Memilih Pasangan Hidup
Pernikahan
merupakan hal penting dalam kehidupan. Menikah merupakan sarana bagi seseorang
untuk melanjutkan hidup. Setidaknya, keturunannya akan melanjutkan misi hidup
yang mungkin saja belum sempat diwujudkannya semasa hidup.
Bagi
seorang yang normal dan berakal, tentu tidak akan merasa cukup dengan banyaknya
harta yang dimiliki, jabatan yang disandang dan gelar kehormatan yang di
dapatkan. Jika dia normal, tentu akan berpikir untuk menikah. Sebaliknya, jika
tidak lagi ada keinginan untuk menikah, tentu ada sesuatu yang salah dalam
dirinya.
Persoalannya,
ternyata menikah itu tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak hal yang
perlu dipertimbangkan dan dijadikan patokan dalam memilih pasangan hidup. Hal ini
pula yang terkadang membuat seseorang kurang berani atau bahkan takut untuk
mengambil sebuah keputusan, antara “ya” atau “tidak” pada setiap calon pasangan
yang ditawarkan pada dirinya.
Tulisan
ini sesungguhnya bermula dari pertanyaan seseorang, yang nampaknya juga
merasakan kegelisahan dalam menentukan siapa kelak yang menjadi pasangan
hidupnya. Seperti apa criteria calon pasangan yang harus dipilihnya sehingga
dia bisa mempertahankan rumah tangganya kelak hingga ajal memisahkan, bahkan
hingga kehidupan berikutnya, tentunya dengan harapan surga sebagai tempat
kembalinya yang abadi.
Bagi
anda yang masih “membujang” alias belum menikah, ketahuilah bahwa membujang itu
tidaklah baik. Rasul sendiri pernah menyinggung hal itu. Beliau bersabda dalam
sebuah riwayat:
دَخَلَ عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ عَكَّافُ بْنُ بِشْرٍ
التَّمِيمِيُّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ سُنَّتَنَا
النِّكَاحُ شِرَارُكُمْ عُزَّابُكُمْ وَأَرَاذِلُ مَوْتَاكُمْ عُزَّابُكُمْ [1]
Artinya: "Seorang laki-laki
yang bernama Akkaf bin Bisyr At Taimi datang menemui Rasulullah Shallalahu
'Alaihi Wasallam. Kemudian Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam bertanya kepadanya:
Sesungguhnya sunah kami adalah menikah, orang yang paling buruk di antara
kalian adalah orang yang masih bujang, dan mayit kalian yang paling hina adalah
orang yang meninggal dalam keadaan masih bujang.” (HR. Ahmad)
Menikah
itu merupakah sunnah Rasulullah Saw. karenanya seorang muslim sudah semestinya
menjalankan sunah tersebut. Meskipun sebagian orang beralasan bahwa sunnah
tidak memiliki implikasi terhadap penolakan tuntunan Rasul, tetapi, -menurut
penulis, tetap saja menikah lebih utama dibandingkan dengan membujang, apalagi
dengan dasar keterangan hadis riwayat Imam Ahmad tersebut.
Bagi
seorang lelaki hendaknya dia memilih seorang istri yang baik agamanya,
shalihah, taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta berakhlaq mulia. Ini sangat
penting bagi keberlangsungan rumah tangga.
Istri
shalihah menyadari kewajibannya sebagai seorang istri, mengetahui hak-hak
suaminya. Karenanya dia akan berusaha sekuat mungkin untuk berbakti kepada
suaminya tanpa mengenal lelah. Istri shalihah juga menyadari bahwa surga suami
terletak pada kaki ibunya. Karrenanya dia tidak akan menolak jika suaminya
berbakti kepada orang tuanya dan lebih mengutamakan ibunya dibanding dirinya. Dia
juga menyadari betul bahwa surganya berada di bawah telapak kaki suami. Karenanya
dia akan tetap taat, berbakti pada suaminya selama suami tidak mengajaknya
melakukan perbuatan maksiat.
Jika
istrimu shalihah, maka masa depanmu akan cerah. Istri shalihah akan
menjauhkanmu dari segala kesulitan, menenangkan hatimu dikala gundah gulana dan
menjadi tempatmu bersandar saat engkau tak kuasa menahan beban.
Jika
istrimu shalihah, anakmu akan terawat. Masa depan anakmu akan cerah, karena
dialah madrasah pertama bagi anak-anakmu. Dia yang akan mengenalkan anak-anakmu
pada Rab dan nabimu, menjaganya dari segala marabahaya yang menjerumuskan
dirimu dan anak-anakmu ke jurang neraka.
Bagi
seorang wanita yang ingin menikah, hendaknya engkau memilih calon suami yang
baik akhlaqnya terlebih dahulu. Rasul mengatakan dalam sebuah hadis:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ ابْنِ وَثِيمَةَ
النَّصْرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ
إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ قَالَ
وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي حَاتِمٍ الْمُزَنِيِّ وَعَائِشَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَدْ خُولِفَ عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ سُلَيْمَانَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ
وَرَوَاهُ اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْسَلًا قَالَ أَبُو عِيسَى قَالَ
مُحَمَّدٌ وَحَدِيثُ اللَّيْثِ أَشْبَهُ وَلَمْ يَعُدَّ حَدِيثَ عَبْدِ الْحَمِيدِ
مَحْفُوظًا[2]
Artinya: (TIRMIDZI - 1004) :
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abdul
Hamid bin Sulaiman dari Ibnu 'Ajlan dari Ibnu Watsimah An Nashri dari Abu
Hurairah berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika
seseorang melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedangkan kalian ridha
agama dan akhlaknya (pelamar tersebut), maka nikahkanlah dia (dengan anak
perempuan atau kerabat kalian). Jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka
bumi dan kerusakan yang besar." (Abu Isa At Tirmidzi) berkata;
"Hadits semakna diriwayatkan dari Abu Hatim Al Muzani dan Aisyah."
Abu Isa berkata; "Tentang hadits Abu Hurairah, Abdul Hamid bin Sulaiman
menyelisihi hadits ini. Laits bin Sa'ad meriwayatkannya dari Ibnu Ajlan dari Abu
Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam secara mursal." Abu Isa
berkata; "Muhammad berkata; 'Hadits Laits lebih kuat dan hadits Abdul
Hamid bukan hadits yang mahfuzh (terjaga) '." (HR Tirmidzi)
Suami adalah calon imam dalam
sebuah keluarga. Hendaknya seorang wanita memilih seorang suami yang mampu
menjadi imam yang mengantarkan dirinya ke tujuan akhir hidupnya, yakni Allah
Swt. Oleh karena itu penting artinya bagi seorang istri untuk memperhatikan
betul criteria suami yang bisa menjadi sopir bagi kehidupannya dan
anak-anaknya. Jangan sampai menjadikan seorang yang tidak mampu membawanya
sampai pada tujuan akhirnya, Allah Swt.
Akhlaq menjadi tolok ukur bagi
suami yang sanggup menjadi imam. Mengapa demikian? Akhlaq merupakan sikap yang
tertanam di dalam diri seseorang yang dengannya dia bisa melakukan sesuatu
tanpa berpikir panjang. Akhlaq yang baik merupakan buah dari iman yang tertanam
di dada seseorang. Ia menjadi tolok ukur bagi baik dan buruknya islam
seseorang. Rasul bersabda:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " مِنْ
حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ "[3]
Artinya:
“Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda, sebagian di antara tanda
kebaikan islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak ada gunanya.”
Selanjutnya
carilah suami yang berilmu, yang dengan ilmu tersebut dia menuntun anda pada
jalan yang benar, jalan yang diridlai Allah Swt. Adapun harta, pangkat dan
sejenisnya memang penting, akan tetapi hal itu kalah dengan pentingnya hal-hal
sebagaimana di atas. Ingatlah, bahwa hidup ini sesungguhnya hanyalah tempat
persinggahan menuju kehidupan kekal abadi, yakni menghadap kepada-Nya. Dan
hanya orang yang kembali kepada-Nya dengan membawa hati yang selamatlah yang
kelak akan bahagia di sisi-Nya.
Komentar
Posting Komentar