Selasa, 10 Januari 2017

MENJAGA RASA MALU


Sepintas banyak orang yang beranggapan bahwa rasa malu berkonotasi negatif. Malu identik dengan rasa tidak percaya diri, minder dan penakut. Asumsi semacam ini sah – sah saja, akan tetapi tidak semuanya benar. Adakalanya malu itu justru menjadi tanda adanya rasa iman kepada Allah, bernilai positif dan justru menjadi dambaan setiap mukmin.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari di sebutkan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُعْفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ (رواه البخاري)
Artinya:
 Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al Ju'fi dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu 'Amir Al 'Aqadi yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman". (H.R. Bukhari)
Hadits riwayat Imam Bukhari ini menjelaskan bahwa iman memiliki lebih dari enam puluh cabang. Kata enam puluh dalam tradisi masyarakat Arab digunakan untuk menunjukkan arti banyak, bukan bilangan khusus. Dengan demikian cabang dari iman jumlahnya sangat banyak, termasuk didalamnya ‘rasa malu’.
Berdasarkan hadits di atas malu termasuk bagian dari iman. Mungkin ada sebagian orang yang bertanya mengapa malu bisa termasuk bagian dari iman, malu yang seperti apa yang dimaksud oleh hadits ini? Apakah setiap rasa malu bisa dikategorikan sebagai bagian dari iman?
Malu yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah malu yang positif, bukan melu yang bersifat negatif. Malu yang negatif tidak bisa digolongkan sebagai bagian dari iman. Malu untuk melakukan kebaikan,malu untuk memberikan nasihat kepada yang lain, malu dalam pergaulan dengan orang miskin, malu dianggap sebagai orang bodoh, malu mengingatkan teman yang berbuat salah tentu semua itu bukanlah yang diharapkan dalam hadits di atas. Lalu malu yang bagaimana?
Malu yang diharapkan oleh hadits di atas adalah malu yang positif. Malu dalam melakukan kemaksiatan, dosa dan pelanggaran kepada ketentuan – ketentuan Allah SWT. menjaga rasa malu kepada Allah adalah hal yang sangat diharapkan dan dianjurkan oleh agama. Oleh karenanya banyak sekali keterangan – keterangan yang menunjukkan tentang pentingnya rasa malu kepada Allah SWT.
Apabila seseorang memiliki rasa malu kepada Allah, maka dalam kesehariannya dia akan selalu dituntun dengan petunjuk – petunjuk Allah. Setiap perilaku yang terwujud dalam kehidupan sehari – harinya adalah wujud dari hidayah Allah yang diberikan kepadanya.  Dia akan berusaha untuk selalu memperbaiki diri dan setiap akan melakukan hal yang dilarang oleh Allah maka hatinya akan mencegah dan melarangnya karena rasa malu yang ada pada dirinya.
Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
عن أبي مالك الأشجعي ، عن ربعي ، عن حذيفة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : ' آخر ما تمسك به كلام النبوة الأولى : إذا لم تستحي فاصنع ما شئت '
Artinya:
Dari Abi Malik al-Asyja’I, dari Ruba’i dari Hudaifah ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Akhir dari apa yang dijadaikan pedoman oleh Kalam Nubuwwah yang pertama adalah Ketika engkau tidak memiliki rasa malu maka lakukanlah apa yang kamu inginkan.’
Hadits ini secara tegas menunjukkan pentingnya rasa malu dalam diri setiap muslim. Apabila rasa malu telah hilang dari diri seorang muslim maka sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan melakukan apa yang mereka inginkan tanpa rasa malu sama sekali meski pada hakikatnya sesuatu yang mereka lakukan adalah sesuatu yang memalukan bahkan menjijikkan.
Kenyataan di era sekarang banyak sekali kita jumpai di sekeliling kita orang yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu dalam dirinya. Banyak sekali para pemuda hari ini  yang tidak lagi memiliki rasa malu. Pemuda – pemuda hari ini banyak yang menuruti keinginan hawa nafsunya untuk memenuhi kenikmatan sesaat tanpa mereka memikirkan akibat dari apa yang mereka lakukan. Banyak di antara pemuda yang terjerumus dalam pergaulan bebas, tidak jarang pula yang sampai diluar batas sehingga terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.
Demikianlah, saat rasa malu sudah tidak lagi ada dalam diri muslim, maka semua pagar dan batas – batas keimanan seolah telah runtuh. Banyak yang kemudian terjerumus kedalam hal – hal yang tidak diinginkan. Bergelut dengan dunia hitam, terjerumus kedalam kemaksiatan dan kedlaliman. Begitulah seterusnya ketika rasa malu sudah tidak ada, maka yang ada hanyalah keinginan syahwat nafsu. Melampiaskan segala keinginan tanpa ada kontrol yang menjadi penyeimbang.
Semoga kita senantiasa bisa menjaga diri kita dari segala hal yang tidak diridlai Allah SWT. Mudah – mudahan selama hidup kita, kita selalu bisa menjaga rasa malau, malu kepada Allah SWT. seandainya kita melakukan maksiat dan durhaka kepada-Nya. Amin
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…



Senin, 09 Januari 2017

Ketika al-Qur’an Tinggal Tulisan


Keberadaan al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi sumber hukum islam pertama merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Semenjak al-Qur’an pertama diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. umat islam selalu sibuk dalam mempelajari dan memahami al-Qur’an. Berhari – hari, berbulan – bulan, bahkan bertahun – tahun perhatian mereka tercurah untuk mempelajari dan memahami al-Qur’an. Mereka tidak akan beranjak dari satu ayat ke ayat yang lain, melainkan mereka telah menghafal dan memahami ayat tersebut. Demikianlah keadaan umat islam periode awal yang selalu menjadikan al-Qur’an sebagai prioritas awal dalam kehidupannya sebelum mereka beranjak kepada urusan yang lain. Tidak mengherankan bahwa kehidupan mereka selalu terang benderang karena cahaya al-Qur’an.

Dalam kehidupan sehari – hari mereka selalu berkiblat kepada Nabi Muhammad SAW., seorang nabi yang kepadanya al-Qur’an diwahyukan. Rasulullah adalah sosok ideal dalam berperilaku qur’ani. Siti Aisyah Radliyallahu ‘Anha saat ditanya kepribadian Rasulullah mengatakan, “كان خلقه القرأن” , akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an. Demikianlah jawab Siti Aisyah. Beliau adalah al-Qur’an yang terwujud dan hidup di bumi ini. Oleh karenanya setiap ada peristiwa ataupun persoalan yang muncul dalam kehidupan para sahabat, mereka selalu menyelesaikannya dengan solusi yang diberikan Rasulullah.

Pada satu kesempatan Rasulullah SAW menyampaikan sebuuah hadits yang menjelaskan tentang keadaan al-Qur’an pada zaman akhir. Hadits itu diriwayatkan dari Khalifah Ali ibnu Abi Thalib:

عن علي ابن أبي طالب عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ياتي على الناس زمان لا يبقى من الإسلام إلااسمه ولا من الدين إلا رسمه  ولا من القرأن إلا درسه يعمرون مساجدهم وهي خراب عن ذكر الله أشر ذالك الزمان علماؤهم منهم تخرج الفتنة وإليهم تعود وهؤلاء علامة القيامة (زبدة الواعظين)

Artinya: “Dari Ali ibnu Abi Thalib dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Akan datang kepada umat manusia zatu zaman dimana Islam tinggal namanya, agama tinggal tulisannya, al-Qur’an tinggal pelajarannya, mereka meramaikan/menghuni masjid – masjidnya, tetapi hati mereka kosong, jauh dari ingat kepada Allah. Sejelek –jelek/seburuk-buruk orang di zaman itu adalah ulama – ulama mereka. Dari mereka munculnya fitnah, dan kepada mereka fitnah itu kembali, dan itu semua adalah tanda – tanda kiamat.” (Zubdatul Wa’idzin)

Hadits riwayat Khalifah ke-empat Imam Ali ibnu Abi Thalib ini mengingatkan kepada kita semua bahwa kelak suatu ketika –entah apakah sekarang sudah terjadi/atau belum- akan datang satu masa dimana di masa itu Islam tinggal namanya, agama tinggal tulisannya, al-Qur’an tinggal pelajarannya, masjid ramai dipenuhi umat tetapi hati mereka kosong dari dzikir/mengingat Allah dan seburuk – buruk orang pada masa itu adalah ulama – ulamanya. Hadits ini perlu untuk kita renungkan dan kita gunakan sebagai sarana muhasabah, introspeksi diri, memperbaiki setiap kesalahan yang seringkali mampir dalam diri kita.

Islam tinggal namanya. Islam artinya selamat, damai, pasrah. Kira – kira demikian. Rasulullah SAW bersabda kelak Islam tinggal namanya. Kedamaian yang digagas dan diperjuangkan Rasulullah SAW di masa awal diutusnya beliau hanya tinggal sebuah nama. Banyak yang menggunakan nama Islam hanya sebatas untuk memenuhi kepuasan pribadinya.  Mereka tidak menggunakan agama untuk menebar kedamaian di muka bumi. Justru karena pembenaran terhadap nafsu, Islam digunakan untuk merusak dan memporak – porandakkan setiap sisi kehidupan yang mereka anggap berseberangan dengan prinsip dan keyakinan mereka. Apabila ini sudah terjadi, tanda bahwa kiamat akan segera tiba.

Agama tinggal tulisannya. Ini mengingatkan kepada kita bahwa nilai – nilai luhur yang tertuang dalam berbagai kitab hanya sebatas tulisan. Tidak ada lagi orang yang mau menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari. Kitab suci dan buku – buku agama hanya tinggal karya – karya bacaan yang tidak pernah diwujudkan dalam perilaku kehidupan masyarakat. Fenomena semacam ini mungkin sudah mulai tampak dalam kehidupan masyarakat di era modern saat ini. Banyak orang pandai tetapi kepandaian dan kecerdasan mereka tidak diikuti dengan penghayatan dan upaya untuk melakukan semua yang mereka ketahui. Ini merupakan tanda – tanda hilangnya ruh dan nilai luhur agama. Agama hanya tinggal tulisan yang bisa dibaca dan dinikmati.

Al-Qur’an tinggal pelajarannya. Banyak orang yang belajar membaca al-Qur’an, mempelajari ilmu – ilmu al-Qur’an tetapi jarang sekali orang yang mengambil al-Qur’an sebagai imamnya, menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Mereka memperindah bacaan – bacaan al-Qur’annya tetapi tidak mau melaksanakan isi dan tuntunannya. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah bahwa al-Qur’an hanya tinggal pelajarannya.

Masjid ramai dan dipenuhi umat, tetapi hati mereka kosong, sepi dan jauh dari mengingat Allah. Saat ini kalau kita perhatikan disekeliling kita, banyak bangunan masjid berdiri dengan megah, arsitekturnya sangat luar biasa, banyak yang datang meramaikan masjid, tetapi jarang sekali diantara mereka yang selalu mengingat Allah. Buktinya banyak yang selalu menghidupkan masjid tetapi mereka masih terbuai dengan kehidupan dunia yang serba fana. Inilah fenomena akhir zaman yang perlu kita prihatinkan.

Seburuk – buruk umat manusia pada masa itu adalah ulamanya. Ulama adalah panutan umat. Mereka adalah lampu dan lentera yang menerangi kehidupan umat agar selalu berada di jalan Allah. Seharusnya titel ulama tidak hanya menjadi titel dan jabatan dunia belaka. Keberadaan mereka penting untuk menjadi sandaran dan rujukan kaum awam dalam kehidupannya. Akan tetapi dalam hadits ini justru disabdakan Rasulullah SAW. bahwa mereka adalah seburuk – buruk umat.

Ini bukan berarti menyepelekan dan menistakan pribadi seorang ulama. Ini justru menjadi sebuah wahana bagi para ulama untuk senantiasa mawas diri dalam kehidupannya sehari – hari. Mereka adalah pribadi – pribadi yang diharapkan menjadi tangan kanan dari Rasulullah dalam kehidupan dunia. Namun sangat disayangkan apabila mereka justru berbuat sebaliknya.

Fenomena akhir – akhir ini, kita dihadapkan pada persoalan yang sangat memprihatinkan. Kita melihat dari berbagai media yang ada, baik cetak maupun elektronik, banyak di antara ulama – ulama kita saling serang antara yang satu dengan yang lain. Bahkan perselisihan pendapat di antara mereka terkadang berujung pada caci maki bahkan pen –takfiran- kepada kelompok yang berseberangan. Ini adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Siapa korbannya? Bukan ulama, tetapi yang menjadi korban adalah kaum awam. Masyarakat awam menjadi korban dari segala bentuk perbedaan pendapat yang –maaf- terkadang sudah tidak wajar lagi. Sungguh ini menjadi sebuah pemandangan yang tidak elok.

Bagaimana sikap kita? Saat ini kita seharusnya introspeksi diri, melihat diri dan pribadi kita untuk berbenah. Bolehlah kita berbeda pandangan antara yang satu dengan lainnya, tetapi tetaplah selalu menjaga kerukunan. Kita tidak harus sama, tetapi kita harus tetap saling menghargai antara yang satu dengan lainnya. Sudah saatnya perbedaan kita jadikan sebagai wasilah untuk semakin memperkuat ukhuwwah. Jangan sebaliknya.

Bila al-Qur’an hanya tinggal tulisannya, tinggal sebagai ilmu yang diajarkan tetapi jauh dari penerapan, waspadalah kawan! Boleh jadi kiamat sudah dekat. Bila ulama saling menjatuhkan, saling mencari pembenaran, sadar dan bangunlah bahwa itu adalah tanda datangnya janji Allah, kiamat akan datang. Fastabiqul Khairat… berlombalah dalam kebaikan…

Semoga bermanfaat…


Allahu a’lam… 

Jumat, 06 Januari 2017

Khatmil Qur'an

(Sebuah Upaya untuk Mempersiapkan Generasi Qur’aniy)

Al-Qur’an satu – satunya kitab suci yang masih terpelihara keotentikannya sampai hari ini. Kehebatan al-Qur’an dan kemukjizatannya tentu sudah tidak ada lagi yang memperdebatkan. Berapa banyak orang yang ingin menandingi keindahan sastranya, namun harus bertekuk lutut dan mengakui kehebatannya. Itulah al-Qur’an, semakin ditentang semakin ia menunjukkan kebenarannya. Kebenaran sebagai wahyu Allah yang tak terbantahkan. Mengabarkan berbagai informasi di masa silam dan yang akan datang, menjawab semua problematika kehidupan yang muncul di setiap zaman.

Tidak hanya berhenti di situ saja, ternyata al-Qur’an mempunyai peran besar dalam membentuk generasi umat. Peranan al-Qur’an dalam membentuk umat sudah tidak diragukan lagi semenjak al-Qur’an untuk pertama kalinya diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Sejarah telah mencatat nama – nama besar sahabat yang muncul dari asupan pembinaan al-Qur’an. Sebut saja Abu Bakar al-Shiddieq, Umar ibnu Khaththab, Utsman ibnu Affan, Ali ibnu Abi Thalib, Zaid ibnu Tsabit, Abdullah ibnu Mas’ud, Abdullah ibnu Abbas dan sederetan nama besar sahabat yang tumbuh dalam naungan al-Qur’an. Para sahabat ini memiliki jiwa – jiwa qur’ani, mereka kuat dalam ibadah, supel dalam pergaulan, kharismatik dalam pandangan umat dan menjadi imam dalam ilmu pengetahuan. Kader – kader militan yang dibangun oleh Rasulullah SAW dengan nilai – nilai Qur’ani yang dipersiapkan untuk melakukan revolusi besar – besaran dalam sejarah peradaban dunia.

Berkaca dari sejarah, -menurut saya- IAIN Tulungagung, khususnya Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan –FTIK-, mengambil langkah baru dalam mempersiapkan mahasiswa agar mampu menjadi kader – kader qur’ani sebagaimana yang menjadi harapan seluruh civitas akademika. Fakultas tarbiyah mengambil strategi dengan memberikan kewajiban kepada seluruh dosen, karyawan dan mahasiswa di lingkungan FTIK untuk senantiasa melakukan khatmil Qur’an minimal sekali dalam seminggu. Khatmil Qur’an di lingkungan dosen dan karyawan dilaksanakan pada setiap hari jum’at pagi. Setiap dosen dan karyawan yang tidak berkepentingan mengajar dianjurkan dan diharapkan untuk mengikuti agenda khatmil ini. Selain untuk mendo’akan para leluhur yang telah mendahului, khatmil ini dimaksudkan juga untuk mendo’akan semua civitas akademika, dosen, karyawan dan mahasiswa agar selalu mendapatkan taufiq dan hidayah Allah SWT. dalam menjalani setiap aktifitas kehidupannya, mendapat bimbingan al-Qur’an dan menjadi generasi qur’ani, generasi yang cinta kepada al-Qur’an.

Di lingkungan mahasiswa, tradisi khatmil Qur’an dilaksanakan seminggu sekali oleh mahasiswa dalam satu kelas. Kapan waktu dan tempat pelaksanaannya tergantung pada kesepakatan masing – masing kelas dengan ketua kelas sebagai koordinatornya. Selain itu di setiap tatap muka di ruang perkuliahan, sebelum melakukan proses pembelajaran, mereka diwajibkan untuk membaca surat – surat pendek yang ada di juz ‘amma. Tradisi semacam ini menurut saya sangat positif untuk terus dibiasakan dilingkungan mahasiswa dan seluruh civitas akademika di lingkungan IAIN Tulungagung. Tradisi ini bisa mengisi sisi spiritual yang seringkali kering dan terabaikan karena kesibukan kita dalam mengurusi kehidupan dunia.

Kritikan? Tentu ada kritik. Kritikan pada dasarnya adalah salah satu bentuk perhatian. Orang yang memberikan kritik, hakikatnya ia adalah orang yang selalu memiliki perhatian kepada kita. Terlepas dari perhatian itu baik atau buruk, yang terpenting jangan terlalu mengambil pusing dengan berbagai kritikan. Tetapi, jadikanlah setiap kritikan itu sebagai titik tolak untuk melakukan perbaikan. Demikian halnya dengan khatmil Qur’an di lingkungan Fakultas Tarbiyah, khatmil Qur’an yang diselenggarakan oleh Fakultas Tarbiyah ini tak urung juga menuai banyak kritikan dari mereka yang selalu menyoroti kebijakan. Ini wajar, menurut saya, karena setiap kebijakan pasti akan berdampak pada sikap pro dan kontra.

Sebagai umat islam, seharusnya kita menyambut gembira setiap kegiatan yang berbau religi dan qur’ani tak terkecuali khatmil semacam ini. Memang kegiatan ini  masih jauh dari sempurna, banyak sisi yang harus diperbaiki dan perlu ditingkatkan. Akan tetapi setidaknya sudah mulai ada titik terang arah pendidikan yang diharapkan. Menguasai dan memahami al-Qur’an, mempraktikkan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari – hari, menjadikannya sebagai imam dalam setiap naik – turunnya nafas, tentu tidak serta merta bisa langsung dicapai. Ada tahapan – tahapan yang harus dilalui, termasuk diantaranya belajar membaca, belajar mengartikan, belajar memahami dan kemudian mengambil hikmah dan pelajaran. Begitulah mungkin tahapannya.

Sejarah telah mencatat, mereka yang bagus al-Qur’annya, juga memiliki prestasi yang baik dan cemerlang dalam kehidupannya. Mari kita biasakan diri kita untuk selalu bersama al-Qur’an. Mungkin kita belum bisa mengartikan, memahami, atau mengambil hikmah dan pelajaran yang ada di dalamnya, tetapi setidaknya mari kita belajar untuk mencintai al-Qur’an, belajar untuk istiqamah membacanya, mudah – mudahan kita dijadikan ahlul Qur’an. Amin…

Selain itu para ulama’ salafus shalih juga banyak yang menganjurkan kepada kita untuk senantiasa membiasakan diri dalam berperilaku qur’ani. Istiqamah dalam membaca al-Qur’an diyakini oleh para ulama termasuk di antara hal yang bisa menyebabkan seseorang semakin cerdas. Kemampuan al-Qur’an menambah daya tangkap dan kecerdasan di antaranya diungkapkan oleh Imam al-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim. Kitab ini sangat terkenal di kalangan pesantren salafi, seolah kitab ini menjadi literature wajib yang harus dipelajari oleh setiap santri yang belajar di pesantren. Menurut al-Zarnuji yang paling bisa menambahkan daya hafal adalah membaca al-Qur’an bi al-nadzar. Membaca al-Qur’an dengan melihat, bukan dengan hafalan.

Tradisi membaca al-Qur’an semenjakk Rasulullah Muhammad SAW sudah menjadi hal yang sangat dianjurkan. Bahkan, dalam sebuah hadits, Rasulullah Muhammad SAW mengatakan bahwa sebaik – baik kalian adalah orang yang mau mempelajari al-Qur’an dan mau mengajarkannya. Sungguh, menurut saya langkah ini adalah langkah yang cerdas untuk membentuk generasi umat, generasi qur’ani.

Mudah – mudahan upaya ini mendapat ridla Allah dan berjalan secara istiqamah sehingga cita – cita IAIN Tulungagung menjadi pelopor kampus dakwah dan peradaban bisa segera terwujud. Cita – cita itu akan menjadi kenyataan apabila di dukung oleh semua pihak dan seluruh civitas akademika yang ada di dalamnya.

Semoga bermanfaat…
Wallahu A’lam…


Kamis, 05 Januari 2017

Kekuatan di Balik Tulisan




(Sebuah Refleksi atas Buku “The Power of  Writing” Karya Dr. Ngainun Naim, M.Ag.)

.
Ah… malu rasanya, saya yang sehari – hari berkecimpung di tempat yang sama dengan beliau, tetapi terlambat memiliki buku penuh inspirasi ini. Tapi tidak apalah daripada tidak sama sekali, mending terlambat tapi tetap dapat. Begitulah kiranya ungkapan hati saya setelah resmi saya membeli buku ini sesaat sebelum acara literasi yang beliau adakan atas nama LP2M di kampus IAIN Tulungagung tercinta untuk memompa semangat kawan – kawan dalam dunia literasi.

Buku “The Power of Writing” diterbitkan oleh penerbit Lentera Kreasindo, dicetak untuk pertama kalinya pada Januari 2015 dengan tebal 230 halaman. Terbagi menjadi enam bab dengan tema, Spirit Menulis, Motivasi Menulis, Alasan Menulis, Hambatan Menulis, Strategi Menulis, Belajar Menulis Dari Para Tokoh. Buku ini telah mendapatkan banyak komentar dan penilaian dari berbagai pakar dan pegiat literasi. Pada umumnya komentar dan penilaian mereka bersifat positif.

Buku ini memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dalam menghipnotis pembaca, khususnya saya. Tulisannya sederhana namun mengena, tidak banyak menggunakan kata – kata yang sulit dipahami layaknya karya ilmiah yang bertaraf internasional. Namun, saya merasa, saat saya memulai perjalanan membaca karya ini, seolah - olah saya dihipnotis dengan kekuatan tulisan yang ada di dalamnya. Tanpa terasa saya telah membaca berlembar – lembar tulisan dengan judul yang berbeda – beda di buku ini namun dengan tema yang sama yaitu “Menulis”. Membaca buku ini, membuat saya merasa tidak ingin berhenti dan ingin terus membaca. Setiap kata yang tertulis seolah memiliki kekuatan memengaruhi alam pikiran saya sehingga dorongan membacanya begitu kuat.

Terlepas dari kekuatan tulisan penulis yang profokatif ini, terdapat dua judul yang seolah menusuk jauh ke dalam hati saya yang paling dalam. Dua judul tulisan itu adalah “(Maaf) Babu Saja Menulis” dan “Write or Die!”.

(Maaf) Babu Saja Menulis, sekilas ketika saya melihat judul ini, hati kecil saya seolah seperti tertusuk sembilu. Bagaimana tidak, dalam tulisan ini penulis menyajikan informasi yang begitu menusuk naluri setiap pembaca khususnya mereka yang pernah mengenyam pendidikan formal sampai perguruan tinggi dengan menunjukkan satu kenyataan yang boleh dibilang bertolak belakang dengan prestasi mereka yang pernah mengenyam pendidikan formal. Seorang Sri Lestari yang sehari – hari bekerja sebagai buruh migran di Hongkong membuktikan kepada dunia bahwa menulis bukanlah hal yang sulit, buktinya dia (maaf) yang kerjanya babu saja bisa. Sementara di sisi lain banyak di antara para sarjana dan lulusan perguruan tinggi yang semestinya mereka lebih lihai dan mampu menghasilkan banyak karya, justru sama sekali mandul dan tidak menghasilkan tulisan sama sekali. Padahal, kalau kita lihat dari satu sisi potensi pendidikan formal yang di enyam seharusnya menunjukkan kenyataan yang berbeda. Sebagai buruh tentu jam kerjanya jauh lebih banyak dan kerjanya lebih berat, apalagi di luar negeri, namun nyatanya Sri tetap bisa, bagaimana dengan kita?

Secara jujur penulis mengatakan, “Sebagai orang yang merasakan manfaat menulis, saya ingin “mempermalukan” teman – teman yang punya banyak potensi dan peluang menulis melebihi Sri Lestari tetapi belum menulis. Sri Lestari yang (maaf) babu saja bisa, mau, dan mampu menulis, masak kaum yang lebih terpelajar tidak bisa?”. Pernyataan ini menurut saya, sangat mengena dan menusuk hati bagi yang mau berpikir secara mendalam. Tetapi lain halnya kalau tidak, ya mungkin hanya dianggap angin yang  berlalu saja.

Judul kedua yang menurut saya sangat profokatif adalah “Write or Die!”. Judul ini mungkin terinspirasi dari perbincangan beliau dengan penulis senior yang juga dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Much. Khoiri. Menurutnya, dalam perbincangan santai di sebuah sanggar kepenulisan di Tulungagung, Pak Emcho –sapaan akrab Much. Khoiri- mengatakan bahwa komitmen menulis itu harus dipegang teguh. Bagi pak Emcho, menulis adalah hidup itu sendiri. Bagi beliau, pilihannya hanya dua: write or die, menulis atau mati, tulis Ngainun Naim.

Memang diakui maupun tidak, kekuatan tulisan akan lebih bertahan lama daripada ucapan. Ucapan hanya akan memiliki pengaruh spontan dan seketika, mampu menggerakkan masa, namun sifatnya hanya sementara. Berbeda dengan tulisan, kekuatan tulisan lebih bertahan lama daripada kata yang terucap. Bila kata yang terucap akan hilang dan dilupakan bersamaan dengan berpisahnya orang yang mengucap atau minggalnya, maka tulisan masih tetap bisa dibaca dan diambil setiap hikmah dan pelajarannya meski penulisnya sudah meninggal dunia. Oleh karenanya menulis bisa jadi menjadi jariyah bagi si penulis setelah ketiadaannya. Namanya akan tetap terkenang bagi setiap orang yang menjadi pengagumnya sepanjang zaman. Berbeda dengan para orator yang namanya akan menghilang seiring dengan kepudaran popularitas dan produktivitasnya. Maka tidak berlebihan kiranya, jika penulis mengambil judul “Write or Die!” sebagai satu objek bahasan dalam buku ini.

Menulis membutuhkan perjuangan, perjuangan dalam mengatasi berbagai godaan yang menghampiri untuk berhenti menulis. Saya sendiri merasakan hal itu. Saya mungkin belum bisa disebut penulis oleh karena belum ada karya saya yang menghias di penerbitan. Setidaknya, saya pingin belajar menulis. Itulah yang saat ini saya lakukan. Saya mengikuti beberapa kegiatan yang di dalamnya memberikan pendidikan dan pengajaran dalam menulis, sebagaimana yang di adakan oleh Dr. Ngainun Naim. Saya ingin banyak belajar tentang dunia tulis menulis.

Buku “The Power of Writing” ini merupakan satu suntikan power bagi para pemula dalam dunia tulis – menulis. Kekuatan daya hipnotis kata dalam setiap tulisan begitu terasa sehingga menggiring para pembaca untuk terus membaca dan mendorong mereka untuk tergerak dalam menulis. 

Diakui maupun tidak dunia literasi memberikan banyak manfaat bagi setiap pembelajar. Dunia literasi semakin membantu para pembelajar untuk merekam setiap informasi dan pengetahuan lewat berbagai artikel, catatan dan tulisan – tulisan sederhana. Biarlah tulisan kita saat ini jelek, yang penting kita tetap menulis. Jangan menggunakan kesibukan sebagai alasan pembenaran bagi kita untuk tidak menulis. Penulis buku ini mengatakan, “Menulis itu, menurut saya, merupakan bentuk perjuangan. Banyak yang berpendapat bahwa menulis itu membutuhkan waktu tenang, khusus, dan sedang tidak sibuk. Jika rumus ini dipakai, barangkali saya akan sangat jarang menghasilkan tulisan. Lima hari dalam seminggu saya harus pergi ke kantor. Brangkat dari rumah sekitar jam 6 pagi dan sampai di rumah setelah magrib. Hari sabtu dan minggu biasanya saya pakai untuk kegiatan keluarga, sehingga nyaris tidak ada waktu khusus untuk menulis.”

So, bagaimana dengan kita sobat? Masihkah kita beralasan bahwa kesibukan membuat kita tidak bisa menulis. Bukankah mestinya kita yang memanfaatkan waktu, bukan sebaliknya, kita tergilas oleh waktu. Semoga kita bisa menulis seperti beliau… Amin… 

Semoga bermanfaat…

Allahu A’lam bish Shawab…

Wisata Religi di Penghujung Tahun 2016


Al-hamdulillah puji syukur kehadirat Allah yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga di penghujung 2016 saya kembali bisa mengikuti kegiatan wisata religi ziarah ke makam auliya’ di wilayah Jawa Timur. Berbeda dari tahun sebelumnya, tahun ini tujuan ziarah ditambah dengan ziarah ke makam Syaikhana Khalil, Bangkalan, Madura.

Perjalanan kami dimualai dari desa Ngunut, tepatnya dari halaman LPI Qurrata A’yun di LK 02, Beji Ngunut Tulungagung. Rombongan ini diikuti kurang lebih 60 orang dengan mengendarai bus dari PO Bimario, Ponggok Blitar. Sebagai Imam Ziarah adalah Kyai Supriyono, Pengasuh Pondok Pesantren dan Madrasah Far’u Hidayatul Mubtadi’in Ngunut, LK 02 Beji Ngunut Tulungagung. Beliau adalah salah satu santri dari KH. Ali Shadiq Umman, Pendiri Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut yang kemudian diambil menantu oleh kakaknya Kyai Ali.

Siang itu selepas shalat jum’at, kira – kira pukul 13.30 WIB, perlahan bus mulai bergerak membawa 60 peziarah yang di dominasi oleh warga LPI Qurrata A’yun yang dikepalai oleh Drs. Imam Muslimin. Sebelum melaju terlebih dahulu, direktur sekaligus kepala sekolah ini memberikan pengarahan kepada seluruh peserta, khususnya kepada anak – anak bahwa perjalanan ziarah ini adalah dalam rangka wujud syukur kepada Allah atas nikmat iman, islam dan ihsan yang diberikan dengan bersyukur kepada orang yang menjadi perantara nikmat dalam hal ini adalah pembawa islam ke tanah Jawa yang dikenal dengan auliya’. Beliau juga mengingatkan agar perjalanan ziarah ini diniatkan semata – mata untuk beribadah kepada Allah bukan yang lain. Selama perjalanan diusahakan hati untuk senantiasa memperbanyak dzikir kepada Allah khususnya dengan memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau juga menjelaskan bahwa dahulu ketika umat islam masih lemah imannya, Rasulullah SAW pernah melarang umatnya untuk menziarahi makam  karena khawatir kalau – kalau mereka keliru niat dan justru terjerumus ke dalam kemusyrikan. Akan tetapi setelah Rasulullah SAW merasa iman umat islam sudah kuat beliau menganjurkan umat islam untuk berziarah ke makam karena dengan ziarah makam hati mudah mengingat kematian. Pesan beliau yang terpenting adalah di makam kita berdo’a dan meminta kepada Allah bukan kepada para auliya’ yang ada di dalam makam tersebut. Ini penting untuk diketahui agar tidak terjadi kesalahan yang boleh jadi berujung kepada kemusyrikan.

Sebagai tujuan pertama adalah makam K.H. Ali Shadiq Umman beserta istrinya Nyahi Fatimah. Setelah tiba di makam, jamaah kemudian secara khusyu’ mengikuti setiap do’a, dzikir dan tahlil yang di pandu oleh Kyai Supriono. Perlu diketahui bahwa K.H. Ali Shadiq Umman adalah seorang ulama’ besar di Tulungagung pendiri Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin yang lebih dikenal dengan nama pondok Ngunut. Ziarah ke makam ini tidak lepas karena keberadaan LPI Qurrota A’yun yang berdekatan dengan pondok disamping latar belakang Kyai Supriono sebagai salah satu santri pondok Ngunut. Oleh karenanya kewajibannya adalah berbakti kepada guru, bersyukur atas jasa – jasanya.

Setelah dirasa cukup, para jamaah segera bergegas menuju ke bus untuk melanjutkan perjalanan. Tidak sebagaimana biasa Stono Gedong, makam Syaikh Wasil yang biasanya menjadi tujuan kedua, kali ini tidak diziarahi. Kali ini yang menjadi tujuan kedua adalah makam Syaikh Ihsan Dakhlan al-Jampesi, ulama’ besar dari Kediri, pendiri Pondok Jampes. Beliau menjadi ulama’ kesohor di Kediri khususnya, Indonesia bahkan di luar negeri karena karya besarnya yaitu kitab “Sirajut Thalibin” yang merupakan Syarah dari kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Sebelum ke makam jamaah menunaikan shalat ashar berjamah di masjid, selanjutnya ziarah kemakam dengan dzikir dan tahlil sebagaimana biasa.

Perjalanan selanjutnya menuju ke makam Syaikh Sulaiman Jombang. Sebagaimana yang lain di tempat ini peserta dengan khusyu’ melakukan doa dan dzikir bersama. Setelah dirasa cukup, perjalanan selanjutnya di teruskan ke makam Troloyo, tempat Syaikh Jumadil Kubro yang dianggap sebagai salah satu leluhur wali songo di makamkan. Kompleks pemakaman ini berada di daerah Trowulan Mojokerto. Tempatnya berdekatan dengan situs sejarah kerajaan Majapahit yang masyhur. Kerajaan Jawa yang mampu mempersatukan Nusantara di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan maha patih Gajah Mada. Boleh dibilang bahwa kompleks pemakaman ini adalah yang terluas bila dibandingkan makam auliya’ yang lain. Saat ini area makam ini masih direnovasi agar lebih baik. Mudah – mudahan renovasi segera bisa di selesaikan sehingga para peziarah kembali bisa merasakan kenyamanan dalam melakukan do’a di area makam ini.

Selesai dari makam Troloyo kami melanjutkan perjalanan ke pulau garam Madura melintasi jembatan terpanjang di Asia Tenggara, Jembatan Suramadu. Tempat yang dituju adalah makam Syaikhana Khalil Bangkalan Madura. Syaikh Khalil adalah ulama’ karismatik dan berpengaruh di dunia pesantren khususnya para ulama’ Jawa. Hampir semua ulama’ besar tanah Jawa pada zamannya pernah berguru kepada Syaikh Khalil yang terkenal akan karomah, kealiman dan juga ke-nylenehan-nya. Sebut saja professor do’a dari Kediri K.H. Mohammad Ma’ruf pendiri pondok pesantren Kedunglo, K.H. Abdul Karim dari Lirboyo, dan pendiri jam’yyah Nahdlatul Ulama’ Syaikh Hasyim Asy’ari. Ketiga ulama’ besar ini adalah murid kinasih dari Syaikh Khalil. Kami sampai di makam Syaikh Khalil yang berada di area Masjid Agung Bangkalan sekitar pukul 23.30 WIB dini hari.

Setelah dirasa cukup berdo’a sekaligus dzikir di makam Syaikh Khalil, kami melanjutkan perjalanan ke makam Kanjeng Sunan Ampel, seorang auliya’ yang makamnya berada ditengah – tengah kota Surabaya. Makam ampel seakan tidak pernah sepi dari peziarah yang datang silih berganti dari seantero tanah air. Sunan Ampel  merupakan sosok wali yang dianggap sebagai pemimpin wali songo. Di area makam ini juga terdapat makam Mbah Bolong, dan Mbah Soleh. Keduanya adalah pengikut Sunan Ampel. Konon saat pembangunan masjid ampel banyak yang meragukan apakah arah pengimaman sudah benar – benar lurus ke arah kiblat. Karena keraguan itu akhirnya Mbah Bolong membuat lobang pada pengimaman dan setiap orang diminta untuk melihatnya. Anehnya setiap orang yang melihat ke lubang tersebut dapat melihat ka’bah secara langsung. Inilah sebabnya nama Mbah Bolong lebih dikenal daripada nama aslinya Sonhaji sampai saat ini. Sementara Mbah Soleh adalah orang yang pekerjaannya membersihkan masjid ampel. Makamnya sejumlah tujuh. Konon setelah meninggal saat masjid ampel kotor, ketika Sunan Ampel mengatakan “kalau mbah Sholeh masih hidup masjid ini pasti bersih”, beliau hidup lagi, begitu seterusnya sampai tujuh kali.

Dari ampel perjalanan diteruskan ke makam Sunan Giri. Beliau memiliki nama asli Raden Paku putra dari maulana Ishaq. Makamnya berada di Gresik di daerah Giri Kedaton. Untuk menuju ke area makam peziarah bisa memanfaatkan jasa ojek atau dokar yang sudah siap berjajar di area parkir. Kami tiba di Giri menjelang subuh. Sebelum ke makam kami melaksanakan shalat subuh terlebih dahulu karena waktu sudah hampir habis. Baru setelah itu kami menuju ke makam untuk berziarah, berdoa dan tahlil bersama.

Perjalanan berikutnya adalah ke makam Sunan Gresik atau Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Seorang wali yang dianggap sebagai peletak dasar pertama pesantren di tanah Jawa. Beliau juga disebut – sebut sebagai sesepuh wali songo. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan ke makam Drajat tempat Sunan Drajat dimakamkan, tepatnya di daerah Sedayu yang merupakan area perbukitan. Selesai berdoa dan berdzikir kami menyempatkan diri untuk mengunjungi museum Drajat yang tidak jauh dari area makam. Di museum ini terdapat beberapa peninggalan dari Sunan Drajat.

Selepas dari Drajat, perjalanan diteruskan ke Tuban ke makam Syaikh Ibrahim al-Samarkhandiy yang dikenal dengan Syaikh Asmorokondi. Letak makam ini di pesisir pantai utara. Disinilah para jamaah istirahat sambil menikmati segarnya air untuk mandi setelah menahan penat sehari semalam tanpa mandi.

Selesai dari asmorokondi kami menuju makam Kanjeng Sunan Bonang yang merupakan tujuan terakhir dari ziarah wali. Letaknya berada di pusat kota dekat dengan alun – alun kota. Untuk menuju ke area makam kami memanfaatkan jasa tukang becak atau kalau ingin berolah raga bisa dengan berjalan kaki. Jaraknya cukup lumayan sehingga bisa dimanfaatkan untuk membakar lemak yang menumpuk. Di sini pula biasanya selesai ziarah dan berdoa di makam, para jamaah menghabiskan waktunya untuk berbelanja memborong oleh – oleh untuk sanak famili, keluarga dan tetangga di rumah.

Setelah puas dengan belanja,kami melanjutkan perjalanan pulang menuju Tulungagung . Sepanjang perjalanan hampir semua peserta ziarah terlelap dalam tidurnya , mungkin  karena kelelahan selama perjalanan ziarah. Kami sampai di area LPI Qurrota A’yun pada sekitar pukul 23.55 WIB sebelum pergantian tahun. Akhirnya kedatangan kami pun disambut dengan suara letusan petasan dan percikan kembang api sebagai tanda pergantian tahun, dari 2016 ke 2017.

Semoga bermanfaat…


Allahu A’lam bish Shawab… 

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...