Rabu, 11 Januari 2017

Keramat Dunia yang Terabaikan


Siapa yang tidak kenal ibu? Setiap manusia terlahir dari Rahim seorang ibu. Ibu adalah permata di dunia yang tiada tara. Peran dan jasanya dalam kehidupan kita tidak akan pernah tergantikan meski emas permata dan berlian kita berikan kepadanya. Dialah wanita tangguh tiada taranya di dunia. Mengandung kita selama Sembilan bulan, dengan rasa berat yang semakin bertambah, bertarung antara hidup dan mati dikala berjuang melahirkan kita. Ya, itulah ibu, manusia terhebat dan terkuat di dunia. Sosok yang siap mengorbankan dirinya demi kebahagiaan putra – putrinya

Sosok ibu memiliki peran dan dimensi yang istimewa dalam Islam. Islam sangat menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, terlebih ibu. Dalam Surat Luqman (31); 14, Allah SWT berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)

Artinya:
“Dan Kami telah mewasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah – tambah dan menyapihnya di usia dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku tempat kembali.” (Q.S. Luqman (31); 14)

Ayat di atas menjelaskan kewajiban kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Ayah telah bekerja keras, menghabisakn waktu dan tenaganya untuk memberikan nafkah kepada kita, mencari biaya untuk kehidupan sehari – hari, membiayai sekolah kita dan seterusnya. Tanpa mengenal lelah seorang ayah rela bekerja di siang hari yang panas, dibawah terik matahari yang membakar kulit. Waktu di mana biasanya kita bermalas – malasan di kamar, ditemani bantal guling dan smart phone untuk bermain. Tetapi seorang ayah, meski capek ia rasakan, keringat bercucuran, pakain lusuh dan kumul ia kenakan demi anak – anaknya ia rela untuk banting tulang dan keluarkan keringat. Itulah ayah, yang demi kemapanan dan kebahagiaan kita ia rela korbankan segalanya untuk kita.

Ibu, wanita terkuat di dunia. Dialah yang telah mengandung anaknya selama Sembilan bulan tanpa mengenal lelah. Meski tubuhnya merasakan lemah yang terus bertambah tetapi karena curahan kasih sayang dan cintanya kepada kita, ia rela menanggunggnya. Itulah ibu. Ia juga yang senantiasa menjaga dan merawat kita semenjak kita masih dalam kandungan sampai kita beranjak dewasa. Bahkan, disaat kita sudah berumah tangga, ia pun masih sibuk memikirkan kita, berusaha terus bekerja untuk membantu perekonomian kita yang masih belum tertata. Ia juga sering terjaga, terbangun ditengah malam saat kita masih terlelap dalam tidur sembari mengangkat kedua tangannya untuk mendoakan kesuksesan dan kebahagiaan kita. Perhatian dan curahan kasih sayangnya tidak pernah pudar di makan zaman. Seperti apapaun kita dan bagaimanapun keadaan kita, ibu selalu sayang dan mencintai kita dengan ketulusan hatinya. Beliau tidak pernah menginginkan balasan dari kita, hanya satu yang menjadi harapan dan kebanggaannya, kebahagiaan dan kesuksesan kita. Itulah ibu.

Kedua orang tua memang orang yang paling berperan dalam kehidupan kita. Oleh karenanya berbakti kepada mereka adalah satu keharusan yang tidak bisa ditawar. Setiap muslim harus senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya. Meski keduanya sudah tiada kita masih tetap saja memiliki kewajiban untuk berbakti kepada keduanya dengan mewujudkan keinginannya dan menyambung tali silaturrahmi dengan orang – orang yang pernah beliau pergauli dalam kehidupannya.

Tidak berlebihan kiranya al-Qur’an memerintahkan kepada umatnya agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua mengingat jasa dan perannya yang sangat besar dalam kehidupan anak – anaknya. Begitulah agama memerintahkan kepada umatnya agar selalu memenuhi hak – hak kedua orang tua. Berusaha berbakti kepada keduanya senyampang kita masih mempunyai kemampuan dalam melakukannya.

Mengenai hak antara keduanya, siapakah yang harus kita dahulukan? Ayah atau ibu? Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ جَمِيلِ بْنِ طَرِيفٍ الثَّقَفِيُّ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ وَفِي حَدِيثِ قُتَيْبَةَ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِي وَلَمْ يَذْكُرْ النَّاسَ (رواه مسلم)

Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif Ats Tsaqafi dan Zuhair bin Harb keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Jarir dari 'Umarah bin Al Qa'qa' dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah berkata; "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu dia bertanya, "Siapakah orang yang paling berhak dengan kebaktianku?" Jawab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Ibumu!" dia bertanya lagi; "Kemudian siapa?" beliau menjawab: "Ibumu!" dia bertanya lagi; "Kemudian siapa?" beliau menjawab: "Kemudian Ibumu!" dia bertanya lagi; "Kemudian siapa?" dijawab: "Kemudian bapakmu!" sedangkan di dalam Hadits Qutaibah disebutkan; 'Siapakah yang paling berhak dengan kebaktianku? -tanpa menyebutkan kalimat; 'An Nas.'” (H.R. Muslim)

Hadits di atas memberikan penjelasan tentang hak seorang ibu yang lebih tinggi bila dibandingkan ayah. Seorang ibu memiliki kedudukan yang lebih tinggi bila dibandingkan ayah. Perannya dalam membentuk pribadi seorang anak jauh lebih banyak bila dibandingkan ayah. Ibulah yang setiap hari bergumul dalam merawat anak. Setiap keluh kesah anak adalah sayatan perih dalam hati ibu. Tak heran, bila seorang ibu memiliki ikatan batin yang kuat dengan anak – anaknya melebihi seorang ayah.

Saat para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang siapa yang lebih berhak untuk mendapatkan kebaktiaannya, dengan tegas Rasulullah SAW menjawab “Ibumu”. Tidak tanggung – tanggung sahabat itu bertanya hingga berkali – kali tetapi jawaban Rasulullah tetap sama “ibu”. Baru setelah kali keempat pertanyaan itu disampaikan Rasulullah menjawab ayahmu.

Jawaban Rasulullah SAW ini memberikan isyarat kepada umat Islam tentang sakralitas dan ketinggian posisi dan kedudukan ibu di dunia ini. Seorang anak wajib berbakti kepada kedua orang tuanya terutama ibu. Bila kedua orang tua memerintahkan sesuatu kepada kita, maka orang yang pertama harus kita laksanakan perintahnya adalah ibu. Itulah yang benar. Saat sungkem di hari raya untuk meminta maaf atas segala kesalahan dan mohon doa restu, maka ibulah orang pertama yang berhak untuk mendapatkannya. Subhanallah begitulah kedudukan ibu di hadapan Allah SWT.

Namun, bagaimana realitas yang kita jumpai saat ini? Apakah realitas telah menunjukkan bahwa seorang ibu telah didudukkan pada posisi yang semestinya? Sudahkan seorang ibu kita tempatkan pada derajat yang tinggi dan mulia sebagaimana keramat yang diberikan Allah kepadanya? Jawabannya mungkin sebaliknya.

Di zaman sekarang ini, kita justru menjumpai fenomena yang sangat bertolak belakang dari apa yang telah digariskan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW. Ibu yang semestinya menduduki tempat yang mulia di sisi anak – anaknya, seringkali justru didudukkan pada tempat yang tidak semestinya. Banyak sekali anak yang berani kepada ibunya, kata – kata dan nasihatnya tak lagi diindahkan. Seorang anak seringkali takut kepada ayahnya, tetapi berani kepada ibunya. Secara fisik, memang ibu memiliki fisik yang lebih lemah sehingga anak cenderung berani kepada ibu bila dibandingkan kepada ayah.

Fakta semacam ini seringkali kita jumpai dalam kehidupan sehari – hari. Banyak ibu yang terabaikan dan tersisihkan dari kehidupan anak – anaknya, apalagi ketika anaknya sudah berkeluarga. Tidak jarang perselisihan kecil antara seorang ibu dan menantu perempuannya berubah menjadi permusuhan. Anak karena jatuh cintanya kepada istri seringkali melupakan ibunya. Hubungannya menjadi renggang bahkan tidak jarang yang lantas memusuhi ibunya sendiri karena kecinta butaannya yang tidak beralasan. Na’udzu billah…

Ketika menikah seharusnya seseorang menyadari bahwa dia tidak hanya menjadi pasangan hidup bagi suami atau istrinya. Ia harus sadar bahwa setelah menikah dia harus siap menerima setiap kekurangan dan kelebihan yang dimiliki suami/istri berikut semua keluarganya. Keluarga istri adalah keluarga suami, pun pula sebaliknya keluarga suami adalah keluarga istri. Seorang istri harus taat kepada suami karena semenjak ia menikah, surganya berada di telapak kaki suaminya bukan pada ibunya. Sebaliknya suami tidak boleh lantas melupakan ibunya, karena sampai kapanpun surganya terletak dibawah kaki sang ibu. Begitu seharusnya.

So, mari senantiasa koreksi diri dan ingatlah bahwa ibumu adalah keramatmu. Dialah orang yang menjadi penentu kesuksesan dan kebahagiaanmu di masa yang akan datang. Jangan pernah engkau mengabaikannya. Jadikanlah istrimu sebagai bagian dari kehidupanmu dan kehidupan ibumu yang tak terpisahkan. Semoga kita selalu diberikan kekuatan untuk selalu menjaga ibu, menunaikan semua haknya dan berbakti kepadanya hingga akhir hayat kita. Amin.

Allahu A’lam…

Semoga bermanfaat…


Selasa, 10 Januari 2017

MENJAGA RASA MALU


Sepintas banyak orang yang beranggapan bahwa rasa malu berkonotasi negatif. Malu identik dengan rasa tidak percaya diri, minder dan penakut. Asumsi semacam ini sah – sah saja, akan tetapi tidak semuanya benar. Adakalanya malu itu justru menjadi tanda adanya rasa iman kepada Allah, bernilai positif dan justru menjadi dambaan setiap mukmin.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari di sebutkan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُعْفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ (رواه البخاري)
Artinya:
 Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al Ju'fi dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu 'Amir Al 'Aqadi yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman". (H.R. Bukhari)
Hadits riwayat Imam Bukhari ini menjelaskan bahwa iman memiliki lebih dari enam puluh cabang. Kata enam puluh dalam tradisi masyarakat Arab digunakan untuk menunjukkan arti banyak, bukan bilangan khusus. Dengan demikian cabang dari iman jumlahnya sangat banyak, termasuk didalamnya ‘rasa malu’.
Berdasarkan hadits di atas malu termasuk bagian dari iman. Mungkin ada sebagian orang yang bertanya mengapa malu bisa termasuk bagian dari iman, malu yang seperti apa yang dimaksud oleh hadits ini? Apakah setiap rasa malu bisa dikategorikan sebagai bagian dari iman?
Malu yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah malu yang positif, bukan melu yang bersifat negatif. Malu yang negatif tidak bisa digolongkan sebagai bagian dari iman. Malu untuk melakukan kebaikan,malu untuk memberikan nasihat kepada yang lain, malu dalam pergaulan dengan orang miskin, malu dianggap sebagai orang bodoh, malu mengingatkan teman yang berbuat salah tentu semua itu bukanlah yang diharapkan dalam hadits di atas. Lalu malu yang bagaimana?
Malu yang diharapkan oleh hadits di atas adalah malu yang positif. Malu dalam melakukan kemaksiatan, dosa dan pelanggaran kepada ketentuan – ketentuan Allah SWT. menjaga rasa malu kepada Allah adalah hal yang sangat diharapkan dan dianjurkan oleh agama. Oleh karenanya banyak sekali keterangan – keterangan yang menunjukkan tentang pentingnya rasa malu kepada Allah SWT.
Apabila seseorang memiliki rasa malu kepada Allah, maka dalam kesehariannya dia akan selalu dituntun dengan petunjuk – petunjuk Allah. Setiap perilaku yang terwujud dalam kehidupan sehari – harinya adalah wujud dari hidayah Allah yang diberikan kepadanya.  Dia akan berusaha untuk selalu memperbaiki diri dan setiap akan melakukan hal yang dilarang oleh Allah maka hatinya akan mencegah dan melarangnya karena rasa malu yang ada pada dirinya.
Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
عن أبي مالك الأشجعي ، عن ربعي ، عن حذيفة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : ' آخر ما تمسك به كلام النبوة الأولى : إذا لم تستحي فاصنع ما شئت '
Artinya:
Dari Abi Malik al-Asyja’I, dari Ruba’i dari Hudaifah ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Akhir dari apa yang dijadaikan pedoman oleh Kalam Nubuwwah yang pertama adalah Ketika engkau tidak memiliki rasa malu maka lakukanlah apa yang kamu inginkan.’
Hadits ini secara tegas menunjukkan pentingnya rasa malu dalam diri setiap muslim. Apabila rasa malu telah hilang dari diri seorang muslim maka sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan melakukan apa yang mereka inginkan tanpa rasa malu sama sekali meski pada hakikatnya sesuatu yang mereka lakukan adalah sesuatu yang memalukan bahkan menjijikkan.
Kenyataan di era sekarang banyak sekali kita jumpai di sekeliling kita orang yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu dalam dirinya. Banyak sekali para pemuda hari ini  yang tidak lagi memiliki rasa malu. Pemuda – pemuda hari ini banyak yang menuruti keinginan hawa nafsunya untuk memenuhi kenikmatan sesaat tanpa mereka memikirkan akibat dari apa yang mereka lakukan. Banyak di antara pemuda yang terjerumus dalam pergaulan bebas, tidak jarang pula yang sampai diluar batas sehingga terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.
Demikianlah, saat rasa malu sudah tidak lagi ada dalam diri muslim, maka semua pagar dan batas – batas keimanan seolah telah runtuh. Banyak yang kemudian terjerumus kedalam hal – hal yang tidak diinginkan. Bergelut dengan dunia hitam, terjerumus kedalam kemaksiatan dan kedlaliman. Begitulah seterusnya ketika rasa malu sudah tidak ada, maka yang ada hanyalah keinginan syahwat nafsu. Melampiaskan segala keinginan tanpa ada kontrol yang menjadi penyeimbang.
Semoga kita senantiasa bisa menjaga diri kita dari segala hal yang tidak diridlai Allah SWT. Mudah – mudahan selama hidup kita, kita selalu bisa menjaga rasa malau, malu kepada Allah SWT. seandainya kita melakukan maksiat dan durhaka kepada-Nya. Amin
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…



Senin, 09 Januari 2017

Ketika al-Qur’an Tinggal Tulisan


Keberadaan al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi sumber hukum islam pertama merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Semenjak al-Qur’an pertama diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. umat islam selalu sibuk dalam mempelajari dan memahami al-Qur’an. Berhari – hari, berbulan – bulan, bahkan bertahun – tahun perhatian mereka tercurah untuk mempelajari dan memahami al-Qur’an. Mereka tidak akan beranjak dari satu ayat ke ayat yang lain, melainkan mereka telah menghafal dan memahami ayat tersebut. Demikianlah keadaan umat islam periode awal yang selalu menjadikan al-Qur’an sebagai prioritas awal dalam kehidupannya sebelum mereka beranjak kepada urusan yang lain. Tidak mengherankan bahwa kehidupan mereka selalu terang benderang karena cahaya al-Qur’an.

Dalam kehidupan sehari – hari mereka selalu berkiblat kepada Nabi Muhammad SAW., seorang nabi yang kepadanya al-Qur’an diwahyukan. Rasulullah adalah sosok ideal dalam berperilaku qur’ani. Siti Aisyah Radliyallahu ‘Anha saat ditanya kepribadian Rasulullah mengatakan, “كان خلقه القرأن” , akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an. Demikianlah jawab Siti Aisyah. Beliau adalah al-Qur’an yang terwujud dan hidup di bumi ini. Oleh karenanya setiap ada peristiwa ataupun persoalan yang muncul dalam kehidupan para sahabat, mereka selalu menyelesaikannya dengan solusi yang diberikan Rasulullah.

Pada satu kesempatan Rasulullah SAW menyampaikan sebuuah hadits yang menjelaskan tentang keadaan al-Qur’an pada zaman akhir. Hadits itu diriwayatkan dari Khalifah Ali ibnu Abi Thalib:

عن علي ابن أبي طالب عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ياتي على الناس زمان لا يبقى من الإسلام إلااسمه ولا من الدين إلا رسمه  ولا من القرأن إلا درسه يعمرون مساجدهم وهي خراب عن ذكر الله أشر ذالك الزمان علماؤهم منهم تخرج الفتنة وإليهم تعود وهؤلاء علامة القيامة (زبدة الواعظين)

Artinya: “Dari Ali ibnu Abi Thalib dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Akan datang kepada umat manusia zatu zaman dimana Islam tinggal namanya, agama tinggal tulisannya, al-Qur’an tinggal pelajarannya, mereka meramaikan/menghuni masjid – masjidnya, tetapi hati mereka kosong, jauh dari ingat kepada Allah. Sejelek –jelek/seburuk-buruk orang di zaman itu adalah ulama – ulama mereka. Dari mereka munculnya fitnah, dan kepada mereka fitnah itu kembali, dan itu semua adalah tanda – tanda kiamat.” (Zubdatul Wa’idzin)

Hadits riwayat Khalifah ke-empat Imam Ali ibnu Abi Thalib ini mengingatkan kepada kita semua bahwa kelak suatu ketika –entah apakah sekarang sudah terjadi/atau belum- akan datang satu masa dimana di masa itu Islam tinggal namanya, agama tinggal tulisannya, al-Qur’an tinggal pelajarannya, masjid ramai dipenuhi umat tetapi hati mereka kosong dari dzikir/mengingat Allah dan seburuk – buruk orang pada masa itu adalah ulama – ulamanya. Hadits ini perlu untuk kita renungkan dan kita gunakan sebagai sarana muhasabah, introspeksi diri, memperbaiki setiap kesalahan yang seringkali mampir dalam diri kita.

Islam tinggal namanya. Islam artinya selamat, damai, pasrah. Kira – kira demikian. Rasulullah SAW bersabda kelak Islam tinggal namanya. Kedamaian yang digagas dan diperjuangkan Rasulullah SAW di masa awal diutusnya beliau hanya tinggal sebuah nama. Banyak yang menggunakan nama Islam hanya sebatas untuk memenuhi kepuasan pribadinya.  Mereka tidak menggunakan agama untuk menebar kedamaian di muka bumi. Justru karena pembenaran terhadap nafsu, Islam digunakan untuk merusak dan memporak – porandakkan setiap sisi kehidupan yang mereka anggap berseberangan dengan prinsip dan keyakinan mereka. Apabila ini sudah terjadi, tanda bahwa kiamat akan segera tiba.

Agama tinggal tulisannya. Ini mengingatkan kepada kita bahwa nilai – nilai luhur yang tertuang dalam berbagai kitab hanya sebatas tulisan. Tidak ada lagi orang yang mau menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari. Kitab suci dan buku – buku agama hanya tinggal karya – karya bacaan yang tidak pernah diwujudkan dalam perilaku kehidupan masyarakat. Fenomena semacam ini mungkin sudah mulai tampak dalam kehidupan masyarakat di era modern saat ini. Banyak orang pandai tetapi kepandaian dan kecerdasan mereka tidak diikuti dengan penghayatan dan upaya untuk melakukan semua yang mereka ketahui. Ini merupakan tanda – tanda hilangnya ruh dan nilai luhur agama. Agama hanya tinggal tulisan yang bisa dibaca dan dinikmati.

Al-Qur’an tinggal pelajarannya. Banyak orang yang belajar membaca al-Qur’an, mempelajari ilmu – ilmu al-Qur’an tetapi jarang sekali orang yang mengambil al-Qur’an sebagai imamnya, menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Mereka memperindah bacaan – bacaan al-Qur’annya tetapi tidak mau melaksanakan isi dan tuntunannya. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah bahwa al-Qur’an hanya tinggal pelajarannya.

Masjid ramai dan dipenuhi umat, tetapi hati mereka kosong, sepi dan jauh dari mengingat Allah. Saat ini kalau kita perhatikan disekeliling kita, banyak bangunan masjid berdiri dengan megah, arsitekturnya sangat luar biasa, banyak yang datang meramaikan masjid, tetapi jarang sekali diantara mereka yang selalu mengingat Allah. Buktinya banyak yang selalu menghidupkan masjid tetapi mereka masih terbuai dengan kehidupan dunia yang serba fana. Inilah fenomena akhir zaman yang perlu kita prihatinkan.

Seburuk – buruk umat manusia pada masa itu adalah ulamanya. Ulama adalah panutan umat. Mereka adalah lampu dan lentera yang menerangi kehidupan umat agar selalu berada di jalan Allah. Seharusnya titel ulama tidak hanya menjadi titel dan jabatan dunia belaka. Keberadaan mereka penting untuk menjadi sandaran dan rujukan kaum awam dalam kehidupannya. Akan tetapi dalam hadits ini justru disabdakan Rasulullah SAW. bahwa mereka adalah seburuk – buruk umat.

Ini bukan berarti menyepelekan dan menistakan pribadi seorang ulama. Ini justru menjadi sebuah wahana bagi para ulama untuk senantiasa mawas diri dalam kehidupannya sehari – hari. Mereka adalah pribadi – pribadi yang diharapkan menjadi tangan kanan dari Rasulullah dalam kehidupan dunia. Namun sangat disayangkan apabila mereka justru berbuat sebaliknya.

Fenomena akhir – akhir ini, kita dihadapkan pada persoalan yang sangat memprihatinkan. Kita melihat dari berbagai media yang ada, baik cetak maupun elektronik, banyak di antara ulama – ulama kita saling serang antara yang satu dengan yang lain. Bahkan perselisihan pendapat di antara mereka terkadang berujung pada caci maki bahkan pen –takfiran- kepada kelompok yang berseberangan. Ini adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Siapa korbannya? Bukan ulama, tetapi yang menjadi korban adalah kaum awam. Masyarakat awam menjadi korban dari segala bentuk perbedaan pendapat yang –maaf- terkadang sudah tidak wajar lagi. Sungguh ini menjadi sebuah pemandangan yang tidak elok.

Bagaimana sikap kita? Saat ini kita seharusnya introspeksi diri, melihat diri dan pribadi kita untuk berbenah. Bolehlah kita berbeda pandangan antara yang satu dengan lainnya, tetapi tetaplah selalu menjaga kerukunan. Kita tidak harus sama, tetapi kita harus tetap saling menghargai antara yang satu dengan lainnya. Sudah saatnya perbedaan kita jadikan sebagai wasilah untuk semakin memperkuat ukhuwwah. Jangan sebaliknya.

Bila al-Qur’an hanya tinggal tulisannya, tinggal sebagai ilmu yang diajarkan tetapi jauh dari penerapan, waspadalah kawan! Boleh jadi kiamat sudah dekat. Bila ulama saling menjatuhkan, saling mencari pembenaran, sadar dan bangunlah bahwa itu adalah tanda datangnya janji Allah, kiamat akan datang. Fastabiqul Khairat… berlombalah dalam kebaikan…

Semoga bermanfaat…


Allahu a’lam… 

Jumat, 06 Januari 2017

Khatmil Qur'an

(Sebuah Upaya untuk Mempersiapkan Generasi Qur’aniy)

Al-Qur’an satu – satunya kitab suci yang masih terpelihara keotentikannya sampai hari ini. Kehebatan al-Qur’an dan kemukjizatannya tentu sudah tidak ada lagi yang memperdebatkan. Berapa banyak orang yang ingin menandingi keindahan sastranya, namun harus bertekuk lutut dan mengakui kehebatannya. Itulah al-Qur’an, semakin ditentang semakin ia menunjukkan kebenarannya. Kebenaran sebagai wahyu Allah yang tak terbantahkan. Mengabarkan berbagai informasi di masa silam dan yang akan datang, menjawab semua problematika kehidupan yang muncul di setiap zaman.

Tidak hanya berhenti di situ saja, ternyata al-Qur’an mempunyai peran besar dalam membentuk generasi umat. Peranan al-Qur’an dalam membentuk umat sudah tidak diragukan lagi semenjak al-Qur’an untuk pertama kalinya diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Sejarah telah mencatat nama – nama besar sahabat yang muncul dari asupan pembinaan al-Qur’an. Sebut saja Abu Bakar al-Shiddieq, Umar ibnu Khaththab, Utsman ibnu Affan, Ali ibnu Abi Thalib, Zaid ibnu Tsabit, Abdullah ibnu Mas’ud, Abdullah ibnu Abbas dan sederetan nama besar sahabat yang tumbuh dalam naungan al-Qur’an. Para sahabat ini memiliki jiwa – jiwa qur’ani, mereka kuat dalam ibadah, supel dalam pergaulan, kharismatik dalam pandangan umat dan menjadi imam dalam ilmu pengetahuan. Kader – kader militan yang dibangun oleh Rasulullah SAW dengan nilai – nilai Qur’ani yang dipersiapkan untuk melakukan revolusi besar – besaran dalam sejarah peradaban dunia.

Berkaca dari sejarah, -menurut saya- IAIN Tulungagung, khususnya Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan –FTIK-, mengambil langkah baru dalam mempersiapkan mahasiswa agar mampu menjadi kader – kader qur’ani sebagaimana yang menjadi harapan seluruh civitas akademika. Fakultas tarbiyah mengambil strategi dengan memberikan kewajiban kepada seluruh dosen, karyawan dan mahasiswa di lingkungan FTIK untuk senantiasa melakukan khatmil Qur’an minimal sekali dalam seminggu. Khatmil Qur’an di lingkungan dosen dan karyawan dilaksanakan pada setiap hari jum’at pagi. Setiap dosen dan karyawan yang tidak berkepentingan mengajar dianjurkan dan diharapkan untuk mengikuti agenda khatmil ini. Selain untuk mendo’akan para leluhur yang telah mendahului, khatmil ini dimaksudkan juga untuk mendo’akan semua civitas akademika, dosen, karyawan dan mahasiswa agar selalu mendapatkan taufiq dan hidayah Allah SWT. dalam menjalani setiap aktifitas kehidupannya, mendapat bimbingan al-Qur’an dan menjadi generasi qur’ani, generasi yang cinta kepada al-Qur’an.

Di lingkungan mahasiswa, tradisi khatmil Qur’an dilaksanakan seminggu sekali oleh mahasiswa dalam satu kelas. Kapan waktu dan tempat pelaksanaannya tergantung pada kesepakatan masing – masing kelas dengan ketua kelas sebagai koordinatornya. Selain itu di setiap tatap muka di ruang perkuliahan, sebelum melakukan proses pembelajaran, mereka diwajibkan untuk membaca surat – surat pendek yang ada di juz ‘amma. Tradisi semacam ini menurut saya sangat positif untuk terus dibiasakan dilingkungan mahasiswa dan seluruh civitas akademika di lingkungan IAIN Tulungagung. Tradisi ini bisa mengisi sisi spiritual yang seringkali kering dan terabaikan karena kesibukan kita dalam mengurusi kehidupan dunia.

Kritikan? Tentu ada kritik. Kritikan pada dasarnya adalah salah satu bentuk perhatian. Orang yang memberikan kritik, hakikatnya ia adalah orang yang selalu memiliki perhatian kepada kita. Terlepas dari perhatian itu baik atau buruk, yang terpenting jangan terlalu mengambil pusing dengan berbagai kritikan. Tetapi, jadikanlah setiap kritikan itu sebagai titik tolak untuk melakukan perbaikan. Demikian halnya dengan khatmil Qur’an di lingkungan Fakultas Tarbiyah, khatmil Qur’an yang diselenggarakan oleh Fakultas Tarbiyah ini tak urung juga menuai banyak kritikan dari mereka yang selalu menyoroti kebijakan. Ini wajar, menurut saya, karena setiap kebijakan pasti akan berdampak pada sikap pro dan kontra.

Sebagai umat islam, seharusnya kita menyambut gembira setiap kegiatan yang berbau religi dan qur’ani tak terkecuali khatmil semacam ini. Memang kegiatan ini  masih jauh dari sempurna, banyak sisi yang harus diperbaiki dan perlu ditingkatkan. Akan tetapi setidaknya sudah mulai ada titik terang arah pendidikan yang diharapkan. Menguasai dan memahami al-Qur’an, mempraktikkan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari – hari, menjadikannya sebagai imam dalam setiap naik – turunnya nafas, tentu tidak serta merta bisa langsung dicapai. Ada tahapan – tahapan yang harus dilalui, termasuk diantaranya belajar membaca, belajar mengartikan, belajar memahami dan kemudian mengambil hikmah dan pelajaran. Begitulah mungkin tahapannya.

Sejarah telah mencatat, mereka yang bagus al-Qur’annya, juga memiliki prestasi yang baik dan cemerlang dalam kehidupannya. Mari kita biasakan diri kita untuk selalu bersama al-Qur’an. Mungkin kita belum bisa mengartikan, memahami, atau mengambil hikmah dan pelajaran yang ada di dalamnya, tetapi setidaknya mari kita belajar untuk mencintai al-Qur’an, belajar untuk istiqamah membacanya, mudah – mudahan kita dijadikan ahlul Qur’an. Amin…

Selain itu para ulama’ salafus shalih juga banyak yang menganjurkan kepada kita untuk senantiasa membiasakan diri dalam berperilaku qur’ani. Istiqamah dalam membaca al-Qur’an diyakini oleh para ulama termasuk di antara hal yang bisa menyebabkan seseorang semakin cerdas. Kemampuan al-Qur’an menambah daya tangkap dan kecerdasan di antaranya diungkapkan oleh Imam al-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim. Kitab ini sangat terkenal di kalangan pesantren salafi, seolah kitab ini menjadi literature wajib yang harus dipelajari oleh setiap santri yang belajar di pesantren. Menurut al-Zarnuji yang paling bisa menambahkan daya hafal adalah membaca al-Qur’an bi al-nadzar. Membaca al-Qur’an dengan melihat, bukan dengan hafalan.

Tradisi membaca al-Qur’an semenjakk Rasulullah Muhammad SAW sudah menjadi hal yang sangat dianjurkan. Bahkan, dalam sebuah hadits, Rasulullah Muhammad SAW mengatakan bahwa sebaik – baik kalian adalah orang yang mau mempelajari al-Qur’an dan mau mengajarkannya. Sungguh, menurut saya langkah ini adalah langkah yang cerdas untuk membentuk generasi umat, generasi qur’ani.

Mudah – mudahan upaya ini mendapat ridla Allah dan berjalan secara istiqamah sehingga cita – cita IAIN Tulungagung menjadi pelopor kampus dakwah dan peradaban bisa segera terwujud. Cita – cita itu akan menjadi kenyataan apabila di dukung oleh semua pihak dan seluruh civitas akademika yang ada di dalamnya.

Semoga bermanfaat…
Wallahu A’lam…


Kamis, 05 Januari 2017

Kekuatan di Balik Tulisan




(Sebuah Refleksi atas Buku “The Power of  Writing” Karya Dr. Ngainun Naim, M.Ag.)

.
Ah… malu rasanya, saya yang sehari – hari berkecimpung di tempat yang sama dengan beliau, tetapi terlambat memiliki buku penuh inspirasi ini. Tapi tidak apalah daripada tidak sama sekali, mending terlambat tapi tetap dapat. Begitulah kiranya ungkapan hati saya setelah resmi saya membeli buku ini sesaat sebelum acara literasi yang beliau adakan atas nama LP2M di kampus IAIN Tulungagung tercinta untuk memompa semangat kawan – kawan dalam dunia literasi.

Buku “The Power of Writing” diterbitkan oleh penerbit Lentera Kreasindo, dicetak untuk pertama kalinya pada Januari 2015 dengan tebal 230 halaman. Terbagi menjadi enam bab dengan tema, Spirit Menulis, Motivasi Menulis, Alasan Menulis, Hambatan Menulis, Strategi Menulis, Belajar Menulis Dari Para Tokoh. Buku ini telah mendapatkan banyak komentar dan penilaian dari berbagai pakar dan pegiat literasi. Pada umumnya komentar dan penilaian mereka bersifat positif.

Buku ini memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dalam menghipnotis pembaca, khususnya saya. Tulisannya sederhana namun mengena, tidak banyak menggunakan kata – kata yang sulit dipahami layaknya karya ilmiah yang bertaraf internasional. Namun, saya merasa, saat saya memulai perjalanan membaca karya ini, seolah - olah saya dihipnotis dengan kekuatan tulisan yang ada di dalamnya. Tanpa terasa saya telah membaca berlembar – lembar tulisan dengan judul yang berbeda – beda di buku ini namun dengan tema yang sama yaitu “Menulis”. Membaca buku ini, membuat saya merasa tidak ingin berhenti dan ingin terus membaca. Setiap kata yang tertulis seolah memiliki kekuatan memengaruhi alam pikiran saya sehingga dorongan membacanya begitu kuat.

Terlepas dari kekuatan tulisan penulis yang profokatif ini, terdapat dua judul yang seolah menusuk jauh ke dalam hati saya yang paling dalam. Dua judul tulisan itu adalah “(Maaf) Babu Saja Menulis” dan “Write or Die!”.

(Maaf) Babu Saja Menulis, sekilas ketika saya melihat judul ini, hati kecil saya seolah seperti tertusuk sembilu. Bagaimana tidak, dalam tulisan ini penulis menyajikan informasi yang begitu menusuk naluri setiap pembaca khususnya mereka yang pernah mengenyam pendidikan formal sampai perguruan tinggi dengan menunjukkan satu kenyataan yang boleh dibilang bertolak belakang dengan prestasi mereka yang pernah mengenyam pendidikan formal. Seorang Sri Lestari yang sehari – hari bekerja sebagai buruh migran di Hongkong membuktikan kepada dunia bahwa menulis bukanlah hal yang sulit, buktinya dia (maaf) yang kerjanya babu saja bisa. Sementara di sisi lain banyak di antara para sarjana dan lulusan perguruan tinggi yang semestinya mereka lebih lihai dan mampu menghasilkan banyak karya, justru sama sekali mandul dan tidak menghasilkan tulisan sama sekali. Padahal, kalau kita lihat dari satu sisi potensi pendidikan formal yang di enyam seharusnya menunjukkan kenyataan yang berbeda. Sebagai buruh tentu jam kerjanya jauh lebih banyak dan kerjanya lebih berat, apalagi di luar negeri, namun nyatanya Sri tetap bisa, bagaimana dengan kita?

Secara jujur penulis mengatakan, “Sebagai orang yang merasakan manfaat menulis, saya ingin “mempermalukan” teman – teman yang punya banyak potensi dan peluang menulis melebihi Sri Lestari tetapi belum menulis. Sri Lestari yang (maaf) babu saja bisa, mau, dan mampu menulis, masak kaum yang lebih terpelajar tidak bisa?”. Pernyataan ini menurut saya, sangat mengena dan menusuk hati bagi yang mau berpikir secara mendalam. Tetapi lain halnya kalau tidak, ya mungkin hanya dianggap angin yang  berlalu saja.

Judul kedua yang menurut saya sangat profokatif adalah “Write or Die!”. Judul ini mungkin terinspirasi dari perbincangan beliau dengan penulis senior yang juga dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Much. Khoiri. Menurutnya, dalam perbincangan santai di sebuah sanggar kepenulisan di Tulungagung, Pak Emcho –sapaan akrab Much. Khoiri- mengatakan bahwa komitmen menulis itu harus dipegang teguh. Bagi pak Emcho, menulis adalah hidup itu sendiri. Bagi beliau, pilihannya hanya dua: write or die, menulis atau mati, tulis Ngainun Naim.

Memang diakui maupun tidak, kekuatan tulisan akan lebih bertahan lama daripada ucapan. Ucapan hanya akan memiliki pengaruh spontan dan seketika, mampu menggerakkan masa, namun sifatnya hanya sementara. Berbeda dengan tulisan, kekuatan tulisan lebih bertahan lama daripada kata yang terucap. Bila kata yang terucap akan hilang dan dilupakan bersamaan dengan berpisahnya orang yang mengucap atau minggalnya, maka tulisan masih tetap bisa dibaca dan diambil setiap hikmah dan pelajarannya meski penulisnya sudah meninggal dunia. Oleh karenanya menulis bisa jadi menjadi jariyah bagi si penulis setelah ketiadaannya. Namanya akan tetap terkenang bagi setiap orang yang menjadi pengagumnya sepanjang zaman. Berbeda dengan para orator yang namanya akan menghilang seiring dengan kepudaran popularitas dan produktivitasnya. Maka tidak berlebihan kiranya, jika penulis mengambil judul “Write or Die!” sebagai satu objek bahasan dalam buku ini.

Menulis membutuhkan perjuangan, perjuangan dalam mengatasi berbagai godaan yang menghampiri untuk berhenti menulis. Saya sendiri merasakan hal itu. Saya mungkin belum bisa disebut penulis oleh karena belum ada karya saya yang menghias di penerbitan. Setidaknya, saya pingin belajar menulis. Itulah yang saat ini saya lakukan. Saya mengikuti beberapa kegiatan yang di dalamnya memberikan pendidikan dan pengajaran dalam menulis, sebagaimana yang di adakan oleh Dr. Ngainun Naim. Saya ingin banyak belajar tentang dunia tulis menulis.

Buku “The Power of Writing” ini merupakan satu suntikan power bagi para pemula dalam dunia tulis – menulis. Kekuatan daya hipnotis kata dalam setiap tulisan begitu terasa sehingga menggiring para pembaca untuk terus membaca dan mendorong mereka untuk tergerak dalam menulis. 

Diakui maupun tidak dunia literasi memberikan banyak manfaat bagi setiap pembelajar. Dunia literasi semakin membantu para pembelajar untuk merekam setiap informasi dan pengetahuan lewat berbagai artikel, catatan dan tulisan – tulisan sederhana. Biarlah tulisan kita saat ini jelek, yang penting kita tetap menulis. Jangan menggunakan kesibukan sebagai alasan pembenaran bagi kita untuk tidak menulis. Penulis buku ini mengatakan, “Menulis itu, menurut saya, merupakan bentuk perjuangan. Banyak yang berpendapat bahwa menulis itu membutuhkan waktu tenang, khusus, dan sedang tidak sibuk. Jika rumus ini dipakai, barangkali saya akan sangat jarang menghasilkan tulisan. Lima hari dalam seminggu saya harus pergi ke kantor. Brangkat dari rumah sekitar jam 6 pagi dan sampai di rumah setelah magrib. Hari sabtu dan minggu biasanya saya pakai untuk kegiatan keluarga, sehingga nyaris tidak ada waktu khusus untuk menulis.”

So, bagaimana dengan kita sobat? Masihkah kita beralasan bahwa kesibukan membuat kita tidak bisa menulis. Bukankah mestinya kita yang memanfaatkan waktu, bukan sebaliknya, kita tergilas oleh waktu. Semoga kita bisa menulis seperti beliau… Amin… 

Semoga bermanfaat…

Allahu A’lam bish Shawab…

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...