Manisnya Iman
Iman menjadi
factor penting bagi manusia agar selamat dalam menjalani kehidupannya di dunia
terlebih ketika kembali menghadap Allah swt di akhirat. Iman secara sederhana
berarti percaya. Adapun menurut istilah, iman adalah membenarkan dengan hati,
mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan.
Tidak ada paksaan dalam memilih keyakinan. Akan tetapi setelah seseorang menentukan pilihan untuk meyakini satu keyakinan tertentu, maka dibutuhkan usaha dan upaya sungguh-sungguh untuk mempertahankan keyakinan dan pastinya keimanan yang telah dipilihnya. Seorang yang telah menentukan pilihan keimanan, tentu akan diuji dengan berbagai ujian untuk mengetahui seberapa kadar kualitas iman yang dimilikinya, tidak terkecuali keimanan dalam memeluk dan meyakini Islam sebagai agama yang haq.
Allah swt
menegaskan hal tersebut di dalam Al-Qur’an:
أَحَسِبَ
النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2)
Artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (Qs. Al-Ankabut (29); 2)
Seorang
tidak akan dibiarkan begitu saja mengaku dan menyatakan dirinya sebagai seorang
mukmin, tanpa terlebih dahulu diuji seberapa kadar kualitas pengakuannya
tersebut. Seperti halnya seorang anak sekolah yang ingin naik ke kelas atas. Untuk
mengetahui seberapa tingkat kemampuannya, maka dia terlebih dahulu harus
mengikuti dan menyelesaikan ujian yang diberikan kepadanya. Barulah, ketika mereka
bisa menyelesaikannya dengan baik, maka mereka dinyatakan lulus dan bisa
mengikuti jenjang kelas diatasnya. Itulah setidaknya gambaran mengapa ujian itu
diperlukan. Pada ayat berikutnya Allah swt menjelaskan:
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ
اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui
orang-orang yang dusta.” (Qs. Al-Ankabut (29); 3).
Ujian
keimanan selalu diberikan Allah kepada orang-orang yang menyatakan dirinya
beriman. Ujian tesebut tidak hanya diberikan kepada satu generasi sementara
generasi yang dibiarkan begitu saja. Ujian akan terus diberikan bahkan sampai
ajal menjemput. Yang demikian itu, sebenarnya hanya untuk mengetahui siapa
orang yang benar dalam pengakuan imannya dan siapa yang hanya sebatas pengakuan
lisannya saja.
Karena
di dalam mempertahankan keimanan terdapat berbagai ujian, maka tidak sepatutnya
seorang yang menyatakan keimanan hanya sebatas mencari “keuntungan” atau “berpesta”
dalam keimanan. Hal itu tidak sejalan dengan semangat keimanan itu sendiri.
Namun
demikian, jika seseorang benar-benar menjalani keimanannya dengan benar, maka
ia akan merasakan manisnya iman. Tentu, untuk merasakan “manis”-nya iman ini,
maka seseorang mesti memperjuangkannya. Adapun berkaitan dengan manisnya iman,
Rasulullah saw bersabda:
عَنْ
أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " ثَلَاثٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ
وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا
يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ
إِذْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُوقَدَ لَهُ نَارٌ فَيُقْذَفَ
فِيهَا "
Artinya:
“Dari Anas, bahwa sesungguhnya
Nabi saw bersabda; tiga hal yang apabila ada dalam diri seseorang, maka ia
telah merasakan manisnya iman. Hendaknya Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya
dari selain keduanya, hendaknya ia mencintai seseorang, tidak mencintainya
kecuali karena Allah, hendaknya ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah
Allah menyelamatkannya darinya, sebagaimana
ia benci seandainya dibakar di neraka kemudian ia dilemparkan ke dalamnya.” (HR. Ahmad)
Berdasarkan keterangan hadits tersebut, ada tiga hal yang
apabila hal tersebut ada dalam diri seorang mukmin, maka ia telah merasakan
manisnya iman. Pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain
keduanya. Hal ini penting dimiliki seorang mukmin. Dengan memiliki sikap
seperti ini, maka seorang mukmin akan senantiasa memandang selain keduanya sebagai
sesuatu yang biasa saja, sebatas makhluk yang tidak memiliki dampak berbahaya
baginya. Orientasi hidupnya semata hanya diperuntukkkan kepada Allah swt dan
rasul-Nya, sehingga apapun yang menjadi perintah dan larangan-Nya menjadi
prioritas yang mesti didahulukan dari yang lain.
Kedua, mencintai seseorang semata karena Allah. Dengan prinsip
ini, maka seseorang tidak akan tertekan dengan pilihan cintanya, karena semua
cintanya telah terfokus pada cinta kepada Allah swt.
Ketiga, membenci untuk kembali kepada kekufuran
sebagaimana ia benci seandainya dilempar di api neraka. Sikap ini akan
mendorong seseorang untuk senantiasa menjaga dirinya dari hal-hal yang dilarang
Allah. Ia akan berusaha sekuat mungkin menjauhi perbuatan-perbuatan yang
dilarang tersebut agar nantinya selamat ketika kembali menghadap-Nya kelak di
hari kiamat. Semoga kita bisa meraih manisnya iman. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar