Sukur-an
Kata
sukur sesungguhnya adalah bentuk kata serapan dari bahasa Arab Syukrun
yang artinya terima kasih. Kata ini menjadi akrab dan populer di telinga orang
Indonesia. Bahkan kata ‘sukur-an’ teramat populer dan menjadi acara yang
ditunggu-tunggu oleh semua kalangan.
Beragam
cara orang mengekspresikan rasa sukur yang ada di hatinya. Sebagian cukup hanya
dengan mengucap ‘alhamdulillah’, ‘terima kasih’ dan semisalnya. Sebagian yang
lain menganggap bahwa ungkapan sukur harus diekspresikan dalam bentuk pesta
yang sarat dengan nuansa ‘kemewahan’. Sekelompok masyarakat lain menganggap hal
itu tidak perlu, yang diperlukan adalah mengungkapkan ekspresi sukur dengan ‘salamatan’,
berdo’a dan meningkatkan perilaku baik kepada sesama dan ibadah kepada Rab-nya.
Apapun
bentuk ekspresi yang dinampakkan, sesungguhnya memiliki esensi yang sama, yakni
mengungkapkan perasaan gembira dari lubuk hati terdalam. Memang, caranya
berbeda, hanya saja substansinya sama.
Bagi
sementara orang, cara mengungkapkan ekspresi yang dilakukan oleh orang lain,
mungkin tidak sesuai dengan kehendak hatinya, pun pula sebaliknya. Perbedaan pandangan
semacam ini, bila disikapi dengan bijak, tidak akan memicu pergolakan di tengah
masyarakat. Sebaliknya, bila disikapi dengan cara yang kurang tepat, boleh jadi
menimbulkan kericuhan bahkan gejolak di tengah masyarakat.
Seyogyanya
berbagai persoalan itu disikapi dengan arif dan bijak, sehingga bisa terjadi
keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan. Bukan sebaliknya,
membesar-besarkannya dan justru menyulut api permusuhan. Namun, memang tetap
saja harus ada ‘standar kepatutan’ yang menjadi pegangan bersama agar tidak
semua orang bisa berbuat sesuka hatinya dengan mengatas namakan ‘kebenaran’
yang ukurannya adalah ‘pemahaman sempit yang ada pada dirinya’.
Malam
ini, para santri kelas Imrithiy, di Madrasah Mafatihul Huda dan Pondok
Pesantren Mambaul Ulum, Sempu Sukorejo Udanawu Blitar, mengekspresikan rasa
sukur mereka. Sukur bahwa selama setahun ini, mereka bisa bertahan dan
menyelesaikan thalab-nya di ma’had. Berat, itulah perasaan yang seringkali
menghinggapi para santri yang belajar di pesantren salafi. Di saat yang lain
sibuk dengan dunia modern dengan segenap cahaya gemerlapannya, mereka justru
mengasingkan diri di tengah kehidupan pondok yang serba terbatas. Mereka juga
kerap kali harus banting tulang, kasab, pada warga sekitar pondok untuk
menyambung hidup, saat kiriman tak kunjung datang. Mereka juga harus berjuang
sekedar untuk mendapatkan ‘sisa udud (rokok)’ di sepanjang jalan saat tidak
mampu membeli rokok di toko warga.
Namun,
meski hidup dalam keterbatasan dan serba kekurangan, tidak jarang di antara
mereka saat pulang justru menjadi lentera di tengah kehidupan masyarakatnya. Di
pondok, mungkin banyak di antara mereka yang ‘ndablek’, tapi saat pulang tidak
jarang yang berubah jadi orang ‘jempolan’. Mengapa? Karena Jatah Kegagalannya
Telah Dihabiskan Selama Di Pondok, dan saat pulang mereka tinggal mengenyam
kesuksesannya. Selain itu, do’a para kyai dan asatidzlah yang mendorongnya
dari dalam sehingga mereka tergugah untuk bangkit, bukan karena sentuhan lisan
dan kata-kata.
Itulah
santri yang hidup dalam bimbingan ‘Sang Kyai’ yang tak pernah putus mendo’akan
para santri. Malam ini, rasa sukur itu mereka ungkapkan dengan menggelar
selamatan. Serangkaian acara mereka laksanakan dan puncaknya adalah makan
bersama. Tentu hal ini menjadi satu momentum yang sangat berkesan bagi mereka. Suatu
saat mereka akan merindukan kembali suasana seperti ini. Suasana yang sama
sekali tidak akan bisa mereka ulangi kembali di kemudian hari.
Komentar
Posting Komentar