MONEV 01 KKN DESA WINONG KECAMATAN TUGU TRENGGALEK

 

MONEV 01 KKN DESA WINONG KECAMATAN TUGU TRENGGALEK



Kamis, 01 Agustus 2024, penulis berangkat menuju ke Trenggalek. Lokasi yang penulis tuju adalah Desa Winong Kecamatan Tugu. Kedatangan penulis ini dalam rangka melakukan Monev pertama pada kegiatan KKN Pengabdian Berbasis Digital UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung Tahun 2024.

Monev menjadi salah satu tugas wajib yang harus dilaksanakan oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN. Monev dilaksanakan dengan tujuan agar nantinya program kerja pengabdian yang dilakukan oleh para peserta KKN bisa berjalan dengan maksimal serta memberikan dampak positif dan signifikan tentunya bagi para peserta dan masyarakat dimana program KKN ini dilaksanakan.

Dalam kegiatan monev, DPL bertugas untuk mengevaluasi capaian kinerja dari program yang ditetapkan. Di samping itu, DPL juga memberikan bimbingan, arahan, masukan, kritik dan sejenisnya yang bisa dijadikan pijakan bagi para peserta untuk menyusun, melaksanakan, mengembangkan, sekaligus mengevaluasi kegiatan yang dilakukan.

Penulis berangkat pada kisaran pukul 08.00 WIB dan tiba di lokasi, yakni Posko Putri KKN Winong pada kisaran pukul 09.30 WIB. Tiba di lokasi, penulis disambut oleh beberapa peserta yang kebetulan sedang piket dan longgar.

Setelah beberapa saat berbasa basi, menanyakan kabar, dan sejenisnya, penulis kemudian menanyakan ihwal apa yang telah dilakukan selamat beberapa hari di lokasi. Alhamdulillah, secara umum para peserta telah memulai untuk beberapa kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut di catat dan ditempel di kertas kecil berukuran A-4, yang cukup memaksa mata bekerja lebih “ekstra”. Karenanya penulis sampaikan agar sekiranya proker dan capain kinerja program bisa ditulis di kertas yang berukuran lebih besar agar mudah dilihat dan dibaca oleh siapapun yang datang berkunjung ke posko.

Diskusi Bersama Para Peserta


Banyak hal yang kami obrolkan terkait dengan program yang telah dan akan dilakukan. Beberapa yang telah dilaksanakan oleh para peserta adalah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak desa, tokoh masyarakat, pemuda, agama, dst. Para peserta juga sudah banyak terlibat serta mewarnai kegiatan di desa, seperti kegiatan di masjid, mushola, sekolah, TPQ, jama’ah yasin dan sejenisnya serta beberapa kegiatan masyarakat lainnya. Selain itu, para peserta juga sudah melakukan kegiatan “anjangsana” sebagai salah satu diantara media agar mereka lebih dekat dengan masyarakat.

Penulis juga sempat menanyakan perihal jumlah masjid, mushola, ormas dan sejisnya di Desa Winong. Namun, agaknya para peserta luput untuk melakukan identifikasi terkait dengan hal tersebut. Harapan penulis pada monev berikutnya mereka sudah bisa mengidentifikasinya dengan baik.

Sehubungan dengan potensi ekonomi, pada umumnya masyarakat Winong berprofesi sebagai petani. Akan tetapi, menurut informasi dari para peserta, ada profesi yang agaknya,-masih dianggap “sampingan”, namun memiliki potensi ekonomis menjanjikan. Kerajinan itu adalah membuat “besek”.

Berdasarkan informasi yang penulis terima hampir setiap rumah di Desa Winong ini membuat besek. Selama ini sistem yang berjalan semacam “kemitraan”. Ada pengepul yang memasok bahan kepada warga. Kemudian warga membuat dan menyetorkan kepada mereka tentunya dengan harga yang telah disepakati.

Penulis memberikan masukan sekaligus tantangan kepada para peserta agar sekiranya potensi ini bisa difasilitasi dengan memberikan pendampingan lebih serius. Kepada divisi ekonomi penulis berharap agar bisa membuatkan “marketplace” sekaligus memberikan pelatihan kepada para pemuda tentang sistem operasionalnya. Sebaiknya dibuatkan semacam “kelompok pengrajin” dengan struktur terorganisir yang nantinya bisa memfasilitasi para pengrajin untuk lebih bisa memiliki strategi pemasaran serta memiliki daya jangkau lebih maksimal. Dengan begitu diharapkan agar nantinya para pengrajin di desa ini memiliki kemandirian dan tidak bergantung pada para pemilik modal. Harapannya tentu profit yang diperoleh bisa lebih besar bagi pengrajin dan jika diorganisir dengan baik oleh desa bukan tidak mungkin bisa menjadi salah satu aset bagi desa.

Selain itu penulis juga menanyakan perihal masjid dan mushola di Desa Winong. Berapa jumlahnya dan bagaimana keadaannya. Apakah semua sudah “sesuai” dengan harapan dan merata. Bagi divisi sosial budaya, penulis memberikan masukan sekaligus tantangan agar dibentuk semacam kepengurusan juga yang nantinya mengelola “sampah” yang bisa berpotensi ekonomis dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sosial.

Ide ini sebenarnya berangkat dari kasus di desa penulis sendiri. Di desa penulis, remaja masjid setiap minggu berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengambil sampah warga. Sampah ini kemudian dijual dan hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Misalnya, ada masjid, mushola atau fasilitas umum yang perlu diperbaiki dan direnovasi, maka dana dari hasil penjualan sampah tersebut bisa digunakan untuk biaya perbaikan maupun renovasi.

Foto Bareng Peserta KKN Desa Winong


Ternyata, dari proses pengumpulan sampah ini, bisa terkumpul dana yang cukup besar. Bahkan berdasarkan informasi saldo yang ada,-disamping yang telah disalurkan ke berbagai masjid, mushola dan sebagainya, lebih dari Rp. 50.000.000,00. Tentu hal ini bisa menjadi salah satu alternatif pengumpulan donasi bagi fasilitas sosial yang ada di masyarakat, dimana sebagian diantaranya, ada yang di tengah jalan “meminta sumbangan” untuk pembangunan.

Setelah merasa cukup berdiskusi dengan para peserta, penulis merasa monev telah cukup. Memang banyak hal yang tentunya masih perlu untuk digali baik dari sisi potensi maupun problem-problem yang mungkin saja belum terungkap.

Penulis berharap pada monev yang akan datang semua “PR” yang diberikan serta hal-hal yang sudah didiskusikan bisa dilaksanakan dan dikembangkan. Inovasi-inovasi baru terkait dengan program kegiatan tentu sangat diperlukan. Sampai ketemu di monev berikutnya!


Komentar