Selasa, 21 Februari 2017

Amal Paling Utama



Amal Paling Utama
Suatu hari Rasulullah SAW ditanya oleh sahabat tentang amal yang paling utama. Pertanyaan sahabat itu terdapat dalam sebuah hadits yang ditakhrij oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah RA:
حديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل: أي العمل أفضل؟ فقال: إيمان بالله ورسوله، قيل ثم ماذا؟ قال: الجهاد فى سبيل الله، قيل ثم ماذا؟ قال: حج مبرور. أخرجه البخاري
Artinya: “Hadits Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah SAW.ditanya: “Amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Ditanyakan (kepada beliau): “Kemudian apa?”. Beliau menjawab : “Berjuang pada jalan Allah”. Ditanyakan lagi (kepada beliau): “Kemudian apa?”. Beliau menjawab: “Haji yang mabrur”. (Ditakhrij oleh al-Bukhari)
Hadits diatas menjelaskan tentang amal yang paling utama dari seorang hamba. Saat ditanya tentang amal yang paling utama dihadapan Allah, Rasulullah SAW menjawab bahwa amal yang paling utama adalh Iman kepada Allah dan Rasulullah SAW.  Setelah itu berjuang dijalan Allah dan Haji yang mabrur.
Iman kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi amal yang paling utama dibandingkan dengan amal yang lain oleh karena keimanan ini menjadi pondasi dari semua amal yang lain. Amal yang tidak didasari iman kepada Allah dan Rasul-Nya niscaya akan menjadi amal yang sia – sia belaka dan tidak berguna. Ibarat orang berdagang maka dagangannya justru menuai rugi bukannya untung.
Pada hadits diatas kata iman kepada Allah dirangkai dalam bentuk jar majrur berupa ba’ dan Allah. Dalam kajian ilmu nahwu ba’ adalah huruf jar yang memiliki arti ‘ilshaq’, artinya perjumpaan. Jual beli kontan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ‘yadan biyadin’. Artinya dalam jual beli semacam ini dilakukan secara kontan. Begitu ada uang maka ada barang.
Kaitannya dengan penggunaan huruf jar pada lafadz Allah yang terdapat pada rangkaian kalimat pada hadits diatas maka hal itu menunjukkan tingkatan keimanan. Iman yang dianggap sebagai amal paling utama, bukan hanya sekedar iman bi al-lisan yang terucap melalui lisan saja. Akan tetapi lebih dari itu iman yang dimaksudkan sebagai amal yang paling utama disini adalah iman billah yang dalam kajian ilmu tasawuf dikenal juga dengan nama iman musyahadah.
Iman musyahadah diartikan sebagai iman yang sudah menancap dalam hati hingga pemiliknya mampu merasakan kehadiran Allah dalam setiap detik dalam kehidupannya. Seolah – olah orang yang berada pada maqam ini selalu melihat –musyahadah- Allah dalam setiap saat. Inilah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam menerangkan ihsan saat Malaikat Jibril A.S. menemuinya ditengah – tengah para sahabat untuk mengajarkan tentang iman, islam dan ihsan.
Saat ditanya tentang ihsan Rasulullah SAW menjawab: “Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah – olah engkau melihat-Nya, andai engkau tidak dapat melihat-Nya maka –sadarlah- sesungguh-Nya Ia melihatmu.” Ini adalah gambaran iman yang telah mengakar dalam hati seseorang sehingga dalam setiap detik dalam kehidupannya iman selalu menjadi ruh yang menjadikan semua amal dan perbuatannya hidup.
Lebih dalam lagi gambaran iman musyahadah ini terdapat dalam sebuah hadits Qudsi: “Dan tiadalah seorang hamba yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah sunnah hingga Akuu mencintainya dan dia mencintai-Ku, maka jadilah Aku penglihatannya yang dengan penglihatan itu dia melihat, jadilah Aku pendengarannya yang dengan pendengaran itu ia mendengar, dan jadilah Aku tangannya yang dengan tangan itu ia memegang.” Artinya bagi seseorang yang telah sampai pada maqam iman billah/musyahadah ini maka ia selalu merasakan bahwa setiap ‘obah museknya’, seluruh gerak – geriknya semua terjadi karena semata fadlal dan rahmat Allah SWT. Tanpa rahmad dan kasih sayang Allah, tanpa digerakkan Allah maka ia tidak mampu melakukan apa – apa. Ibarat wayang yang diobahne ‘Dalang’. Geraknya wayang karena digerakkan  dalang, tidurnya wayang ya karena ditidurkan dalang, makannya karena dimakankan dalang, bicaranya karena dibicarakan oleh dalang begitu seterusnya. Jadi manusia tidak bisa melakukan apapun yang mampu melakukan hanyalah Allah  semata. Inilah yang dimaksud dengan iman billah/musyahadah.
Dasar dari iman musyahadah ini sebenarnya terdapat pada al-Qur’an: “Dan Allahlah yang menciptakanmu dan menciptakan apa yang akan kamu kerjakan.” Menurut para ulama sufi khususnya ini adalah dasar dari iman billah/musyahadah. Siapapun orang yang mencapai maqam seperti ini maka amalnya akan betul – betul murni sehingga menjadi amal yang dianggap paling utama sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
Namun yang perlu kita cermati disini adalah penggunaan kata warasulihi yang terangkai dalam susunan ‘athaf dengan huruf athaf wawu. Dalam tradisi ilmu nahwu faidah dari huruf athaf  wawu” adalah untuk menunjukkan arti limutlaqi al-jam’i, artinya mutlak harus bersamaan. Dengan demikian maka bisa dipahami bahwa iman billah/musyahadah saja tidak cukup harus ada iman bi al-rasul. Menurut para ulama sufi khususnya, iman bi al-rasul artinya sadar sesadar – sadarnya bahwa kita bisa merasakan dan mendapatkan nikmat semacam ini karena jasa Rasulullah SAW. Tanpa jasa Rasulullah SAW maka kita tidak akan terwujud didunia ini bahkan dunia beserta isinya tidak akan terwujud tanpa ada jasa Rasulullah SAW.
Adapun yang menjadi dasar dari para ulama menganai hal ini adalah hadits Qudsi, “Andai tanpa engkau Muhammad maka aku tidak akan menciptakan cakrawala”. Oleh karena itulah maka setiap manusia harus merasa berhutang budi kepada Rasulullah SAW. Iman bi al-Rasul harus bersamaan dengan iman billah/musyahadah agar bisa menjadikan setiap apa yang kita kerjakan sebagai sesuatu yang paling utama dihadapan Allah SWT. Antara iman billah dan bi al-rasul harus bersamaan sama halnya dengan syahadatain. Syahadat tauhid dan syahadat rasul harus bersamaan tidak sah syahadat seseorang yang hanya syahadat tauhid tanpa syahadat rasul begitu pula sebaliknya. Maka antara keduanya harus seiring dan sejalan bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Iman bi al-rasul akan menjadi jiwa kita manakala kita sudah benar – benar ikut ‘nderek’ kepada Rasulullah SAW dengan sungguh – sungguh. Tanpa ikut/manut pada Rasulullah dengan sungguh – sungguh maka mustahil kita bisa mendapatkan iman bi al-rasul yang benar. Dalam suatu riwayat al-Syaikh Imam al-Syadzili pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW.  Dalam mimpinya itu Imam al-Syadzili menanyakan hal ‘hakikat nderek’ kepada Rasulullah SAW yang sesungguhnya, “Wahai Rasulullah, apakah hakikat ikut penjengengan yang sejati?, Rasulullah SAW bersabda: “Hakikat ikut yang sejati adalah melihat yang diikuti ada didekat segala sesuatu, bersama segala sesuatu dan pada segala sesuatu.”
 
Makna dalam riwayat ini menggambarkan bagaimana iman bi al-rasul dalam arti yang sesungguhnya. Iman bi al-rasul juga menuntut adanya kesadaran sebagaimana yang terdapat dalam iman musyahadah. Iman bi al-rasul menuntut adanya kesadaran yang terwujud dalam rasa bahwa aslu al-khilqah untuk semua makhluk di dunia ini adalah Rasulullah SAW. Diakui maupun tidak asal kejadian dari seluruh makhluk di dunia ini adalah nur Muhammad SAW. Oleh karena itu amal yang paling utama dihadapan Allah SWT tidak lain hanyalah iman billah/musyahadah dan iman bi al-rasul.
Setingkat dibawah iman billah dan bi al-rasul ini adalah jihad fi sabilillah, berjuang dijalan Allah. Berjuang dijalan Allah termasuk amal yang utama. Perjuangan sudah barang tentu membutuhkan pengorbanan yang besar. Tidak hanya berupa harta benda, waktu dan kesempatan, lebih dari itu jihad fi sabilillah juga menuntut kerelaan kita untuk mengorbankan jiwa dan raga demi tegaknya kalimah Allah di bumi.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa makna jihad tidak selalu diartikan dengan peperangan menumpahkan darah orang kafir. Perjuangan semacam ini mungkin dahulu memang diperlukan bahkan umat islam dituntut untuk andil di dalamnya. Dalam konteks saat ini tentu harus dipahami secara berbeda meski terkadang mungkin hal itu dalam kondisi tertentu juga diperlukan. Saat ini konteks jihad bisa diartikan dengan dakwah untuk mengajak umat semakin sadar kepada Allah SWT. Tidak melulu mengurusi masalah dunia yang fana belaka tetapi bagaimana menyadarkan umat sehingga dalam kegiatan mereka yang bersifat duniawi juga terdapat unsur ubudiyah kepada Allah SWT.
Jihad fi sabilillah juga bisa dilakukan dengan cara memerangi kebodohan yang masih banyak tersebar dinegeri ini. Bisa juga dengan mengentaskan kemiskinan, memberdayakan potensi yang ada disetiap lini kehidupan manusia sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan semakin makmurnya kehidupan masyarakat, semakin meningkat kesejahteraannya maka diharapkan semakin besar rasa syukur mereka kepada Allah SWT.
Amal berikutnya yang utama adalah haji mabrur. Diterangkan dalam suatu hadits bahwa haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga. Untuk menunaikan ibadah haji mungkin adalah hal yang sulit, terutama saat – saat sekarang ini. Sekarang untuk bisa berangkat haji orang harus bersabar bertahun – tahun menunggu antrian. Semakin lama mungkin antrian itu semakin panjang. Oleh karenanya dibutuhkan kesabaran dalam menunggu gilirannya.
Meski proses untuk berangkat sulit namun masih ada yang lebih sulit yaitu meraih gelar haji mabrur. Haji mabrur hanya Allahlah yang tahu. Oleh karenya sebelum keberangkatan perlu persiapan bathin yang sebaik – baiknya agar bisa meraih hajii yang mabrur. Sebagaimana janji Allah, haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Minggu, 19 Februari 2017

Tetaplah Menjadi Dirimu

Tetaplah Menjadi Dirimu
“Jangan menjelaskan dirimu kepada siapapun karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu” (Ali bin Abi Thalib)

Minggu ceria yang indah bersamaan dengan mentari yang cerah bersinar mengiringi pagiku di rumah mertua. Ya semenjak kemarin sore aku sudah berada dirumah mertua untuk silaturahmi dan sungkem, memohon do’a restu dan ridlanya agar dalam menjalani kehidupan berumah tangga dan kehidupan sebagai manusia seperti halnya yang lain bisa lancar dan barakah tentunya. Saya yakin ridla kedua orang tua adalah kunci ridla Allah SWT dan Rasulullah SAW. Setidaknya itulah yang diwanti – wanti oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya, “Ridla Allah tergantung pada ridla kedua orang tua dan murka Allah tergantung pada murka keduanya.”

Iseng – iseng untuk mengisi kekosongan waktu aku meminjam laptop untuk sekedar menorehkan sebaris dua baris kata dalam tulisan yang nantinya akan aku publish lewat blog pribadiku. Meski blog pribadi tapi blog ini bisa diakses oleh siapapun yang mau mengunjungi dan berbagi sekedar pemikiran ringan. Memang ini sudah menjadi rutinitas yang sedang aku usahakan sembari belajar untuk mengasah kemampuan menulisku yang masih acak – acakan.

Berkualitas? Tentu ini masih menjadi PR utama bagiku untuk menbuat karya berkualitas. Akan tetapi satu keyakinan yang coba untuk terus saya bangun adalah “Saya pasti bisa”. Ya, setidaknya itu yang kali ini ada dalam pikiranku. Bukankah dengan usaha sungguh – sungguh, kerja yang serius semua hal menjadi mungkin untuk kita raih? Sama halnya dengan seorang yang belajar naik sepeda mulai dari nol. Semula ia harus menelan pahit getirnya belajar dengan jatuh bangun, bangkit, jatuh lagi, bangkit lagi, menabrak, jatuh dan bangun lagi hingga lama – kelamaan ia menjadi lihai dan mampu bersepeda dengan baik bahkan dengan melepaskan tangannya. Inilah yang aku yakini.

Berawal dari postingan teman dalam akun instagramnya, aku menemukan kata mutiara yang menurutku cukup menarik untuk dijadikan sekedar tulisan ringan saja. Kata mutiara dari Imam Ali bin Abi Thalib, khalifah Islam ke-4 dalam pangguh sejarah Islam. Manusia yang dikenal sebagai pintu gerbang ilmu pengetahuan.

Imam Ali berkata: “Jangan menjelaskan dirimu kepada siapapun karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu”. Pesan ini sederhana tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Setidaknya bagi mereka yang mau untuk mengambil hikmah dan pelajaran darinya.

Dalam menjalani kehidupan seringkali kita ingin menunjukkan eksistensi dan kemampuan yang ada dalam diri kita agar dikenal dan diketahui orang lain. Setidaknya mereka menaruh perhatian pada apa yang kita miliki. Keinginan semacam ini sangat wajar dialami oleh siapapun karena ini merupakan kodrat alamiah yang dimiliki oleh siapapun. Akan tetapi terkadang ada diantara kita yang memiliki sifat berlebihan dalam hal ini. Keinginannnya untuk diakui orang lain berubah menjadi sebuah ambisi yang berapi – api sehingga terkadang dia berupaya untuk mendakwahkan dan mempromosikan dirinya dimanapun dan kapanpun dia berada.

Kondisi semacam inilah yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Keinginan berlebihan dalam menjelaskan eksistensi diri sebenarnya tidak diperlukan oleh siapapun. Dimata orang yang suka kepada kita, maka hal itu tidak diperlukan. Orang yang suka pada kita tidak memerlukan penjelasan apapun tentang diri kita. Pun pula sebaliknya bagi orang yang membenci tidak ada alasan baginya untuk tidak membenci kita. Penjelasan tidaklah memiliki arti apa – apa karena stigma mereka telah tertanam dalam dirinya.

Apa yang perlu kita lakukan? Yang perlu kita lakukan hanyalah berusaha menjadi diri kita. Tetap menjadi diri pribadi kita. Yang penting kita selalu berusaha untuk membenahi setiap dari apa yang kita kerjakan. Selalu berusaha mawas diri dalam setiap kesempatan dan menjadikan setiap detik dari waktu yang kita miliki menjadi sesuatu yang berguna bagi kita dan orang lain.

Tidak perlu kita menjelaskan apa yang ada dalam diri kita kepada orang lain. Cinta tidak memerlukan itu. Tetapi ia membutuhkan pembuktian. Pembuktian yang berupa wujud dari perilaku dan perbuatan kita. Tercermin dalam setiap tindakan dan ucapan kita yang merupakan ujung tombak dari rasa yang paling dalam.

Biarlah orang menilai tentang kita. Semua penilaian itu harus kita terima dengan berbesar hati. Tak peduli apakah penilaian itu positif atau negative. Penilain positif menunjukkan bahwa orang yang sedang memberikan penilaian pada diri kita sedang melihat sisi positif yang ada pada diri kita, sementara mereka yang menilai negative sedang melihat dari sisi yang berbeda.

Apapun penilain mereka tentang kita semua bermuarai pada satu hal yakni mereka sedang memperhatikan kita. Memperhatikan setiap saat apa yang ada dalam diri kita. Inilah yang harus kita ambil hikmahnya. Ketika orang menilai kita pada dasarnya mereka semua masih peduli dengan kita, tidak penting kepedulian yang mereka tunjukkan itu positif atau negative, yang jelas mereka masih peduli dan anggap saja mereka sayang pada kita.

Dengan selalu berusaha untuk berpikir positif setidaknya akan membuat otak kita rileks dan tidak terlalu terbebani dengan kenyataan hidup yang terkadang pahit. Keadaan semacam ini akan sangat membantu kita dalam menghadapi masa yang akan dating dengan mempersiapkan segala hal dengan persiapan yang matang. Kemampuan mengelola hati semacam ini juga yang akan menjadikan kita selalu bersikap optimis dalam menghadapi hidup.

So, jadilah dirimu sendiri. Tetaplah berjalan pada jalan yang engkau yakini, tetapi juga jangan lupa untuk terus berbenah diri. Tidak perlu engkau menjelaskan apa yang ada dalam dirimu agar dimengerti orang lain, karena semuanya akan berbicara dengan sendirinya. Tidak perlu engkau memproklamirkan dirimu sebagai seorang yang hebat, Karena jika engkau memang hebat maka Allah akan mengumumkan kehebatanmu “bilisan al-malakut wa al-hawatif”, Allah akan mengumumkan kehebatanmu melalui lisan para malaikat dan suara tanpa rupa.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam …



Damarwulan – Kepung – Pare - Kediri




Kamis, 16 Februari 2017

Pesan Arya Kamandanu



Seuntai Pesan Arya Kamandanu

“Kalau Nada sudah siap untuk menghadapai segala macam gangguan dan godaan, boleh”,Nada menyahut: “Benar bopo?” Kamandanu berkata: “Gunakan masa mudamu untuk belajar dan melihat banyak hal, dari sana kamu akan belajar melihat  akan hidup, semakin banyak yang kamu lihat maka semakin luas pandanganmu tentang hidup”, Mei Shein berkata: “Kakang tapi Nada kan masih anak – anak?”, Kamandanu menjawab: “Tapi pikirannya lebih dewasa dari tubuhnya, biarkan ia belajar dari tempaan alam semesta, memang sebenarnya alam adalah guru yang paling utama.” (Cuplikan dialog Tutur Tinular Edisi Terakhir)

Seharian ini saya rasanya sangat capek, bukan karena kerja keras tetapi lebih karena tubuh merasa kurang gerak karena hanya menunggu anak istri yang sedang asyik menghabiskan waktu libur pilkada untuk menemani putra putri didiknya berenang di wisata “Tirta Sumbercangkring”. Berangkat pagi hari dan pulang setelah shalat dzuhur berjamaah di Masjid Darussalam di area YPISA (Yayasan Pendidikan Islam Satu Atap) tempat dimana istriku mendarmabaktikan ilmunya.

Melihat keceriaan anak – anak usia MI bersama dengan istriku rasanya ada satu kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata, seoalah untaian kata tak lagi mampu mewakili apa yang ada dalam hati dan perasaan, meski putri pertamnuku belum bisa ikut main berenang karena masih memerlukan tempaan mental. Hehehe..

Tanpa diduga tempat ini juga mempertemukan dengan seorang sahabat semasa belajar di MTsN dan MA setelah hampir sekitar 14 tahun lamanya kami tidak lagi bersua karena jarak rumahnya yang cukup lumayan jauh dan kesibukan masing – masing. Tentu ini merupakan moment yang sangat berarti. Sayangnya temu kangen itu tidak bisa lama karena ia datang bersamaan dengan beberapa saat sebelum anak – anak pulang. Lebih disayangkan lagi karena saat itu keenakan ngobrol lupa tidak meminta sekedar foto untuk kenangan. Tapi wis gak popo pokok oleh nomer HP ne…. hehehe..

Sesampai dirumah karena mata sudah tidak bisa diajak kompromi, saya terlelap dalam tidur sampai sore. Mungkin ini adalah tidur terlama bagi saya disiang hari, maklum selama ini belum bisa menikmati tidur berlama – lama karena aktifitas yang tidak memungkinkan. Sok sibuk… hehehe..

Malam harinya serasa sangat malas. Saya menyiapkan beberapa buku untuk sekedar saya baca, namun nyatanya mood tidak kunjung menyapa. Akhirnya kuputuskan menghibur diri dengan melihat sebuah film yang sudah lama saya download tepai belum sempat melihatnya. Film yang dahulu sangat digandrungi oleh banyak orang, semenjak masih berupa drama radio yang dibintangi oleh Veri Fadli hingga kemudian tayang di televisi dengan bintang laga terkenal Anto Wijaya yang sekarang tidak lagi terlihat nongol di televisi. Film itu berjudul “Tutur Tinular” sebuah film yang menceritakan tentang sejarah berdirinya Majapahit dengan tokoh fiksi Arya Kamandanu. Sangat menarik dan rasanya sampai hari ini saya masih tetap merasakan nuansa berbeda ketika melihat film ini. 

Kebetulan yang saya tonton ini adalah seri terakhir yang menceritakan tentang Mpu  Gajah Mada yang berhasil menumpas pemberontakan Rakuti seorang yang berasal dari kasta Sudra yang kemudian direkrut menjadi Dharmaputra yang karena istrinya Sutangsu pernah digoda oleh Sang Prabu Raja Jayanegara menaruh dendam hingga berujung pada pemberontakan. Pemberontakan yang menyebabkan keluarga istana harus mengungsi, meninggalkan istana beberapa saat sampai kekuasaan bisa direbut kembali.

Ending dari cerita ini terselip sebuah pesan yang secara tiba – tiba menggugah dan membangunkan saya dari rasa malas untuk menggerakkan jari – jari diatas keyboard. Isinya adalah pesan diatas, pesan yang disampaikan oleh Arya Kamandanu kepada anaknya Jambu Nada yang karena karma Sang ayah yang telah mempelajari Jurus Naga Puspa harus memiliki tubuh bersisik ular sedang meminta izin untuk berkelana.

“Kalau Nada sudah siap untuk menghadapai segala macam gangguan dan godaan, boleh”.  Pesan ini mengingatkan bahwa sebelum memberikan izin kepada anak untuk merantau satu hal yang harus disiapkan oleh orang tua adalah pondasi yang kuat dalam diri anak sehingga ia tidak mudah tergiur untuk melakukan hal - hal yang seringkali menggoda. Memang dunia ini adalah perhiasan kata Rasulullah SAW, tetapi yang perlu kita ingat perhiasan didunia ini fana’ sifatnya, artinya semu. Apa yang kita lihat indah didunia ini kerapkali menipu sehingga bukannya kita sampai kepada tujuan yang kita inginkan justru perhiasan itu menipu kita dengan pesonanya sehingga kita terjerumus dalam keterpurukan dan penyesalan di masa kemudian. Nah, dalam kerangka inilah mempersiapkan pondasi keimanan dalam diri anak menjadi penting. Masa sekolah dasar/ibtida’ adalah masa penanaman pondasi dan keyakinan. Pendidikan dalam diri anak dimasa ini jauh lebih mereka anggap sebagai sebuah keyakinan yang mengakar, membekas dalam diri dan sulit untuk dilupakan. Oleh karenanya sebagai orang tua hendaknya dalam masa ini betul – betul berhati – hati dalam mendidik anak. Sekali kita salah dalam mendidik anak dan keliru dalam menanamkan keyakinan maka boleh jadi kita akan menyesal untuk selama – lamanya.

“Gunakan masa mudamu untuk belajar dan melihat banyak hal, dari sana kamu akan belajar melihat  akan hidup, semakin banyak yang kamu lihat maka semakin luas pandanganmu tentang hidup”. Pesan ini menunjukkan arti pentingnya ilmu dan pengetahuan. Masa muda adalah masa yang penuh dengan ambisi. Usia muda selalu penuh dengan keinginan untuk mengetahui banyak hal. Maka disinilah saat yang tepat bagi seorang anak untuk mencari bekal sebanyak – banyaknya untuk menghadapi masa yang akan datang. Penting artinya memberikan bekal dan wawasan nyata dalam kehidupan anakk diusia mudanya. Jangan pernah memanjakan anak, karena sesungguhnya sikap itu justru membunuh dan membinasakan segala potensi yang ada dalam dirinya. Anak yang diajari bagaimana cara menghadapi kehidupan akan menjadi pribadi yang kuat dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan dalam hidup. Dengan begitu ia akan mampu berdiri dengan tegak diatas kedua kakinya tanpa harus menyandarkan tubuhnya pada yang lain.

Semakin banyak anak belajar dan melihat setiap sisi kehidupan maka semakin matang pola pikirnya dalam menghadapi kenyataan yang kadang bersahabat, terkadang juga menjadi musuh. Dalam menentukan sikap ia akan mampu berfikir secara matang dan penuh pertimbangan. Ia tidak terburu – buru untuk menyalahkan tetapi juga tidak terbru – buru mengiyakan sebelum ia tahu duduk perkara dan persoalannya. Disinilah peran pengetahuan dan akal manusia sebagai pertimbangan, bukan selalu terburu – buru dalam bersikap dan mengambil keputusan, tidak mudah membid’ahkan dan mengkafirkan yang lain. Semakin banyak ilmu yang didapatkan semakin luas wawasan dan pengetahuan yang menjadikan kita hidup dalam toleran dan bijak dalam bertindak.

Mei Shein berkata: “Kakang tapi Nada kan masih anak – anak?”. Mei Shein adalah gambaran seorang ibu dalam kehidupan. Ibu memiliki perasaan yang peka dan kuat kepada anak. Rasa sayangnya seringkali mengalahkan akal rasionalnya, itulah gambaran seorang ibu. Seorang ibu biasanya tidak akan kuat bila melihat anaknya susah payah dan sakit. Ia lebih rela mengambil posisi itu sementara ia biarkan anaknya bahagia dan senang tanpa ada susah payah. Ya itulah ibu, tidak salah karena itu adalah kodratnya. Sama dengan ibu dalam dunia nyata, seorang ibu siapapun dia tidak akan tega melihah anaknya menderita.

Ibu selalu, selalu dan selalu menganggap anaknya masih kecil, bahkan ketika anak itu sudah menikah dan berkeluarga tetap saja ia menganggap anaknya sebagai anak kecil. Sedewasa apapun anak kebanyakan ibu tetap menganggap bahwa anaknya adalah anak kecil. Itulah mengapa kasih sayang ibu didunia ini tidak ada duanya. Tetapi ayah harus mengingatkan ibu agar jangan terlalu larut dalam perasaanya, karen ayahlah kepala keluarga. Inilah bentuk kekuatan penyeimbang yang Allah berikan melalui hubungan pernikahan. Subhanallah begitu indahnya…

Kamandanu menjawab: “Tapi pikirannya lebih dewasa dari tubuhnya, biarkan ia belajar dari tempaan alam semesta, memang sebenarnya alam adalah guru yang paling utama.” Kamandanu mengingatkan kepada Mei Shein, jangan hanya melihat bentuk fisik anak. Pikiran anak muda melebihi tubuhnya. Ya itulah kenyataannya. Fisik itu ada batasnya tetapi kemampuan dan pikiran yang ada dalam diri seorang anak yang mulai menginjak usia muda tidak ada batasnya. Semangat dan ambisinya seringkali mengalahkan otak rasionalnya. Maka sangat wajar kita melihat perubahan yang sangat frontal dalam diri seorang anak yang mulai memasuki usia remaja.

Sebagai orang tua maka sikap bijaksana harus digunakan dalam menyikapi hal ini. Bila terlalu mengekang maka anak akan memberontak. Sebaliknya bila terlalu dibebaskan boleh jadi juga tidak karu – karuan. Maka pondasi awal yang telah ditanamkan pada dirinyalah yang harus diperkuat. Berikan kebebasan padanya tetapi kebebasan yang bertanggung jawab.

Semangat pemuda itu digambarkan mampu menjebol Himalaya, maka bagaimana mungkin anda akan memangkasnya? Jangan dipangkas tetapi arahkan kea rah yang semestinya, kepada hal yang bermanfaat pada kehidupannya dimasa yang akan datang.

Alam adalah media terbaik untuk menempa diri seorang anak. Alam diciptakan oleh Sang Pencipta agar dipakai sebagai pelajaran. Alam akan mengajarkan kepada manusia berbagai pengetahuan, memberikan informasi – informasi yang sebelumnya masih menjadi rahasia dalam kehidpan ini. Jangan biarkan diri kita tunduk kepada alam, tetapi tundukkanlah alam, karena pada hakikatnya alam tercipta untuk kita, bukan kita tercipta untuk alam.

Semoga bermanfaat…
Allahu a’lam…


Selasa, 14 Februari 2017

Melacak Jejak Islam di Bumi Cirebon

Melacak Jejak Islam di Bumi Cirebon
(Resensi Buku Kerajaan Cirebon)

Judul Buku                  : Kerajaan Cirebon
Penulis                         : Didin Nurul Rosidin, M.A., Ph.D., dkk
Editor                          : Dr. Abdurrakhman, M. Hum
Jumlah halaman           : xii + 249 halaman; 14,8 x 21 cm
Cetakan                       : 1, Desember 2013
Desain & Layout         : Reza Perwira
Penerbit                       : Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

Louis Gottschalk menyatakan, “every man has his own historian”, setiap orang memang mempunyai sejarahnya sendiri dan harus menjadi sejarah bagi dirinya sendiri. Bingkai sejarah memang menjadi sesuatu yang menarik untuk mendapatkan perhatian. Bukan hanya sebagai sebuah informasi lebih dari itu sejarah bisa memberikan banyak ragam pengetahuan yang bisa kita petik hikmahnya untuk perbaikan kehidupan kita di masa mendatang. Banyak sekali peristiwa dan kejadian yang bisa kita jadikan pelajaran dalam kehidupan saat ini yang itu kita dapatkan dari mengkaji sejarah di masa silam. Itulah kenapa al-Qur’an menegaskan hal ini dalam Surat al-Hasyr; 18, “Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. al-Hasyr; 18)

Meminjam istilah Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, “jas merah”, jangan lupa sejarah. Apa yang disampaikan Soekarno menunjukkan arti pentingnya sejarah bagi setiap orang. Orang yang besar tidak pernah lupa terhadap orang yang pernah berjasa dalam kehidupannya, begitulah kira – kira. Meneladani sejarah juga merupakan bentuk syukur karena menurut hadits Rasulullah SAW, “Tidak dinamakan bersyukur kepada Allah orang yang tidak mau bersyukur kepada orang yang menjadi perantara diterimanya nikmat”. Ini merupakan ungkapan yang menggambarkan pentingnya sejarah dengan tetap menyambung tali silaturrahmi dengan orang – orang yang berjasa dalam kehidupan kita.

Berbicara tentang penyebaran Islam di wilayah Cirebon tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sosok Pangeran Cakhrabuana dan Sunan Gunung Jati. Pangeran Cakrabuana yang telah lebih dulu berada di Cirebon telah mengajarkan Islam kepada penduduk Cirebon dengan cara yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dengan memberdayakan masyarakat (community empowerment). Dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat Pangeran Cakhrabuana tidak monoton dengan mengajarkan ajaran – ajaran syariat yang kaku, akan tetapi ia juga mengajarkan kepada masyarakat tata cara teknologi pertanian yang sebelumnya belum dikenal, cara bertenun yang baik sehingga menghasilkan tenunan serat gebang yang bagus. Dengan demikian masyarakat semakin tertarik dan yakin akan agama yang dipeluk oleh Pangeran Cakhrabuana sehingga secara sukarela mereka masuk agama Islam.

Setelah Ki Gedeng Alang – alang, kuwu Cirebon pertama wafat Pangeran Cakhrabuana yang saat itu menjabat sebagai wakil kuwu diangkat menjadi kuwu Cirebon kedua menggantikan Ki Gedeng Alang – alang. Semakin hari perkembangan Cirebon dibawah pemerintahan Pangeran Cakhrabuana mengalami perkembangan yang pesat. Atas prestasinya ini Pangeran Cakhrabuana yang juga putra dari Raja Pajajaran diangkat menjadi Tumenggung dengan gelar Tumenggung Sri Mangana. Selama menjadi fatsa Kerajaan Galuh Pajajaran, Pangeran Cakhrabuana sangat loyal kepada rajanya dengan mengirim Bulu Bekti (upeti) berupa garam dan trasi.

Namun setelah kedatangan Syeikh Syarif Hidayatullah ke Cirebon yang kemudian ia nobatkan sebagai Raja Cirebon pertama dengan gelar Ingkang Sinuhun Sunan Jati Purba Wisesa tradisi mengirimkan Bulu Bekti itu dihentikan. Semenjak itu wilayah Cirebon menjadi sebuah kerajaan yang berdaulat penuh. Selain itu ketua Dewan Wali Sanga R. Ali Rahmatullah atau yang dikenal dengan Sunan Ampeldenta juga melantik Syeikh Syarif Hidayatullah menjadi Sunan Carbon Sinarat Sunda untuk menggantikan Syeikh Nurjati yang telah mangkat dengan gelar Ingkang Sinuhun Sunan Jati Purba Wisesa Panetep Panatagama Auliyaallahu Kutubil Zaman Kholifatu Rasulillah Shalallahu ‘alaihi wasallam pada tahun 1404 saka atau 1482 M.

Dengan dilantiknya Sunan Gunung jati sebagai Raja Cirebon maka pusat dakwah Islam berada dalam genggamannya. Wilayah Cirebon yang dahulu berada dibawah kendali kekuasaan Maharaja Pakuan Pajajaran memproklamirkan diri sebagai kerajaan sendiri yang berdaulat dibawah pimpinan Sunan Gunung Jati sebagai raja pertamanya.

Segera setelah terbentuknya kerajaan Cirebon baru Sunan Gunung Jati membangun struktur baru pemerintahan yang berbeda dari corak Hindu – Budha sebagaimana yang berlaku pada kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di Pakuan. Ia membangun protetipe kerajaan Islam yang merdeka. Dengan demikian penyebaran agama Islam tidak hanya melalui jalur kultural semata tetapi telah merambah ke wilayah politik dalam sistem pemerintahan.

Pemisahan diri kerajaan Cirebon dari kerajaan induknya Pajajaran bukan berarti tanpa mengalami pergolakan. Demi menertibkan kondisi Cirebon Sri Baduga Raja Pakuan Pajajaran mengutus Tumenggung Jagabaya ke Cirebon. Tetapi naas Tumenggung Jagabaya yang waktu itu disergap oleh pasukan Demak yang dibawa Raden Patah ketika menghadiri penobatan Sunan Gunung Jati bersama pasukannya justru berbelot memeluk Islam. Tidak ada alasan yang pasti tentang alasan mereka memeluk agama baru, Islam.

Selain melalui pemerintahan proses islamisasi di Cirebon juga dilakukan dengan memanfaatkan media seni sebagai sarana dakwahnya. Di tangan Sunan Gunung Jati seni sastra dan tembang maju pesat dan berubah menjadi media informasi dan sosialisasi Islam. Di tangan wali sanga yang termasuk di dalamnya Sunan Gunung Jati, seni menjadi bermartabat dan terhormat, tidak lagi menjadi konsumsi orang – orang bejat dan para pemabuk. Beberapa kesenian yang dijadikan media islamisasi di Cirebon diantaranya: Brai (Gembyung), Gamelan Sekaten, Wayang dan Topeng. Penyebaran agama Islam di Cirebon menurut Ridin Sofwan memiliki sifat dan kearifan lokal dalam menghadapi budaya sebelumnya, hal ini terjadi karena adanya persamaan spiritual dengan budaya pra Islam.

Buku Kerajaan Cirebon yang ditulis oleh Didin Nurul Rosidin dkk ini memberikan banyak data dan informasi bagi tumbuhkembangnya Islam di bumi Cirebon. Penulisan buku ini juga menggunakan gaya bahasa sederhana yang mudah untuk dicerna dan dipahami. Oleh karena itu bagi para pemerhati dan peminat kajian Islam Jawa khususnya Cirebon buku ini layak untuk dibaca.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...