Sabtu, 28 Januari 2017

Pesona Zamrud Katulistiwa




Negeri ini ditakdirkan oleh Tuhan menjadi negeri yang indah. Penduduk dunia menyebutnya sebagai surga dunia karena keindahan alam yang terhampar luas di dalamnya. Negeri yang kaya raya akan hasil buminya, tak heran ia mengundang seluruh mata dunia untuk sekadar memandang atau lebih dari itu ingin merebut dan menguasai seluruh kekayaan yang ada di dalamnya. Tak berlebihan kiranya bila dunia internasional menyebut negeri ini sebagai zamrud katulistiwa. Ya, itulah Indonesia kita, negeri dimana kita dilahirkan dan dibesarkan oleh asuhan ibu pertiwi. Negeri yang gemah ripah loh jinawi. Tanahnya subur, kaya akan bahan tambang dan disini terbentang lautan luas yang kaya akan aneka ragam satwa laut dan tetumbuhannya.

Keindahan dan kekayaan negeri ini sudah sejak lama menjadi dambaan setiap bangsa yang pernah singgah di pelabuhannya. Sebelum Majapahit berdiri, nyatanya sudah banyak bangsa manca nagari yang berdatangan dan ingin mengambil alih kekuasaan. Kubhilai Khan, raja dari kerajaan Tar – Tar Mongolia, mengutus seorang utusan yang meminta kepada Raja Kertanagara dari Singasari untuk membayar upeti sebagai tanda bahwa negeri ini telah bertekuk lutut dan tunduk dalam kekuasaannya. Kalau menolak akibatnya dia akan menyerang dan membumi hanguskannya.

 Negeri ini negeri kesatria, tak semudah membalikkan telapak tangan untuk sekadar menundukkannya. Maka jawabannya jelas, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup terjajah. Namun, sebelum pasukan Tar – Tar datang dan menyerang, Kertanegara sudah keburu meninggal dunia karena ia harus tewas ditangan Jayakatwang, seorang pemberontak dari Kediri yang haus akan kekuasaan. Alhasil Jayakatwanglah yang kemudian menjadi amukan kemarahan pasukan Tar – Tar atas tipu muslihat menantu Kertanegara yang ingin kembali merebut tahta, Raden Wijaya, pendiri dan Raja pertama Majapahit yang bergelar Sri Kertajasa Jayawardhana.

Setelah berdiri kerajaan baru yang diberi nama Majapahit, ternyata tidak serta merta langsung bisa hidup dengan damai dan tentram sebagaimana yang menjadi harapan. Bahkan, para pejuang yang dahulu berjibaku, bahu membahu untuk mengusir bangsa asing yang menjajah justru kemudian saling sikut - menyikut untuk berebut pangkat, jabatan dan kekuasaan. Ranggalawe, Lembu Sora, Nambi dan sederetan pejuang lain telah menjadi korban dalam ambisi perebutan kedudukan.

Di era kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam yang dianggap pertama kali berdiri di tanah Jawa ini, yang merupakan simbol kejayaan Islam di negeri ini, nyatanya juga tidak lepas dari budaya sikut – menyikut antar sesama. Sunan Prawoto yang merupakan sultan keempat kerajaan ini dibunuh oleh saudara sepupunya adipati Jipang Arya Penangsang. Kemunculan tokoh wali songo yang melegenda dan tokoh kontroversial Syaikh Siti Jenar juga tidak lepas dari konflik. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai konflik yang melatarbelakanginya.

Selepas masa kerajaan berakhir ternyata keindahan negeri ini masih memiliki pesona yang seolah tiada pernah luntur. Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang ternyata juga terpesona dengan keelokan negeri ini. Belanda-lah bangsa yang paling lama bercokol dan menjajah negeri ini, meski kemudian dia harus pergi karena di usir oleh Jepang yang saat itu menjadi penguasa di Asia Raya. Hingga saat kesadaran para pemuda bangkit dan pada akhirnya mampu mengusir mereka untuk memproklamirkan diri sebagai negeri yang merdeka, berdaulat dengan nama Indonesia.

Masa kemerdekaan membawa angin segar dan harapan bagi bangsa ini untuk bisa hidup lebih baik dari sebelumnya. Berusaha menstabilkan keadaan dan sedikit demi sedikit memperbaiki kesejahteraan dengan melakukan pembangunan. Segala sektor diperbaiki dan dibangun sedemikian rupa hingga pada masa rezim orba berkuasa sampailah bangsa ini pada era tinggal landas. Kesejahteraan mulai dirasakan, swasembada pangan diraih dan anak negeri ini berhasil menciptakan pesawat sendiri. Namun, ternyata semua itu hanya semu, kebobrokan rezim orba menyisakan persoalan yang luar biasa bagi bangsa ini. Hutang yang mencekik setiap anak bangsa yang baru lahir akibat kesalahan segelintir orang yang serakah dengan harta. Terjadilah reformasi yang menelan banyak korban, baik harta maupun nyawa, memaksa rezim yang berkuasa untuk turun dari singgasana. Turunlah bapak dari singgasana dan datanglah penguasa baru sebagai gantinya.

Seolah tak pernah berujung, budaya sikut – sikutan tetap saja menjadi sesuatu yang diidolakan untuk mendapatkan kekuasaan. Sepak sana, sepak sini, terjang sana, terjang sini, pukul sana, pukul sini masih saja terus mewarnai. Seolah tak akan pernah berakhir sampai digulungnya jagat ini. Ya, pemandangan yang tak pernah kita tahu kapan berakhirnya.

Saat ini, negeri ini juga masih tetap saja dilanda penyakit sikut – sikutan. Pilkada DKI yang sebentar lagi digelar agaknya menjadi alasan yang tepat untuk memunculkan budaya sikut – sikutan. Mulai dari yang sekedar menebar isu sampai yang menebar fitnah. Masya Allah,… sungguh pemandangan yang memilukan.

Masih terngiang jelas diingatan kita kasus yang dianggap penodaan agama yang dilakukan oleh Gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama yang dikenal dengan nama Ahok. Kasus ini pun tidak lepas dari budaya sikut – sikutan yang seolah telah mengakar dan mendarah daging. Ribuan umat Islam memadati Jakarta untuk menuntut keadilan. Menuntut agar Ahok diadili dan dipenjarakan. Terlepas dari siapa yang benar, dan saya tidak mau ambil pusing dengan menghabiskan waktu memikirkan kejadian ini, bangsa ini sepertinya mendambakan seorang ‘Ratu Adil’ yang dalam istilah umat Islam dikenal dengan ‘Imam Mahdi’. Sosok pemimpin yang mampu mendamaikan, membuat kehidupan bangsa ini menjadi lebih baik dan bermartabat. Menjadi negeri yang aman damai sejahtera dan diridlai oleh Tuhan.

Sebagai generasi muda seyogyanya mempersiapkan diri dengan menempa diri, belajar dengan giat, memperkuat keimanan, ketaqwaan dan keshalihan diri. Ingat, seperti apa masa depan negeri ini, tercermin dalam diri pemuda hari ini. Miris rasanya melihat anak bangsa yang saling sikut sana, sikut sini demi untuk mendapatkan posisi yang diminati. Semoga anak – anak negeri ini mampu mengubah citra negeri sikut – sikutan ini menjadi negeri aman dan damai. Amin…

Semoga Bermanfaat…
Allahu A’alam…




Rabu, 25 Januari 2017

Kyai Versi Gus Mus




Siapa yang tidak kenal Gus Mus. Kyai yang satu ini sangat popular dan fenomenal bagi kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Nahdlatul Ulama. Beliau termasuk salah satu di antara kyai sepuh yang memiliki kharisma besar di tengah – tengah warga Nahdliyyin. Meski sudah menyandang gelar kyai, namun agaknya nama gus yang merupakan nama bagi putra kyai (yang belum dianggap pantas disebut kyai) tetap melekat pada diri K.H. Musthafa Bisri.

Selain dikenal sebagai seorang kyai yang kalem, tawadlu’, lemah – lembut kepada umat, dan kaya akan ilmunya, beliau juga dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karya – karyanya sering menghias di berbagai media. Beliau selalu santun dalam berpenampilan, jauh dari sifat dengki, ujub, riya’ dan takabbur. Begitulah sekilas pribadi Gus Mus yang selalu menyejukkan setiap orang yang memandangnya.

Masih lekat diingatan kita bagaimana beliau mendamaikan perseteruan sesama warga Nahdliyyin pada saat muktamar di Jombang. Dengan sikap tawadlu’ dan kerendahan hatinya, beliau meminta maaf sambil menitikkan air mata, bahkan beliau mengatakan “kalau untuk mendapatkan maaf panjenengan saya harus mencium kaki panjenengan, maka saya akan melakukan hal itu.” Demikianlah ketulusan dan ketawadlu’an kyai yang satu ini. Kyai yang selalu jauh dari konflik, selalu memberikan kesejukan bagi setiap umat. Figur yang jarang kita temukan untuk kurun waktu ini.

Akhir – akhir ini umat Islam di hadapkan dengan berbagai persoalan yang pada dasarnya bermuara pada adanya khilaf atau perbedaan pandangan dan pemahaman. Khilafiyah ini nampaknya hampir mengarah pada perpecahan di antara umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Di saat seperti inilah sebenarnya kita membutuhkan sosok yang mampu untuk menetralisir keadaan, menciptakan suasana sejuk di tengah umat sehingga konflik yang bermuara pada perbedaan pandangan dan pendapat ini tidak semakin mengarah pada permusuhan dan perpecahan di antara umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, tetapi sebaliknya menjadi sesuatu yang indah karena keanekaragaman itu pada dasarnya adalah rahmah.

Dalam satu kesempatan, saat mengisi acara haul K.H. Abdul Wahid Zuhdi yang ke-6, Gus Mus memberikan pesan dan peringatan kepada kita untuk senantiasa berhati – hati dalam bersikap dan bertindak, terutama ketika kita mendengar dan hendak mengikuti pendapat seseorang, tidak terkecuali seorang ulama yang dalam tradisi masyarakat Jawa disebut dengan Kyai.

Gus Mus menjelaskan bahwa kyai itu macam – macam ragamnya. Setidaknya menurut beliau ada lima macam kyai, yaitu, kyai produk masyarakat, kyai produk pemerintah, kyai produk pers, kyai produk politik, kyai buatan sendiri. Semua itu disebut kyai oleh orang banyak, tetapi kita harus selektif dalam memilih dan menghormat pada kyai yang tepat.

Pertama, kyai produk masyarakat. Kyai seperti inilah yang sebenarnya kyai. Kyai produk masyarakat mendapatkan gelar kyai dari masyarakat, bukan karena meminta. Mereka mengajar anak orang lain, ikhlas tanpa pamrih dan tanpa mengharap imbalan apa – apa. Beliau mengatakan, “Kyai sing tenan iku kyai sing kepingin ngepas – ngepasne lakune koyo kanjeng Rasul SAW”. Seorang kyai yang sebenarnya adalah kyai yang selalu berusaha untuk berperilaku sebagaimana perilaku Rasulullah SAW. Menurut beliau banyak sekali orang yang alim, pinter bahkan hafal al-Qur’an tetapi perilakunya tidak mencerminkan perilaku yang qur’aniy, perilakunya jauh dari akhlak sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Orang yang seperti ini tidak layak disebut kyai, meski ilmunya banyak.

Dalam mendefinisikan kyai beliau mengatakan:
الذين ينظرون الأمة بعين الرحمة
Kyai itu adalah orang – orang yang memandang umat dengan pandangan kasih sayang. Padangan seorang kyai itu sama dengan pandangan Rasulullah SAW yang senantiasa merasa sayang kepada umatnya meski beliau dihina dan di caci maki. Rasulullah SAW adalah cerminan umat manusia dalam bertindak. Beliau selalu bersikap rauf rahim kepada umatnya, bahkan umat yang secara terang – terangan memusuhi bahkan menyakitinya.

Kisah perjalanan dakwah Rasulullah SAW ke Thaif kiranya bisa kita jadikan sebagai tauladan bagi kita umat Islam dalam bersikap. Rasulullah yang datang ke Thaif untuk mengajak mereka ke jalan yang benar justru harus mendapatkan penentangan dari kaum Thaif. Tidak hanya berhenti pada penentangan saja, Rasulullah SAW dicaci maki, dilempari dengan batu dan di usir dari Thaif. Kedua pipi Rasulullah mengeluarkan darah karena lemparan batu kaum Thaif. Malaikat Jibril yang mengetahui Rasulullah SAW, kekasih Allah, dihina, dicaci maki dan dilempari batu hingga berdarah merasa sangat marah. Dia minta kepada Rasulullah untuk mengangkat kedua tangannya, memohon kepada Allah agar bangsa Thaif dihimpit dengan kedua bukit yang ada di sekitarnya. Namun, dengan penuh kasih sayang  Rasulullah melarang Malaikat Jibril, bahkan beliau berdo’a kepada Allah, “Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu.” Begitulah jiwa besar Rasulullah SAW yang penuh dengan kasih sayang kepada umatnya.

Seorang kyai layak disebut kyai, manakala dia memiliki sifat dan kriteria semacam ini. Kyai bukan hanya orang yang mengenakan jubah, surban, dan berjenggot. Kyai juga bukan hanya orang yang memiliki pengetahuan yang luas dalam hal agama. Namun, seorang kyai harus mampu menjadi pewaris Rasulullah SAW dalam segala aspek kehidupannya, meski untuk meniru Rasulullah SAW secara keseluruhan adalah hal yang mustahil, setidaknya dia selalu berusaha untuk ‘ngepas-ngepasno’, berusaha meneladani Rasulullah SAW dalam seluruh aspek kehidupannya.

Kedua, kyai produk pemerintah. Menurut beliau kyai model ini pertama kali dibentuk saat rezim orde baru berkuasa pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Beliaulah yang pertama kali mendirikan MUI sebagai wujud perwakilan seluruh ulama. Menurut beliau dulu MUI terdiri dari orang – orang yang telah pensiun. Untuk memperkuat kedudukannya maka dipasanglah beberapa orang ulama. Sementara banyak orang yang berada di dalamnya yang masih belum memiliki kapasitas sebagai ulama. Tetapi karena mereka duduk dalam kepengurusan MUI maka mereka tetap dikenal sebagai ulama. Nah, untuk menjadi kyai model ini, -menurut  beliau- mudah, yaitu dengan mendekati orang – orang yang duduk dalam kepengurusan sehingga ia bisa dimasukkan ke dalam jajaran pengurus dan tentunya jadilah dia dikenal sebagai ulama.

Ketiga, kyai pers. Model kyai ini dibentuk oleh wartawan, baik media cetak maupun elektronik. Pada masa Arab Jahiliyah model bentuk pers ini diwakili oleh para penyair. Masyarakat Arab dahulu memiliki tradisi untuk membuat syair. Para penyair kelas atas memiliki dominasi yang kuat dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap seseorang atau sekelompok orang. Biasanya mereka akan menggantungkan syair – syair mereka di dinding Ka’bah yang dikenal dengan nama al-mu’allaqat. Sama dengan pers hari ini. Media pers sangat berpengaruh dalam membentuk persepsi masyarakat. Kyai model pers ini menurut beliau cukup mudah didapatkan. Misalnya dengan adanya kontes da’i dan da’iyah yang diselenggarakan oleh berbagai awak media. Kemudian media akan menobatkan mereka menjadi ustadz dengan menambahkan kata K.H. pada awal namanya, tanpa diketahui latar belakang kehidupannya secara pasti, peran dan jasanya dalam masyarakat dan seterusnya. Ustadz seperti ini biasanya sering nongol di televisi dan tidak jarang yang kemudian merambah dalam dunia perfilman. Pakaian yang dikenakan layaknya ulama besar yang alim dan seterusnya.

Keempat, kyai politisi. Kyai model ini biasanya dinobatkan oleh para politisi untuk mengkampanyekan partai yang diusung. Seringkali mereka bukanlah orang yang memiliki kapasitas sebagai seorang kyai, hanya karena kemampuan pidato, orasi dan sedikit dalil al-Qur’an dan al-hadits, maka kyai ini dinobatkan oleh para politisi sebagai kyai untuk melancarkan dan mensukseskan kepentingan politiknya.

Kelima, kyai buatan sendiri. Sangat mudah didapatkan dengan sedikit mengeluarkan modal saja. Membeli kopyah haji seharga Rp. 5000,00, mengenakan baju taqwa, memakai surban hijau dan sedikit mengeluarkan uang. Misalnya dalam sebuah kesempatan pengajian atau peringatan hari besar agama, memberikan uang kepada beberapa orang teman dan bilang kepada mereka, “nanti kalau saya datang, semua harus mencium tangan saya”. Meski dengan nada guyonan, mungkin ini juga terjadi dalam beberapa kasus di masyarakat. Dengan melakukan hal tersebut orang lain akan terpengaruh dan membaiat orang tersebut menjadi kyai atau ustadz.

Terlepas dari setuju atau tidak pembagian ulama, ustadz, atau kyai dalam versi Gus Mus, setidaknya menurut saya, ini menjadi sebuah catatan bagi kita untuk senantiasa berhati – hati dalam setiap hal terutama untuk mengikuti seseorang yang akan kita jadikan sebagai panutan. Gus Mus menegaskan bahwa seorang kyai harus mampu menjadi petunjuk bagi masyarakat kepada jalan kebaikan, jalan yang diridlai Allah SWT wa Rasulihi SAW. Kyai yang sering menimbulkan keresahan dalam masyarakat, sering berusaha untuk menjatuhkan yang lain, maka dia tidak pantas disebut kyai. Kyai harus mampu menjadi penyejuk hati disaat masyarakat sedang panas dengan emosi. Kyai harus menjadi penerang yang menyinari masyarakat disaat mereka dilanda gelap gulita.

Betapapun seseorang memiliki banyak ilmu agama, hafal ribuan hadits kalau perlu hafal al-Qur’an, tetapi bila perilakunya tidak menunjukkan akhlak yang islami, akhlaq qur’ani, maka orang itu tidak layak disebut kyai. Kyai bagaikan mata air yang menghidupkan tanah yang gersang. Ia menjadi pelipur lara disaat umat sedang berduka. Menjadi juru damai disaat umat sedang bertikai. Menjadi obat di saat umat sedang terluka. Itulah para pewaris Rasulullah SAW. Kyai bukanlah orang yang selalu mencari – cari kesalahan orang lain. Kyai bukan orang yang menebar beih kebencian antar sesama, tetapi dialah penebar rahmah bagi umat. Bukankah islam itu artinya selamat? Maka kyai adalah orang yang mampu menyelamatkan umat. Menyelamatkan dari kesesatan, menyelamatkan dari kebencian dan permusuhan, menyelamatkan dari perpecahan dan kehancuran.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam….


Senin, 23 Januari 2017

Ma’had al-Jami’ah Ziarah Maqam Auliya’



Setelah sukses dengan program Dirasah Qur’aniyyah, Ma’had al-Jami’ah mengadakan ziarah ke maqam auliya’. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh dewan pengelola Ma’had al-Jami’ah dan mahasantri yang bertugas sebagai musyrifah yang mukim di Ma’had al-Jami’ah. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Senin 23 Januari 2017. Adapun peserta yang ikut serta dalam ziarah ini berkisar antara 25 orang dengan mengendarai bus IAIN Tulungagung.

Bertindak sebagai Imam Jama’ah dan Tahlil dalam ziarah ini adalah K. Ibnu Abd Shamad al-Bendunganiy, S.Ag., M.Pd.I dosen pada Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum di IAIN Tulungagung, Dr. K.H. Muhammad Teguh Ridlwan, M.Ag. dan K. Ahmad Marzuki al-hafidz, S.Th.I, M.Pd.I. sebagai pembaca do’a. Rombongan ziarah ini berangkat sekitar pukul 07.30 WIB dan kembali sampai di kampus kurang lebih pukul 18.30 WIB.

Perlu diketahui bahwa kegiatan ziarah ini dimaksudkan untuk semakin meningkatkan rasa syukur kepada Allah atas nikmat iman, islam dan ihsan dengan menziarahi maqam orang – orang yang memiliki sumbangsih dan jasa bagi tumbuh kembangnya agama Islam di Nusantara. Selain itu dengan berziarah ke maqam auliya’ hati kita akan mudah untuk mengingat mati. Sebagaimana dimaklumi bahwa mengingat mati termasuk diantara hal yang insyaallah akan membawa kebaikan bagi manusia. Dengan ingat mati, maka seseorang akan selalu berusaha memperbaiki diri, dan berusaha untuk beribadah dengan tekun untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan setelah mati.

Yang perlu jadi catatan bahwa ziarah maqam tidak lantas identik dengan meminta kepada ahli kubur. Oleh karenanya niatan di dalam ziarah kubur harus disiapkan dan diperbaiki dengan semata – mata menunaikan perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW. Hal ini penting untuk diingat agar para peziarah tidak keliru yang boleh jadi menjerumuskan ke perbuatan syirik yang dilarang oleh syariat Islam. Adapun ziarah maqam yang benar sangat dianjurkan oleh syariat karena bisa mengingatkan peziarah kepada kematian.

Tujuan ziarah ini adalah lokal Tulungagung. Yang menjadi tujuan ziarah adalah maqam Eyang Agung Cokrokusumo (Eyang Wisnu Petir), Mbah Guru Wali, Pangeran Benowo, Buyut Mundzir + KH. Dimyathi Khaossun, R.M. Garendi/Syaikh Zainal Abidin/Sunan Kuning, dan Syaikh Basyaruddin bin Syaikh Abdurrahman.

Perjalanan ziarah ini di mulai dari maqam Eyang Agung Cokrokusumo atau yang dikenal juga dengan nama Eyang Wisnu Petir yang terletak di puncak gunung di desa Wajak Kidul Kecamatan Boyolangu. Menurut sumber yang bisa dipercaya maqam ini di temukan sekitar tahun 1501 M. namun tidak serta merta langsung ramai dikunjungi oleh para peziarah. Menurut pak Wo (nama panggilan) selaku juru kunci maqam yang ke 7 maqam ini mulai ramai dikunjungi oleh para peziarah semenjak empat tahun terakhir. Sebelumnya hanya orang – orang khusus yang dating untuk berziarah. Menurut beliau beberapa waktu yang lalu maqam ini pernah di teliti oleh peneliti dari Yogyakarta. Menurut peneliti tersebut ada kemungkinan bahwa Eyang Cokrokusumo adalah salah satu di antara pendherek Pangeran Diponegoro yang diutus menyebarkan ajaran Islam di daerah tersebut dengan berdasarkan pada batu nisan yang dipakai di maqam tersebut. Saat ini menurut beliau telah disiapkan sejumlah data dan file yang nantinya akan diterbitkan sebagai sebuah buku.

Selepas dari Eyang Wisnu Petir rombongan menuju Buyut Mundzir + K.H. Dimyathi Khassun. Selesai tahlil dan berdo’a perjalanan dilanjutkan ke maqam Pangeran Benowo, Bedalem yang terletak di Besole Kecamatan Besuki. Maqam ini terletak di lereng gunung.

Selesai tahlil dan do’a perjalanan ziarah dilanjutkan ke maqam Mbah Guru Wali. Kompleks maqam nya berdekatan dengan tempat wisata pantai popoh. Berdasarkan papan silsilah yang terpasang didinding maqam, Mbah Guru Wali masih memiliki garis keturunan dari Rasulullah, Nabi Muhammad SAW. Selesai ziarah, rombongan melaksanakan shalat dzuhur berjamaah dan sejenak beristirahat sambil menikmati makan siang dan indahnya panorama pantai popoh.

Dari pantai popoh rombongan bergerak menuju maqam RM. Garendi/Syaikh Zainal Abidin/Sunan Kuning yang terletak di Cembang, Macanbang, Gondang, Tulungagung. Di sini  rombongan mengadakan jamaah shalat ashar terlebih dahulu baru kemudian melaksanakan ziarah ke maqam.

Tujuan terakhir dari ziarah adalah maqam Syaikh Basyaruddin bin Syaikh Abdurrahman. Kompleks maqam ini berada di lereng pegunungan tepatnya di dukuh Srigading, Desa Bolorejo, Kecamatan Kauman. Maqam ini terasa sejuk karena berada di lereng gunung yang dikelilingi dengan banyak tumbuhan dan beberapa aliran air sungai yang jernih. Selesai melaksanakan dzikir, tahlil dan tawassul, rombongan bergerak menuju ke kampus IAIN Tulungagung.

Semoga Bermanfaat…
Allahu A’lam…


Keutamaan al-Qur’an


Sebagai salah satu kitab samawi yang keotentikannya masih tetap terjaga sampai saat ini tentu memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh kitab yang lain. Umat Islam meyakini keutamaan al-Qur’an ini bahkan menjadikan keyakinan terhadap al-Qur’an sebagai salah satu tanda iman.
 
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibban dan al-Baihaqi dari Jabir r.a., Rasulullah SAW bersabda:

القرأن شافع مشفع، وما حل مصدق، من جعله أمامه قاده إلى الجنة، ومن جعله خلفه ساقه إلى النار (رواه ابن حبان والبيهقي)

Artinya:
“Al-Qur’an adalah pemberi syafa’at yang dimintai syafa’at, lawan  diskusi yang dibenarkan. Barangsiapa yang menjadikannya di depannya,ia pasti menuntunnya ke surga, dan barangsiapa yang menjadikannya di belakangnya, ia pasti menghalaunya ke neraka.” (H.R. Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)

Hadits di atas menerangkan tentang keutamaan al-Qur’an sebagai kitab suci yang ditrurunkan Allah SWT kepada hamba pilihan-Nya Nabi Muhammad SAW. Di antara intisari hadits di atas adalah menetapkan keutamaan al-Qur’an dan bahwasannya ia akan menjadi pembela bagi pembacanya kelak di hari kiamat. Al-Qur’an akan menjadi pembela bagi pembacanya yang mau menjadikan al-Qur’an sebagai imamnya. Artinya orang yang membaca al-Qur’an tersebut mau untuk mengamalkan isi al-Qur’an dan menjauhi semua larangannya. Apabila pembaca al-Qur’an berperilaku demikian, perilakunya mencerminkan al-Qur’an, maka al-Qur’an akan menjadi pembela bagi orang tersebut saat di yaumil qiyamah.

Sebaliknya, orang yang rajin membaca al-Qur’an akan tetapi ia tidak patuh terhadap al-Qur’an, tidak berusaha untuk berperilaku sebagaimana al-Qur’an, dengan kata lain ia justru menempatkan al-Qur’an dibelakangnya bukan sebagai imamnya, maka al-Qur’an akan menggiring orang yang berperilaku seperti ini ke neraka. Orang – orang semacam ini adalah orang – orang fasik yang seringkali melanggar dan meremehkan petunjuk – petunjuk al-Qur’an. Berkenaan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda:

رب تال للقرأن والقرأن يلعنه

Artinya:
“Banyak orang yang membaca al-Qur’an tetapi al-Qur’an melaknatnya.”

Hadits di atas cukup menjadi dasar bagi orang – orang yang membaca al-Qur’an tetapi mereka tidak berusaha untuk mengamalkannya. Tidak menjadikan al-Qur’an sebagai imam yang menuntunnya menuju ke surga. Oleh karena perilaku mereka yang justru bertolak belakang dengan al-Qur’an, al-Qur’an lantas menjadi sebab bagi orang tersebut terjerumus ke dalam api neraka.

Syafa’at al-Qur’an bagi para pembacanya akan diterima oleh Allah SWT besok di hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda:

اقرؤواالقرأن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه (رواه مسلم)

Artinya:
“Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan dating di Hari Kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada ahlinya.” (H.R. Muslim)

Berdasarkan hadits di atas al-Qur’an akan menjadi penolong dan pemberi syafa’at bagi para pembacanya. Yang dimaksud di sini adalah mereka yang ahli membaca al-Qur’an dan mau menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, berusaha untuk selalu berperilaku sebagaimana yang ditunjukkan oleh al-Qur’an. Orang – orang seperti ini akan di syafa’ati oleh al-Qur’an dan akan di masukkan ke dalam surga Allah.

Sebagai seorang muslim sudah barang tentu kita ingin masuk ke dalam surga. Oleh karena itu sebagai seorang muslim hendaknya selalu membiasakan diri dengan membaca al-Qur’an. Selain berusaha membaca al-Qur’an dengan baik, seorang muslim hendaknya juga berusaha untuk memahami isinya. Setelah kita memahami isinya maka yang harus dilakukan adalah berusaha untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari.

Orang yang selalu bersama dengan al-Qur’an maka hidupnya akan tenang. Setiap tindakannya selalu di terangi dengan cahaya al-Qur’an yang dengan cahaya itu bias membedakan antara yang baik dan benar. Dengan kemampuan membedakan antara yang baik dan benar, besar kemungkinan seseorang akan selalu berusaha melakukan yang baik dan menghindarkan diri dari perilaku yang tidak benar. Perilaku inilah yang pada akhirnya nanti membawanya masuk ke dalam surga.

Semoga bermanfaat…
Allahu a’lam…



Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...