Selasa, 17 Januari 2017

Manisnya Iman




حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ (رواه البخاري)

(BUKHARI - 15) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi berkata, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman: Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka"  (H.R. Bukhari)

Hadits di atas menjelaskan bahwa apabila dalam diri seseorang terdapat tiga ciri sebagaimana yang terdapat dalam hadits riwayat Bukhari, maka itu adalah tanda bahwa ia telah merasakan manisnya iman. Tiga ciri tersebut adalah Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya, mencintai seseorang semata – mata karena Allah, membenci kepada kekufuran sebagaimana dia benci apabila dilempar ke neraka.

Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya. Ciri pertama ini adalah kata kuncinya. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi yang lain. Dalam kehidupan sehari – hari kita seringkali dihadapkan dengan berbagai persoalan yang menuntut kita untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan kita. Tidak jarang apa yang kita inginkan itu ternyata bersinggungan dengan sesuatu yang dimakruhkan atau bahkan dibenci oleh Allah SWT. Seringkali juga akhirnya kondisi semacam ini menuntut kita untuk memeilih sesuatu yang kita inginkan daripada kita menurut perintah Allah. Nah, disinilah akan tampak kualitas kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Apakah cinta kita kepada Allah akan mengalahkan cinta kita kepada selain-Nya atau justru sebaliknya, cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya kalah dengan cinta kita kepada selain Allah dan Rasul-Nya.

Cinta tentu membutuhkan pengorbanan. Orang yang mengatakan jatuh cinta tetapi ia tidak pernah mau berkorban untuk yang dicintainya, itu berarti cintanya perlu dipertanyakan. Demikian halnya dengan orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya menuntut untuk berani berkorban demi Allah dan Rasul-Nya dalam bentuk apapun, bahkan dengan taruhan nyawa sekalipun.

Pada kenyataannya banyak umat Islam yang mengaku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya akan tetapi dalam kehidupan kesehariannya mereka masih jauh dari cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini menunjukkan kualitas dan derajat kecintaan mereka yang masih jauh dari harapan Allah dan Rasul-Nya. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya akan tercermin dalam perilaku keseharian yang berupa aplikasi ketaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Mencintai seseorang hanya karena Allah. Cinta yang di dasarkan semata – mata karena Allah akan menjadikan kita sebagai pribadi yang tidak akan mudah berbangga disaat jaya dan berputus asa di saat tertimpa bencana. Kita akan senantiasa sadar bahwa segala hal yang ada di dunia sebenarnya hanyalah sebatas titipan yang diberikan Allah kepada kita agar digunakan sesuai dengan keinginan-Nya.

Kecintaan kita kepada selain Allah harus di dasari karena melaksanakan perintah Allah bukan yang lain. Kecintaan karena Allah akan menjadikan cinta itu sebgai sesuatu yang suci dan indah. Cinta karena Allah adalah wujud dari kesempurnaan iman. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال : من أعطى لله ومنع لله وأحب لله وأبغض لله فقد استكمل ايمانه

Artinya: Dari Rasulullah SAW sesungguhnya ia bersabda: “Barangsiapa memberi karena Allah, tidak memberi karena Allah,  cinta karena Allah, benci karena Allah, maka sungguh imannya telah sempurna.”

Hadits di atas menjadi penguat akan kesempurnaan iman seseorang manakala ia telah mampu memberi karena Allah, tidak memberi juga karena Allah, mencintai karena Allah, benci karena Allah. Dalam kehidupan ini segala sesuatu yang kita lakukan apabila diniati semata – mata karena Allah akan terasa indah dan nikmat. Berbeda bila apa yang kita lakukan hanya sebatas dorongan dari nafsu dan keinginan kita semata. Setiap hal yang kita kerjakan semata karena dorongan nafsu akan berakhir dengan ketidakpuasan belaka. Nafsu apabila kita turuti maka akan terus bertambah dan bertambah. Akibatnya rasa syukur akan hilang dari dalam diri kita. Oleh karenanya menata niatan dalam hati hanya semata karena Allah menjadi penting agar nilai dari apa yang kita perbuat semakin bermakna dalam kehidupan ini. 

Benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api neraka. Setiap orang tentu pernah melakukan kesalahan semasa hidupnya. Tidak ada manusia yang sempurna tanpa melakukan kesalahan meski hanya sekali. Keterjerumusan seseorang kepada kesalahan adalah tanda ketiadaan imannya saat melakukan kesalahan itu. Seseorang tidak akan terjerumus dalam kesalahan apabila dalam hatinya masih terdapat keimanan.

Kebencian untuk kembali kepada kekufuran akan mendorong seseorang untuk berbuat baik yang bisa menjauhkannya dari kekufuran. Ia akan berusaha untuk memperbaiki diri dalam setiap perbuatannya. 

Demikian kunci agar kita bisa merasakan manisnya iman. Ketiga ciri ini apabila terdapat dalam diri kita maka hidup akan terasa indah, hidup akan lebih bermakna dan setiap yang kita perbuat akan menjadi hal yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Semoga kita bisa merasakan manisnya iman. 

Semoga bermanfaat…

Wallahu a’lam bish shawab…



Sabtu, 14 Januari 2017

Imam al-Ghazali



Imam al-Ghazali
(Pegiat Literasi Kaum Santri)

Nama besar Imam al-Ghazali tentunya tidak asing lagi bagi umat Islam, khusunya kaum santri. Dalam dunia kaum santri al-Ghazali adalah ikon keshalehan dan ke –aliman- hakiki. Namanya begitu harum ditengah – tengah kaum santri seolah dialah sosok ilmuan yang pesonanya tiada duanya.

Kekaguman dan keta’juban kaum santri pesantren pada figure seorang al-Ghazali adalah satu kewajaran. Bagaimana tidak pemikiran – pemikirannya yang luar biasa telah tertanam dalam jiwa kaum santri. Kitab – kitab yang merupakan buah karyanya dikaji di hampir seluruh pesantren. Bagi kaum santri meski jasad al-Ghazali telah dimakamkan ratusan tahun silam, tetapi ia tetap hidup dalam sanubari santri.

Imam al-Ghazali memiliki nama asli Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Beliau hidup antara tahun 450 – 555 H/1058 – 111 M. Ia lahir di desa Ghazaleh, dekat Thus. Ia belajar di Thus, Jurjan dan Nisyapur. Di usianya yang masih kecil orang tuanya meninggal sehingga dititipkan sahabat ayahnya yang seorang sufi.

Perjalanan intelektual al-Ghazali sangat menarik untuk diteladani. Meskipun ia masyhur sebagai ulama sufi di akhir masa kehidupannya, ternyata al-Ghazali juga mempunyai sejarah perjalanan intelektual dalam bidang yang lain. Meski ia dikenal sebagai orang yang memelopori kritik terhadap para filosof, namun bukan berabrti al-Ghazali tidak pernah belajar filsafat. 

Saat beliau menjadi pemimpin dan guru besar di Universitas al-Nidzamiyah di Baghdad, beliau berjuang keras mempelajari filsafat dan menunjukkan keahliannya dalambidang tersebut. Al-Ghazali kerap kali memberikan seminar dan ceramah – ceramah di berbagai majlis ilmu. Kepiawaiannya dalam berdebat dan mempertahankan pendapat telah mengantarkannya menjadi ulama pesohor yang mendapat gelar hujjatul Islam (argumentator Islam). Konon siapapun yang berdebat dan berdiskusi dengan al-Ghazali akan kagum kepadanya dan akan mengakui kehebatan dan keunggulannya. Ketekunan dan kesungguhan al-Ghazali dalam mempelajri ilmu filsafat berbuah pada kepiawaiannya dalam bidang ilmu dengan dengan melahirkan kitab Maqasid Al-Falasifah dan kekritisan pemikirannya telah mendorongnya untuk melakukan kritik terhadap pemikiran para filosof yang dituangkannya dalam kitab Tahafut al-Falasifah.

Dalam kitab Maqasid al-Falasifah, al-Ghazali berupaya dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya untuk mengulas pemikiran – pemikiran filsafat. Ia mendudukkan filsafat sebagaimana mestinya. Menunjukkan kepada mereka tujuan – tujuan dalam berfilsafat. Karya ini merupakan buah dari kerja kerasnya dalam mempelajari filsafat.

Namun, pasca ia mendudukkan filsafat, mempelajari dengan teliti pemikiran – pemikiran filosof, al-Ghazali mengendus adanya beberapa pemikiran yang menurutnya kurang tepat dan lemah argumennya. Puncaknya beliau menulis sebuah buku yang merupakan kritik kerasnya terhadap pemikiran para filosof. Pemikiran itu secara keseluruhan berjumlah 20, yaitu:
1.      Alam itu azali
2.      Alam itu abadi
3.      Allah adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan-Nya
4.      Menetapkan adanya pencipta
5.      Membangun argumen untuk menunjukkan kemustahilan adanya dua Tuhan
6.      Menafikan sifat – sifat Tuhan
7.      Substansi al-Awwal (Tuhan) bukan jenis (genus) dan bukan pula diferensia
8.      Al-Awwal (Tuhan) bukan tubuh
9.      Al-Awwal (Tuhan) merupakan wujud sederhana tanpa esensi
10.  Adanya masa dan meniadakan pencipta
11.  Al-Awwal (Tuhan) mengetahui selain diri-Nya
12.  Tuhan mengetahui substansi-Nya
13.  Tuhan tidak mengetahui hal – hal yang particular (juz’iyat)
14.  Langit adalah hewan yang bergerak dengan kehendak
15.  Tujuan Tuhan memperjalankan langit
16.  Jiwa – jiwa langit mengetahui semua juz’iyyat
17.  Menyatakan kemustahilan terjadinya peristiwa luar biasa
18.  Jiwa manusia adalah substansi yang terdiri dari dirinya sendiri, bukan dengan tubuh atau aksiden
19.  Keabadian jiwa manusia adalah mustahil
20.  Kebangkitan tubuh manusia untuk merasakan kesenangan jasmani di surga dan kepedihan di neraka juga mustahil

Dengan mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang dimilikinya, al-Ghazali menolak pendapat nomor 1, 2, 6, 7, 8, 13, 14, 16, 17, dan 20. Memandang lemah argumentasi pendapat nomor 4, 5, 9, 11, 12, 15, 18, dan 19. Ia menyatakan bahwa seharusnya para filsuf mengubah pendapat nomer 3 menjadi nomor 10.

Pada sesi akhir buku tahafut yang ditulisnya al-Ghazali mengkafirkan paham nomor 1, 13, dan 20. Ini berarti siapapun yang berpegang dan mengikuti salah satu madzhab di atas telah jatuh ke dalam kekafiran menurut versi al-Ghazali. Pendapat al-Ghazali ini memberikan dampak yang luas bagi umat Islam. Pendapat ini juga yang diklaim oleh sebagian ilmuan yang menyebabkan kejumudan dan kemandekan umat Islam dalam tradisi berfikir dan berfilsafat. Kendati demikian melimpahkan kesalahan ke pundak al-Ghazali bukanlah pendapat yang bisa dibenarkan, karena ia tidak pernah menginginkan kemandekan berfikir bagi umat Islam.

Di tengah puncak kegairahan intelektualnya al-Ghazali sempat mengalami kehilangan nafsu makan dan tidak bisa berbicara. Keadaan berlangsung berkisar antara enam bulan. Setelah berhasil keluar dari situasi krisis ini, al-Ghazali mengalami konflik bathin yang luar biasa dalam dirinya. Pada akhirnya al-Ghazali memutuskan untuk keluar dari Baghdad dan menjalani kehidupan tasawuf selama kurang lebih sepuluh tahun di Damaskus, Jerussalem, Mekah, Madinah, dan Thus. Setelah mengajar lagi di Nisyapur, ia kembali ke Thus dan mendirikan Khanqah (pusat latihan bagi calon sufi).

Akhir kehidupan al-Ghazali digunakan untuk terus munajat dan bermujahadah sehingga mendapatkan pencerahan dengan tersingkapnya mata hati. Para ulama sepakat bahwa al-Ghazali adalah mujaddid pada zamannya. Sumbangsihnya dalam menyatukan umat Islam yang kala itu saling bermusuhan karena perselisihan pendapat begitu besar. Ia berusaha mendamaikan antara madzhab dhahiri dan bathini yang saling bertentangan.

Yang menarik dan perlu mendapat perhatian adalah keproduktifan al-Ghazali dalam menulis karyanya. Meski usianya tidak seberapa panjang, karena ia meninggal di usianya yang masih sekitar 53 tahun, al-Ghazali telah meninggalkan banyak karya. Tercatat buku yang ditulisnya mencapai lebih dari 28 buah. Karya monumentalnya yang paling popular adalah ihya’ ulum al-din yang lahir setelah beliau menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Menariknya di sini, meski image yang muncul saat ini, kaum sufi adalah kaum yang kuno, desit, tidak perduli pada kehidupan sosial, hanya mementingkan ibadah semata kepada Allah, ternyata justru al-Ghazali sebagai figure central kaum sufi pesantren menunjukkan akan kepeduliannya dalam kehidupan sosial dan juga dalam lapangan ilmu dan pendidikan.

Apa yang di tunjukkan al-Ghazali sebagai seorang santri sufi yang produktif dalam menggerakkan budaya literasi seharusnya menjadi contoh teladan yang harus diikuti oleh setiap generasi muslim. Keterbatasan kehidupan umat Islam dan manusia kala itu tentu sudah menjadi rahasia umum. Bisa kita bayangkan bagaimana al-Ghazali menulis satu bukuu ihya’ ulum al-din misalnya, yang memiliki ketebalan luar biasa dan terdiri dari empat jilid. Tentu karya semacam ini adalah karya yang sangat luar biasa bila dibandingkan dengan era saat ini yang cenderung dimanjakan oleh iptek dan teknologi. Penulisan al-Ghazali terhadap buku karya – karyanya ini adalah upaya yang harus dilestarikan oleh umat Islam, terlebih dunia santri di pesantren. Pesantren tidak semestinya hanya mencetak generasi yang pandai dalam berkhotbah dan berpidato, akan tetapi harus mencontoh dan meneladani apa yang telah dicontohkan oleh para pendahulunya dalam menelurkan berbagai karya yang kelak bisa dijadikan sebagai jariyah dan sumbangsih mereka untuk kemajuan peradaban.

Berkaca dari al-Ghazali, bahwa menjalani kehidupan tasawuf tidak lantas menyebabkan seseorang melarikan diri dari dunia yang profan. Tasawuf tidak identik dengan kehidupan dalam pengasingan dan uzlah saja. Tetapi tasawuf adalah motor penggerak dalam perubahan zaman. Tasawuf adalah ruh yang selalu harus ada di setiap sendi kehidupan. Tasawuf adalah spirit dalam berkarya dan beribadah. Itulah yang ditunjukkan al-Ghazali, seorang santri pegiat literasi, dan sufi yang peduli akan budaya literasi.

Semoga bermanfaat…

Allahu A’lam bish Shawab…


Jumat, 13 Januari 2017

Nikmat

Nikmat
(Seri Pengajian Rutin Jum’at Pon bersama K.H. Syaikhudin)

Ah… benar saja apa yang dikatakan Ustadz Ngainun Naim, semakin kita sibuk, sebenarnya semakin banyak hal yang bisa kita tulis. Itulah kenyataanya, semakin sering kita menulis semakin banyak ide bertebaran untuk ditulis. Semakin sibuk aktifitas yang kita jalankan semakin banyak modal kita untuk menulis. Kuncinya hanya satu aksi, bukan lagi teori, begitulah mungkin.

Catatan ini adalah refleksi dari aktifitas rutin yang akuu lakukan setiap malam Jum’at Pon. Kebetulan di desaku setiap malam jum’at pon semua jam’iyyah di lingkungan diliburkan. Sebagai gantinya semuanya mengikuti pengajian rutin di Masjid Jami’. Kegiatan ini sudah menjadi kesepakatan masyarakat yang langsung di instruksikan oleh kepala desa. Sejak kapan kegiatan ini dimulai? Saya sudah lupa kapan tepatnya. Yang jelas semenjak aku duduk di madrasah aliyah kegiatan ini sudah berjalan dan Alhamdulillah masih istiqamah sampai hari ini meski jumlah yang hadir semakin surut. Tetapi tetap harus di syukuri.

Malam ini tema yang menjadi topik pembahasan adalah nikmat. K.H. Syaikhudin memulai pembahasan dengan menyampaikan ta’rif atau definisi dari nikmat. Menurut beliau nikmat adalah

هي التي تتلذذ وتحسن العقبى
“Nikmat adalah segala hal yang dianggap lezat dan baik akhirnya”

Dalam menjelaskan hal ini beliau memberikan analogi antara kopi dan wiski. Kopi adalah minuman yang lezat dan tidak dilarang oleh Allah, oleh karenanya ia minum kopi adalah satu kenikmatan karena akhir dari minum kopi adalah kelezatan yang tidak dilarang oleh syari’at agama. Sebaliknya wiski, minuman keras atau yang sejenisnya, saat mengkonsumsinya seseorang akan merasakan kelezatan pula akan tetapi wiski adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah. Akhir dari konsumsinya juga buruk bagi kesehatan. Oleh karenanya mengkonsumsinya adalah sesuatu yang menjadi larangan agama dan termasuk ke dalam maksiat.

Nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia tak terhitung jumlahnya. Andaikan manusia mau untuk menghitungnya niscaya manusia tidak akan sanggup untuk menghitung. Padahal semua nikmat itu wajib disyukuri, apabila tidak, maka adzab Allahlah yang akan diterima. Lantas bagaimana kita bersyukur sementara menghitung nikmat Allah saja kita tidak bisa? Bagaimana mau mensyukuri semua nikmat itu?

Dalam hal ini K.H. Syaikhudin menerangkan bahwa semua nikmat Allah itu bisa dikategorikan menjadi empat:
1.      Nikmat dunia
2.      Nikmat sehat tubuh
3.      Nikmat sehat akal
4.      Nikmat hati
Menurut beliau empat nikmat ini menunjukkan tingkatan nikmat. Nikmat yang paling rendah adalah nikmat dunia, diatasnya nikmat sehat tubuh, diatasnya lagi nikmat sehat akal, dan puncaknya adalah nikmat hati.

Nikmat dunia tergolong nikmat yang paling rendah di antara nikmat yang lain. Dunia seringkali datang tak diundang, pergi tanpa pamit. Nikmat dunia seringkali bila dikejar akan lari menjauh tetapi bila ditinggalkan justru mengejar. Demikianlah gambarannya menurut beliau. Sebanyak apapun harta yang kita miliki semuanya tidak kekal, semuanya bisa datang dengan tiba – tiba tanpa kita sangka, pun pula bisa hilang seketika tanpa bisa kita hindari. Oleh karenanya sifat kebahagiaan dunia hanyalah sementara dan fana’, tidak bisa menjadi sesuatu yang dibangga - banggakan.

Berikutnya adalah nikmat sehat tubuh. Nikmat ini setingkat lebih tinggi bila dibandingkan dengan nikmat yang sebelumnya. Bila nikmat harta kita berlimpah, tetapi tubuh kita tidak sehat, maka semua itu tidak ada artinya. Beliau mencontohkan lebih enak naik ‘ledok’ tapi badan sehat daripada naik mobil ambulance baru dengan tubuh yang sakit. Banyak orang lebih memilih tinggal di gubuk rumahnya dengan tubuh yang sehat daripada tinggal di bangunan megah rumah sakit karena sakit. Itulah gambaran nikmat sehat tubuh. Kesehatan tubuh mahal harganya bila dibandingkan dengan dunia beserta isinya. Buktinya, ketika sedang sakit, berapapun harta kita yang telah lama kita simpan rela kita keluarkan bahkan sampai ludes sekalipun untuk membayar biaya obat demi mendapatkan sehat tubuh. Karena itulah nikmat sehat tubuh jauh lebih penting bila dibandingkan dengan nikmat harta dunia.

Setingkat di atas nikmat sehat tubuh adalah nikmat sehat akal. Nikmat dunia, nikmat sehat tubuh yang tidak diikuti oleh sehat akal tidak aka nada gunanya. Seorang wanita tentu akan lebih memilih untuk menikah dengan seorang yang hidupnya biasa, tidak seberapa kaya harta ataupun rupa, bila dibandingkan dengan menikahi seorang yang kaya, rupawan namun akalnya tidak sempurna. Hal ini menjadi bukti akan pentingnya nikmat akal yang dimiliki seseorang. Beliau menambahkan seorang yang diberikan nikmat sehat akal, dan Allah memberikan karunia kecerdasan dan ilmu pengetahuan kepadanya, dimanapun tempat dia berada, maka ia akan memberikan manfaat kepada sesamanya. Dimanapun dia berada, maka Allah akan memuliakannya meski fisiknya tidak/kurang sempurna, tidak punya harta, tetapi kekayaan akalnya dalam hal ilmu dan pengetahuan akan menjadikan dia sebagai seorang yang terhormat dan mulia. Terhormat di hadapan Allah dan Rasul-Nya. Menurut beliau setiap nabi selalu diberikan sifat fathonah yang menunjukkan kesempurnaan akal. Tidak setiap nabi memiliki harta, tidak semua nabi fisiknya kuat,  tetapi setiap nabi pasti memiliki kecerdasan yang dengan kecerdasan itu ia mampu untuk memimpin umat. Beliau mencontohkan seorang ulama besar dari Tulungagung yang memiliki keterbatasan, K.H. Khabir  -kalau tidak salah- dari pondok pesantren Menara Mangunsari. Meski beliau memiliki keterbatasan secara fisik –maaf tidak bisa melihat- tetapi Allah menganugerahkan ilmu pengetahuan yang berlimpah kepadanya. Itulah sebabnya saat beliau menunaikan haji bersama K.H. Khabir, banyak para ulama Jawa Timur yang mencari dan sowan kepada beliau untuk tafa’ulan dan tabarukan. Hal ini tentunya adalah satu anugerah Allah yang diberikan kepada beliau lantaran nikmat akal yang sempurna yang diberikan kepada beliau. Makanya nikmat akal lebih tinggi nilainya bil adibanding dengan nikmat yang lain selain nikmat hati.

Puncak dari semua nikmat adlaah nikmat hati. Seperti apapun banyaknya dunia yang kita kumpulkan, kesehatan tubuh yang kita miliki, akal sempurna yang kita punya, akan tetapi bila tidak didukung dengan nikmat hati semua itu hanya akan sia – sia belaka. Hati adalah tempat dimana iman itu tumbuh. Iman akan tumbuh dengan subur manakala dua saratnya terpenuhi. Ibarat kita menanam diladang apabila dua sarat itu terpenuhi maka tanaman yang akan kita tanam akan tumbuh subur dan buahnya lebat seperti yang kita harapkan. Sarat pertama saat kita menanam adalah tanahnya subur dan kedua adalah tanahnya gembur. Tanah yang subur apabila tidak gembur maka tanaman tidak akan mampu menyerap makanan dari dalam tanah. Sebaliknya tanah gembur tetapi tidak subur, apa yang hendak dimakan.

Berkaitan dengan tanaman iman dalam hati beliau mengatakan bahwa sarat yang harus terpenuhi dalam menyuburkan dan memperkuat iman adalah ibadah dan nasihat. Ibadah ibarat tanah yang subur. Hati kita harus senantiasa kita siram dengan ibadah – ibdah terutama adalah ibadah mahdlah dengan istiqamah disamping ibadah yang lain. Keistiqamahan dalam ibadah menjadi penting untuk memupuk keimanan. Beliau menyitir qaul ulama:
خيرالعمل مادام وإن قل
“Sebaik – baik amal adalah yang berkelanjutan meskipun sedikit”

Amal sedikit yang dijalankan dengan istiqamah akan membawa dampak besar bagi tumbuhnya iman dalam hati manusia. Sebaliknya amal yang banyak tetapi tidak istiqamah, sedikit sekali manfaatnya. Oleh karenanya istiqamah menjadi sesuatu yang penting untuk selalu dijaga dan dipertahankan.

Selanjutnya nasihat. Nasihat penting didapatkan. Dengan mendengarkan berbagai nasihat maka hati kita akan semakin mudah untuk mengingat Allah SWT. dengan nasihat semakin mudah dan ringan untuk menjalankan setiap ibdah yang diperintahkan oleh Allah. Oleh karena itu sudah sepatutnya seorang muslim untuk selalu berusaha mendapatkan nasihat.

Iman itu suatu saat bisa bertambah, tetapi suatu saat juga bisa berkurang. Maka untuk mempertahankan semua itu, rajin – rajinlah untuk mendengarkan nasihat (Tutur beliau). Ingat yang bisa membawa kita sampai kepada surge Allah hanyalah iman yang terdapat dalam hati kita.

Semoga bermanfaat…

Wallahu A’lam bish Shawab…




Masjid Sebagai Pusat Syi'ar Islam

 Masjid Sebagai Pusat Syi'ar Islam Hadirin Jama’ah jum’ah yang dimuliakan Allah, Mengawali khuthbah jum’at kali ini, khatib mengajak d...