Munculnya Hikmah


Munculnya Hikmah

Banyak orang yang mengira bahwa hikmah itu sepadan dengan filsafat. Filsafat sebagaimana disebutkan dalam beberapa literatur berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata ini tersusun dari dua kata philein (mencintai), philia (cinta), philos (sahabat, kekasih) dan shopia (kebijaksanaan, kearifan). Dengan demikian secara sederhana filsafat memiliki arti cinta kebijaksanaan.

Secara khusus al-Gaza>li menyitir hal ini di dalam al-Risa>lah al-Ladunniyah. Beliau mengatakan bahwa tidak semudah itu seseorang bisa dikatakan sebagai ahli al-h}ikmah atau h}aki>m. Menurut al-Gaza>li hikmah tidak bisa dicapai dengan hanya usaha-usaha belajar yang sifatnya manusiawi, -layaknya manusia pada umumnya.

Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa hakikat ilmu ladunni diperoleh dari ilmu ladunni.[1] Seorang yang tidak mampu mencapai derajat ilmu ladunni, dia tidak bisa disebut sebagai h}aki>m karena h}ikmah merupakan sebagian di antara pemberian-pemberian Allah Swt.[2]


Sehubungan dengan hal tersebut, al-Gaza>li menyitir ayat al-Qur’an Surat al-Baqa>rah (2); 265, yang artinya “Allah menganugerahkan hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan al-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan tidaklah mengingat kecuali orang-orang yang berakal.”

Bagi al-Gaza>li hikmah hanya diberikan oleh Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai martabat ilmu ladunni. Mereka tidak memerlukan banyak waktu untuk belajar, bercapek-capek dalam mengkaji dan menggali pengetahuan.

Hikmah bisa diperoleh dengan beberapa hal. Di antaranya hal yang bisa membuka hikmah dalam diri seseorang adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.,

من عمل بما علم أورثه الله العلم بما لم يعلم[3]

Artinya: “Barangsiapa beramal dengan apa yang diketahuinya, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya.”

Bagi al-Gaza>li h}adi>s di atas menjadi dasar bagi seorang mendapatkan hikmah dari Allah Swt. Hikmah yang diberikan karena kesungguhan seseorang dalam menjalankan semua apa yang diketahuinya. Tidak hanya sekedar berteori tanpa praktek dan amal.

Orang yang hanya pandai berbicara tanpa mau untuk menerapkan apa yang diketahuinya dengan amal perbuatannya tidak mungkin mendapatkan hikmah. Kalaupun dia mendapatkan pemahaman yang lebih dari manusia lainnya itu hanyalah sebatas pemahaman manusiawi saja.

Hikmah merupakan petunjuk yang langsung diberikan Allah Swt kepada hamba-Nya yang terpilih. Hamba-Nya yang dengan kesungguhan hati terus mendekat kepada-Nya dengan mengamalkan seluruh pengetahuan yang ada pada dirinya. Karena itu kebenaran hikmah bersifat absolut dan tak terbantahkan, berbeda dengan filsafat yang masih membuka ruang untuk diadakannya debat dan diskusi untuk menguji dalil yang lebih kuat.

Cara berikutnya yang mungkin bisa membuka pintu hikmah dalam diri seseorang adalah dengan mengikhlaskan diri beramal semata karena Allah. Dasar yang diajukan al-Gaza>li adalah sabda Rasulullah Saw. yang menyatakan bahwa:

من أخلص لله أربعين صباحا أظهر الله تعالى ينابيع الحكمة من قلبه على لسانه[4]

Artinya: “Barangsiapa yang ikhlas kepada Allah selama empat puluh hari, niscaya Allah akan menampakkkan mata air hikmah dari hati ke lidahnya.”

Semakin jelas dalam h}adi>s ini bagaimana Allah Swt. akan menuangkan hikmah ke dalam hati hamba-hamba-Nya. Orang-orang yang dengan ikhlas beramal karena Allah Swt. selama empat puluh hari, berdasarkan keterangan h}adi>s tersebut akan diberikan h}ikmah. Pertanyaannya? Apakah secara otomatis, seseorang yang telah beramal secara ikhlas karena Allah selama empat puluh hari akan mendapatkan hikmah sebagaimana yang disebutkan h}adi>s tersebut?

Dalam hal ini, menurut hemat penulis perlu dilakukan kajian secara serius dan mendalam. Boleh jadi empat puluh hari tersebut tidak menunjuk kepada bilangan tersebut, melainkan yang dimaksudkan adalah keistiqamahan dalam melakukan amal yang ikhlas tersebut. Mengapa demikian?

Dalam tradisi Arab seringkali bilangan tidak digunakan untuk menunjukkan zahir bilangan, melainkan digunakan untuk menunjukkan arti banyak. Sebagaimana kata سبعة أحرف pada h}adi> diturunkannya al-Qur’an. Ulama’ menyimpulkan bahwa hal itu bukan menunjuk pada bilangan tujuh itu sendiri melainkan banyak.

Boleh jadi, apa yang dikehendaki oleh h}adi>s nabi dalam kasus ditampakkannya sumber h}ikmah ini adalah arti banyak/istiqa>mah, yang dilakukan secara terus-menerus. Seorang yang dengan sungguh-sungguh dan istiqa>mah beramal ikhlas karena Allah akan diberikan kepadanya hikmah.

Selain itu, -menurut penulis, yang perlu dicermati adalah kualitas dari keikhlasan itu. Apakah keikhlasan itu sudah sampai pada kualitas yang diinginkan. Kualitas ikhlas yang dimiliki seseorang tentu akan berpengaruh pada raihan seberapa hikmah yang akan dituangkan dan diberikan Allah pada diri seorang hamba. Sebagaimana kualitas cinta yang akan tampak dari seberapa besar pengorbanan yang diberikan untuk yang dicintainya. Seberapa murni kualitas keikhlasan  seseorang dalam beramal karena Allah, sebesar itu pula Allah akan memberikan anugerah-Nya pada hamba-Nya tersebut.


[1] Al-Gaza>li, al-Risa<lah al-Ladunniyah, (...: Kurdistan al-‘Ilmiyyah, 1328 H), 31
[2] Ibid., 31
[3] Ibid., 37
[4] Ibid., 37

Komentar