Tercerabutnya Ilmu


Tercerabutnya Ilmu

Dalam salah satu  h}adi>t} Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، فَإِذَا ذَهَبَ عَالِمٌ، ذَهَبَ بِمَا مَعَهُ مِنَ الْعِلْمِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا»[1]

Artinya: Dari rasu>lula>h Saw. ia bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari seseorang, tetapi Ia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, ketika seorang alim pergi (wafat), dia pergi bersama ilmu yang dimilikinya, sehingga saat tidak tersisa lagi seorang alim, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya, mereka ditanya, kemudian mereka memberikan fatwa tanpa ilmu, mereka sesat lagi menyesatkan.”  (HR. Ali> al-Ja’diy)

Ilmu tidak akan dicabut Allah Swt dari dunia ini dengan mencabutnya secara langsung, menghilangkannya dari hati para ulama. Akan tetapi Allah akan mencabut ilmu itu dengan mewafatkan para ulama yang memiliki ilmu tersebut.


Ulama merupakan pewaris para nabi dan rasul di dunia ini. Di tangan mereka terletak kebaikan manusia baik sekarang maupun di masa mendatang. Mereka memiliki ilmu yang dengan ilmunya, mereka menebarkan benih-benih perdamaian, persatuan dan kasih sayang di antara umat manusia. Mereka selalu arif dan bijak saat bertindak, arif dan bijak saat memberikan fatwa dan selalu memudahkan orang lain dan tidak mempersulitnya.

Mereka diciptakan sebagai penyeimbang di dunia ini. Penyeimbang yang karenanya, kebaikan dan keburukan tidak menjadi timpang. Kezaliman masih tetap dikendalikan dengan dakwah dan seruan yang mereka teriakkan. Mata dan telinga tertujuu kepadanya, karena kagum akan kearifan, dan samudera ilmu luas yang meneduhkan, mendinginkan setiap hati yang membara karena amarah, menyejukkan jiwa-jiwa gersang yang penuh kemaksiatan.

Mereka bukanlah penyebar fitnah, kebohongan, apalagi melakukan profokasi berlebihan yang bisa memacah belah umat. Fatwanya selalu mengajak untuk mendekat kepada Rab-nya, jauh dari kepentingan pribadi untuk memenuhi hasrat kepuasan diri.

Saat mereka kembali kepada Rab-nya, pergilah ilmu bersamanya. Pergi bersama bersemayamnya jasad wadagnya untuk memenuhi panggilan “Rab-nya”. Dunia merasa sedih, langit tak kuasa menahan kesedihannya hingga berjatuhanlah butir-butir air darinya. Mengguyur bumi dengan yang menjadi saksi keber “pulang”-annya untuk menghadap Rab-nya.

Jasadnya, mungkin tidak lagi bisa dijumpai di dunia fana ini. Namun, nama dan jiwanya tetap abadi di sanubari para santrinya. Mata melihat, telinga mendengar, tangan dan kaki menjadi saksi disemayamkannya jasad wadagnya, tetapi Allah Swt telah berjanji,

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (169)

Artinya: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. Ali ‘Imra>n (3); 169)

Mereka para ulama yang gugur berjuang demi kebaikan umat Islam  mereka akan tetap kekal di sanubari umat Islam. Namanya harum di tengah-tengah umat, mereka juga mendapatkan rizki di sisi Rab-nya.

Hari ini Allah telah memanggil satu di antara lentera umat di tanah sucinya. Seorang ulama kharismatik yang telah lama berjuang untuk menunjukkan umat. Selalu meneduhkan fatwa-fatwanya. Menenangkan jiwa setiap telinga yang mendengar, meski –saya pribadi, belum pernah bersua dengan beliaunya. Hanya melalui media saya mendengar dawuh-dawuh dan fatwanya. Meneduhkan setiap mata yang memandang. Langit tanah suci menangisi ke-pulangannya, KH. Maimun Zubair. Ulama sepuh karhismatik, pengasuh Pondok Pesantren al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah pada Selasa, 6 Agustus 2019 di Tanah Suci Makkah.

Kesedihan di atas kesedihan melanda seluruh umat Islam, yang hari ini telah kehilangan satu lagi lentera hidup yang menyejukkan. Yang menyinari hati mereka sehingga terjauh dari berbagai kegelapan, kedangkalan berpikir. Selamat jalan Mbah Maimun. Kami yakin Panjenengan tenang di sisi-Nya, Husnul Khatimah. Semoga setelah kepergian panjenengan kami tetap berada di jalan yang benar, jalan yang diridhai Allah Swt dan Rasul-Nya. Dan semoga, semoga dan semoga akan bermunculan para penerusmu dalam menyebarkan rahmat di seluruh dunia ini.



[1] Ali> Ibnu al-Ja’diy, Musnad al-Ja’diy, (Beirut: Muassisah Na>dir, 1990), 392

Komentar