Rabu, 01 Februari 2017

Tamsil al-Qur’an


 
Kajian al-Qur’an selalu menjadi hal menarik perhatian. Al-Qur’an itu bagaikan  samudera luas tak bertepi. Semakin menelusuri setiap ayat dan surat yang ada didalamnya semakin kita akan dibuat terpesona. Bahasanya yang mengandung sastra nan tinggi sampai hari ini belum ada yang mampu menandingi. Al-Qur’an bisa menjadi petunjuk setiap orang yang berada dalam kesesatan, menjadi obat bagi yang sakit. Anehnya, semakin al-Qur’an sering dibaca bukannya kita merasa bosan, tetapi semakin kita merasakan kerinduan yang mendalam kepada al-Qur’an. Itulah al-Qur’an kalam Allah yang terwujud di alam dunia.

Salah satu bidang kajian yang ada dalam al-Qur’an adalah tamsil. Tamsil adalah perumpamaan – perumpamaan yang terdapat pada ayat – ayat al-Qur’an. Tujuan adanya tamsil dalam al-Qur’an adalah agar manusia mau melakukan kajian terhadap kandungan al-Qur’an, baik yang berkaitan dengan ekosistem, ekologi, astronomi, anatomi, teologi, biologi, sosiologi, dan ilmu – ilmu lain termasuk untuk mengambil pelajaran dari kejadian yang dialami oleh umat – umat yang terdahulu. Pada dasarnya semua bermuara pada satu tujuan yaitu untuk semakin meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. 

Untuk memahami tamsil yang ada dalam al-Qur’an sudah barang tentu dibutuhkan akal pikiran yang sehat dan cerdas. Tanpa akal sehat dan cerdas mustahil seseorang dapat memahami tamsil yang terdapat dalam al-Qur’an. Mengenai hal ini al-Qur’an menyinggung dalam satu ayat, yakni Surat al-Ankabut; 43:

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ (43)

Artinya: “Dan perumpamaan – perumpamaan ini Kami buat untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang – orang yang berilmu”. (Q.S. al-Ankabut; 43)

Ayat di atas sekaligus menegaskan bahwa tamsil yang ada dalam al-Qur’an hanya bisa dipahami oleh orang yang berakal. Oleh karenanya penting bagi umat islam khususnya untuk mempotensikan karunia akal yang diberikan kepadanya. Jangan sampai nikmat akal yang diberikan Allah tidak kita syukuri yang pada akhirnya bisa jadi berujung pada dicabutnya nikmat tersebut.

Bagi orang mukmin yang mau mengambil pelajaran dari tamsil yang diberikan Allah yang termaktub dalam al-Qur’an, tamsil ini menjadi penguat keimanan dan ketaqwaan mereka kepada Allah SWT. Keberadaan tamsil al-Qur’an bagi mereka merupakan bukti superioritas Allah SWT sebagai Tuhan yang haq dan Maha Kuasa. Semakin sering ia bersinggungan dengan ayat – ayat yang menunjukkan tamsil semakin bertambah keimanan dan ketaqwaan mereka kepada Allah.

Lain halnya bagi orang – orang munafik dan kafir. Keberadaan ayat – ayat tamsil dalam al-Qur’an bukannya menambah keimanan mereka. Alih – alih beriman, mereka justru semakin ingkar dan menentang ke-Tuhan-an Allah SWT. Ayat tamsil bagi mereka semakin menambahkan kekufuran dan ketersesatan mereka dari jalan yang benar. Al-Qur’an menyinggung ini dalam Surat al-Baqarah; 26:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ (26)

Artinya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang – orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”. Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada orang yang disesatkan Allah kecuali orang – orang fasik.” (Q.S. al-Baqarah; 26)

Orang mukmin akan meyakini bahwa semua tamsil itu adalah benar berasal dari Allah SWT untuk menunjukkan superioritas dan kekauasaan Allah SWT. Berbeda halnya dengan orang – orang fasik. Orang fasik cenderung akan mempertanyakan keberadaan tamsil itu. Mereka akan bertanya – tanya tentang tujuan Allah menciptakan tamsil itu, bahkan boleh jadi mereka menentang tamsil itu disebabkan karena akal mereka tidak mampu menjangkau maksud dan tujuan yang dikehendaki Allah.

Sebagai contoh sederhana adalah penciptaan Allah terhadapa nyamuk atau bahkan makhluk yang lebih rendah semisal kutu, tengu, amuba dan semisalnya. Orang fasik akan mempertanyakan mengapa Allah menciptakan makhluk yang rendah seperti itu? Apakah Allah kurang kerjaan? Pertanyaan ini muncul karena ketidakmampuan mereka dalam memahami tamsil Allah yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an.

Memang sepintas ketika kita memperhatikan nyamuk adalah makhluk yang rendah. Hidupnya ditempat – tempat yang kotor, penuh dengan sampah dan makanannya adalah darah. Seolah – olah makhluk ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Inilah yang mungkin menjadi penyebab banyak diantara orang fasik yang tidak mampu untuk mengambil hikmah dan pelajaran dari penciptaan ini.

Bagi orang mukmin mereka akan meyakini bahwa semua itu berasal dari Allah SWT. Memang sekilas ketika diperhatikan remeh, tetapi bila diteliti dan dikaji secara mendalam betapa dahsyatnya ciptaan Allah ini. Kita mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana Allah menciptakan makhluk yang begitu kecil dengan struktur tubuhnya yang rapi dan teratur. Kita manusia yang terhebat dan tercerdas pun tidak akan mampu menciptakan yang serupa dengannya.

Selain itu orang mukmin akan berusaha untuk mengungkap berbagai rahasia yang ada di dalam penciptaan itu. Mereka akan terus menggali dan mencari hikmah dari setiap penciptaan. Dengan menemukan rahasia dibalik penciptaan maka seorang mukmin akan semakin bertambah imannya, semakin merasa ta’jub akan keagungan Allah SWT.

Tamsil terkadang bisa memberikan petunjuk kepada seseorang. Tamsil akan menjadi petunjuk bagi mereka yang beriman kepada Allah SWT. Tetapi terkadang tamsil juga menyesatkan. Orang tersesat karena tamsil adalah orang – orang fasik. Orang yang tidak mau mengambil hikmah dan pelajaran dari apa yang mereka lihat, dengar dan temui dari berbagai peristiwa dan kejadian yang bisa kita jadikan sebagai pelajaran dalam hidup. Itulah pentingnya kita belajar.

Al-Qur’an adalah sumber pengetahuan yang selalu sesuai dengan konteks perkembangan. Sudah seharusnya kita lebih tekun dan lebih mencintai al-Qur’an. Dengan semakin tekun mempelajari al-Qur’an maka kita akan semakin tercerahkan dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Di dunia ini kita mengemban amanat dari Allah yang harus kita jalankan sebagai makhluk yang telah di daulat menjadi khalifah Allah fil ardli.

Memang untuk mempelajari al-Qur’an bukanlah perkara yang mudah. Mereka yang belajar bertahun – tahun belumlah mampu menjangkau seluruh isi dan kandungan al-Qur’an. Meski demikian Allah menjamin orang – orang yang mau belajar al-Qur’an, mereka akan dimudahkan dalam mempelajarinya. Firman Allah dalam Surat al-Qamar; 17:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآَنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ (17)

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Q.S. al-Qamar; 17)

Dalam ayat ini Allah menegaskan sumpahnya dengan lam qasam dan qad bahwa Ia akan memudahkan siapa saja yang mau mempelajari al-Qur’an. Sayangnya banyak umat Islam yang tidak merespon sumpah Allah  ini. Banyak diantara umat Islam yang lebih memilih untuk mempelajari hal lain yang lebih menjanjikan bagi karir dan kekayaan daripada menekuni al-Qur’an. Janji Allah ini nyata. Sepanjang sejarah satu – satunya kitab suci yang paling dihafal oleh banyak umatnya adalah al-Qur’an. Ini cukup menjadi bukti campur tangan Allah dalam memudahkan orang yang mau belajar al-Qur’an. Tentunya pilihan ada ditangan manusianya sendiri. Bidang kajian al-Qur’an sisi mana yang akan didalaminya.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam….

Selasa, 31 Januari 2017

Melawan Lupa





Membaca judul ini mungkin mengingatkan kita pada salah satu acara di televisi nasional. Tetapi, sejatinya judul ini melintas begitu saja saat menelusuri belantara pemikiran Dr. Ngainun Naim, M.Ag. dalam bukunya “The Power of Writing” yang saya beli beberapa waktu lalu.

Tuhan memberikan kelebihan kepada setiap manusia yang menjadikannya lebih mulia bila dibandingkan dengan makhluk yang lain. Kelebihan itu berupa akal, yang dengan akal itu kita mampu mencerna, berfikir dan mengambil keputusan yang tepat dalam kehidupan. Dengan keputusan yang tepat tentunya kita akan mendapatkan hasil yang maksimal sesuai dengan apa yang kita harapkan dan kita cita – citakan.

Dalam menciptakan makhluk-Nya, Tuhan selalu memberikan keseimbangan di dalamnya. Keseimbangan disini dimaksudkan agar tercipta kemaslahatan tentunya kembali kepada pribadi makhluk itu sendiri. Akan tetapi dalam proses perjalanannya tidak semua makhluk mampu untuk menjaga keseimbangan yang pada mulanya telah diamanatkan oleh Tuhan kepadanya. Sebagai contoh adalah keseimbangan Tuhan dalam menciptakan ala mini. Semua yang ada di alam ini diciptakan secara seimbang. Ekosistem alam yang seimbang ini menjadi timpang gara – gara polah manusia yang sering berbuat sekehendaknya sendiri. Populasi antara ular sawah dan tikus misalnya, sebenarnya Tuhan ciptakan dalam keadaan yang seimbang, akan tetapi karena manusia banyak membunuh ular sawah pada akhirnya tikus menjadi merajalela sehingga tanaman mereka yang mestinya menghasilkan panen yang bisa menopang hidupnya seringkali mengalami ‘gagal panen’ karena serangan tikus. Pun pula bila kita mencoba memperhatikan beberapa kasus di beberapa tempat. Ada beberapa tempat yang saat ini tidak kita jumpai lagi tanaman pohon kelapa. Mengapa? Alasannya setiap menanam kelapa meski masih kecil sudah habis dimakan ‘kwawong’. Lagi – lagi ini juga polah dari manusia yang dengan membabi buta memberangus si tupai.

Apa korelasi uraian saya di atas dengan judul tulisan ini? Saya hanya ingin menyampaikan bahwa kelebihan yang diberikan oleh Tuhan kepada kita berupa akal pikiran itu harus kita syukuri dan kita potensikan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Tuhan memberikan akal fikiran tentunya adalah agar kita gunakan untuk berfikir, mencerna setiap kejadian yang kita lihat dan alami untuk kemudian mengambil sikap dan tindakan demi kebaikan kedepan. Itu saja.

Kok melawan lupa? Bukankah setiap kejadian yang kita lihat dan alami adalah sebagai sarana untuk belajar? Bagaimana mungkin kita bisa belajar dari setiap peristiwa dan kejadian yang kita alami serta kita lihat manakala kita lupa dengan kejadian itu? Inilah kata kuncinya.

Ya, Tuhan menciptakan akal untuk manusia memang termasuk diantaranya adalah untuk mengingat, tetapi tentunya tidak semua peristiwa bisa kita ingat dan perlu kita ingat. Ada beberapa peristiwa dan kejadian yang harus kita ingat, tetapi ada juga beberapa peristiwa yang harus kita lupakan. Beberapa kejadian harus kita lupakan, misalnya adalah kejadian – kejadian yang membuat kita menjadi takut, trauma dan sebagainya harus kita lupakan. Bila tidak, boleh jadi justru kita akan menjadi stress dan berputus asa dalam menjalani kehidupan.

Di sisi lain kejadian yang membahagiakan perlu untuk kita ingat sebagai sebuah motivasi dalam menjalani kehidupan berikutnya. Semangat kita dalam hidup akan tumbuh manakala kejadian – kejadian yang membahagiakan itu kita ingat, semisal kesuksesan dalam meraih sesuatu dalam hidup. Ini penting untuk diingat.

Sekarang urusannya adalah soal ilmu pengetahuan. Ilmu adalah sarana membuka cakrawala kehidupan. Tentu ilmu itu harus kita ingat dan kita ikat dalam pikiran kita sehingga dalam menjalani kehidupan ini kita semakin terarah kepada hal yang positif dan progressif. Masalahnya? Seringkali dalam mengingat informasi dan ilmu pengetahuan itu kita kesulitan. Banyak orang yang telah menghabiskan waktunya untuk membaca tetapi selesai dia membaca, dia telah melupakan kandungan isi buku yang dibacanya. Boro – boro mengingat isinya, terkadang mengingat ‘Judul Buku’ yang dibaca saja tidak ingat. Terus bagaimana?

Di sinilah sebenarnya masalah yang harus kita atasi. Memang kapasitas akal manusia itu terbatas. Tidak semua hal itu bisa direkam dan diingat oleh akal. Tetapi Tuhan memberikan kepada kita sepasang tangan, yang dengan tangan itu, kita bisa menorehkan sekedar catatan untuk membantu kerja akal dalam mengingat. Membuat catatan tentang apa yang sudah kita pelajari, kita baca dan alami menjadi sesuatu yang penting untuk melawan lupa yang ada pada diri kita.

Nah, dalam buku “The Power of Writing” ini Dr. Ngainun Naim, M.Ag. mengajak kita selain menjadi seorang yang rakus dalam membaca, juga menjadi orang yang giat dalam menorehkan catatan – catatan meski hanya dalam sebuah buku tulis murahan. Jangan melihat ‘murahannya’ tetapi lihat fungsinya. Tidak ada bedanya antara buku tulis murahan dengan yang ‘mahal’, fungsinya sama, bedanya hanya dalam hal kualitas kertasnya.

Membaca itu penting, karena membaca bisa menambah wawasan kita. Dengan membaca kita bisa membuka cakrawala dunia yang masih tertutup. Beliau mengatakan, “Membacalah yang mampu membuat seseorang keluar dari tempurung pengetahuannya yang kerdil.” Ya, acap kali memang seseorang merasa bahwa dirinya adalah orang yang cerdas. Bahkan memproklamirkan diri sebagai orang tercerdas di lingkungannya. Mungkin, karena seringnya dipakai oleh masyarakat dalam event – event tertentu, semisal maulidan, tahlilan dan hari besar lainnya. Wajar dong bila lantas ‘GR’ dan merasa orang terhebat, padahal  ya, bila dipertemukan dengan yang lainnya atau diluar daerahnya, ya belum ada apa – apanya. Inilah mungkin yang saya pahami dari ‘tempurung pengetahuannya yang kerdil’.

Karena otak kita tidak bisa merekam dan mengingat semuanya, di sinilah kita bisa melawan lupa itu dengan cara mencatat. Mencatat sebenarnya adalah bagian dari menulis. Menulis yang paling sederhana tanpa embel – embel ‘analisis’ yang ribet. Tentu mudah hanya sekedar mencatat apa yang didengar, dibaca atau dilihat. Kelihatannya sih mudah. Tetapi nyatanya mencatat yang menjadi bagian dari media melawan lupa itu juga tidak semudah yang dibayangkan. Buktinya, ada banyak orang yang tidak mau atau tidak telaten dalam mencatat. Mereka lebih senang mendengar, melihat dan berbicara. Padahal usia kan semakin bertambah. Dengan bertambahnya usia sudah barang tentu urusan yang kita hadapi semakin bertumpuk dan boleh jadi menjadi beban dalam pikiran kita. Nah, semakin banyaknya urusan kita dan seiring dengan usia yang menua tentunya kekuatan akal semakin berkurang. Akibatnya seringkali hal – hal penting yang mestinya kita ingat menjadi kita lupakan begitu saja.

Namun demikian, bagi sebagian orang mencatat adalah hal yang mudah karena mereka selalu membiasakan membuat catatan. Taruhlah sebagai contoh ‘Diary’ yang menjadi media bagi cewek – cewek khususnya, -mungkin juga cowok- sekedar untuk mengabadikan peristiwa yang mereka alami dalam kehidupan sehari – hari. Tentu hal ini memiliki satu nilai tersendiri yang membuat mereka bisa mengingat – ingat peristiwa yang ‘bersejarah’ dalam hidupannya. Begitu pula dengan mencatat ilmu pengetahuan.

Dr. Ngainun Naim, M. Ag. Menyitir sebuah pepatah, “Ingatan lupa, maka catatan akan ingat”. Di sinilah sebenarnya nilai pentingnya mencatat ilmu pengetahuan. Meminjam istilah Imam Ali bin Abi Thalib, “Ikatlah ilmu dengan pena”. Sebenarnya ungkapan beliau ini juga memiliki makna yang sama dengan pepatah di atas. Meski Imam Ali seorang yang di sabdakan Rasul SAW sebagai ‘Gerbang Pengetahuan’, nyatanya beliau masih menyarankan pentingnya menulis ilmu dengan pena.

Terlepas dari semua pendapat yang setuju dan tidak dengan tulisan ini, saya hanya ingin mengingatkan diri saya khususnya, syukur – syukur ada yang mau mengikuti, memang membaca itu penting, tetapi jangan hanya berhenti dengan bacaan kita, cobalah goreskan tinta kita, sayang bila tinta itu kering tanpa kita gunakan. Cobalah menggerakkan jari – jari lentik itu di atas ‘keyboard’ barangkali saja bisa menghasilkan tulisan. Cobalah publish tulisan itu dalam media sosial kali saja ada orang yang mau membaca, syukur – syukur menjalankan. Bila tidak ya, tidaklah mengapa yang penting kita sudah berupaya berkarya. Barangkali saja kita akan tertawa suatu ketika, begitu melihat tulisan kita yang berantakan di media dan jejaring maya. Hehehe…

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Menghindarkan Diri dari Kebencian dan Dendam


 
“Jangan biarkan kebencian dan dendam merusakkan fitrah muliamu dan merusuhkan suasana hatimu” (K.H. Musthafa Bisri)

Setiap manusia lahir dengan fitrah ketuhanan. Fitrah yang menjadikan setiap manusia yang lahir memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah SWT. Tidak peduli apakah ia terlahir dari rahim seorang ibu yang taat, shalihah, selalu menjaga hak – hak Allah SWT, atau bahkan dari rahim seorang wanita yang hidup dalam dunia kegelapan, maksiat bahkan anak seorang pezina dan pelacur sekalipun. Semua anak manusia terlahir dalam keadaaan suci, tanpa dosa dan membawa fitrah ketuhanan, ketauhidan dan mengesakan Allah selama dalam kandungan. Bukankah setiap kita pernah ditanya Allah semasa dalam kandungan? Firman Allah: “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mareka menjawab; “Ya, kami menjadi saksi”.

Cukuplah kiranya dialaog antara Allah, Tuhan, dengan manusia yang masih dalam kandungan sebagaimana terekam dalam ayat al-Qur’an diatas menjadi bukti atas fitrah ketuhanan yang ada pada diri setiap anak manusia yang baru dilahirkan ke dunia. Tidak ada alasan bagi kita untuk mendiskriminasikan satu dengan yang lain. Tidak ada bukti yang menguatkan kita bahwa anak seorang kyai lebih mulia daripada anak seorang penggembala dan seterusnya. Hanya syak wasangka dan hati yang tidak mendapat hidayahlah yang kemudian menganggap anak kyai lebih mulia daripada anak penggembala. Hakikatnya semua sama di hadapan Allah SWT. Urusan setelah itu karena pendidikan yang diberikan orang tua kepada anaknya, lantas menjadikan anak itu lebih mulia dari yang lain, itu adalah urusan lain, selebihnya sama.

Menjaga hati adalah urusan sulit. Barangkali ini mudah kita ucapkan akan tetapi dalam prakteknya ternyata sangat sulit. Memang setiap manusia tidak  bisa hidup sendiri tanpa ia harus bersinggungan dan bersentuhan dengan yang lain. Itulah kodrat dan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan yang lain. Disinilah pentingnya mengelola hati agar hati tidak terkotori oleh hal – hal yang bisa merusakkan nurani, kebijaksanaan tertinggi yang ada pada setiap diri manusia yang menjadikannya mampu berfikir sehat, adil, netral tanpa ada pengaruh dari rasa kebencian ataupun dendam sebagai akibat dari perselisihan antar sesama manusia.

Dalam berhubungan dengan sesama manusia tentunya kita tidak akan pernah bisa terlepas dari perselisihan dan perbedaan pendapat atau bahkan perbedaan keyakinan. Apa yang menurut kita benar, belum tentu benar menurut yang lain. Apa yang menurut kita baik belum tentu menurut yang lain baik. Disinilah pentingnya mengelola hati agar tidak terperosok dalam lembah kebencian dan dendam.

Pada awalnya kebencian itu muncul dari perselisihan antara apa yang kita yakini dengan keyakinan yang lain. Awalnya hanya sebatas tidak sepemikiran, lama – lama jurang perbedaan itu semakin jauh dan semakin tajam hingga berujung pada rasa ketidak sukaan. Seringkali orang yang diliputi kebencian tidak bisa bersikap netral dalam mengambil keputusan. Akal sehat dan nuraninya telah tertutup oleh kebencian yang mendahuluinya. Hal ini pulalah yang sebenarnya justru menimbulkan masalah baru dalam kehidupan. Betapa tidak, orang yang diliputi rasa kebencian selalu berusaha untuk menjatuhkan setiap pendapat orang yang dibenci tanpa dia berfikir secara waras tentang akibat dari tindakan yang dilakukannya. Tidak jarang kebencian itu berujung pada tindakan yang sama sekali tidak dibenarkan baik oleh hukum positif maupun hukum agama yang berlaku dalam norma kehidupan.

Seperti halnya kebencian menutup akal sehat manusia dalam berfikir, begitu pula manusia yang diliputi oleh rasa dendam. Dendam sebagaai akibat dari perselisihan yang kemudian menimbulkan rasa sakit dalam hati, seringkali menimbulkan tindakan – tindakan yang tidak dibenarkan. Orang yang memiliki rasa dendam dalam hati seringkali berbuat nekat untuk membalas orang yang pernah melukainya, akibatnya sama dengan kebencian yang menutup akal sehat manusia dari fitrahnya yang mulia.

K.H. Musthafa Bisri mengingatkan kepada kita dengan kata – katanya yang indah dan lembut yang terpancar dari hati yang disinari oleh rasa kasih sayang kepada makhluk. Beliau berkata: “Jangan biarkan kebencian dan dendam merusakkan fitrah muliamu dan merusuhkan suasana hatimu”. Dengan kata – kata ini Gus Mus (panggilan akrabnya) ingin mengajak kita untuk menjadi pribadi yang pemaaf, mulia, dan sesuai dengan fitrah ketuhanan yang ada pada diri kita semenjak lahir. 

Sebagai seorang mukmin kita harus bisa menjaga hati kita agar tidak terkotori dengan sifat kebencian dan dendam. Hal ini tentu tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Oleh karena itu dibutuhkan banyak latihan dan upaya dalam mengelola hati. Berusaha untuk senantiasa memaafkan setiap kesalahan yang dilakukan oleh orang lain dan berusaha untuk selelu mengoreksi diri, apakah yang kita lakukan sudah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Dalam hal menjaga hati, para ulama’ salafus shalih menganjurkan kepada kita agar melakukan operasi mental yang disebut dengan mujahadah. Mujahadah adalah bersungguh – sungguh di dalam memerangi hawa nafsu untuk diarahkan kepada ketaatan kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumi al-Din mengatakan; “Mujahadah adalah kunci hidayah, tidak ada kunci hidayah selain mujahadah”.

Mujahadah penting dilakukan untuk menghindarkan diri dari sifat – sifat yang buruk yang bercokol dalam hati, termasuk diantaranya adalah sifat benci dan dendam. Dengan terus berupaya yang dalam istilah al-Ghazali disebut dengan Mujahadah, maka seseorang akan mendapatkan hidayah dan petunjuk dari Allah SWT dalam hidupnya. Dengan hidayah maka seseorang tidak akan terjebak dalam perilaku – perilaku yang dilarang oleh Allah SWT wa Rasulihi SAW yang termasuk di dalamnya adalah sifat benci dan dendam.

Kebencian dan dendam yang menguasai hati akan menghilangkan fitarh ketuhanan yang merupakan sifat bawaan setiap manusia semenjak ia lahir. Oleh karenanya setiap manusia harus melakukan operasi mental dengan memperbanyak dzikir, shalawat dan istighfar sehingga bisa dihindarkan dari sifat yang dibenci Allah ini. Dengan senantiasa ingat kepada Allah dimanapun kita berada akan menjadikan kita selalu dipelihara Allah dalam setiap tindakan, ucapan dan gerak gerik kita. Hati kita akan menjadi tenang dengan selalu mengingat Allah SWT. 

Dengan memperbanyak shalawat maka akan tumbuh rasa mahabbah dan cinta kita kepada Rasulullah SAW. Mencintai Rasulullah SAW akan mengantarkan kita pada sikap ingin meneladani seluruh perbuatan dan sifat – sifat beliau semasa hidupnya. Selain itu mencintai Rasulullah SAW juga merupakan manifestasi dari rasa cinta kita kepada Allah SWT.

Istighfar menjadikan kita pribadi yang mudah merasa bersalah dan merasa dosa dihadapan Allah SWT. Oleh karena itu dengan memperbanyak istighfar hati kita akan mudah untuk memaafkan orang lain karena sifat Ghafur Allah akan tertanam dalam diri kita, tercermin dalam setiap perbuatan dan menjadikan kita pribadi yang jauh dari sifat dendam.

Semoga kita mampu untuk menjauhkan diri kita dari rasa benci dan dendam yang menenggelamkan kita ke dalam keterpurukan. Terpuruk dalam bersikap, bertindak, dan mengambil keputusan. Semoga kita senantiasa mendapat hidayah dari Allah untuk selalu membenahi diri kita dalam setiap aspek kehidupan, sehingga kita bisa menjadi pribadi ideal sebagaimana harapan Allah dan Rasulullah SAW. Amin.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam….

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...