya.
Dewasa ini, pesantren telah menunjukkan progres yang baik
dalam menerima perubahan. Pesantren telah banyak yang memasukkan kurikulum
pendidikan modern di dalamnya.
Munculnya pesantren modern dan terpadu cukup menjadi angin segar
bagi orang tua untuk mensekolahkan putra-putrinya ke pesantren. Pesantren model
ini dinilai sebagai pesantren yang cukup mewadahi kebutuhan santri di era
modern seperti saat ini.
Di pesantren modern, umumnya lebih menekankan pada penguasaan
bahasa baik Arab maupun Inggris sebagai bahasa keseharian. Kedua bahasa ini
sangat bermanfaat bagi santri saat mereka menempuh jenjang perkuliahan. Bahasa
Arab dan Inggris merupakan bahasa internasional yang sangat familier dalam
dunia pendidikan. Banyak literatur-literatur penting yang ditulis dengan
menggunakan kedua bahasa ini. Karena itu penguasaan yang baik terhada kedua
bahasa ini akan membantu siswa dalam menggali berbagai informasi ilmu
pengetahuan yang mereka dalami nantinya di perguruan tinggi.
Selain itu banyak pesantren yang telah membuka pendidikan formal di
lingkungannya. Ini adalah bentuk inovasi yang positif bagi pesantren. Dengan
membuka pendidikan formal, pesantren semakin diminati oleh para orang tua. Di
sisi lain, santri juga akan mendapatkan pemahaman yang cukup dalam bidang agama
melalui pendidikan diniyah yang diterimanya di malam hari.
System pembelajaran di pesantren pun kian hari menunjukkan
perubahan yang positif. Jika dulu, ustadz dan kyai hanya mengandalkan papan
tulis, kapur, dan kitab kuning sebagai media pembelajarannya, lain halnya
dengan saat ini. Banyak pesantren yang telah memanfaatkan layar LCD, proyektor,
maupun monitor pada kelas-kelas pembelajarannya.
Kyai saat ini, juga mulai berubah pola pikirnya. Bila dulu sosok
kyai lebih bersifat sacral, saat ini banyak kyai yang lebih mengedepankan sifat
moderatnya. Mereka tidak anti terhadap perubahan, mereka juga menerima masukan
dari berbagai pihak, sehingga sering terjadi arus dialogis dalam tradisi
kepesantrenan.
Bentuk-bentuk inovasi dalam system pembelajaran di pesantren
selayaknya untuk terus dikembangkan dan dipertahankan. Pesantren harus mampu
menciptakan suasana pembejaran yang kondusif dalam rangka mempersiapkan
generasi mendatang yang berkemajuan dan mampu menjawab tantangan zaman serta
tetap berpegang pada nilai-nilai luhur agama Islam.
Penutup
Di tengah dinamika zaman yang terus mengalami kemajuan, pesantren
dituntut untuk mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain. Karena
itu pesantren harus mau membuka diri dan terbuka dengan berbagai perubahan di
sekitar. Pesantren tidak boleh bersifat eklusif dan anti perubahan.
System manajerial pesantren juga mesti mengalami inovasi seiring dengan
perkembangan yang ada.
Pesantren yang mampu memanfaatkan berbagai peluang yang ada akan
semakin dibanjiri oleh para peserta didik. Sebaliknya, pesantren yang tidak
memanfaatkan peluang dan tidak mau berkompetisi dalam memberikan layanan serta
memenuhi segala kebutuhan peserta didik akan semakin dijauhi dan ditinggalkan
oleh peserta didik dan orang tua.
Inovasi system pendidikan di pesantren adalah hal yang tidak bisa
ditawar lagi, bila pesantren ingin tetap eksis di tengah arus modernitas.
Modernitas memaksa pesantren untuk memperbaiki mutu dan kualitasnya dalam
berbagai aspek sehingga pesantren mampu berdiri kokoh di tengah arus
modernitas. Mempersiapkan peserta didik yang memiliki kompetensi yang mampu
bersaing di era modern, serta tetap mempertahankan nilai-nilai luhur agama
sebagai pondasi dalam menjalani kehidupan di dunia.
DAFTAR RUJUKAN
Imam Syafe’I, Pondok
Pesantren; Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter, al-Tadzkirah, Jurnal
Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017
Iva Yulianti
Umdatul Izzah, Perubahan Pola Hubungan Kiai Dan
Santri Pada Masyarakat Muslim Tradisional Pedesaan, Jurnal Sosiologi Islam,
Vol. 1, No. 2, Oktober 2011
Kholid Junaidi,
Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Di Indonesia
(Suatu Kajian Sistem Kurikulum di Pondok Pesantren Lirboyo), Istawa, Jurnal Pendidikan, Volume 2, Nomor 1,
Juli-Desember 2016
Martin
Van Bruinessen, NU, Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta: LKiS, 1994)
Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994)
Moh. Roqib, Prophetic
Education, (Purwakarta: STAIN Press, 2011)
Suganda
Purbakatja dkk, Sekolah dan Masyarakat, 1963
Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LP3ES, 1984)
[1] Suganda Purbakatja dkk, Sekolah dan Masyarakat, 1963, 75
[2] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta:
INIS, 1994)
[3] Moh. Roqib, Prophetic Education, (Purwakarta: STAIN Press,
2011), 103
[4] Imam Syafe’I, Pondok Pesantren; Lembaga Pendidikan Pembentukan
Karakter, al-Tadzkirah, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017, h. 2
[5] Iva Yulianti Umdatul Izzah, Perubahan
Pola Hubungan Kiai Dan Santri Pada Masyarakat Muslim Tradisional Pedesaan,
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 1, No. 2, Oktober 2011, 34
[6] Martin Van Bruinessen, NU,
Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS,
1994), 21
[7] Kholid Junaidi, Sistem Pendidikan Pondok
Pesantren Di Indonesia (Suatu Kajian Sistem Kurikulum di Pondok Pesantren
Lirboyo), Istawa, Jurnal Pendidikan, Volume
2, Nomor 1, Juli-Desember 2016, 99
[8] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai ( Jakarta: LP3ES, 1984), 21
[9] Ibid., 23
[10] Kholid Junaidi, Sistem Pendidikan Pondok
Pesantren Di Indonesia (Suatu Kajian Sistem Kurikulum di Pondok Pesantren
Lirboyo)…, 100
Komentar
Posting Komentar