PESANTREN DI TENGAH ARUS MODERNITAS


PESANTREN DI TENGAH ARUS MODERNITAS
Oleh: Muhamad Fatoni, M.Pd.I

Sekilas tentang Pesantren

Salah satu model pendidikan yang dianggap sebagai model pendidikan tertua di tanah air adalah model pendidikan pesantren. Pesantren merupakan model pendidikan asrama yang menaungi semua lapisan masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah dan rakyat jelata, yang memiliki perbedaan dengan sistem pendidikan asrama Hindu-Budha yang hanya menaungi anak-anak aristokrat.[1] Pesantren menjadi salah satu lembaga pendidikan yang banyak memberikan kontribusi pada bangsa ini jauh sebelum proklamasi kemerdekaan sebagai penanda lepasnya bumi nusantara dari penindasan bangsa penjajah.

Di awal kehadirannya pesantren bersifat tradisional untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam sebagai pedoman hidup (tafaqquh fi al-din) dengan menekankan pada pentingnya moral dalam masyarakat.[2] Karena itu moralitas menjadi karakter yang melekat pada diri seorang yang mengeyam pendidikan di pesantren.


Pesantren bersifat egaliter dan mampu mengakomodasi setiap peminat belajarya[3]. Siapapun bisa belajar di pesantren, tidak peduli dari kalangan mana ia berasal. Tidak jarang, pesantren membebaskan beaya belajar santrinya yang berasal dari kalangan bawah dan jelata. Bahkan, mereka yang tidak memiliki beaya untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, mulai makan, minum dan kebutuhan lain masih tetap diterima belajar bahkan dipenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan ikut khidmah di ndalem kyai.

Keterbukaan pesantren dalam menaungi semua lapisan masyarakat yang ingin menimba ilmu ini, tidak disukai oleh para penjajah kala itu. Tentu ketidaksukaan ini bukan tanpa alasan. Masyarakat terdidik akan sulit dikendalikan, akibatnya bila dibiarkan akan terjadi gelombang arus perlawanan terhadap pihak penjajah.

Kiprah pesantren sangat dirasakan oleh masyarakat.[4] Salah satunya adalah melahirkan generasi ulama yang siap berkiprah di tengah masyarakat. Para alumni pesantren umumya siap mengambil peran di tengah komunitas masyarakatnya terutama dalam bidang keagamaan. Selain itu pada masa pra kemerdekaan, pesantren melahirkan para ulama yang sekaligus pejuang. Bahkan para santri siap berada di depan di bawah komando kyai tanpa berpikir materi yang di dapatkan.

Di bawah komando kyai para santri bergerak melakukan perlawanan terhadap para penjajah yang melakukan penindasan terhadap masyarakat pribumi. Perlawanan Pangeran Diponegoro misalnya, adalah bentuk perlawanan yang dilakukan kaum santri terhadap pendudukan penjajah di bumi nusantara ini. Demikian halnya dengan Teuku Umar, Pangeran Antasari, Imam Bonjol, K.H Hasyim Asy’ari dan sederetan nama pahlawan nasional lainnya yang juga merupakan tokoh ulama di tengah pengikutnya.

Citra pesantren dalam keikutsertaannya membangun bangsa ini sudah tidak diragukan lagi. Karenanya system pendidikan ala pesantren harus tetap dijaga dan dipertahankan kelestariannya di bumi zamrud katulistiwa ini. Keberadaan pesantren tidak seharusnya dipandang sebelah mata oleh siapapun, apalagi pemerintah yang sejujurnya memiliki hutang budi pada pesantren.

Pola Hubungan Kiyai dan Santri

Unsur terpenting yang tidak bisa dilepaskan dari citra pesantren adalah adanya kyai dan santri. Kyai adalah seorang yang menjadi pengasuh di sebuah pesantren yang siap meluangkan waktunya selama dua puluh emat jam bagi para santrinya. Sementara santri merupakan anak asuh yang menimba ilmu pada seorang kyai di pesantren. Umumnya mereka berasal dari berbagai daerah, dekat maupun jauh yang kemudian tinggal di tempat yang telah disediakan oleh kyai.

Pesantren memiliki keunikan tersendiri yang tidak sama dengan lembaga pendidikan yang lain diluar pesantren. Salah satu keunikan tersebut terletak pada pola hubungan antara kyai dan santri.

Iva Yulianti Umdatul Izzah mengatakan bahwa ketaatan seorang santri terhadap kyainya, akan dipandang sebagai suatu manifestasi ketaatan mutlak yang dipandang sebagai ibadah.[5] Di pesantren seorang santri akan menerapkan ketaatan totalitas pada seorang kyai tanpa harus berpikir untuk kesekian kalinya lagi.

Hal ini tentu sangat menarik, hal mana tidak ditemukan pada pola hubungan antara guru dan murid di lembaga pendidikan lain di luar pesantren. Yang perlu untuk dilakukan penelitian lagi adalah mengapa ketaatan terhadap kyai itu bisa mendarah daging pada diri seorang santri, bahkan pada saat santri itu sudah boyong dari pesantren.

Di pesantren sabda kyai dianggap sebagai ‘sabdo pandito ratu’, bagaikan perkataan raja yang harus dilaksanakan. Umumnya tidak ada seorang santri pun yang berani membantah apa yang disampaikan oleh kyainya. Berbeda dengan kasus pendidikan di luar pesantren.

Sering terdengar kabar di dunia pendidikan di luar pesantren ada seorang murid yang berani kepada gurunya. Mereka kerap kali membuat gaduh baik di dalam maupun di luar kelas pembelajaran. Tidak jarang pada satu kelas pembelajaran di dapati seorang murid yang mengakses gadget, dengan asyiknya di saat guru sedang menjelaskan materi pelajaran.

Hal ini tidak akan ditemukan di pesantren, kecuali pesantren yang telah mengalami pergeseran dari nilai-nilai pesantren salafiyah. Umumnya di pesantren santri tidak berani berlaku tidak hormat terhadap kyainya. Bahkan, untuk mengangkat kepala dan memandang wajah kyai, dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan kurang beretika.

Martin Van Bruinessen[6] menyatakan menyatakan bahwa kiai memainkan peranan yang lebih dari sekedar seorang guru. Kyai tidak hanya sebagai pengajar ilmu pengetahuan untuk santrinya. Lebih dari itu, kyai juga mengambil peran-peran lain yang lebih membekas dalam diri santri, salah satunya adalah peran spiritual.

Pada peran spiritualnya, kyai diyakini memiliki kekuatan supra natural yang dengan kekuatan tersebut, dia bisa membantu para santrinya dalam berbagai urusan. Kyai dianggap mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit hanya dengan menggunakan segelas air putih yang dibacakan do’a. selain itu, kyai juga mampu menangkal berbagai gangguan pengaruh ghaib yang negative seperti santet, teluh dan sejenisnya. Kyai juga mampu menjangkau hal-hal ghaib supra natural yang tidak bisa dijangkau manusia pada umumnya.

Selain peran-peran sebagaimana di atas, terdapat peran spiritual lain yang dimiliki oleh kyai, yakni kemampuannya mentarbiyah murid secara ruhani meski secara fisik dia tidak melakukan kontak dengan santrinya. Hal ini kerap kali di dengar dari kisah-kisah hikmah tentang seorang kyai dari para santri yang pernah belajar kepadanya.

Sistem Pembelajaran di Pesantren

System pembelajaran di pesantren cukup menarik untuk mendapat perhatian. Pada umumnya pesantren menggunakan system sorogan dan bandongan yang lebih mengedepankan system hafalan dan halaqah.[7]

Sorogan merupakan system pendidikan di mana seorang murid secara individu menghadap gurunya untuk membaca beberapa ayat al-Qur’an atau beberapa kitab.[8] Kemudian seorang guru membacakan untuk santrinya dan santri tersebut menirukan, selanjutnya menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan istilah ‘murodi’. Biasanya seorang santri dipanggil ke depan untuk membaca dan menterjemahkannya ke bahasa Jawa.

Adapun bandongan atau juga disebut wetonan merupakan system pendidikan di pesantren yang diikuti oleh 5 atau lebih santri.[9] Pada model pembelajaran ini biasanya seorang kyai akan membacakan satu kitab klasik (kitab kuning) yang diberi makna (gandul) kemudian diterjemahkan dalam bahasa Jawa dan di uluas dengan menggunakan bahasa kyai sendiri. Adapun di sini peran santri adalah mendengar keterangan-keterangan tersebut, dan membuat catatan-catatan sendiri yang dirasa penting dari penjelasan yang diberikan.

Pendidikan di pesantren pada umumnya lebih mengedepankan system hafalan. Para santri menghafal bait-bait nadzam yang terdapat pada kitab yang sedang mereka pelajari. Biasanya sebelum pembelajaran dimulai atau pada saat-saat tertentu yang disepakati para santri akan membaca bait-bait nadzam tersebut secara bersama-sama dengan diiringi suara ‘tabuhan’ ala kadarnya yang dikenal dengan lalaran.

Lalaran ini telah menjadi darah daging yang mengakar kuat dalam diri setiap santri. Lalaran sangat bermanfaat untuk membantu para santri dalam menghafal bait-bait nadzam yang dipelajarinya. Selain itu, hafalan nadzam ini juga merupakan langkah awal bagi santri untuk memperoleh pemahaman yang benar dari kitab yang sedang dipelajarinya.

System pembelajaran yang lain adalah system halaqah. Halaqah berarti lingkaran murid, atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang ustadz dalam satu tempat.[10] System pembelajaran ini biasanya diperuntukkan bagi para santri yang sudah menyelesaikan pembelajarannya sampai jenjang tertentu. Paling tidak mereka sudah menyelesaikan jenjang alfiyah dan dinyatakan lulus dalam pembelajaran kitab Alfiyah, Jauharul Maknun, atau Uqudul Juman. Karena itu Mahmud Yunus mengatakan bahwa model halaqah ini hanya diperuntukkan bagi santri yang memiliki kecerdasan intelektual dan mempunyai keinginan besar untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya disertai dengan kerelaan untuk mengorbankan sebagain waktu yang dimilikinya.

Modernitas yang Tak Terelakkan

Era modern ditandai dengan semakin canggihnya teknologi informasi yang berkembang di tengah masyarakat dunia. Semakin canggihnya teknologi informasi meniscayakan seseornag mampu menerima informasi di belahan dunia yang lain hanya dalam hitungan detik sesaat setelah terjadinya satu peristiwa. Seolah tidak ada lagi jarak yang memisahkan antar satu negara dengan negara yang lain.

Salah satu tanda modernitas lagi adalah adanya globalisasi yang terjadi di semua aspek kehidupan manusia. Globalisasi dengan berbagai variannya menuntut adanya persaingan ketat untuk memperoleh pengakuan dari berbagai pihak.

Dalam bidang perekonomian, globalisasi sesungguhnya merupakan fase perjalanan panjang dari system ekonomi kapitalisme liberal. System ekonomi yang di dominasi oleh bangsa Barat yang seringkali menguntungkan bagi para pemilik modal.

Dalam dunia pendidikan, dampak globalisasi juga sangat dirasakan oleh para pelaku pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan dipaksa untuk saling berkompetisi dan bersaing untuk memperoleh pengakuan dari konsumennya, yakni masyarakat yang hendak mensekolahkan anak-anaknya.

Pada kasus ini, sekolah dan madrasah mau tidak mau harus memberikan pelayanan dan jasa yang baik bagi para peserta didik. Sekolah yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan dibanjiri oleh masyarakat untuk mensekolahkan putra-putrinya. Sebaliknya sekolah/madrasah yang tidak mampu memberikan layanan yang baik dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan ditinggalkan.

Fakta di lapangan telah banyak menunjukkan adanya lembaga-lembaga sekolah dan madrasah yang dulu berjaya, kini mulai ditinggalkan oleh masyarakat lantaran dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan zaman. Lembaga yang hanya puas dengan pelayanan ala kadarnya dan tanpa berani mengambil langkah spekulatif untuk melakukan inovasi semakin hari kian ditinggalkan.

Arus modernitas ini, merupakan hal yang tak mungkin dielakkan oleh lembaga manapun, baik negeri maupun swasta. Modernitas dengan berbagai dampak dan pengaruhnya, positif maupun negative harus diterima dan dihadapi, bukan untuk ditolak dan ditinggalkan, tak terkecuali bagi lembaga pesantren.

Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia harus berani menghadapi arus modernitas. Pesantren sebagai basis dari pendidikan agama Islam harus mampu bertahan dan bahkan harus mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan di luar pesantren. Untuk itu kyai dan santri sebagai actor utama lembaga pendidikan pesantren hendaknya bersikap inklusif dan terbuka dengan berbagai masukan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar pesantren. Selain itu lembaga pendidikan pesantren hendaknya tidak alergi dengan berbagai perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat perkembangannya hingga kerap kali merambah ke lingkup pesantren.

Tantangan dan Peluang Pesantren di Era Modern

Cepatnya arus informasi yang bisa di akses oleh siapa saja dan di mana saja dia berada menjadi satu tantangan tersendiri yang kerap kali di alami oleh siswa, santri, orang tua dan guru dalam mendidik anak-anaknya. Bagi siswa dan santri, berbagai fitur menarik dari gadget yang bisa mereka dapatkan dari smart phone yang mereka miliki menjadi satu godaan berat untuk lebih fokus dalam belajar.

Semakin banyaknya media sosial dengan berbagai fitur layanan yang menarik dan mudah lagi murah di dapatkan seringkali menjadikan para pencari ilmu ini tergoda. Waktu luang yang semestinya digunakan untuk belajar dan menimba ilmu justru dibuang sia-sia dengan mengakses berbagai fitur ini. Tidak jarang ditemukan di kelas-kelas pembelajaran, para peserta didik yang asik dengan smart phone yang dimilikinya, padahal guru sedang serius menjelaskan materi.

Dampak terburuknya adalah banyaknya peserta didik yang tidak mampu memahami materi dengan baik, sekaligus merebaknya berbagai kasus kenakalan peserta didik disebabkan karena menjadi korban dari media sosial on line yang dikonsumsinya.

Pada dekade terakhir, kita banyak mendengar kabar dari media bahwa ada pelajar dan mahasiswa yang terlibat tawuran, mengkonsumsi narkoba dan terjerembab pada pergaulan bebas. Semua itu di awali dengan akses media sosial melalui internet yang ada pada smart phone yang dimilikinya. Kepemilikan smart phone oleh para peserta didik tentu mempersulit pengawasan terhadap mereka baik pengawasan oleh guru maupun orang tua. Akibatnya mereka terlibat dengan berbagai hal yang tidak diinginkan sebagaimana di atas.

Alhamdulillah kenyataan di atas menjadikan para orang tua sadar akan pentingnya membekali siswa dengan pendidikan agama yang baik. Jika dulu, orang tua lebih memilih mensekolahkan putra-putrinya ke lembaga pendidikan umum semisal SD, SMP, SMA, SMK dan sejenisnya, saat ini telah terjadi perubahan pola pikir orang tua untuk memilihkan pendidikan putra-putrinya. Madrasah dan pesantren kini, kian diminati dan dibanjiri oleh para peserta didik dari berbagai kalangan. Tidak hanya mereka yang berada di kalangan menengah ke bawah, akan tetapi kalangan menengah atas pun kini mulai banyak yang mempercayakan pendidikan putra-putrinya di pesantren.

Bagi lembaga pesantren, hal ini tentu menjadi peluang besar yang tidak boleh dilewatkan dan di sia-siakan. Pesantren harus mampu memberikan layanan dan memenuhi kebutuhan peserta didik. Tidak hanya pada urusan yang bersifat religius semata, tetapi pesantren dituntut juga mampu menjawab berbagai kebutuhan peserta didik di luar kebutuhan religiusnya.

Pesantren yang mampu menjawab segala tantangan dan memanfaatkan peluang tersebut akan semakin dibanjiri oleh para santri dari berbagai daerah. Tidak jarang ada sebagian santri yang berasal dari negeri manca juga turut belajar di pesantren. Hal ini, menjadi daya tarik tersendiri untuk dilakukan kajian lebih lanjut mengenai pesantren.

Inovasi Sistem Pembelajaran di Pesantren

Jika pesantren ingin tetap eksis dalam perjalanannya, kata kuncinya adalah inovasi. System pembelajaran yang ada di pesantren tidak boleh hanya sebatas mengandalkan model pembelajaran yang selama ini ada, tetapi tentunya hal tersebut juga tidak boleh dihilangkan dari pesantren sebagai ciri khas pesantren.

Di tengah arus modernitas seperti saat ini, pesantren tidak bisa lagi tetap bersikukuh dengan kurikulum lama yang dimilikinya. Tetapi, kurikulum pesantren juga mesti diinovasi sesuai dengan kebutuhan saat ini. Pesantren tidak lagi hanya berbicara pada persoalan-persoalan kitab turats semata, tetapi juga dituntut untuk bisa memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi informasi dan berbagai kemajuan lainnya.

Dewasa ini, pesantren telah menunjukkan progres yang baik dalam menerima perubahan. Pesantren telah banyak yang memasukkan kurikulum pendidikan modern di dalamnya.

Munculnya pesantren modern dan terpadu cukup menjadi angin segar bagi orang tua untuk mensekolahkan putra-putrinya ke pesantren. Pesantren model ini dinilai sebagai pesantren yang cukup mewadahi kebutuhan santri di era modern seperti saat ini.

Di pesantren modern, umumnya lebih menekankan pada penguasaan bahasa baik Arab maupun Inggris sebagai bahasa keseharian. Kedua bahasa ini sangat bermanfaat bagi santri saat mereka menempuh jenjang perkuliahan. Bahasa Arab dan Inggris merupakan bahasa internasional yang sangat familier dalam dunia pendidikan. Banyak literatur-literatur penting yang ditulis dengan menggunakan kedua bahasa ini. Karena itu penguasaan yang baik terhada kedua bahasa ini akan membantu siswa dalam menggali berbagai informasi ilmu pengetahuan yang mereka dalami nantinya di perguruan tinggi.

Selain itu banyak pesantren yang telah membuka pendidikan formal di lingkungannya. Ini adalah bentuk inovasi yang positif bagi pesantren. Dengan membuka pendidikan formal, pesantren semakin diminati oleh para orang tua. Di sisi lain, santri juga akan mendapatkan pemahaman yang cukup dalam bidang agama melalui pendidikan diniyah yang diterimanya di malam hari.

System pembelajaran di pesantren pun kian hari menunjukkan perubahan yang positif. Jika dulu, ustadz dan kyai hanya mengandalkan papan tulis, kapur, dan kitab kuning sebagai media pembelajarannya, lain halnya dengan saat ini. Banyak pesantren yang telah memanfaatkan layar LCD, proyektor, maupun monitor pada kelas-kelas pembelajarannya.

Kyai saat ini, juga mulai berubah pola pikirnya. Bila dulu sosok kyai lebih bersifat sacral, saat ini banyak kyai yang lebih mengedepankan sifat moderatnya. Mereka tidak anti terhadap perubahan, mereka juga menerima masukan dari berbagai pihak, sehingga sering terjadi arus dialogis dalam tradisi kepesantrenan.

Bentuk-bentuk inovasi dalam system pembelajaran di pesantren selayaknya untuk terus dikembangkan dan dipertahankan. Pesantren harus mampu menciptakan suasana pembejaran yang kondusif dalam rangka mempersiapkan generasi mendatang yang berkemajuan dan mampu menjawab tantangan zaman serta tetap berpegang pada nilai-nilai luhur agama Islam.

Penutup

Di tengah dinamika zaman yang terus mengalami kemajuan, pesantren dituntut untuk mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain. Karena itu pesantren harus mau membuka diri dan terbuka dengan berbagai perubahan di sekitar. Pesantren tidak boleh bersifat eklusif dan anti perubahan. System manajerial pesantren juga mesti mengalami inovasi seiring dengan perkembangan yang ada.

Pesantren yang mampu memanfaatkan berbagai peluang yang ada akan semakin dibanjiri oleh para peserta didik. Sebaliknya, pesantren yang tidak memanfaatkan peluang dan tidak mau berkompetisi dalam memberikan layanan serta memenuhi segala kebutuhan peserta didik akan semakin dijauhi dan ditinggalkan oleh peserta didik dan orang tua.

Inovasi system pendidikan di pesantren adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi, bila pesantren ingin tetap eksis di tengah arus modernitas. Modernitas memaksa pesantren untuk memperbaiki mutu dan kualitasnya dalam berbagai aspek sehingga pesantren mampu berdiri kokoh di tengah arus modernitas. Mempersiapkan peserta didik yang memiliki kompetensi yang mampu bersaing di era modern, serta tetap mempertahankan nilai-nilai luhur agama sebagai pondasi dalam menjalani kehidupan di dunia.


DAFTAR RUJUKAN

Imam Syafe’I, Pondok Pesantren; Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter, al-Tadzkirah, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017
Iva Yulianti Umdatul Izzah, Perubahan Pola Hubungan Kiai Dan Santri Pada Masyarakat Muslim Tradisional Pedesaan, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 1, No. 2, Oktober 2011
Kholid Junaidi, Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Di Indonesia (Suatu Kajian Sistem Kurikulum di Pondok Pesantren Lirboyo), Istawa, Jurnal Pendidikan, Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016
Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994)
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994)
Moh. Roqib, Prophetic Education, (Purwakarta: STAIN Press, 2011)
Suganda Purbakatja dkk, Sekolah dan Masyarakat, 1963
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1984)



[1] Suganda Purbakatja dkk, Sekolah dan Masyarakat, 1963, 75
[2] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994)
[3] Moh. Roqib, Prophetic Education, (Purwakarta: STAIN Press, 2011), 103
[4] Imam Syafe’I, Pondok Pesantren; Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter, al-Tadzkirah, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017, h. 2
[5] Iva Yulianti Umdatul Izzah, Perubahan Pola Hubungan Kiai Dan Santri Pada Masyarakat Muslim Tradisional Pedesaan, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 1, No. 2, Oktober 2011, 34

[6] Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), 21
[7] Kholid Junaidi, Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Di Indonesia (Suatu Kajian Sistem Kurikulum di Pondok Pesantren Lirboyo), Istawa, Jurnal Pendidikan, Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016, 99
[8] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai ( Jakarta: LP3ES, 1984), 21
[9] Ibid., 23
[10] Kholid Junaidi, Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Di Indonesia (Suatu Kajian Sistem Kurikulum di Pondok Pesantren Lirboyo)…, 100

Komentar