Monitoring Daurat al-Tahfidz


Monitoring Daurat al-Tahfidz
Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung
 
Mudir bersama Murobbi
Jum’at, 13 Juli 2018, pengelola Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung yang diketuai Dr. K.H. Teguh, M.Ag. beserta segenap murabbi dan musyrifah mengadakan monitoring kegiatan daurat al-Tahfidz yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Bustanu ‘Usysyaqil Qur’an, Desa Kaliwungu Kecamatan Ngunut yang diasuh oleh ustadz Ahmad Marzuqi, M.Pd.I. Rombongan berangkat dari Ma’had al-Jami’ah dengan mengendarai tiga mobil dan beberapa yang lain bersepeda motor.

Kegiatan daurat ini adalah kali ke-IV. Dalam kesempatan ini pihak pengelola berkesempatan langsung melihat dan menyaksikan kegiatan mahasantri ma’had dalam menghafal al-Qur’an. Suara tilawah yang dibacakan mahasantri secara berjama’ah seoleh menembus setiap relung hati para sami’nya sehingga membuat rasa tenang dalam hati.


Tentu, satu kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi para pengelola ma’had melihat para mahasantri memiliki semangat tinggi dalam belajar al-Qur’an. Rasa iri untuk bisa belajar sebagaimana mereka tentu ada. Namun, mungkin tidak sebanyak kesempatan yang mereka miliki karena sudah banyak beban dan tanggung jawab yang tentunya harus dipikul oleh para pengelola.
 
Ustadz Marzuqi, M.Pd.I sedang memberi Laporan Kegiatan
Pada kesempatan ini, ustadz Ahmad Marzuqi, M.Pd.I menyampaikan bahwa program yang dilaksanakan untuk daurat al-tahfidz kali ini semakin tertata dengan rapi. Fasilitas yang tersedia pun sudah lebih baik dari sebelumnya. Beliau mengatakan, “Alhamdulillah untuk tahun ini, program kegiatan mahasantri sudah semakin tertata rapi. Mulai bangun pagi sekitar pukul 03.30 WIB dilanjutkan dengan shalat lail, dilanjutkan dengan muraja’ah dan seterusnya. Untuk muraja’ah dijadwalkan 5 kali dalam sehari. Selain itu Alhamdulillah fasilitas juga sudah lebih baik dari sebelumnya. Bila dahulu hanya tersedia satu wc dan kamar mandi, saat ini sudah ada tiga dan dibelakang sudah ada tempat khusus yang disediakan untuk mahasantri.”

Sementara itu dalam sambutan dan tausiyahnya, Mudir Ma’had al-Jami’ah, Dr. K.H. Teguh, M.Ag. memberikan apresiasi, dorongan dan semangat kepada para mahasantri yang mengikuti program ini. Beliau mengatakan, “Kalian adalah orang-orang yang beruntung, beruntung karena lisannya senantiasa digunakan untuk menyebut asma Allah Swt. melalui bacaan al-Qur’an, setidaknya saat mengikuti program ini. Jika tidak, boleh jadi lisan kalian digunakan untuk mengatakan sesuatu yang lain, membaca sesuatu yang bukan menyebut asma Allah.”

Sehubungan dengan masih suasana bulan Syawal, tepatnya tanggal 29 Syawal 1349 H. beliau tidak lupa untuk menyampaikan permohonan maaf, baik secara pribadi, maupun secara kelembagaan apabila ada kesalahan yang disengaja maupun tidak. Harapannya semoga semuanya bisa kembali menjadi seorang yang kembali pada fitrah kesuciannya sebagaimana dilahirkan dari rahim sang ibu.

Pada kesempatan ini beliau menjelaskan tentang tiga kata yang sering diucapkan saat idul fitri, yakni ‘aidin, faizin dan maqbulin. ‘Aidin adalah isim fa’il dari kata ‘Aada yang artinya kembali, jadi ‘aidin artinya adalah orang yang kembali. Kembali kepada fitrah kesuciannya setelah menjalankan ibadah sebulan penuh lamanya di bulan Ramadlan. Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan dengan ikhlas dan mengharap ridla Allah, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.” 
 
Foto bersama para mahasantri
Berdasar hadits tersebut, seorang yang telah menjalankan puasa dengan ikhlas dan mengharap ridla Allah pasti akan diampuni dosanya. Hal itu bisa dipahami dari penggunaan kata kerja bentuk lampau yang dalam tata kaidah bahasa Arab, jika digunakan untuk sesuatu yang akan datang, menurut ilmu balaghah memiliki faidah ‘tahaqquq al-wuqu’, pasti terjadi.

Kata kedua yang sering di dengar adalah kata faizin, artinya adalah orang yang beruntung. Maka seorang yang telah menjalankan puasa Ramadlan dengan sungguh-sungguh, memanfaatkan setiap waktu yang ada, mengisi malamnya dengan beribadah kepada-Nya mereka termasuk di antara orang-orang yang beruntung. Selain itu, beliau juga menerangkan termasuk di antara orang yang beruntung lagi adalah orang yang senantiasa menggunakan lisannya untuk mengingat dan menyebut Allah sebagaimana mahasantri yang menggunakan lisannya untuk membaca al-Qur’an.

Beliau menyitir ayat al-Qur’an Surat al-A’la, “Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikan dirinya, dan mengingat nama Tuhannya kemudian shalat”. Menurut beliau orang yang beruntung yang hakiki adalah mereka yang mampu menjalankan tiga hal sebagaimana tersebut dalam ayat di atas, pertama mensucikan diri, mengingat Allah dan mendirikan shalat.

Cara mensucikan diri adalah dengan tiga hal, pertama mensucikan harta dengan menunaikan zakatnya, pekerjaan dengan mengeluarkan zakat profesi saat telah mencapai nisabnya dan penyucian jiwa dengan zakat fitrahnya. Karenanya seorang yang telah menyempurnakan ibadah puasanya sebulan penuh, belumlah sempurna bila dia belum menunaikan kewajiban zakatnya.

Selanjutnya adalah orang yang mengingat nama Tuhannya. Artinya seseorang yang menggunakan lisannya untuk mengagungkan asma Allah, termasuk di dalamnya seorang yang menggunakan lisannya untuk membaca al-Qur’an. Karena itu beruntung sekali mahasantri yang mengikuti daurat al-tahfidz karena senantiasa menggunakan lisannya untuk membaca al-Qur’an bukan untuk hal-hal lain yang tidak bermanfaat atau bahkan berdosa.

Ketiga adalah seorang yang menjalankan shalat. Tidak ada alasan bagi siapapun untuk meninggalkan shalat. Shalat adalah sarana bagi seseorang untuk berkomunikasi dengan Tuhannya. Karena itu tidak boleh tidak, siapapun yang menginginkan kesempurnaan iman dan tauhidnya tetap harus menjalankan shalat. 

Dalam dunia pe-wayang-an, seorang yang mampu menyatu dengan Tuhan digambarkan dalam bentuk Bima. Bima adalah simbol dari seorang yang senantiasa istiqamah mendirikan sembahyang. Dia tidak bisa ‘basa (boso; jowo)’ melainkan hanya kepada satu orang yakni ‘Sang Dewo Ruci’, simbol kekuatan tertinggi dalam dunia pe-wayang-an. Karenanya, Sunan Kalijaga juga memberi nama Bima dengan Nama Werkudoro yang berasal dari bahasa Arab, Warka’uu al-daara (rukuklah pada tempatnya), sebagai simbol seorang yang menjalankan shalat.

Kata terakhir yang sering di dengar adalah kata maqbulin. Jika dua kata sebelumnya berbentuk isim fa’il, lain halnya dengan kata maqbulin yang berbentuk isim maf’ul. Dalam hal ini beliau mengatakan, “Dua kata di atas adalah simbol bagi manusia yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai seorang yang kembali suci dan seorang yang beruntung, sementara maqbulin menunjuk bahwa diterima atau tidaknya ibadah kita adalah hak prerogratif-Nya Allah.” Karenanya, tidak dibenarkan seseorang menganggap bahwa amal ibadahnya telah diterima Allah, sementara yang lain ditolak. Lebih ekstrim lagi menyatakan bahwa orang lain sesat. Yang tidak sesuai dengan dia adalah salah. Karena itu perlu ditanamkan dalam hati bahwa diterima tidaknya amal semua kembali kepada Allah, dan tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan amal orang lain ditolak dan hanya milik kitalah yang diterima.

Komentar