Hidup Adalah Pilihan
Kehidupan tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan kita, bahkan yang terjadi sebaliknya, lebih banyak perputaran kehidupan itu tidak sejalan dengan apa yang menjadi harapan kita. Ya, memang begitu adanya. Terlalu enak, dan cenderung tidak indah, karena tidak ada seni di dalamnya, jika tidak ada liku-liku dalam menjalaninya. Yang demikian itu kiranya telah menjadi sunnatullah yang tidak tergantikan.
Silih bergantinya siang dan malam, perputaran mata hari pada porosnya dan sebagainya menrupakan hal yang tidak bisa dielakkan, bak roda kendaraan yang kadang di atas, samping, dan bawah. Begitu juga dengan kehidupan selalu saja berganti susah, senang, sedih dan bahagia turut mewarnai sehingga makna hidup dan kehidupan semakin bisa dirasakan. Seorang bijak berkata, “Hidup itu bagaikan secangkir kopi, pahit dan manis bersatu dalam cita rasa kehangatannya.”
Lebih dari itu semua, yang paling penting harus disadari setiap
orang adalah bahwa hidup adalah pilihan. Kita bisa saja membentuk hidup kita di
hari ini maupun masa mendatang, tentunya dengan ikhtiar dan usaha yang kita
lakukan. Siapa saja yang mau berusaha memperbaiki diri, meningkatkan kualitas
hidupnya dengan memperbanyak berjaga, mengurangi tidur dan memanfaatkan setiap
detik yang berjalan dalam hidupnya, tentu ia akan merasakan hasil dari jerih
payahnya. Sejalan dengan apa yang difirmankan-Nya, “Sesungguhnya Allah tidak
akan merubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu merubah (nasibnya) dengan usaha
mereka sendiri.” (Qs. Al-Ra’du (13); 11).
Setiap piliham tentu akan membawa konsekuensi
masing-masing yang tentunya bernilai positif disamping ada sisi negatifnya. Begitu
juga dengan pilihan bapak untuk menjadi “guru ngaji”. Ada konsekuensi yang
mengiringinya pada setiap sisi kehidupannya.
Saya setidaknya menjadi saksi atas pilihan
hidup yang dijalani bapak. Bapak seringkali mendapat kepercayaan dari para
tetangga juga masyarakat di lingkungan untuk turut serta dalam berbagai
kegiatan keagamaan. Mengisi ceramah agama di jam’iyyah yasinan, menjadi imam
tahlil, maupun do’anya, juga mendapat amanah mengelola jam’iyyah seperti jam’iyyah
yasin, khatmil qur’an, takmir dan sebagainya. Tentu ada suka dukanya, dengan
berbagai seni yang ada di dalamnya.
Sebagai salah seorang yang aktif di berbagai
kegiatan di desa, madrasah dan pondok tentu tidak semua hal bisa dilakukan oleh
bapak secara maksimal. Ada saat di mana bapak harus memilih apa yang mesti di
dahulukan dan apa yang di akhirkan.
Di kehidupan masyarakat, terlebih di pedesaan,
sudah maklum bahwa banyak kegiatan selamatan di lingkungan. Terkadang, sebagian
di antara selamatan tersebut tidak memperhatikan jadwal aktifitas para guru
ngaji di madrasah maupun pesantren. Yang ada dalam pikiran mereka mungkin, yang
terpenting hajatnya terealisasi sesuai dengan keinginan.
Berkaitan dengan hal ini, bapak seringkali
meninggalkan undangan seperti tahlil, kenduri dan acara hajatan lainnya yang
berbarengan dengan kegiatan mengajar di madrasah. Bapak pernah bilang ke saya, “Nek
aku budal kondangan engko oleh berkat, iso di pangan bocah-bocah, manfaate gawe
keluarga, neng aku ninggalne bocah-bocah sing kepingin ngaji, sing luweh okeh. Mulane
lek barengan yo aku milih mulang ngaji, mesakne bocah-bocah. Tahlil/kondangan
masio aku ora budal sik panggah iso mlaku. Lha lek ngaji? Sopo sing arep
gajuli? Mesakne bocah-bocah sing ngenteni.”
Pilihan ini tentu bagi mereka yang memahami
bisa diterima, namun tidak bagi sebagian yang lain. Sebagai buktinya adalah apa
yang disampaikan oleh salah seorang tetangga pada saya, saat “manjing,”kerja
di sawah. Pernah suatu saat dia bilang langsung ke saya bahwa saat di sawah
beberapa orang tetangga membicarakan bapak yang sering meninggalkan undangan
kenduri dan sejenisnya. Mereka bilang, “Wong diundang gendoren setahun pisan
pindo wae kok ora gelem nekani, wong mulang sesok jek enek dino meneh.”
Pernyataan tersebut sebagai satu bentuk
konsekuensi dari pilihan hidup. Sepertinya simple, sederhana dan semistinya bapak
memilih untuk menghadiri kondangan. Tetapi disisi lain, mereka semestinya juga
memahami kalau yang mengundang tidak hanya satu orang. Di lingkungan kami
setidaknya ada sekitar 50 KK yang diantaranya sekali setahun, ada juga yang
lebih. Jika semua harus dihadiri, kira-kira sudah berapa kali kegiatan “mulang
ngaji” ditinggalkan? Inilah yang sring tidak dipikirkan oleh masyarakat.
Pernah juga emak cerita, bapak karena merasa
rikuh sudah seringkali diundang tidak bisa menghadiri undangan, akhirnya
menghadiri dengan maksud menghormati undangannya. Namun karena berbarengan
dengan waktu mengajar ngaji, akhirnya selesai acara segera berpamitan untuk
segera ke madrasah. Namun, sayangnya justru perkataan yang kurang enak yang
didapatkan. Kata emak, “Pake ki tahu pas tahu di undang gendoren mae pak ...,
yo anggite wong suwi ra iso ngeyangi diselakne mergo yo bareng karo wayae
mulang, terus bar ndang pamitan. Eee... malah disematani. ‘rasah wedi lek gak
diganduli, di ganduli-ganduli..’. Yaa Allah padahal pak e ki yo meng pingin
hormat karo undangane.”
Di masa kecil saya memang tidak semua yang
tidak hadir di “ganduli berkat” mereka yang mempunyai hajat. Mungkin karena
memang kondisi masyarakat yang saat itu masih “larang pangan.”kondisi
itu berbeda jauh dengan apa yang terjadi hari ini. Siapapun yang tidak hadir,
tetap mendapat berkat dari orang yang mempunyai hajat.
Apa yang saya tulis ini bukan untuk mengeluh
atau menyayangkan apa yang dipersepsikan orang pada bapak. Bagi saya, itu hal
yang biasa dan menjadi tantangan bagi setiap orang yang telah memilih jalan
hidupnya. Setiap orang pasti akan menemui hal yang sama dalam kehidupan ini. Ada
orang yang condong padanya, mencintainya dengan tulus, sebaliknya, ada juga
orang yang tetap memandang negatif pada kita, meskipun ribuan kali kita
berusaha berbuat baik kepadanya.
Yang ingin saya sampaikan lewat artikel ini
adalah setiap pilihan dalam hidup memiliki konsekuensi masing-masing yang harus
dihadapi dan diselesaikan, bukan hal yang membuat kita menjauh dan berlari
darinya. Lebih dari itu, kita harus pintar-pintar memilah dan memilih, apa yang
semestinya menjadi pilihan kita. Mendahulukan hal yang penting dan yang
manfaatnya bisa dirasakan oleh banyak orang. Allahu yarhamuka yaa abii, wataqabbalallahu
maa ta’malu bihi. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar