Siapa yang Ingin Dilapangkan Rizkinya?

 

Siapa Yang Ingin Dilapangkan Rizkinya



Sudah menjadi sunnatullah, bahwa manusia hidup di dunia tidak bisa dilepaskan dari berbagai kebutuhan, baik kebutuhan sebagai makhluk individu, sosial maupun makhluk yang berketuhanan. Semua itu telah ditetapkan sejak zaman azali, yakni zaman dimana manusia belum terlahir sebagai manusia di dunia.

Setelah manusia lahir di dunia, ia terikat dengan berbagai problematika yang ada di dunia. Sebagai makhluk sosial ia ditakdirkan membutuhkan orang lain, baik sekadar untuk berkomunikasi, bertukar pikiran, maupun dalam upaya memenuhi kebutuhannya.

Sebagai makhluk yang tercipta di dunia, manusia memiliki dimensi lahir dan batin. Secara lahir, maka manusia terikat dengan berbagai kebutuhan selama hidup di dunia. Ia membutuhkan makan, minum, tempat tinggal serta pakaian. Semua itu merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh siapapun, selama ia masih hidup di dunia.

Setiap orang tentu berharap agar selama menjalani kehidupan di dunia, bisa hidup secara berkecukupan atau bahkan berlebih. Bahkan keinginan tersebut, tidak jarang menyebabkannya lupa pada tugas pokoknya sebagai makhluk yang berketuhanan. Siang dan malam dipenuhi dengan upaya untuk mencapai kebahagiaan dengan meraup pundi-pundi harta yang dianggapnya bisa menjadikan dirinya hidup bahagia di dunia. Pandangan ini, tentu perlu diluruskan agar setiap orang tidak sekadar berburu “materi” yang ujungnya justru menjadikannya sebagai makhluk yang berjiwa “materialis”.

Wajar, jika setiap orang berharap agar memiliki rizki yang luas, paling tidak, luasnya rizki menjadi tolok ukur seseorang bisa memenuhi kebutuhannya selama di dunia. Namun, jangan sampai hal itu menyebabkan dirinya lupa kepada kehidupan hakiki di akhirat. Karena itu, dibutuhkan untuk merubah “mindset”, agar kelapangan rizki itu benar-benar menjadi hal yang mendorong kebahagiaan baginya, baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam satu riwayat, Rasulullah saw bersabda:

يَا عُقْبَةُ أَلَا أُخْبِرُكَ بِأَفْضَلِ أَهْلِ الدُّنْيَا وَأَهْلِ الْآخِرَةِ: تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ، وَتُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ، وَتَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ، أَلَا وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمُرِهِ وَيُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَصِلْ ذَا رَحِمِهِ "، ( الجامع ابن وهب)

Artinya: “Wahai ‘Uqbah, bukankah aku telah memberikan kabar kepadamu tentang ahli dunia dan ahli akhirat yang lebih utama? Yaitu, engkau menyambung (silaturahim) orang yang memutus silaturahim kepadamu, memberi seseorang yang melarang (memberimu), dan memaafkan seorang yang berbuat dhalim kepadamu, ingatlah siapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dilapangkan rizkinya, maka sambunglah (tali silaturahim) orang yang memiliki persambungan (silaturahim) kepadanya.” (Al-Jami’ Ibn Wahab).

Islam memiliki sudut pandang sendiri sebagai tolok ukur kebahagiaan. Islam tidak sekadar mengukur kebahagiaan dari sisi kepemilikan material semata. Lebih dari itu, islam melihat kebahagiaan yang hakiki adalah manakala rizki yang diberikan Allah, diridhai-Nya, serta menjadi penyebab keselamatannya kelak dihari kiamat.

Namun, demikian, yang lebih menarik lagi bahwa selain didasarkan pada kebahagiaan hakiki di akhirat, Islam juga mengaitkannya dengan kehidupan sosial. Kebahagiaan hakiki manakala antara kebutuhan manusia sebagai makhluk individu terpenuhi pun pula kebutuhannya sebagai makhluk sosial.

Silaturahim menjadi hal penting yang harus dijaga dan dipelihara agar rizki seseorang dilapangkan. Rizki tentunya tidak sebatas yang bersifat materiil, tetapi rizki bisa berupa hal lain yang bisa menjadikan seseorang tenang, dan bahagia dalam menjalani kehidupannya.

Komentar