Bapakku Guru Ngaji

 

Bapakku Guru Ngaji



Salah satu aktifitas bapak yang tetap dikerjakannya hingga menjelang wafat adalah mengajar ngaji. Bapak selalu meluangkan waktunya setiap selesai shalat maghrib untuk mengajar ngaji baik di lingkungan rumah maupun di pondok.

Kegiatan mengajar ngajinya yang paling banyak adalah di madrasah mafatihul huda di bawah naungan pondok pesantren mambaul ulum Sempu Sukorejo Udanawu Blitar. Pondok yang telah memberikan pendidikan kepada beliau, membentuk kepribadian beliau hingga beliau mendapatkan takdir jodohnya.

Selain itu, beliau juga mengajar ngaji di madrasah diniyah al-hayat yang berada di lingkungan masjid “Al-Muttaqin”, Desa Slemanan Udanawu Kabupaten Blitar, tempat di mana bapak menghabiskan waktunya hingga akhir hayatnya. Madrasah yang dirintis bapak beserta tokoh-tokoh di lingkungan ini, diantaranya adalah KH. Abdul Malik dan KH. Munir (almarhum), speengetahuan saya.

Bapak ke pondok dengan mengendarai sepeda pancal. Selesai jama’ah shalat maghrib, biasanya bapak langsung ke madrasah untuk mengajar. Bapak,-menurut saya, sangat telaten mengajar. Mata pelajaran yang diaampunya adalah ilmu nahwu (imrithy, jurumiyah, tadrib i’rab) dan sharaf (qawaid al-lughawi, amtsilatut tashrifiyyah, qawaid al-i’lal). Hingga akhir hayatnya pelajaran nahwu lah yang diampunya.

Mengajar ngaji seolah telah menjadi darah dagingnya, karena itu bapak pernah mewanti-wanti saya saat mau menekuni dunia mengajar pertama kali. Kalimat itu masih saya ingat betul, dan selalu terngiang-ngiang di telingan saat rasa jenuh menyapa. Beliau bilang, “Ora enek wong mati goro-goro mulang.” Beliau selalu memberikan motivasi agar jangan meninggalkan mengajar ngaji, meskipun tidak mendapat gaji.

Ya, bagi sebagian orang yang orientasi hidupnya adalah uang tentu hal ini berat. Menyisakan waktu di sela-sela kesibukan, saat merasakan tubuh penat dan capek, namun kita memaksa diri untuk mengabdi dan berbagi pengetahuan tanpa gaji. Kadang sebagian orang juga mengacuhkan para guru ngaji. Bahkan kadang-kadang untuk membayar SPP yang sangat ringan “5000-10.000” perbulan saja ogah-ogahan. Tidak jarang ada yang berpikiran, “Wong ngulang ngaji kok moto duiten, kudune ikhlas, rasah ngarep-ngarep bayaran.”

Pendapat seperti ini menurut saya sangat tidak tepat. SPP sebesar itu tentu terlalu ringan bila dibandingkan dengan SPP di lembaga-lembaga pendidikan formal. Kalau mau jujur, di masa sekarang uang sebesar itu bila digunakan untuk membeli kapur dan peralatan operasional madrasah mnasih terbilang sangat minim sekali. Tetapi, itu lah kenyataan di madrasah kami,-yang kebetulan saya turut serta mengajar hingga saat ini. Bahkan kadang di akhir tahun banyak juga yang belum membayar. Tetapi, tentunya bukan karena tidak ikhlas, sekedar ingin memberi penyadaran kepada yang mampu tetapi tidak mau membayar. Adapun bagi mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu, madrasah di mana kami mengajar tetap menerima tanpa memungut biaya, yang penting mau mengaji sudah Alhamdulillah.

Berkenaan dengan “mulang ngaji” bapak berpesan kepada saya. Kata beliau, “Yo pancen wong mulang ngaji ki ora oleh bayar, paling mung oleh sabun (lek enek). Tapi insya Allah barokahe okeh. Wong ki lek gelem mulang ngaji, insya Allah keluargane diopeni karo gusti Allah. Anak-anake biasane pinter, umpomo ora biasane yo podo diparingi beneh.”

Ya, secara matematis memang orang mengajar ngaji boleh dibilang “rugi”, tetapi jika mau mentafakkuri, insya Allah “keuntugan”-nya lebih besar. Oleh karena itu mengajar ngaji sebisa mungkin tetap dilaksanakan oleh seseorang dengan ikhlas tanpa perlu “menghitung-hitung” untung ruginya. Itu pula agaknya yang menjadi prinsip beliau, sehingga di usianya yang senja dan fisiknya yang sering terganggu, ditambah sakit “cegukan/sendawa” yang menahun, beliau tetap saja semangat dalam mengajar ngaji. Semoga Allah menerima dan meridhai beliau, serta menjadikan anak keturunannya mengikuti jejaknya. Aamiin.

Komentar