Jumat, 24 Februari 2017

Muslim Sejati



MUSLIM SEJATI

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هجر مانهى الله عنه    (رواه البخاري)

Artinya: “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya, sedangkan muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (H.R. al-Bukhari)

Hadits di atas mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita berlaku sebagai seorang  muslim. Seorang muslim yang sejati adalah orang yang tidak menggangu saudara mereka sesama muslim. Ia akan menebarkan kedamaian dimananpun dia berada. 

Gangguan kepada orang lain boleh jadi berasal dari tangan, boleh jadi juga berasal dari lisan. Tangan yang kita miliki boleh jadi menjadi penyebab orang lain merasa terganggu. Oleh karena itu maka seyogyanya seorang muslim selalu berusaha berbenah diri agar tangan yang dimilikinya tidak mengganggu orang lain. Baik dengan melakukan aktifitas yang bisa menyakiti seperti memukul, mencubit, mencuri, merusak dan sebagainya. Hal – hal semacam ini harus dihindarkan oleh setiap muslim agar keislamannya tidak menyebabkan orang lain celaka.

Lisan adalah makhluk Allah yang tak bertulang. Karena tak bertulang maka sifat lisan itu lentur, mudah sekali berkata A, B, C dan seterusnya. Tidak jarang tanpa kita sadari lisan itu mengucapkan hal – hal yang bisa melukai perasaan orang lain. Bahaya lisan yang tidak terjaga sangat mengkhawatirkan. Bahkan dalam salah satu riwayat disebutkan:

سلامة الإنسان فى حفظ اللسان

Artinya: “Keselamatan manusia itu tergantung pada kemampuan menjaga lisannya”.

Riwayat di atas semakin menunjukkan pentingnya kita dalam menjaga lisan. Lisan yang tidak dijaga boleh jadi akan menyebabkan peperangan yang dahsyat. Bila imbas dari tangan hanya dirasakan oleh satu dua orang, maka bahaya lisan boleh jadi bisa merusakkan seluruh warga desa, kota bahkan Negara. Nah, disinilah pentingnya umat islam untuk senantiasa menjaga lisannya agar orang lain tidak merasa terganggu dengan kehadiran kita.

Mengganggu orang lain terutama orang muslim adalah perbuatan dosa besar. Muslim yang sebenarnya tidak akan melakukan perbuatan – perbuatan yang menyebabkan orang lain terganggu. Sebaliknya muslim yang sejati akan selalu berusaha menciptakan kedamaian dimanapun dia berada tanpa pandang bulu. Sebagaimana Rasulullah SAW yang senantiasa menciptakan kedamaian dimanapun beliau berada. Pribadi beliau adalah al-Qur’an sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah ketika ditanya tentang kepribadian Rasulullah SAW maka jawabnya, kana khuluquhu al-Qur’an.

Selanjutnya dalam hadits di atas juga diterangkan bahwa seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.  Berhijrah tidak hanya pindah tempat tanpa ada perubahan sikap dan perbuatan. Ornag yang bersama Rasulullah SAW hijrah dari Makkah menuju Madinah belum dikatakan hijrah dalam arti yang sebenarnya sehingga ia benar – benar telah meninggalkan perbuatan – perbuatan dosa yang dilarang oleh Allah menuju hal – hal yang diperintahkan dan diridlai Allah SWT.

Bagi seornag muslim penting baginya untuk selalu mengoreksi diri dalam setiap waktu apakah setiap waktu yang dilalui sudah sesuai dengan kehendak Allah atau belum. Kalau belum maka hendaknya segera berhijrah agar setiap saat dari waktu yang dilaluinya selalu menjadi waktu yang bermanfaat. 

Seorang muhajir yang sebenarnya adalah orang yang mau meninggalkan segala yang haram, menjauhi segala larangan, menahan diri dari perbuatan dosa, meninggalkan diri dari segala pelanggaran, bertaubat dari segala kemaksiatan dan menahan dirinya dari perbuatan yang salah. Inilah hakikat berhijrah sebagaimana yang dikehendaki oleh hadits di atas.

Semoga Bermanfaat....
Allahu A'lam....

Kamis, 23 Februari 2017

Keutamaan Tauhid

Keutamaan Tauhid

Tauhid atau mengesakan Allah adalah hal yang penting bagi umat Islam. Mengesakan Allah adalah wujud penghambaan diri seorang hamba kepada Allah SWT. Pengakuan akan kebesaran dan kemaha agungan Allah.

Berkaitan dengan tauhid dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ عُبَادَةَ ابْنِ الصَّامِتِ أَنَّهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَاكَانَ مِنَ الْعَمَلِ (رواه البخاري ومسلم)

Artinya:
 Dari Ubadah bin Shamit sesungguhnya ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bahwa Muhammad saw adalah hamba dan Rasul-Nya, Isa adalah hamba dan rasul-Nya, kalimat-Nya yang diberikan kepada Maryam, serta Ruh dari-Nya, surga adalah benar adanya dan mereka pun benar adanya. Maka Allah pasti memasukkannya kedalam surga berdasarkan amalan yang dilakukannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menjelaskan bahwa barangsiapa yang bersaksi bahwa tiddak ada ilah/Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah hamba dan Rasul-Nya, Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, kalimat-Nya yang diberikan kepada Maryam, serta Ruh dari-Nya, surga adalah benar adanya dan mereka pun benar adanya, maka Allah pasti memasukkanya ke dalam surga berdasarkan amalan yang dilakukannya.

Kesaksian tidak ada Tuhan selain Allah tidak hanya bersifat lisan, akan tetapi juga menuntut adanya keseriusan dalam persaksian. Seorang saksi secara otomatis langsung melihat, mendengar dan mengetahui tanpa sedikitpun mengalami keraguan didalamnya. Apabila seorang saksi tidak secara langsung mengetahui, mendengar dan melihat maka secara otomatis persaksiannya dianggap sebagai persaksian palsu.

Persaksian tidak ada Tuhan selain Allah menunjukkan adanya iman yang sempurna didalam hati. Iman disini tidak hanya berupa ucapan secara lisan akan tetapi juga mampu direalisasikan dalam bentuk perbuatan yang nyata.

Seseorang yang hatinya telah disinari oleh Tauhid yang sempurna kepada Allah secara otomatis akan tercermin dalam kehidupan sehari – hari dalam bentuk perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Selain itu orang yang hatinya telah terang benderang dengan cahaya tauhid akan selalu sadar kepada Allah dalam setiap geraknya. Gerak – geriknya selalu berada dalam hidayah Allah SWT.

Jaminan Allah bagi orang yang hatinya dipenuhi dengan tauhid adalah Allah akan memasukkannya kedalam Surga. Surga Allah diperuntukkan kepada mereka yang menyembah dan mentauhidkan Allah tanpa ada keraguan sedikitpun.

Adapun bagi orang – orang yang imannya masih bercampur dengan keraguan maka mereka akan mendapat balasan sesuai dengan kadar keimanan yang ada didalamnya. Untuk menjadi seorang pribadi yang mampuu mentauhidkan Allah secara benar maka diperlukan latihan secara sungguh – sungguh. Latihan dalam mengelola hati agar mampu mentauhidkan Allah SWT harus dilakukan secara sungguh – sungguh dan bertahap. Tidak mungkin kita sampai pada keadaan semacam itu tanpa latihan terus menerus.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…


Rabu, 22 Februari 2017

Ingin Naik Kelas



 Ingin Naik Kelas

Ingin naik kelas? Sudah tahu syaratnya? Inilah syaratnya naik kelas menurut pendapat al-Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili:

لايترقى مريد قط إلا إن صحت له محبة الحق تعالى، ولامحبة الحق تعالى حتى يبغض الدنيا وأهلها، ويزهد نعيم الدارين (منح السنية ص 3)

Artinya: “Seorang murit tidak akan pernah naik kelas sama sekali kecuali apabila telah benar baginya cinta kepada Allah Ta’ala yang Maha Benar, dan tidak dinamakan cinta kepada Allah Ta’ala yang Maha benar sehingga ia membenci dunia serta isinya dan zuhud dari kenikmatan dunia dan akhirat.” (Minah al-Saniyah, h. 3)

Imam Abu al-Hasan al-Syadzili seorang ulama yang sangat masyhur dengan thariqah Syadziliyahnya ini mengatakan bahwa seorang murit tidak akan bisa naik kelas kecuali apabila cintanya kepada Allah SWT sudah benar. Naik kelas disini tentunya bukanlah naik kelas sebagaimana sekolah.  Tetapi yang dimaksud dengan naik kelas disini adalah kelas secara ruhani dalam maqam dunia tasawuf.

Seorang murit dalam hal ini adalah seseorang yang menempuh jalan menuju Allah (al-wushul ilallah) tidak berpindah naik ke satu maqam menuju maqam yang lain sehingga ia telah memiliki rasa mahabbah yang benar kepada Allah SWT. Oleh karena itu mahabbah kepada Allah harus dipupuk dan ditumbuhkan dalam diri seorang murit agar bisa meningkat dari satu maqam ke maqam yang lain yang lebih tinggi.

Bagaimana mahabbah kepada Allah dikatakan sebagai mahabbah yang benar? Banyak orang yang menyatakan cinta kepada Allah akan tetapi cintanya masih perlu diuji. Seringkali orang mengaku cinta kepada Allah akan tetapi perilakunya masih jauh dari cinta kepada Allah.

Menurut Imam Abu Hasan al-Syadzili seorang dikatakan telah benar mahabbah atau cintanya kepada Allah apabila ia telah mampu untuk membenci dunia beserta isinya. Benci disini bukan lantas tidak mau bersinggungan dan mencari sekedar rizki yang digunakannya untuk menyembah Allah SWT, akan tetapi lebih kepada penataan hati agar tidak memiliki setitik rasa cinta kepada dunia. 

Cinta kepada dunia akan membawa seseorang pada gelapnya mata hati yang seringkali menjadikannya sebagai orang yang lupa kepada Allah SWT. Banyak sekali orang yang karena cintanya kepada dunia lantas melupakan kewajibannya untuk beribadah kepada Allah. Orang yang cinta kepada dunia cendeung tidak bisa memandang sesuatu secara obyektif dan benar. Kecenderungan orang yang cinta dunia selalu mengedepankan kepentingan dirinya untuk meraih keuntungan. Hal inilah yang biasanya menyebabkan seseorang cenderung menuruti keinginan nafsunya.

Apabila seseorang telah memiliki rasa cinta yang benar kepada Allah maka dia tidak akan lagi berpikir untuk sekedar memenuhi hasrat nafsunya. Kehidupannya dalam keseharian lebih diperuntukkan dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT.

Kecintaan kepada Allah juga menuntut seseorang untuk berperilaku zuhud baik di dunia maupun di akhirat. Zuhud pada awalnya memiliki arti benci. Zuhud dunia artinya benci dengan kehidupan dunia dan zuhud akhirat benci dengan kehidupan akhirat. Tetapi apakah yang sebenarnya dimaksudkan dengan zuhud di dunia dan akhirat ini?

Zuhud di dunia yang dimaksudkan disini adalah dalam menjalankan semua aktifitas dan amal kita tidak ada pamrih dan tujuan – tujuan yang bersifat duniawi. Kalaulah kita beramal maka amal yang dilakukan itu semata – mata dikerjakan karena Allah tidak karena yang lain. Tidak ada keinginan untuk meraih kehidupan dunia. Bagi seorang sufi semuanya harus dilaksanakan semata karena mengabdikan diri dan cinta kepada Allah SWT.

Zuhud di akhirat memiliki arti bahwa dalam melaksanakan amal ibadah juga tidak kita niatkan untuk meraih surga ataupun dijauhkan dari neraka. Surga dan neraka bagi seorang sufi adalah makhluk Allah SWT. Oleh karena itu tidak sepatutnya kita melakukan ibadah dengan pamrih untuk mendapatkan makhluk yang sifatnya hanya fana belaka.

Ibadah yang dilakukan harus benar – benar murni karena Allah. Salah satu sikap sufi yang mencerminkan hal ini adalah sikap yang ditunjukkan oleh Rabi’ah al-Adawiyyah ketika ia sedang tergopoh – gopoh membawa setimba air dan sebuah obor. Rabi’ah mengatakan kalau seandainya aku menyembah Allah karena ingin surga maka saat ini juga akan aku bakar surga dengan api yang ada pada oborku ini. Sebaliknya jika aku beribadah kepada Allah karena takut pada neraka maka akan aku padamkan api neraka dengan air yang aku bawa ini.

Lantas untuk apa Rabi’ah beribadah kepada Allah? Rabi’ah beribadah kepada Allah semata – mata karena ia cinta kepada Allah. Ia beribadah hanya karena Allah dan tidak karena yang lainnya. Bila demikian maka perjumpaan dengan Allah, Dzat Yang Maha segala – galanya itulah yang menjadi tujuan dari ibadah bukan lagi yang lain.

Seorang murit yang telah jatuh cinta kepada Allah maka dalam hatinya tidak lagi ada pamrih yang sifatnya duniawi maupun ukhrawi. Yang ada dalam hatinya adalah rasa mahabbah kepada Allah dan tujuan hidupnya tidak lain adalah untuk mengabdi kepada Allah. Urusan apakah ia akan dimasukkan ke surga atau neraka itu tidak menjadi penting bagi seorang sufi. Apabila ia telah mampu memiliki perasaan yang demikian maka ia mampu naik ke kelas yang lebih tinggi.
 Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...


Selasa, 21 Februari 2017

Amal Paling Utama



Amal Paling Utama
Suatu hari Rasulullah SAW ditanya oleh sahabat tentang amal yang paling utama. Pertanyaan sahabat itu terdapat dalam sebuah hadits yang ditakhrij oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah RA:
حديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل: أي العمل أفضل؟ فقال: إيمان بالله ورسوله، قيل ثم ماذا؟ قال: الجهاد فى سبيل الله، قيل ثم ماذا؟ قال: حج مبرور. أخرجه البخاري
Artinya: “Hadits Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah SAW.ditanya: “Amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Ditanyakan (kepada beliau): “Kemudian apa?”. Beliau menjawab : “Berjuang pada jalan Allah”. Ditanyakan lagi (kepada beliau): “Kemudian apa?”. Beliau menjawab: “Haji yang mabrur”. (Ditakhrij oleh al-Bukhari)
Hadits diatas menjelaskan tentang amal yang paling utama dari seorang hamba. Saat ditanya tentang amal yang paling utama dihadapan Allah, Rasulullah SAW menjawab bahwa amal yang paling utama adalh Iman kepada Allah dan Rasulullah SAW.  Setelah itu berjuang dijalan Allah dan Haji yang mabrur.
Iman kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi amal yang paling utama dibandingkan dengan amal yang lain oleh karena keimanan ini menjadi pondasi dari semua amal yang lain. Amal yang tidak didasari iman kepada Allah dan Rasul-Nya niscaya akan menjadi amal yang sia – sia belaka dan tidak berguna. Ibarat orang berdagang maka dagangannya justru menuai rugi bukannya untung.
Pada hadits diatas kata iman kepada Allah dirangkai dalam bentuk jar majrur berupa ba’ dan Allah. Dalam kajian ilmu nahwu ba’ adalah huruf jar yang memiliki arti ‘ilshaq’, artinya perjumpaan. Jual beli kontan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ‘yadan biyadin’. Artinya dalam jual beli semacam ini dilakukan secara kontan. Begitu ada uang maka ada barang.
Kaitannya dengan penggunaan huruf jar pada lafadz Allah yang terdapat pada rangkaian kalimat pada hadits diatas maka hal itu menunjukkan tingkatan keimanan. Iman yang dianggap sebagai amal paling utama, bukan hanya sekedar iman bi al-lisan yang terucap melalui lisan saja. Akan tetapi lebih dari itu iman yang dimaksudkan sebagai amal yang paling utama disini adalah iman billah yang dalam kajian ilmu tasawuf dikenal juga dengan nama iman musyahadah.
Iman musyahadah diartikan sebagai iman yang sudah menancap dalam hati hingga pemiliknya mampu merasakan kehadiran Allah dalam setiap detik dalam kehidupannya. Seolah – olah orang yang berada pada maqam ini selalu melihat –musyahadah- Allah dalam setiap saat. Inilah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam menerangkan ihsan saat Malaikat Jibril A.S. menemuinya ditengah – tengah para sahabat untuk mengajarkan tentang iman, islam dan ihsan.
Saat ditanya tentang ihsan Rasulullah SAW menjawab: “Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah – olah engkau melihat-Nya, andai engkau tidak dapat melihat-Nya maka –sadarlah- sesungguh-Nya Ia melihatmu.” Ini adalah gambaran iman yang telah mengakar dalam hati seseorang sehingga dalam setiap detik dalam kehidupannya iman selalu menjadi ruh yang menjadikan semua amal dan perbuatannya hidup.
Lebih dalam lagi gambaran iman musyahadah ini terdapat dalam sebuah hadits Qudsi: “Dan tiadalah seorang hamba yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah sunnah hingga Akuu mencintainya dan dia mencintai-Ku, maka jadilah Aku penglihatannya yang dengan penglihatan itu dia melihat, jadilah Aku pendengarannya yang dengan pendengaran itu ia mendengar, dan jadilah Aku tangannya yang dengan tangan itu ia memegang.” Artinya bagi seseorang yang telah sampai pada maqam iman billah/musyahadah ini maka ia selalu merasakan bahwa setiap ‘obah museknya’, seluruh gerak – geriknya semua terjadi karena semata fadlal dan rahmat Allah SWT. Tanpa rahmad dan kasih sayang Allah, tanpa digerakkan Allah maka ia tidak mampu melakukan apa – apa. Ibarat wayang yang diobahne ‘Dalang’. Geraknya wayang karena digerakkan  dalang, tidurnya wayang ya karena ditidurkan dalang, makannya karena dimakankan dalang, bicaranya karena dibicarakan oleh dalang begitu seterusnya. Jadi manusia tidak bisa melakukan apapun yang mampu melakukan hanyalah Allah  semata. Inilah yang dimaksud dengan iman billah/musyahadah.
Dasar dari iman musyahadah ini sebenarnya terdapat pada al-Qur’an: “Dan Allahlah yang menciptakanmu dan menciptakan apa yang akan kamu kerjakan.” Menurut para ulama sufi khususnya ini adalah dasar dari iman billah/musyahadah. Siapapun orang yang mencapai maqam seperti ini maka amalnya akan betul – betul murni sehingga menjadi amal yang dianggap paling utama sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
Namun yang perlu kita cermati disini adalah penggunaan kata warasulihi yang terangkai dalam susunan ‘athaf dengan huruf athaf wawu. Dalam tradisi ilmu nahwu faidah dari huruf athaf  wawu” adalah untuk menunjukkan arti limutlaqi al-jam’i, artinya mutlak harus bersamaan. Dengan demikian maka bisa dipahami bahwa iman billah/musyahadah saja tidak cukup harus ada iman bi al-rasul. Menurut para ulama sufi khususnya, iman bi al-rasul artinya sadar sesadar – sadarnya bahwa kita bisa merasakan dan mendapatkan nikmat semacam ini karena jasa Rasulullah SAW. Tanpa jasa Rasulullah SAW maka kita tidak akan terwujud didunia ini bahkan dunia beserta isinya tidak akan terwujud tanpa ada jasa Rasulullah SAW.
Adapun yang menjadi dasar dari para ulama menganai hal ini adalah hadits Qudsi, “Andai tanpa engkau Muhammad maka aku tidak akan menciptakan cakrawala”. Oleh karena itulah maka setiap manusia harus merasa berhutang budi kepada Rasulullah SAW. Iman bi al-Rasul harus bersamaan dengan iman billah/musyahadah agar bisa menjadikan setiap apa yang kita kerjakan sebagai sesuatu yang paling utama dihadapan Allah SWT. Antara iman billah dan bi al-rasul harus bersamaan sama halnya dengan syahadatain. Syahadat tauhid dan syahadat rasul harus bersamaan tidak sah syahadat seseorang yang hanya syahadat tauhid tanpa syahadat rasul begitu pula sebaliknya. Maka antara keduanya harus seiring dan sejalan bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Iman bi al-rasul akan menjadi jiwa kita manakala kita sudah benar – benar ikut ‘nderek’ kepada Rasulullah SAW dengan sungguh – sungguh. Tanpa ikut/manut pada Rasulullah dengan sungguh – sungguh maka mustahil kita bisa mendapatkan iman bi al-rasul yang benar. Dalam suatu riwayat al-Syaikh Imam al-Syadzili pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW.  Dalam mimpinya itu Imam al-Syadzili menanyakan hal ‘hakikat nderek’ kepada Rasulullah SAW yang sesungguhnya, “Wahai Rasulullah, apakah hakikat ikut penjengengan yang sejati?, Rasulullah SAW bersabda: “Hakikat ikut yang sejati adalah melihat yang diikuti ada didekat segala sesuatu, bersama segala sesuatu dan pada segala sesuatu.”
 
Makna dalam riwayat ini menggambarkan bagaimana iman bi al-rasul dalam arti yang sesungguhnya. Iman bi al-rasul juga menuntut adanya kesadaran sebagaimana yang terdapat dalam iman musyahadah. Iman bi al-rasul menuntut adanya kesadaran yang terwujud dalam rasa bahwa aslu al-khilqah untuk semua makhluk di dunia ini adalah Rasulullah SAW. Diakui maupun tidak asal kejadian dari seluruh makhluk di dunia ini adalah nur Muhammad SAW. Oleh karena itu amal yang paling utama dihadapan Allah SWT tidak lain hanyalah iman billah/musyahadah dan iman bi al-rasul.
Setingkat dibawah iman billah dan bi al-rasul ini adalah jihad fi sabilillah, berjuang dijalan Allah. Berjuang dijalan Allah termasuk amal yang utama. Perjuangan sudah barang tentu membutuhkan pengorbanan yang besar. Tidak hanya berupa harta benda, waktu dan kesempatan, lebih dari itu jihad fi sabilillah juga menuntut kerelaan kita untuk mengorbankan jiwa dan raga demi tegaknya kalimah Allah di bumi.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa makna jihad tidak selalu diartikan dengan peperangan menumpahkan darah orang kafir. Perjuangan semacam ini mungkin dahulu memang diperlukan bahkan umat islam dituntut untuk andil di dalamnya. Dalam konteks saat ini tentu harus dipahami secara berbeda meski terkadang mungkin hal itu dalam kondisi tertentu juga diperlukan. Saat ini konteks jihad bisa diartikan dengan dakwah untuk mengajak umat semakin sadar kepada Allah SWT. Tidak melulu mengurusi masalah dunia yang fana belaka tetapi bagaimana menyadarkan umat sehingga dalam kegiatan mereka yang bersifat duniawi juga terdapat unsur ubudiyah kepada Allah SWT.
Jihad fi sabilillah juga bisa dilakukan dengan cara memerangi kebodohan yang masih banyak tersebar dinegeri ini. Bisa juga dengan mengentaskan kemiskinan, memberdayakan potensi yang ada disetiap lini kehidupan manusia sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan semakin makmurnya kehidupan masyarakat, semakin meningkat kesejahteraannya maka diharapkan semakin besar rasa syukur mereka kepada Allah SWT.
Amal berikutnya yang utama adalah haji mabrur. Diterangkan dalam suatu hadits bahwa haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga. Untuk menunaikan ibadah haji mungkin adalah hal yang sulit, terutama saat – saat sekarang ini. Sekarang untuk bisa berangkat haji orang harus bersabar bertahun – tahun menunggu antrian. Semakin lama mungkin antrian itu semakin panjang. Oleh karenanya dibutuhkan kesabaran dalam menunggu gilirannya.
Meski proses untuk berangkat sulit namun masih ada yang lebih sulit yaitu meraih gelar haji mabrur. Haji mabrur hanya Allahlah yang tahu. Oleh karenya sebelum keberangkatan perlu persiapan bathin yang sebaik – baiknya agar bisa meraih hajii yang mabrur. Sebagaimana janji Allah, haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...