Bapak Gerah
Beberapa hari setelah hari raya Idul Adha menjadi hari-hari
terakhir saya dan keluarga bersama bapak. Di hari raya itu, seperti biasanya
bapak masih menjalani aktifitas kesehariannya. Ke belakang rumah “ngantong”
bersama ibu. Sore hari sering ke rumah untuk sekedar duduk dan ngobrol bersama
saya di teras. Kebetulan rumah saya hanya beberapa langkah dari rumah
bapak/ibu.
Di saat hari raya tiba, sebagaimana biasa, di Musholla sebelah rumah diadakan penyembelihan qurban. Tahun kemarin, meski situasi pandemic, namun hal itu tidak mengurangi antusias warga di lingkungan untuk menyembelih binatang qurban. Enam ekor kambing, kalau tidak salah, jumlah binatang qurban yang disembelih di musholla sebelah rumah dengan jumlah jamaah beberapa KK saja.
Semua berjalan sebagaimana biasa. Bapak juga turut serta menunggui
sambil bercengkrama dengan cucu-cucunya. Sebagaimana biasa selesai
penyembelihan, semua panitia makan dan selanjutnya dibagi untuk
mendistribusikan daging qurban ke tetangga-tetangga.
Beberapa hari berikutnya, sebagaimana telah menjadi niatan yang
lama tertanam di hati, dengan perjuangan keras keduanya, saya bersama istri
mengantar keduanya ke kantor kemenag untuk mengurus segala sesuatu yang
berkaitan dengan hajat beliau berdua. Semula rencananya saya bersama kakak, namun
karena sesuatu hal, kakak tidak bisa dan saya meminta bantuan istri untuk turut
mengantarkan.
Alhamdulillah, segala sesuatunya berjalan dengan baik, meski cukup
melelahkan dari pagi sampai sore karena harus menunggu antrian panjang. Tetapi tidak
mengapa, karena setiap hal membutuhkan proses dan perjuangan. Tidak ada yang
ujug-ujug, sim salabim dan sejenisnya. Itu hanya ada di cerita di televise sebagai
“dongeng” pengantar tidur anak-anak saja.
Hari selasa saya mengantar beliau, hari kamis menjelang ashar saat
beliau naik ke “undakan” musholla untuk menunaikan sholat ashar berjamaah,
beliau ngendikan, “Awakku kok ra penak yo?.” Bapak jarang/tidak pernah
mengeluh. Biasanya hanya diam, langsung ke toko beli obat. Tetapi, entah
mengapa saat itu beliau bilang begitu.
Saya bertanya ke beliau, “Lha raose pripun? Pun diobati nopo
dereng? Dipadosne obat nopo?.” Saat saya bertanya ke beliau, beliau hanya
tersenyum dan bilang, “Emboh, lhah engko tak ngge leren lak yo mari.” Setelah
itu semua ya berjalan sebagaimana biasanya seperti tidak ada apa-apa.
Sabtu siang selesai jamaah dzuhur, tiba-tiba saya dikagetkan dengan
keponakan yang berlarian ke rumah sambil menangis. Mereka bilang, “Pak Poh
tulungono mbah kung, mbah kung iyong.” Saya langsung bergegas dan berlari
ke rumah bapak, yang saat itu duduk di dekat ibu. Bapak hanya diam dan tidak
berkata apa-apa.
Ibu bilang kalau saat mendengar adzan, bapak beranjang dari tempat
duduk dan hendak menuju kamar mandi sebagaimana biasanya. Namun, pada saat itu,
bapak hanya berdiri dalam waktu yang cukup lama dan tanpa aktifitas apa-apa. Saat
ditanya ibu juga tidak menjawab. Selanjutnya ibu mendudukkannya kembali di
dipan dengan kondisi bapak masih tetap sama.
Setelah saya dekati dan mencoba komunikasi dengan beliau, Alhamdulillah
beliau sadar. Selanjutnya saya meminta tolong ke adik ipar supaya memanggilkan
bidan untuk memeriksa kondisi beliau. Saya mengantar bapak ke kamar mandi dan
memandikan beliau yang selanjutnya beliau menunaikan sholat dhuhur.
Saat sholat dhuhur, kami menyarankan agar bapak sholat sambil
duduk, khawatir jika nanti terjatuh. Namun, beliau tetap saja sholat sambil
berdiri dan Alhamdulillah tidak ada yang perlu dikahawirkan.
Selang beberapa saat bidan datang dan memeriksa kondisi bapak. Beberapa
kali diperiksa kondisi menurut bidan baik. Tensi darah pun juga normal setelah
diperiksa beberapa kali. Bapak pun juga menunjukkan hal yang sama. Beliau kelihatan
sudah pulih sebagaimana biasa, seolah tidak sakit. Sholat ashar dan maghribpun
bapak masih berjamaah di mushola sebagaimana biasa.
Setelah maghrib, biasanya malam minggu saya dan bapak mengikuti
mujahadah usbu’iyyah yang dilaksanakan secara bergiliran dari rumah ke rumah. Pikir
saya, bapak biar istirahat di rumah terlebih dahulu karena kondisinya yang
masih lemah. Namun bapak tetap memaksa untuk berangkat, dan Alhamdulillah sampai
di rumah tidak ada satu tanda pun yang menunjukkan bapak gerah.
Minggu sore, menjelang sholat maghrib, bapak kembali tidak sadar. Kami
berusaha mencari bidan atau perawat dekat rumah untuk memeriksa bapak. Entah mengapa
saat itu semuanya pas lagi tidak berada di tempat. Sampai menjelang isya’
kondisi bapak masih tetap sama belum sadarkan diri. Akhirnya kami sekeluarga
segera membawa bapak ke rumah sakit dekat rumah, namun tidak menerima karena
kondisi saat itu sedang mencekam karena pandemic. Selanjutnya bapak dilarikan
ke rumah sakit ittihad yang lagi-lagi tidak menerima dan menyarankan untuk
dirujuk ke Iskak. Akhirnya bapak di rawat di Iskak, rumah sakit besar di Tulungagung
yang menjadi rujukan dan memiliki pelayanan yang bagus. Bapak benar-benar “Gerah.”
Komentar
Posting Komentar