Tiang
Jalan
Perjalanan
menuju kepada Allah, bukan urusan mudah. Banyak penghalang dan rintangan yang
akan ditemui para penempuh jalan untuk sampai ke hadrah qudsiyyah-Nya, Allah
Swt.
Para
ulama mewajibkan adanya para mursyid yang menuntun perjalanan para penempuh
jalan ini. Para mursyid akan membimbing dan mengarahkan para penempuh jalan
ini, agar mereka bisa sampai pada tujuan yang diinginkan dan tidak tersesat di
jalan yang salah.
Di awal
perjalanan, seorang penempuh jalan masih mudah membedakan antara yang benar dan
haq. Hal ini dikarenakan hijab yang menjadi penghalangnya dan Tuhannya, masih
berupa hijad zulmah. Kegelapan, yang karena gelapnya itu dia sadar dan
memerlukan lentera untuk menerangi jalan yang ditempuhnya. Dia mencari lentera
dari ilmu para ulama yang menuntunnya, dan mengarahkannya pada perilaku menjauh
dari kemaksiatan. Sementara di tahapan berikutnya, hijab itu semakin lembut dan
samar karena kuatnya ketaatan ibadah zahir yang dilakukan seringkali digunakan
syaithan untuk melakukan tipu daya lembut dalam diri para pencari jalan ini.
Syaikh
Abdul Wahab al-Sya’rani mengatakan bahwa setidaknya ada empat tiang yang mesti
dipegang para pejalan ini agar dia sampai pada tujuan yang diharapkan. Empat
tiang tersebut adalah lapar, berjaga di waktu malam, ‘uzlah dan diam.
Para ulama
mengumpulkan empat tiang tersebut pada bait syairnya:
بيت
الولا ية قسمت أركانه ساداتنا فيه من
الأبدال
مابين
صمت واعتزال دائما والجوع والسهر النزيه
الغالى [1]
Artinya:
“Rumah kewalian telah dibagi tiangnya oleh para pemimpin kami wali abdal,
yakni apa yang ada pada diam, ‘uzlah terus menerus, lapar, dan mahalnya berjaga
di malam hari”
Seorang
penempuh jalan menuju kepada Allah, hendaknya tidak mengumbar banyaknya
omongan. Sedikit bicara yang bermanfaat jauh lebih baik dan menyelamatkan
keimanan daripada banyaknya kata yang seringkali menjerumuskan seseorang ke
lembah dosa. Lisan tak bertulang, seringkali memaksa mereka yang suka bicara
untuk membicarakan sesuatu yang tidak semestinya dibicarakan. Karenanya bagi
para penempuh jalan menuju Tuhan, hendaknya lebih banyak diam, dan menahan diri
dari mengatakan sesuatu yang memancing berbicara, kecuali jika berbicara itu
menjadi wajib baginya.
Pilar kedua
adalah ‘uzlah selamanya. ‘Uzlah bukan berarti meninggalkan keramaian dan
mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat. ‘Uzlah dalam pandangan Syaikh
Wahab al-Sya’rani di sini adalah mengisi hati dengan selalu zikr kepada Allah
dan menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh dunia. Pengaruh dunia yang memalingkan
pandangannya dari ‘syuhud’, menyaksikan keagungan Allah Swt.
Pilar ketiga
adalah memperbanyak lapar. Mengurangi menuruti syahwat-syahwat duniawi yang
lebih banyak dipicu oleh kenyangnya perut. Apalagi jika perut itu diisi dengan
makanan yang haram. Beliau mengingatkan, jika perut dipenuhi dengan
makanan-makanan haram, maka daging dan darah yang tersusun dari makanan haram
akan meminta haknya untuk berbuat maksiat.
Pilar keempat
adalah berjaga di waktu malam. Saat-saat malam, Allah turunkan rahmat-Nya untuk
para hamba-Nya. Allah berfirman melalui h}adi>s qudsi kepada para
malaikat-Nya, siapa saja yang meminta kepada-Nya di tengah malam akan
dikabulkan, siapa saja yang meminta ampun akan diampuni. Malam yang penuh
anugerah, tidak akan dilewatkan oleh para penempuh jalan menuju kepada-Nya
dengan sia-sia. Mereka berlomba menyambut anugerah yang dicinta-Nya. Karenanya,
jika seorang mengaku sebagai penempuh jalan kepada h}ad}rah qudsiyyah-Nya,
namun ia dengan gampangnya meninggalkan berjaga di waktu malam, maka
pengakuannya hanya bohong belaka.
Komentar
Posting Komentar