STOP KEKERASAN BERKEDOK AGAMA!!! YUK! KITA RAWAT INDONESIA KITA!!! PKDP 2023 PTP UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

 

STOP KEKERASAN BERKEDOK AGAMA!!!

YUK! KITA RAWAT INDONESIA KITA!!!

PKDP 2023 PTP UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG



Indonesia Anugerah Tuhan

Sebagai Negara bangsa, diakui maupun tidak, Indonesia merupakan satu-satunya Negara di dunia yang memiliki sejarah paling “cemerlang” bilda dibandingkan dengan negara yang lain. Bayangkan saja, jauh sebelum canggihnya teknologi informasi, Indonesia yang kala itu belum dikenal namanya, telah membuktikan bahwa meskipun beragam budayanya, adat istiadat, warna kulit, bahasa, suku, etnis, bahasa dan sebagainya, namun benih-benih persatuan itu telah ada di dada nenek moyang bangsa Indonesia. Salah satu diantara yang telah membuktikannya adalah Majapahit yang berpusat di Trowulan Mojokerto.

Majapahit dikenal sebagai bangsa besar yang berhasil menyatukan nusantara. Bahkan bentang wilayahnya meliputi Indonesia saat ini, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Myanmar dan bahkan Thailand. Tidak terbayang di benak kita, bagaimana nenek moyang bangsa ini dengan berbagai keterbatasan teknologi informasi dan sarana prasarana yang ada, tetap bisa menjadi bangsa yang satu, tidak tercerai berai dan memiliki satu ikatan yang kuat dengan bingkai “Bhinneka Tunggal Ika”, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan yang sampai saat ini melekat kuat di dada setiap anak bangsa, yang pertama kali diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam “Kakawin Sutasoma”-nya. Tentu, ini merupakan anugerah Tuhan yang tak akan pernah bisa digantikan dengan “recehan uang”.

Tidak Ada Warisan Penyebaran Agama Dengan Kekerasan

Fakta menunjukkan bahwa Indonesia, bukan satu negara yang berdasar atas asas agama tertentu. Meskipun begitu, Indonesia bukan negara “Thagut”. Ya, Indonesia bukan negara yang berasas agama tertentu, akan tetapi negara ini bukan pula negara yang anti agama, sebagaimana yang ada dibeberapa negara lain di dunia. Terbukti, di Indonesia ini, terdapat agama-agama yang dilindungi oleh negara dan memiliki kedudukan yang sama di mata hukum positif yang berlaku, yakni Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Konghucu. Fakta ini menunjukkan bahwa mereka yang menganggap negara ini, sebagai negara anti agama adalah “keliru”.

Yang lebih menarik lagi adalah bahwa ketika agama-agama tersebut masuk ke nusantara ini, tidak ada “data historis” yang menunjukkan bahwa satu agama tertentu yang berkembang dan dilindungi di negara ini disebarkan melalui “cara kekerasan”. Semua agama yang masuk disebarkan dengan cara baik-baik, melalui interaksi sosial seperti perdagangan, perkawinan dan sebagainya. Ini, berbanding terbalik dengan data historis di beberapa negara lain, dimana sebagian diantaranya, agama disebarkan melalui “cara kekerasan”, melalui ekspansi politik, dalam bentuk peperangan. Karena itu, tidak ada “Warisan Penyebaran Agama di Negeri Ini dengan Cara Kekerasan”.

Oleh karena agama tidak disebarkan dengan cara kekerasan, maka tidak ada “dendam kesumat permusuhan”, berbasis agama di Indonesia. Itu sebabnya di sini semua pemeluk agama hidup saling berdampingan, rukun, toleran dan tidak saling bermusuhan. Meskipun, potensi itu ada karena tingkat kemajemukan dan keberagaman penduduk bangsa yang sangat luas bentang alamnya ini. Bangsa yang geografisnya terbentang dari Sabang sampai Merauke. Terdiri dari ribuan pulau, besar maupun kecil, etnisnya beragam, bahkan ada tiga waktu yang berbeda di negara ini, yakni Waktu Indonesia Timur (WIT), tengah (WITA) dan barat (WIB). Meskipun potensi perbedaannya besar dan bisa jadi mengarah pada konflik, namun semua tetap bisa bersandingan dengan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”.

Kenyataan ini berbeda dengan wilayah lain seperti yang ada di Amerika, Eropa, ataupun lainnya. Bahkan, di beberapa wilayah yang tidak terbilang luas, bisa terbagi-bagi menjadi banyak negara dan bahkan masih ada juga yang tetap berada dalam “konflik”. Tentu, ini menjadi hal yang memprihatinkan bagi kita semua sebagai bangsa yang cinta akan perdamaian.

Kekerasan Bukan Ajaran Agama

Semua agama mengajarkan kebaikan. Tidak ada agama yang secara sengaja mengesahkan tindakan yang tidak benar. Adapun persoalan bentuk kebaikan dan standarisasinya, tentu masing-masing agama memiliki pemahaman dan tafsir yang berbeda. Keberagaman pemahaman dan penafsiran tersebut tentunya merupakan hikmah yang seharusnya dihargai dan dihormati oleh masing-masing pemeluk agama, sehingga terbuka “ruang dialog” untuk sampai pada “consensus” bersama.

Sehubungan dengan “kebaikan” tentu sebagai makhluk yang sama-sama ditakdirkan sebagai manusia, terdapat sebuah nilai yang diyakini sebagai “kebaikan universal”, yang diyakini bersama. Sisi ini yang kemudian dikenal sebagai “nilai-nilai kemanusiaan”, dalam arti nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh semua manusia. Sebagai contoh adalah bahwa membunuh itu adalah sebuah kejahatan, mencuri itu tidak baik, merendahkan orang lain adalah perilaku yang tercela dan seterusnya. Maka, di ruang-ruang ini lah sesungguhnya semua pemeluk agama memiliki kewajiban yang sama untuk saling menjaga, agar tidak terjadi “chaos”, dalam interaksi sosial dan muamalah.

Berkaitan dengan “kekerasan”, tidak ada agama yang mengajarkan dan membenarkan untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyebarkan agamanya, kecuali cara ini bisa ditempuh ketika memang sudah tidak ditemukan cara lain untuk menyelesaikan sebuah konflik. Seperti misalnya dalam islam ada konsep “jihad”, dimana pelakunya, jika meninggal di medan perang, disebut sebagai “syahid”, dan karenanya ia akan dimasukkan ke dalam surga. Keyakinan ini mengakar kuat dalam diri setiap muslim. Namun, yang harus digarisbawahi adalah bahwa jihad ini merupakan bentuk pertahanan terakhir manakala upaya rekonsiliasi telah menuai jalan buntu. Bukan merupakan pilihan pertama yang harus dijalankan.

Sebut saja peperangan yang terjadi di era nabi. Peperangan di era nabi seluruhnya merupakan “jalan akhir” yang ditempuhnya, saat upaya rekonsiliasi dan perdamaian sudah menuai jalan buntu. Bahkan, fakta sejarah telah membuktikan bahwa saat terjadinya “Perjanjian Hudaibiyah”, yang dianggap sebagai perjanjian yang sangat merugikan bagi nabi dan umat muslim kala itu, masih tetap saja diterima oleh nabi. Ini merupakan bukti, bahwa perdamaian lebih dicintai oleh nabi daripada peperangan.

Agama menolak kekerasan. Atas dasar dan dalih apapun kekerasan bukan pilihan. Ia hanya sebagai “benteng terakhir”. Jika semua upaya rekonsiliasi telah dilalui dan berakhir dengan jalan buntu, maka tidak ada jalan lain selain menerapkan kekerasan.

Semangat anti kekerasan ini pula yang menjadi inti dakwah dari agama islam. Secara tegas, Al-Qur’an menyebut dalam Surat Al-Baqarah (2); 256:Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah (2); 256).

Ayat tersebut, sekaligus mempertegas bahwa “Kekerasan dalam bentuk apapun berkedok agama harus dihentikan”. Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan, pengrusakan dan sejenisnya dengan memekikkan “Allahu Akbar”. Karena sejatinya “Allahu Akbar” merupakan manifestasi dari keimanan tertinggi yang menjadikan penuturnya bertindak sebagai manifestasi sifat Tuhan di bumi.

Indonesia Milik Kita

Ironis memang jika kita perhatikan kondisi belakangan ini. Ada banyak “kegaduhan” di bumi pertiwi ini, pasca tumbangnya ‘orde baru’ dan munculnya angin perubahan dengan bergulirnya ‘reformasi’ Kehidupan berbangsa dan bernegara yang sebelumnya berada dalam kooptasi dan cengkeraman rezim yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai “dictator”, memberi angina segar kepada beberapa kelompok untuk mengembangkan sayapnya. Yang mulanya takut karena ada dibawah tekanan dan ancaman, kemudian mengemuka dan bahkan mendapatkan sambutan dari sementara orang yang sedang “dahaga” mencari tempat pemenuhan “hasrat” nya. muncullah beberapa gerakan semula menjanjikan perubahan dan perbaikan, namun dalam beberapa saat kemudian berubah menjadi makhluk yang “mengerikan”.

Masih lekat diingatan kita peristiwa bom Bali I yang dilakukan oleh Imam Samudera, Imam Amrozi dkk yang memporak-porandakan Pulau Dewata yang dikenal denga keramah-tamahan masyarakat dan keindahan wilayahnya. Kerusuhan di Poso, penyerangan terhadap penganut syiah di Sampang, bom bunuh diri yang dilakukan oleh seorang ibu dan anaknya yang mencoba masuk ke sebuah gereja GKI jalan Diponegoro Surabaya dan sebagainya. Ini merupakan fakta yang terjadi di negeri yang dikenal luas sebagai negara yang cinta damai. Ironisnya para pelakunya bukanlah para preman yang tak mengerti ajaran agama. Sebaliknya para pelakunya dikenal sebagai pemeluk agama yang taat pada agamanya.

Peristiwa-peristiwa tersebut boleh jadi sudah menjadi masa lalu. Nyatanya, di beberapa waktu terakhir tidak ditemukan kasus serupa. Namun, jika kita menyaksikan di media sosial, saat ini mulai tersebar benih-benih yang mengarah kepada tindakan kekerasan. Meskipun secara fisik, mungkin tidak sampai pada ranah kekerasan, akan tetapi ujaran-ujaran kebencian bertebaran mengatasnamakan agama. Banyak orang mencaci dan menghina pemerintah dengan mengatasnamakan agama. Tidak jarang pula yang mengutip ayat maupuh hadis untuk mencerca dan melegitimasi argumennya.

Tentu, hal ini tidak bisa dibiarkan berkembang. Citra agama sebagai pedoman hidup yang mengantarkan pada kehidupan damai, aman, tentram dan nyaman, bisa jadi akan hilang. Sebagai contoh Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia misalnya. Islam memerintahkan untuk taat pada pemerintah. Al-Qur’an menjelaskan: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs. Al-Nisa’ (4); 59). Islam juga melarang untuk menghina orang lain, Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (Qs. Al-Hujurat (49); 11), bahkan islam tidak melarang untuk berbuat adil kepada non muslim: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Qs. Al-Mumtahanah (60); 8). Ini merupakan penegasan bagi umat muslim bahwa islam tidak pernah mengajarkan kekerasan.

Gejala-gejala yang mengarah pada upaya untuk mengurai NKRI tidak boleh dianggap sederhana. Pertikaian sesama anak bangsa karena perbedaan ideology, keyakinan dan agama, dengan alasan apapun tidak boleh dibiarkan. Bangsa besar ini merupakan anugerah agung dari Tuhan yang harus kita syukuri, dan kita jaga bersama. Indonesia adalah milik kita. Kita lahir, tumbuh, berkembang, dan kemudian nantinya disemayamkan di sini. Relakah kita, jika anugerah Tuhan yang agung ini hancur berantakan dan tercerai-berai akibat arogansi sebagian orang yang berdalih atas keyakinan agamanya??? Tentu Tidak Bukan!!! Katakan Tidak Untuk Semua Kekerasan Berkedok Agama!!!

Komentar