Memahami Arti Fithrah
Setiap manusia terlahir dalam keadaan “fitrah”. Rasulullah menegaskan hal
ini melalui sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya.
Redaksi hadits tersebut adalah sebagai berikut:
قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ،
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ
البَهِيمَةِ تُنْتَجُ البَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ» (رواه البخارى)
Artinya: “Nabi saw bersabda; “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah (suci), maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, atau Majusi, sebagaimana binatang ternak yang dilahirkan induknya, adakah engkau melihat (adanya) cacat di dalamnya?” (HR. Bukhari).
Hadits diatas menjadi pijakan bagi setiap muslim
untuk meyakini bahwa setiap bayi yang terlahir di dunia dalam keadaan “fithrah”.
Keadaan dimana kondisinya masih murni, belum terkontaminasi oleh apapun,
sehingga lingkungan lah yang nantinya membentuk, terutama lingkungan keluarga,
mengingat kedua orang tua adalah madrasah pertama bagi tumbuh kembangnya
anak-anak.
Berkenaan dengan makna “fithrah”, ada beragam
penafsiran yang diberikan oleh para ilmuan, khususnya ilmuan muslim. Makna pertama,
fithrah diartikan sebagai “suci”. Artinya setiap anak yang terlahir di dunia
ini, siapapun kedua orang tuanya, apapun agamanya dan bagaimanapun perilakunya,
semua lahir dalam keadaan suci tanpa membawa “dosa” sedikitpun.
Pemahaman seperti ini menampik adanya anggapan
sementara orang yang menyebut bahwa anak hasil perzinaan adalah “anak haram”.
Tidak ada dalam kamus Islam, istilah anak haram, meskipun dia lahir dari
hubungan di luar pernikahan. Yang ada, bahwa perbuatan kedua orang tuanya lah
yang haram dan kelak mereka akan mempertanggungjawabkan semuanya di hadapan Allah
swt. Adapun status dari anak tetap berada dalam kesuciannya, yakni fithrah yang
dibawanya saat dilahirkan. Karena itu, dalam prinsip Islam tidak ada istilah “dosa
warisan”.
Penafsiran dengan makna ini pula, yang agaknya
mengilhami teori peran pentingnya lingkungan dalam membantu tumbuh kembang
anak, serta bagaimana menentukan kepribadian anak di masa mendatang. Lingkungan,
baik dari yang terkecil,-dalam hal ini keluarga, lingkungan masyarakat dimana
ia tinggal dan lebih lanjut lagi lingkungan dimana ia bergaul akan menjadi
penentu bagi pertumbuhan dan perkembangannya di masa mendatang.
Makna kedua dari “fithrah” adalah “hadzihi
al-millah, agama ini (Islam)”. Penafsiran ini sebagaimana disebutkan dalam
Tafsir Al-Sam’ani pada hal 407 saat menafsirkan Surat Al-Rum (30); 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي
فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (Qs. Al-Rum (30); 30)
Jadi, fithrah disini diartikan
sebagai agama Islam, yakni agama yang ada dalam diri setiap manusia sejak dilahirkan
dari rahim ibunya. Agama yang diyakini sebagai satu-satunya agama yang diakui
kebenarannya oleh Allah swt sebagai Sang Pencipta alam semesta. Hal ini
sebagaimana ditegaskan-Nya pada ayat yang lain, yakni Surat Ali Imran (3); 19:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ
وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Artinya: “Sesungguhnya
agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Qs. Ali Imran (3); 19).
Makna ketiga dari “fitrah” adalah potensi
bawaan yang dimiliki oleh setiap manusia yang dibawanya sejak dilahirkan. Penafsiran
seperti ini sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Luthfi Ghozali dalam bukunya, “Thoriqoh
Sebagai Makanan dan Obat, Mengikuti Jalan Guru Mursyid Menggapai Surga Dunia
dan Surga Akhirat”, pada halaman 8. Luthfi Ghozali menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan fithrah adalah kondisi hardware dan operating system
yang tersedia dalam diri bayi yang baru dilahirkan, jika ia mendapatkan
keduanya dengan kwalitas yang canggih maka manusia itu akan memiliki kwalitas
individu yang canggih.
Makna yang ketiga ini menunjuk
pada potensi bawaan yang dimiliki oleh setiap individu manusia saat dilahirkan
ke dunia. Setiap individu memiliki potensi yang tidak sama dengan yang lainnya.
Perbedaan potensi tersebut membuka peluang bagi setiap orang untuk berkembang
sesuai dengan potensi yang dimilikinya, yang tentunya jika dikembangkan akan
memiliki dampak besar bagi kehidupannya di masa mendatang.
Penafsiran seperti ini sangat
logis dan realistis. Nyatanya memang setiap orang terlahir dengan bakat yang
berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam satu kelas misalnya, sama-sama
diajar oleh guru yang sama, dijelaskan dengan cara yang sama, namun pemahaman
masing-masing bisa berbeda. Mengapa hal itu terjadi? Karena kondisi hardware
dan operating system nya berbeda. Perbedaan inilah yang kemudian
menyebabkan daya tangkap, daya hafal dan daya memahami antar manusia berbeda.
Makna ketiga inilah yang agaknya
menjadi dasar, bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa yang lain. Keberlangsungan
hidup manusia bisa terus berjalan, manakala ia berinteraksi dengan yang lain. Semakin
tinggi intensitas interaksinya dengan yang lain, semakin terbuka peluang untuk
meningkatnya kualitas hidup. Itulah sebabnya mengapa
Rasulullah saw sangat menganjurkan untuk menyambung tali silaturahim karena di
dalam silaturahim itu, terbuka berbagai peluang yang bisa dijadikan seseorang
untuk mengembangkan potensi bawaan yang dibawanya sejak dilahirkan di dunia.
Komentar
Posting Komentar