Yo, Tak Pangestoni, Ning Golek’o Dewe
Pada awalnya saya memang tidak memiliki keinginan untuk belajar di
bangku perkuliahan. Saya lebih tertarik untuk mempelajari ilmu-ilmu di
pesantren terutama karena saya mungkin sangat terkesan dengan figure “kyai,”
saat masih ngaji di pesantren. Namun, takdir berbicara lain sehingga saya
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi hingga berhasil menyelesaikannya tepat
waktu dan alhamdulillahnya dengan nilai yang memuaskan.
Di jenjang S1, saya menyelesaikan proses perkuliahan beberapa bulan lebih cepat dari teman-teman seangkatan. Bila teman-teman menyelesaikannya pada kisaran bulan Juni-Agustus, saya menyelesaikan semuanya dan menjalani sidang skripsi di bulan April. Tentu, di antara hal yang mendorong saya adalah supaya bisa segera melakukan hal lain di luar kuliah.
Alhamdulillah, saya berhasil menyelesaikan proses perkuliahan di jenjang
ini dengan cukup baik. Nilai IPK saya terbaik ke-2 di Prodi saya,-PBA, dan
se-STAIN waktu itu. Hal itu pula yang menyebabkan saya dipercaya memberikan
kata sambutan pada wisuda STAIN 2006 kala itu. Hal, yang tentunya sangat
berkesan bagi saya,-sebagai wisudawan, dan kedua “orang tua” saya yang
mengkuliahkan.
Dahaga akan “ilmu” ternyata semakin saya rasakan setalah saya
menamatkan pendidikan di jenjang S1. Bagi lulusan terbaik di masing-masing
prodi mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di S2 di kampus tercinta.
Kebijakan itu berlaku pada saat Prof. Mujamil, M.Ag. dilantik menjadi Ketua
STAIN waktu itu, persis saat saya menamatkan jenjang kuliah di S1. Namun, karena
saya terbaik ke-2 se STAIN dan di Prodi, maka saya tidak masuk ke dalam
kategori tersebut.
Pada saat itu saya sempat masuk di S2 selama kurang lebih 2 minggu
atas bantuan salah satu dosen. Beliau berusaha agar saya bisa mengajar di
kampus sebagai DLB sehingga HR-nya bisa digunakan untuk membayar SPP. Namun,
karena memang saya baru menamatkan pendidikan dan di jenjang S1, upaya itu gagal
dan saya memutuskan untuk tidak meneruskan “studi” karena memang tidak ada
pembiayaan.
Di tahun berikutnya, 2007, saat saya berkunjung ke kampus, saya
ketemu beliau dan kembali beliau mengatakan, “Sampean pokoke kudu kuliah
tahun iki, wes masalah duit gampang, dipikir karo mlaku, pokok sing penting
lunas wayah tamat. Nek wayah tamat durung lunas, ijazahe sampean ditahan disek.”
Tegas beliau. Perkataan ini cukup menggembirakan saya, meski di satu sisi juga
saya merasa ragu apakah bisa membayar uang kuliah.
Rasa dahaga akan “ilmu” terus mendorong saya untuk meminta
pertimbangan dari beberapa teman ngajar di sekolah dan umumnya mereka semua
mendukung untuk mengambil kesempatan tersebut. Berikutnya saya menyampaikan hal
tersebut kepada orang tua, dan secara tegas bapak dawuh, “Yo tak pangestoni,
ning golek’o dewe.”
Dawuh bapak tersebut, memberikan isyarat bahwa saat itu saya sudah
mampu untuk menyelesaikan masalah sendiri. Karena itulah beliau percaya saya
bisa, dan yang terpenting bagi orang tua adalah merestui dan mendo’akan,
meskipun,-dalam keyakinan saya, tidak ada orang tua yang benar-benar “lepas
tangan” dengan nasib anaknya meskipun ia telah berumah tangga. Dan itulah
kenyataan yang “tak terbantahkan.”
Berbekal restu kedua orang tua, saya melangkah untuk melanjutkan
perkuliahan di jenjang S2. Tentu, hal ini merupakan tantangan bagi saya, karena
harus banyak membagi waktu untuk bekerja “mencari biaya kuliah” dan juga waktu
untuk “belajar.” Semangat menuntut ilmu, mendorong saya untuk lebih banyak “begadang”
di malam hari dengan berbagai buku “pinjaman” dari perpustakaan. Saya berusaha
mewujudkan mimpi untuk menyelesaikan thalab tepat waktu dan tentunya dengan
hasil yang sesuai dengan harapan.
“Hasil tidak mengkhianati proses,” demikian ungkapan orang bijak. Saya
menyelesaikan tesis di bawah bimbingan Prof. Dr. Mujamil, M.Ag dan Dr. Abad
Badruzaman, Lc., M.A. tepat waktu dan lagi-lagi lebih awal dari yang lain. Tetap
di bulan April, beberapa bulan sebelum teman seangkatan saya selesai.
Proses perkuliahan di S2 ini, menjadi pintu awal bagi saya menuju
ke pengalaman baru untuk mengabdi di almamater tercinta, STAIN Tulungagung kala
itu. Alhamdulillah di jenjang S2, saya selesaikan dengan baik dan saya berhasil
meraih IPK tertinggi kala itu,-meski ini bukan ukuran kecerdasan seseorang
tentunya. Sayangnya, saat itu belum ada jenjang S3 di kampus saya, sehingga
belum ada kebijakan beasiswa S3 untuk peraih IPK tertinggi. Namun tidak
mengapa. Saya masih ingat dawuh Prof. Mujamil, M.Ag. saat membimbing tesis
saya, “Yow is gak popo, sok diijoli sing luwih apik.”
Komentar
Posting Komentar