Sulitnya Menggapai “Ma’rifat Al-Wali”
Istilah “wali” begitu populer di tengah masyarakat muslim, utamanya
para penganut madzhab ahlussunnah wa al-jama’ah. Di Indonesia, dimana
mayoritas penduduknya adalah muslim ahlussunnah wa al-jama’ah, istilah “wali”
memiliki posisi yang begitu penting, bahkan melekat dihati yang disematkan pada
sosok pribadi yang memiliki tingkat kualitas keimanan lebih. Tidak jarang,
istilah ini disalahpahami oleh sebagian orang yang kurang memiliki ilmu di
dalamnya sebagai seorang “sakti berilmu tinggi”. Lantas apa dan siapa
sebenarnya wali itu?
“Wali” ditinjau dari sisi kalimatnya memiliki arti ganda, yakni bisa sebagai subyek, bisa juga sebagai obyek. Sebagai subyek, “wali” memiliki arti yang mengasihi, yang menguasai, yang menolong, dan yang melindungi. Makna inilah yang melekat pada asmaul husna “Al-Wali”, bagi Allah swt. Adapun dari sisi sebagai objek, maka “wali” memiliki arti yang dikasihi, yang dikuasai, yang ditolong dan yang dilindungi. Dari sisi ini, maka istilah “wali” dilekatkan pada diri seorang manusia yang mendapatkan keistimewaan secara khusus dari Allah swt.
Bila melihat pada pemahaman populer masyarakat pada umumnya, maka “wali”
yang dimaksud adalah dari sisi makna yang kedua, yakni dari sudut obyek. Dimana
“wali” diidentikkan dengan seorang yang dikasihi, dikuasai, ditolong dan
dilindungi Allah swt. Makna ini selaras dengan makna hadits qudsi yang
menyebutkan:
قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَقُولُ اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ: مَنْ عَادَ لِي وَلِيًّا فَقَدْ نَاصَبَنِي بِالْمُحَارَبَةِ، (رواه
الطبراني)
Artinya: “Rasulullah saw bersabda; “Allah Azza Wajalla berfirman: “Barangsiapa
yang memusuhi seorang wali-Ku, maka sungguh ia telah menantang-Ku berperang.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, Juz 12,
Halaman 145).
Dialah yang dikasihi dan dilindungi oleh Allah
swt. Siapa yang berani menyakiti dan memusuhi seorang wali, maka Allah swt
mengumumkan perang kepadanya. Karena itu, wali adalah seorang yang dilindungi
Allah swt.
Berkenaan dengan keberadaan “wali”, maka untuk
mengetahuinya para ulama bersepakat dengan prinsip, لا يعرف الولي إلا الولي , “tidak ada yang mengetahui seorang wali, melainkan (ia) seorang wali”. Jadi, untuk mengetahui apakah seseorang “wali
Allah” bukanlah hal yang mudah. Keberadaannya sangat sulit diketahui. Bahkan dalam
kitab hadits qudsi yang lain disebutkan:
إن أوليائي على قبضي لا يعرفه غيري
Artinya: “Para wali-Ku itu dalam
genggaman-Ku, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Aku.” (Disebutkan dalam
Kitab Jami’ Al-Ushul Fi Al-Auliya’ karya Syaikh Kamasykhanawi dalam Bab Muqaddimah).
Bila ditinjau dari sini, maka prinsip yang
menyebutkan bahwa tidak ada yang mengetahui seorang wali melainkan (ia) seorang
wali, menunjukkan arti belum sepenuhnya benar. Dalam arti bahwa tidak semua
wali bisa mengenali dan mengetahui wali yang lain, terlebih wali yang tingkat
ke “wali”-annya lebih tinggi darinya. Terkadang ada seorang yang diberi tahu
bahwa Si Fulan adalah wali, namun ia tidak mengetahui bahwa Si Noyo adalah
wali, meskipun ia mengetahui derajat Si Fulan yang sama-sama wali.
Penjelasan seperti ini juga diberikan oleh Syaikh
Jalal Al-Din Al-Suyuthi di dalam Kitab Al-Hawi Li Al-Fatawi, pada Juz 2,
pada Bab Hadits Al-Quthbi. Beliau menjelaskan:
وقد سترت أحوال القطب وهو الغوث عن العامة والخاصة وستر
النجباء عن العامة والخاصة وكشف بعضهم لبعض
Artinya: “Keberadaan Al-Quthbu (AL-Ghauts)
tertutup dari kalangan awam dan kalangan khusus, demikian juga nujaba’, dan
sebagian mereka terbuka untuk sebagian yang lain.”
Untuk mencapai ma’rifat al-wali,
bukanlah hal yang mudah. Bahkan untuk mencapai ma’rifat ini, lebih sulit
daripada menggapai ma’rifatullah. Imam Abu Al-Hasan Al-Syadzili mengabarkan
sulitnya menggapai ma’rifat al-wali ini. Hal ini sebagaimana dinukil
oleh Syaikh Abdul Wahab Al-Sya’rani dalam Kitab Al-Yawaqit wa Al-Jawahir,
pada Juz 2, Bab Al-Syadzali. Dia mengatakan:
معرفة الولي أصعب من معرفة الله عز وجل، فإن الله معروف
بكماله وجماله وكيف تعرف مخلوقا مثلك يأكل كما تأكل وتشرب كما تشرب؟
Artinya: “Mengetahui wali (Allah) itu lebih
sukar daripada mengetahui Allah ‘Azza wa Jalla, karena sesungguhnya Allah itu
dikenali dengan sifat jamal dan kamal-Nya, lantas bagaimana engkau akan
mengenali (seorang) wali? Sedangkan ia makan sebagaimana engkau makan, ia minum
sebagaimana engkau minum?”
Jadi, untuk mengenali seorang wali bukanlah
perkara mudah. Tidak semua orang bisa mengetahui keberadaannya. Lantas
bagaimana dengan banyaknya orang yang dianggap wali? Allahu A’lam. Hanya Allah
yang mengetahui semua rahasia itu. Adapun sebagai orang awam, maka tidak
dilarang berhusnudzan bahwa seorang yang memiliki keshalihan adalah seorang
wali. Namun, sekali lagi apakah prasangka baik itu benar? Hanya Allah yang
mengetahuinya.
Berkenaan dengan orang yang mengetahui
keberadaan wali, Syaikh Abdul Wahab Al-Sya’rani dalam Kitab Thabaqah
Al-Kubra, Juz 1, halaman 8, menyebutkan keterangan dari Syaikh Abu Al-Hasan
Al-Syadzili. Ia mengatakan:
لكل ولي ستر أو أستار نظير السبعين حجابا التي وردت فى حق
الحق تعالى حيث إنه لم يعرف إلا من ورائها فكذلك الولي
Artinya: “Setiap wali memiliki satu tutup
atau beberapa tutup sampai 70 tutup, yang mana hal ini merupakan sebagian dari
haq Allah, sekiranya Dia tidak dikenali kecuali orang-orang yang berada di
belakang-Nya (pengikut-Nya), demikian juga para wali.” (Syaikh Abu Al-Hasan Al-Syadzili sebagaimana dikutip oleh Syaikh
Abdul Wahab Al-Sya’rani dalam Kitab Thabaqah Al-Kubra).
Demikianlah seorang wali sulit dikenali oleh
orang pada umumnya. Bahkan tidak semua wali mengenali wali yang lain. Jika ada
seorang wali yang dikenali, umumnya mereka dikenal karena dikenali oleh para
pengikutnya. Karena tutup itu, hanya disingkap bagi para pengikut “wali” saja. Semoga kita mendapat keistimewaan untuk bisa mengetahui seorang
wali secara haq bukan sekedar cerita tentang “Si Fulan” seorang “wali”. Aamiin.
Oke
BalasHapus