Sabtu, 14 Januari 2017

Imam al-Ghazali



Imam al-Ghazali
(Pegiat Literasi Kaum Santri)

Nama besar Imam al-Ghazali tentunya tidak asing lagi bagi umat Islam, khusunya kaum santri. Dalam dunia kaum santri al-Ghazali adalah ikon keshalehan dan ke –aliman- hakiki. Namanya begitu harum ditengah – tengah kaum santri seolah dialah sosok ilmuan yang pesonanya tiada duanya.

Kekaguman dan keta’juban kaum santri pesantren pada figure seorang al-Ghazali adalah satu kewajaran. Bagaimana tidak pemikiran – pemikirannya yang luar biasa telah tertanam dalam jiwa kaum santri. Kitab – kitab yang merupakan buah karyanya dikaji di hampir seluruh pesantren. Bagi kaum santri meski jasad al-Ghazali telah dimakamkan ratusan tahun silam, tetapi ia tetap hidup dalam sanubari santri.

Imam al-Ghazali memiliki nama asli Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Beliau hidup antara tahun 450 – 555 H/1058 – 111 M. Ia lahir di desa Ghazaleh, dekat Thus. Ia belajar di Thus, Jurjan dan Nisyapur. Di usianya yang masih kecil orang tuanya meninggal sehingga dititipkan sahabat ayahnya yang seorang sufi.

Perjalanan intelektual al-Ghazali sangat menarik untuk diteladani. Meskipun ia masyhur sebagai ulama sufi di akhir masa kehidupannya, ternyata al-Ghazali juga mempunyai sejarah perjalanan intelektual dalam bidang yang lain. Meski ia dikenal sebagai orang yang memelopori kritik terhadap para filosof, namun bukan berabrti al-Ghazali tidak pernah belajar filsafat. 

Saat beliau menjadi pemimpin dan guru besar di Universitas al-Nidzamiyah di Baghdad, beliau berjuang keras mempelajari filsafat dan menunjukkan keahliannya dalambidang tersebut. Al-Ghazali kerap kali memberikan seminar dan ceramah – ceramah di berbagai majlis ilmu. Kepiawaiannya dalam berdebat dan mempertahankan pendapat telah mengantarkannya menjadi ulama pesohor yang mendapat gelar hujjatul Islam (argumentator Islam). Konon siapapun yang berdebat dan berdiskusi dengan al-Ghazali akan kagum kepadanya dan akan mengakui kehebatan dan keunggulannya. Ketekunan dan kesungguhan al-Ghazali dalam mempelajri ilmu filsafat berbuah pada kepiawaiannya dalam bidang ilmu dengan dengan melahirkan kitab Maqasid Al-Falasifah dan kekritisan pemikirannya telah mendorongnya untuk melakukan kritik terhadap pemikiran para filosof yang dituangkannya dalam kitab Tahafut al-Falasifah.

Dalam kitab Maqasid al-Falasifah, al-Ghazali berupaya dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya untuk mengulas pemikiran – pemikiran filsafat. Ia mendudukkan filsafat sebagaimana mestinya. Menunjukkan kepada mereka tujuan – tujuan dalam berfilsafat. Karya ini merupakan buah dari kerja kerasnya dalam mempelajari filsafat.

Namun, pasca ia mendudukkan filsafat, mempelajari dengan teliti pemikiran – pemikiran filosof, al-Ghazali mengendus adanya beberapa pemikiran yang menurutnya kurang tepat dan lemah argumennya. Puncaknya beliau menulis sebuah buku yang merupakan kritik kerasnya terhadap pemikiran para filosof. Pemikiran itu secara keseluruhan berjumlah 20, yaitu:
1.      Alam itu azali
2.      Alam itu abadi
3.      Allah adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan-Nya
4.      Menetapkan adanya pencipta
5.      Membangun argumen untuk menunjukkan kemustahilan adanya dua Tuhan
6.      Menafikan sifat – sifat Tuhan
7.      Substansi al-Awwal (Tuhan) bukan jenis (genus) dan bukan pula diferensia
8.      Al-Awwal (Tuhan) bukan tubuh
9.      Al-Awwal (Tuhan) merupakan wujud sederhana tanpa esensi
10.  Adanya masa dan meniadakan pencipta
11.  Al-Awwal (Tuhan) mengetahui selain diri-Nya
12.  Tuhan mengetahui substansi-Nya
13.  Tuhan tidak mengetahui hal – hal yang particular (juz’iyat)
14.  Langit adalah hewan yang bergerak dengan kehendak
15.  Tujuan Tuhan memperjalankan langit
16.  Jiwa – jiwa langit mengetahui semua juz’iyyat
17.  Menyatakan kemustahilan terjadinya peristiwa luar biasa
18.  Jiwa manusia adalah substansi yang terdiri dari dirinya sendiri, bukan dengan tubuh atau aksiden
19.  Keabadian jiwa manusia adalah mustahil
20.  Kebangkitan tubuh manusia untuk merasakan kesenangan jasmani di surga dan kepedihan di neraka juga mustahil

Dengan mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang dimilikinya, al-Ghazali menolak pendapat nomor 1, 2, 6, 7, 8, 13, 14, 16, 17, dan 20. Memandang lemah argumentasi pendapat nomor 4, 5, 9, 11, 12, 15, 18, dan 19. Ia menyatakan bahwa seharusnya para filsuf mengubah pendapat nomer 3 menjadi nomor 10.

Pada sesi akhir buku tahafut yang ditulisnya al-Ghazali mengkafirkan paham nomor 1, 13, dan 20. Ini berarti siapapun yang berpegang dan mengikuti salah satu madzhab di atas telah jatuh ke dalam kekafiran menurut versi al-Ghazali. Pendapat al-Ghazali ini memberikan dampak yang luas bagi umat Islam. Pendapat ini juga yang diklaim oleh sebagian ilmuan yang menyebabkan kejumudan dan kemandekan umat Islam dalam tradisi berfikir dan berfilsafat. Kendati demikian melimpahkan kesalahan ke pundak al-Ghazali bukanlah pendapat yang bisa dibenarkan, karena ia tidak pernah menginginkan kemandekan berfikir bagi umat Islam.

Di tengah puncak kegairahan intelektualnya al-Ghazali sempat mengalami kehilangan nafsu makan dan tidak bisa berbicara. Keadaan berlangsung berkisar antara enam bulan. Setelah berhasil keluar dari situasi krisis ini, al-Ghazali mengalami konflik bathin yang luar biasa dalam dirinya. Pada akhirnya al-Ghazali memutuskan untuk keluar dari Baghdad dan menjalani kehidupan tasawuf selama kurang lebih sepuluh tahun di Damaskus, Jerussalem, Mekah, Madinah, dan Thus. Setelah mengajar lagi di Nisyapur, ia kembali ke Thus dan mendirikan Khanqah (pusat latihan bagi calon sufi).

Akhir kehidupan al-Ghazali digunakan untuk terus munajat dan bermujahadah sehingga mendapatkan pencerahan dengan tersingkapnya mata hati. Para ulama sepakat bahwa al-Ghazali adalah mujaddid pada zamannya. Sumbangsihnya dalam menyatukan umat Islam yang kala itu saling bermusuhan karena perselisihan pendapat begitu besar. Ia berusaha mendamaikan antara madzhab dhahiri dan bathini yang saling bertentangan.

Yang menarik dan perlu mendapat perhatian adalah keproduktifan al-Ghazali dalam menulis karyanya. Meski usianya tidak seberapa panjang, karena ia meninggal di usianya yang masih sekitar 53 tahun, al-Ghazali telah meninggalkan banyak karya. Tercatat buku yang ditulisnya mencapai lebih dari 28 buah. Karya monumentalnya yang paling popular adalah ihya’ ulum al-din yang lahir setelah beliau menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Menariknya di sini, meski image yang muncul saat ini, kaum sufi adalah kaum yang kuno, desit, tidak perduli pada kehidupan sosial, hanya mementingkan ibadah semata kepada Allah, ternyata justru al-Ghazali sebagai figure central kaum sufi pesantren menunjukkan akan kepeduliannya dalam kehidupan sosial dan juga dalam lapangan ilmu dan pendidikan.

Apa yang di tunjukkan al-Ghazali sebagai seorang santri sufi yang produktif dalam menggerakkan budaya literasi seharusnya menjadi contoh teladan yang harus diikuti oleh setiap generasi muslim. Keterbatasan kehidupan umat Islam dan manusia kala itu tentu sudah menjadi rahasia umum. Bisa kita bayangkan bagaimana al-Ghazali menulis satu bukuu ihya’ ulum al-din misalnya, yang memiliki ketebalan luar biasa dan terdiri dari empat jilid. Tentu karya semacam ini adalah karya yang sangat luar biasa bila dibandingkan dengan era saat ini yang cenderung dimanjakan oleh iptek dan teknologi. Penulisan al-Ghazali terhadap buku karya – karyanya ini adalah upaya yang harus dilestarikan oleh umat Islam, terlebih dunia santri di pesantren. Pesantren tidak semestinya hanya mencetak generasi yang pandai dalam berkhotbah dan berpidato, akan tetapi harus mencontoh dan meneladani apa yang telah dicontohkan oleh para pendahulunya dalam menelurkan berbagai karya yang kelak bisa dijadikan sebagai jariyah dan sumbangsih mereka untuk kemajuan peradaban.

Berkaca dari al-Ghazali, bahwa menjalani kehidupan tasawuf tidak lantas menyebabkan seseorang melarikan diri dari dunia yang profan. Tasawuf tidak identik dengan kehidupan dalam pengasingan dan uzlah saja. Tetapi tasawuf adalah motor penggerak dalam perubahan zaman. Tasawuf adalah ruh yang selalu harus ada di setiap sendi kehidupan. Tasawuf adalah spirit dalam berkarya dan beribadah. Itulah yang ditunjukkan al-Ghazali, seorang santri pegiat literasi, dan sufi yang peduli akan budaya literasi.

Semoga bermanfaat…

Allahu A’lam bish Shawab…


Jumat, 13 Januari 2017

Nikmat

Nikmat
(Seri Pengajian Rutin Jum’at Pon bersama K.H. Syaikhudin)

Ah… benar saja apa yang dikatakan Ustadz Ngainun Naim, semakin kita sibuk, sebenarnya semakin banyak hal yang bisa kita tulis. Itulah kenyataanya, semakin sering kita menulis semakin banyak ide bertebaran untuk ditulis. Semakin sibuk aktifitas yang kita jalankan semakin banyak modal kita untuk menulis. Kuncinya hanya satu aksi, bukan lagi teori, begitulah mungkin.

Catatan ini adalah refleksi dari aktifitas rutin yang akuu lakukan setiap malam Jum’at Pon. Kebetulan di desaku setiap malam jum’at pon semua jam’iyyah di lingkungan diliburkan. Sebagai gantinya semuanya mengikuti pengajian rutin di Masjid Jami’. Kegiatan ini sudah menjadi kesepakatan masyarakat yang langsung di instruksikan oleh kepala desa. Sejak kapan kegiatan ini dimulai? Saya sudah lupa kapan tepatnya. Yang jelas semenjak aku duduk di madrasah aliyah kegiatan ini sudah berjalan dan Alhamdulillah masih istiqamah sampai hari ini meski jumlah yang hadir semakin surut. Tetapi tetap harus di syukuri.

Malam ini tema yang menjadi topik pembahasan adalah nikmat. K.H. Syaikhudin memulai pembahasan dengan menyampaikan ta’rif atau definisi dari nikmat. Menurut beliau nikmat adalah

هي التي تتلذذ وتحسن العقبى
“Nikmat adalah segala hal yang dianggap lezat dan baik akhirnya”

Dalam menjelaskan hal ini beliau memberikan analogi antara kopi dan wiski. Kopi adalah minuman yang lezat dan tidak dilarang oleh Allah, oleh karenanya ia minum kopi adalah satu kenikmatan karena akhir dari minum kopi adalah kelezatan yang tidak dilarang oleh syari’at agama. Sebaliknya wiski, minuman keras atau yang sejenisnya, saat mengkonsumsinya seseorang akan merasakan kelezatan pula akan tetapi wiski adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah. Akhir dari konsumsinya juga buruk bagi kesehatan. Oleh karenanya mengkonsumsinya adalah sesuatu yang menjadi larangan agama dan termasuk ke dalam maksiat.

Nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia tak terhitung jumlahnya. Andaikan manusia mau untuk menghitungnya niscaya manusia tidak akan sanggup untuk menghitung. Padahal semua nikmat itu wajib disyukuri, apabila tidak, maka adzab Allahlah yang akan diterima. Lantas bagaimana kita bersyukur sementara menghitung nikmat Allah saja kita tidak bisa? Bagaimana mau mensyukuri semua nikmat itu?

Dalam hal ini K.H. Syaikhudin menerangkan bahwa semua nikmat Allah itu bisa dikategorikan menjadi empat:
1.      Nikmat dunia
2.      Nikmat sehat tubuh
3.      Nikmat sehat akal
4.      Nikmat hati
Menurut beliau empat nikmat ini menunjukkan tingkatan nikmat. Nikmat yang paling rendah adalah nikmat dunia, diatasnya nikmat sehat tubuh, diatasnya lagi nikmat sehat akal, dan puncaknya adalah nikmat hati.

Nikmat dunia tergolong nikmat yang paling rendah di antara nikmat yang lain. Dunia seringkali datang tak diundang, pergi tanpa pamit. Nikmat dunia seringkali bila dikejar akan lari menjauh tetapi bila ditinggalkan justru mengejar. Demikianlah gambarannya menurut beliau. Sebanyak apapun harta yang kita miliki semuanya tidak kekal, semuanya bisa datang dengan tiba – tiba tanpa kita sangka, pun pula bisa hilang seketika tanpa bisa kita hindari. Oleh karenanya sifat kebahagiaan dunia hanyalah sementara dan fana’, tidak bisa menjadi sesuatu yang dibangga - banggakan.

Berikutnya adalah nikmat sehat tubuh. Nikmat ini setingkat lebih tinggi bila dibandingkan dengan nikmat yang sebelumnya. Bila nikmat harta kita berlimpah, tetapi tubuh kita tidak sehat, maka semua itu tidak ada artinya. Beliau mencontohkan lebih enak naik ‘ledok’ tapi badan sehat daripada naik mobil ambulance baru dengan tubuh yang sakit. Banyak orang lebih memilih tinggal di gubuk rumahnya dengan tubuh yang sehat daripada tinggal di bangunan megah rumah sakit karena sakit. Itulah gambaran nikmat sehat tubuh. Kesehatan tubuh mahal harganya bila dibandingkan dengan dunia beserta isinya. Buktinya, ketika sedang sakit, berapapun harta kita yang telah lama kita simpan rela kita keluarkan bahkan sampai ludes sekalipun untuk membayar biaya obat demi mendapatkan sehat tubuh. Karena itulah nikmat sehat tubuh jauh lebih penting bila dibandingkan dengan nikmat harta dunia.

Setingkat di atas nikmat sehat tubuh adalah nikmat sehat akal. Nikmat dunia, nikmat sehat tubuh yang tidak diikuti oleh sehat akal tidak aka nada gunanya. Seorang wanita tentu akan lebih memilih untuk menikah dengan seorang yang hidupnya biasa, tidak seberapa kaya harta ataupun rupa, bila dibandingkan dengan menikahi seorang yang kaya, rupawan namun akalnya tidak sempurna. Hal ini menjadi bukti akan pentingnya nikmat akal yang dimiliki seseorang. Beliau menambahkan seorang yang diberikan nikmat sehat akal, dan Allah memberikan karunia kecerdasan dan ilmu pengetahuan kepadanya, dimanapun tempat dia berada, maka ia akan memberikan manfaat kepada sesamanya. Dimanapun dia berada, maka Allah akan memuliakannya meski fisiknya tidak/kurang sempurna, tidak punya harta, tetapi kekayaan akalnya dalam hal ilmu dan pengetahuan akan menjadikan dia sebagai seorang yang terhormat dan mulia. Terhormat di hadapan Allah dan Rasul-Nya. Menurut beliau setiap nabi selalu diberikan sifat fathonah yang menunjukkan kesempurnaan akal. Tidak setiap nabi memiliki harta, tidak semua nabi fisiknya kuat,  tetapi setiap nabi pasti memiliki kecerdasan yang dengan kecerdasan itu ia mampu untuk memimpin umat. Beliau mencontohkan seorang ulama besar dari Tulungagung yang memiliki keterbatasan, K.H. Khabir  -kalau tidak salah- dari pondok pesantren Menara Mangunsari. Meski beliau memiliki keterbatasan secara fisik –maaf tidak bisa melihat- tetapi Allah menganugerahkan ilmu pengetahuan yang berlimpah kepadanya. Itulah sebabnya saat beliau menunaikan haji bersama K.H. Khabir, banyak para ulama Jawa Timur yang mencari dan sowan kepada beliau untuk tafa’ulan dan tabarukan. Hal ini tentunya adalah satu anugerah Allah yang diberikan kepada beliau lantaran nikmat akal yang sempurna yang diberikan kepada beliau. Makanya nikmat akal lebih tinggi nilainya bil adibanding dengan nikmat yang lain selain nikmat hati.

Puncak dari semua nikmat adlaah nikmat hati. Seperti apapun banyaknya dunia yang kita kumpulkan, kesehatan tubuh yang kita miliki, akal sempurna yang kita punya, akan tetapi bila tidak didukung dengan nikmat hati semua itu hanya akan sia – sia belaka. Hati adalah tempat dimana iman itu tumbuh. Iman akan tumbuh dengan subur manakala dua saratnya terpenuhi. Ibarat kita menanam diladang apabila dua sarat itu terpenuhi maka tanaman yang akan kita tanam akan tumbuh subur dan buahnya lebat seperti yang kita harapkan. Sarat pertama saat kita menanam adalah tanahnya subur dan kedua adalah tanahnya gembur. Tanah yang subur apabila tidak gembur maka tanaman tidak akan mampu menyerap makanan dari dalam tanah. Sebaliknya tanah gembur tetapi tidak subur, apa yang hendak dimakan.

Berkaitan dengan tanaman iman dalam hati beliau mengatakan bahwa sarat yang harus terpenuhi dalam menyuburkan dan memperkuat iman adalah ibadah dan nasihat. Ibadah ibarat tanah yang subur. Hati kita harus senantiasa kita siram dengan ibadah – ibdah terutama adalah ibadah mahdlah dengan istiqamah disamping ibadah yang lain. Keistiqamahan dalam ibadah menjadi penting untuk memupuk keimanan. Beliau menyitir qaul ulama:
خيرالعمل مادام وإن قل
“Sebaik – baik amal adalah yang berkelanjutan meskipun sedikit”

Amal sedikit yang dijalankan dengan istiqamah akan membawa dampak besar bagi tumbuhnya iman dalam hati manusia. Sebaliknya amal yang banyak tetapi tidak istiqamah, sedikit sekali manfaatnya. Oleh karenanya istiqamah menjadi sesuatu yang penting untuk selalu dijaga dan dipertahankan.

Selanjutnya nasihat. Nasihat penting didapatkan. Dengan mendengarkan berbagai nasihat maka hati kita akan semakin mudah untuk mengingat Allah SWT. dengan nasihat semakin mudah dan ringan untuk menjalankan setiap ibdah yang diperintahkan oleh Allah. Oleh karena itu sudah sepatutnya seorang muslim untuk selalu berusaha mendapatkan nasihat.

Iman itu suatu saat bisa bertambah, tetapi suatu saat juga bisa berkurang. Maka untuk mempertahankan semua itu, rajin – rajinlah untuk mendengarkan nasihat (Tutur beliau). Ingat yang bisa membawa kita sampai kepada surge Allah hanyalah iman yang terdapat dalam hati kita.

Semoga bermanfaat…

Wallahu A’lam bish Shawab…




Jeli Memahami Karya Orientalis


Orientalis adalah para sarjana barat yang memiliki kecenderungan untuk mempelajari Islam. Para sarjana barat banyak yang berkecimpung dalam hal ini. Islam memang seolah menjadi topik yang menarik untuk selalu dikaji, dikaji dan dikaji. Tidak salah bila banyak para ilmuan dan intelektual baik muslim maupun non muslim yang lantas ingin melakukan eksplorasi secara mendalam tentang wacana ke-Islam-an.

Motif dalam mempelajari Islam juga beragam. Adakalanya mereka mempelajari Islam untuk kepentingan pemahaman yang sesungguhnya, mendudukkan islam pada posisi yang sebenarnya, adapula yang sebaliknya belajar Islam untuk kepentingan mencari titik kelemahan dalam Islam. Setelah titik kelemahan Islam mereka dapatkan, mereka berusaha untuk menyerang Islam, tentu bukan dengan menyerang secara frontal dengan kekuatan senjata, mengangkat bendera perang atau yang sejenisnya. Akan tetapi serangan mereka adalah melalui tulisan dan wacana – wacana diskursus yang mereka lontarkan. Peperangan semacam ini justru sangat berbahaya apabila generasi islam tidak waspada.

Kejelian kita dalam mengkaji dan memahami buku – buku karya orientalis mutlak diperlukan. Kejelian ini penting agar kita tidak terjerumus dalam kesalahpahaman terhadap ajaran – ajaran Islam yang benar ala madzhabi Ahli Sunnah wa al-Jama’ah tentunya. Seringkali ditemukan dalam buku – buku dan karya para orientalis yang kemudian mengangkat sisi – sisi yang musykil, syadz dan bahkan diingkari oleh para ulama salaf soleh, akan tetapi dikemas dalam bentuk diskursus yang seolah ramai dibicarakan. Ini harus diteliti. Kalau tidak boleh jadi urusan musykil, syadz atau musykil justru dianggap sebagai satu hal yang benar. Bila ini yang terjadi sangat berbahaya.

Memang benar tidak semua orientalis memiliki orientasi demikian. Ada sementara orientalis yang memang bersifat netral dan objektif dalam menilai Islam. Tidak jarang mereka yang pada awalnya mempelajari Islam untuk mencari kelemahan dan kemudian menyerang Islam,justru berbalik arah dan masuk Islam karena menemukan fakta yang benar dan tak terbantahkan. Hal ini banyak dialami oleh para orientalis yang memiliki kepentingan untuk misioneris. Tetapi Allah justru memberikan hidayah kepada mereka. Ya Alhamdulillah…

Nah, inilah yang penting bagi kita generasi Islam untuk senantiasa berhati – hati. Selektif dalam mengambil referensi dan hati – hati dalam memahami karya – karya mereka. Apakah kita tidak boleh mempelajari? Oh, bukan begitu, justru kita harus mempelajari. Kalau kita tidak mempelajari justru ini menyebabkan kita semakin lemah dalam membaca dan mengantisipasi serangan pemikiran yang mereka lancarkan.

Serangan wacana tentunya harus dilawan dengan cara yang sama, dengan menciptakan karya yang bisa menandingi karya mereka. Nah, inilah yang sampai saat ini, saya merasa bahwa banyak diantara generasi Islam yang lemah. Umat islam banyak yang ahli dalam berdebat, diskusi oral yang luar biasa, tetapi mereka lemah dalam menuangkan ide dan karyanya melalui wacana teks yang dibukukan. Hal ini sungguh sangat disayangkan.

Budaya literasi saat ini harus di galakkan pada generasi islam. Ini menjadi satu keharusan untuk membentengi serangan – serangan mereka yang digulirkan melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik. Dengan adanya gerakan literasi yang digalakkan akan menjadi kekuatan penyeimbang yang bisa menandingi dan mengcounter pendapat – pendapat yang berusaha untuk menebar pemahaman – pemahaman yang salah. Gerakan literasi ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam Islam, akan tetapi merupakan gerakan yang sudah ada semenjak dulu yang tenggelam pasca serangan salibis terhadap umat Islam.

Di era kejayaan Islam, gerakan literasi sangat marak. Mereka yang menerjemah buku, menulis buku dan sebagainya mendapatkan pengahargaan yang luar biasa dari khalifah. Khalifah – khalifah terutama pada masa dinasti Abasiyah adalah khalifah yang memilki kecenderungan serius dalam gerakan literasi. Mereka sangat menghargai  ilmu pengetahuan. Tak heran, jika dalam pemerintahan mereka banyak di bangun madrasah – madrasah, perpustakaan dan pusat – pusat kajian keilmuan. Semua itu dalam rangka untuk memperkuat literasi umat Islam kala itu. Dari tempat – tempat itulah muncul ulama – ulama besar yang saling berlomba dan berkarya untuk memajukan pengetahuan.

Tidak berhenti dalam ilmu agama, ilmu – ilmu yang nota benenya hari ini dikenal dengan ilmu umum juga banyak menyedot perhatian ulama muslim. Gerakan penerjemahan terhadap karya – karya Yunani dan Romawi klasik marak dalam dunia Islam. Tak tanggung – tanggung dari rahim umat Islam lahir ulama – ulama besar dalam kajian ilmu filsafat, matematika, sains, fisika, kimia, astronomi dan sederetan ilmu yang lain. Semua itu tidak terlepas dari upaya dan kerja keras khalifah dalam memajukan peradaban umat Islam. Alhasil, Islam menjadi pusat perhatian dunia, menjadi pelopor dalam berbagai bidang kehidupan. Generasi Islam pun terbentengi dengan berbagai literasi yang dilahirkan oleh ulama muslim, sehingga akidah dan pengetahuan mereka semakin memperkuat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Pasca runtuhnya kekuasaan Gereja akibat kesadaran pemikir – pemikir Barat yang bersentuhan dengan pemikir muslim saat belajar di Universitas Cordova, bangsa barat memulai babak baru dalam kesejarahannya. Persentuhan pemikiran dengan pemikir muslim telah menjadikan mereka terbuka cakrawalanya dan berlomba – lomba untuk melakukan penelitian dan pelayaran ke penjuru dunia. Konsekuensi dari semua ini adalah munculnya para peneliti dan ilmuan handal yang kemudian membuat perubahan besar bagi bangsa barat. Bangsa yang kala itu masih dalam kegelapan berubah menjadi bangsa yang maju dan berperadaban karena ilmu pengetahuan.

Saat ini, bangsa barat banyak melakukan kajian – kajian tentang Islam yang tujuan dari proses pembelajaran itu bersifat variatif. Banyak kita temukan di berbagai took buku yang tersebar di berbagai belahan nusantara dihiasi dengan karya – karya orientalis yang tersebar secara bebas. Boleh jadi di antara karya – karya itu berisi pemahaman yang kurang benar atau bahkan bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab kita untuk selalu berhati – hati dalam mempelajari karya – karya tersebut. Selain itu, seyogyanya untuk umat Islam berusaha menumbuhkan budaya baca dan tulis sebagaimana yang dahulu telah dirintis dan diperjuangkan oleh para ulama dan umara pendahulu kita.

Allahu A’lam bish Shawab…


Semoga bermanfaat… 

Kamis, 12 Januari 2017

Kesuksesan Itu Bagi Mereka Yang Mau Berusaha

Kesuksesan Itu Bagi Mereka Yang Mau Berusaha
“Kesuksesan itu bukan milik mereka yang intelek, tetapi bagi mereka yang mau berusaha” (Baharudin Yusuf Habibi)

Begitulah pesan singkat yang saya temukan di status facebook milik seorang teman. Pesan singkat yang dikutip dari seorang Guru Bangsa yang pernah menjadi presiden ke-3 Republik Indonesia. Dialah Baharudin Yusuf Habibi.

Nama besar beliau sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Dialah Guru Besar bangsa yang memiliki kecerdasan intelektual yang mungkin belum ada tandingannya di negeri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi ini. Bangsa yang selalu menjadi incaran mata dunia karena keelokan, kesuburan dan kekayaan alamnya. Tak tanggung – tanggung sejarah telah mencatat bahwa negeri ini pernah mengalami penjajahan dari bangsa lain, tentunya karena keinginan mereka untuk menguasai seluruh kekayaan alam yang ada di dalamnya.

Figur Habibi tidak hanya dikenal sebagai manusia genius pembuat pesawat saja, akan tetapi beliau dikenal sebagai sosok yang sederhana, religious dan ulet. Kesederhanaan beliau tampak dari kehidupannya yang hampir – hampir jauh dari hingar bingar kehidupan dunia yang profane. Beliau lebih dikenal sebagai seorang yang sederhana, rajin dan taat dalam beribadah serta ulet dalam setiap usahanya.

Kesuksesan beliau dalam belajar sehingga menjadikan beliau sebagai intelektual yang termasyhur. Kehebatannya dalam tehnologi telah mengantarkannya sebagai menteri riset dan teknologi di era kejayaan orde baru. Tentu ini merupakan pilihan yang sangat tepat. Kegigihan dan keuletannya telah mampu membawa Indonesia menjadi Negara yang bisa membuat pesawat terbang sendiri. Meski demikian usaha dan cita – citanya yang masih berada di batas awal perjalanannya ini mesti terhenti dengan tumbangnya rezim orde baru dengan munculnya gerakan reformasi besar – besaran yang melibatkan jutaan mahasiswa dan berbagai kalangan yang menuntut lengsernya presiden Soeharto. Hal ini menyebabkan proyek Dirgantara mesti berhenti dan tinggal sebuah nama.

Terlepas dari berbagai perdebatan dan pro kontra yang muncul berkaitan dengan figur seorang Habibi, beliau adalah orang besar, Guru Bangsa, yang telah menorehkan sejarah dan jasanya di Garda depan bangsa ini.peran dan jasanya tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Mengabaikan peran dan jasanya adalah tanda kerdilnya sifat dan kepribadian bangsa ini. Meski apapun alasannya, tidak dibenarkan apabila sosok seorang Habibi dilupakan begitu saja.

Kesuksesan itu bukan milik mereka yang intelek, tetapi kesuksesan itu adalah milik mereka yang mau untuk berusaha. Pesan singkat ini menarik untuk kita renungkan dan kita analisa secara seksama. Banyak orang yang tertipu dengan kemampuan yang dimilikinya, pun pula sebaliknya banyak orang yang lantas merasa minder karena merasa kemampuan intelektual yang dimiliki tidaklah sebanding dengan apa yang dimiliki oleh temannya yang lain.

Lewat pesan ini Habibi ingin menyampaikan kepada generasi bangsa, khususnya para pemuda untuk tidak terpedaya dengan kemampuan intelektual yang dimiliki. Kecerdasan intelektual bukanlah jaminan akan kesuksesan di masa yang akan datang. Berapa banyak orang yang memiliki kekuatan intelektual yang istimewa, namun nyatanya mereka justru menjadi –maaf- babu dari orang yang kemampuan intelektualnya biasa – biasa saja.

Kesuksesan bagi Habibi hanya bisa diperoleh dengan usaha. Usaha yang sungguh – sungguh tentunya, bukan sekedar usaha sekenanya. Orang yang sukses biasanya telah melewati masa – masa tersulit dalam kehidupannya. Mereka tidak pernah menyerah dan tidak mau berpangku tangan dalam menjalani hidupnya. Apabila mereka terjatuh, mereka segera bangkit dan berbenah diri, melihat sisi – sisi kekurangan yang ada pada diri dan berusaha untuk memperbaikinya, bukan sebaliknya menyalahkan keadaan atau orang lain. Demikian halnya dengan apa yang dialami oleh Habibi. Potret miniatur kehidupannya dapat kita saksikan dalam film “Habibi Ainun”. Kisah cinta romantis antara Habibi dan istrinya Ainun. Perjuangannya yang luar biasa dalam menjalani kehidupannya ketika masih berada di Jerman. Liku – liku kehidupan susah dan senangnya hingga akhirnya dia sampai pada puncak kesuksesan.

Orang sukses selalu menanamkan semangat dalam menjalani kehidupan. Bila dia gagal dalam menjalani sebuah proses dia justru mengubahnya menjadi kekuatan yang dengannya ia bisa lebih baik. Kira – kira itulah yang ingin dipesankan oleh Habibi kepada generasi bangsa ini. Ia ingin generasi bangsa ini tidak menjadi generasi yang mudah patah semangat, tetapi sebaliknya memiliki semangat membara yang dengan semangat itu, mereka mampu mengubah wajah dunia.

Keistiqamahan dalam ikhtiar juga tersirat dalam pesan ini. Bagaimana mana mungkin seseorang akan sampai pada puncak kesuksesan manakala ia tidak istiqamah dalam menjalanii hidupnya? Sungguh itu adalah satu hal yang mustahil. Mustahil orang akan sukses apabila dalam kehidupannya dia tidak berusaha beristiqamah dalam setiap apa yang dikerjakannya.

Kesuksesan itu bukan monopoli bagi mereka yang memiliki kekayaan. Kekayaan seberapa pun besarnya, apabila tidak dimanfaatkan dan digunakan dengan baik, justru akan habis dan menenggelamkan yang punya kelembah kehinaan. Kekayaan yang tidak dikelola dengan baik boleh jadi justru berubah menjadi bencana dan malapetaka. Oleh karenanya penting untuk belajar dalam mengelola kekayaan yang ada. Kesuksesan tidak ditentukan oleh kekayaan dan harta. Mungkin ada sebagian di antara kita yang beranggapan bahwa harta dan kekayaan mempunyai pengaruh besar untuk kesuksesan seseorang. Menurut saya pendapat itu sah – sah saja. Akan tetapi menggeneralisir dengan mengatakan bahwa kesuksesan hanya milik mereka yang kaya, itu sangat tidak benar.

Fakta telah membuktikan, banyak orang sukses yang terlahir dari keluarga yang serba kekurangan, berjibaku hanya untuk mendapatkan sebutir nasi dan seteguk air demi melangsungkan kehidupan. Bertarung dengan waktu dan alam yang kejam, namun karena keberanian dan usaha kerasnya, ia sukses dalam kehidupannya.

Tampaknya, figur Nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW tepat untuk dijadikan sebagai suri teladan. Kehidupan alam yang keras yang beliau jalani telah menghantarkannya kepada puncak kesuksesan. Kehebatannya diakui oleh umat manusia baik yang pro maupun kontra dengannya. Kesuksesannya pula yang memaksa seorang ilmuan non muslim menempatkannya di urutan pertama orang yang paling berpengaruh di dunia. Satu prestasi yang ditorehkan oleh seorang yang lahir dalam keadaan yatim, di tinggal wafat ibunya diusianya yang ke 6 tahun, bertarung dengan kerasnya alam, menjadi penggembla kambing dan ikut dalam perjalanan dagang. Semua kesulitan dalam hidupnya di hadapi dengan jiwa besar. Keuletan beliau dalam berjuang meski mendapat penentangan, terror bahkan penyerangan kaum kafir Arab kala itu,justru berbuah manis dengan penempatan posisi beliau yang tidak akan pernah tertandingi.

Begitulah teladan orang sukses. Orang sukses tidak akan pernah menyerah dalam hidupnya. Ia akan terus dan terus belajar dari setiap sisi kehidupan. Apabila ada kekurangan yang dia dapati, maka dia akan berusaha untuk memperbaiki. Sebaliknya bila ia menemukan sesuatu yang baik, dia akan mengambil pelajaran dan berusaha untuk menjadikannya lebih baik lagi.

Pertanyaannya apa yang ingin kita dapatkan dari kehidupan ini? Apakah kita ingin sukses sebagaimana sukses yang di dapatkan oleh Nabi? Atau kita hanya ingin menjalani hidup sekedarnya saja? Semua terserah dan tergantung pada pribadi kita masing – masing. Bila kita ingin sukses, maka rubahlah pandangan hidup anda sebagaimana pandangan orang – orang yang sukses dalam menjalani kehidupan. Tataplah masa depan anda dengan penuh keyakinan. Jadikan setiap peluang menjadi kenyataan, jangan mudah menyerah apalagi berputus asa. Rubahlah setiap kritikan, kesalahan yang ada dalam kehidupan kita sebagai satu pelajaran, menjadikannya sebagai kekuatan yang akan merubah diri kita menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Istiqamahlah dalam menjalani kehidupan, berusahalah untuk terus berjalan, jangan pernah berhenti sebelum sampai pada tujuan yang diinginkan.

Allahu A’lam bish Shawab…

Semoga bermanfaat…



Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله Ø£َÙƒْبَرُ (×Ù£) اُلله Ø£َÙƒْبَرُ (×Ù£) اُلله اَكبَرُ (×Ù£) اُلله Ø£َÙƒْبَرُ ÙƒُÙ„َّÙ…َا...