Jumat, 13 Januari 2017

Nikmat

Nikmat
(Seri Pengajian Rutin Jum’at Pon bersama K.H. Syaikhudin)

Ah… benar saja apa yang dikatakan Ustadz Ngainun Naim, semakin kita sibuk, sebenarnya semakin banyak hal yang bisa kita tulis. Itulah kenyataanya, semakin sering kita menulis semakin banyak ide bertebaran untuk ditulis. Semakin sibuk aktifitas yang kita jalankan semakin banyak modal kita untuk menulis. Kuncinya hanya satu aksi, bukan lagi teori, begitulah mungkin.

Catatan ini adalah refleksi dari aktifitas rutin yang akuu lakukan setiap malam Jum’at Pon. Kebetulan di desaku setiap malam jum’at pon semua jam’iyyah di lingkungan diliburkan. Sebagai gantinya semuanya mengikuti pengajian rutin di Masjid Jami’. Kegiatan ini sudah menjadi kesepakatan masyarakat yang langsung di instruksikan oleh kepala desa. Sejak kapan kegiatan ini dimulai? Saya sudah lupa kapan tepatnya. Yang jelas semenjak aku duduk di madrasah aliyah kegiatan ini sudah berjalan dan Alhamdulillah masih istiqamah sampai hari ini meski jumlah yang hadir semakin surut. Tetapi tetap harus di syukuri.

Malam ini tema yang menjadi topik pembahasan adalah nikmat. K.H. Syaikhudin memulai pembahasan dengan menyampaikan ta’rif atau definisi dari nikmat. Menurut beliau nikmat adalah

هي التي تتلذذ وتحسن العقبى
“Nikmat adalah segala hal yang dianggap lezat dan baik akhirnya”

Dalam menjelaskan hal ini beliau memberikan analogi antara kopi dan wiski. Kopi adalah minuman yang lezat dan tidak dilarang oleh Allah, oleh karenanya ia minum kopi adalah satu kenikmatan karena akhir dari minum kopi adalah kelezatan yang tidak dilarang oleh syari’at agama. Sebaliknya wiski, minuman keras atau yang sejenisnya, saat mengkonsumsinya seseorang akan merasakan kelezatan pula akan tetapi wiski adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah. Akhir dari konsumsinya juga buruk bagi kesehatan. Oleh karenanya mengkonsumsinya adalah sesuatu yang menjadi larangan agama dan termasuk ke dalam maksiat.

Nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia tak terhitung jumlahnya. Andaikan manusia mau untuk menghitungnya niscaya manusia tidak akan sanggup untuk menghitung. Padahal semua nikmat itu wajib disyukuri, apabila tidak, maka adzab Allahlah yang akan diterima. Lantas bagaimana kita bersyukur sementara menghitung nikmat Allah saja kita tidak bisa? Bagaimana mau mensyukuri semua nikmat itu?

Dalam hal ini K.H. Syaikhudin menerangkan bahwa semua nikmat Allah itu bisa dikategorikan menjadi empat:
1.      Nikmat dunia
2.      Nikmat sehat tubuh
3.      Nikmat sehat akal
4.      Nikmat hati
Menurut beliau empat nikmat ini menunjukkan tingkatan nikmat. Nikmat yang paling rendah adalah nikmat dunia, diatasnya nikmat sehat tubuh, diatasnya lagi nikmat sehat akal, dan puncaknya adalah nikmat hati.

Nikmat dunia tergolong nikmat yang paling rendah di antara nikmat yang lain. Dunia seringkali datang tak diundang, pergi tanpa pamit. Nikmat dunia seringkali bila dikejar akan lari menjauh tetapi bila ditinggalkan justru mengejar. Demikianlah gambarannya menurut beliau. Sebanyak apapun harta yang kita miliki semuanya tidak kekal, semuanya bisa datang dengan tiba – tiba tanpa kita sangka, pun pula bisa hilang seketika tanpa bisa kita hindari. Oleh karenanya sifat kebahagiaan dunia hanyalah sementara dan fana’, tidak bisa menjadi sesuatu yang dibangga - banggakan.

Berikutnya adalah nikmat sehat tubuh. Nikmat ini setingkat lebih tinggi bila dibandingkan dengan nikmat yang sebelumnya. Bila nikmat harta kita berlimpah, tetapi tubuh kita tidak sehat, maka semua itu tidak ada artinya. Beliau mencontohkan lebih enak naik ‘ledok’ tapi badan sehat daripada naik mobil ambulance baru dengan tubuh yang sakit. Banyak orang lebih memilih tinggal di gubuk rumahnya dengan tubuh yang sehat daripada tinggal di bangunan megah rumah sakit karena sakit. Itulah gambaran nikmat sehat tubuh. Kesehatan tubuh mahal harganya bila dibandingkan dengan dunia beserta isinya. Buktinya, ketika sedang sakit, berapapun harta kita yang telah lama kita simpan rela kita keluarkan bahkan sampai ludes sekalipun untuk membayar biaya obat demi mendapatkan sehat tubuh. Karena itulah nikmat sehat tubuh jauh lebih penting bila dibandingkan dengan nikmat harta dunia.

Setingkat di atas nikmat sehat tubuh adalah nikmat sehat akal. Nikmat dunia, nikmat sehat tubuh yang tidak diikuti oleh sehat akal tidak aka nada gunanya. Seorang wanita tentu akan lebih memilih untuk menikah dengan seorang yang hidupnya biasa, tidak seberapa kaya harta ataupun rupa, bila dibandingkan dengan menikahi seorang yang kaya, rupawan namun akalnya tidak sempurna. Hal ini menjadi bukti akan pentingnya nikmat akal yang dimiliki seseorang. Beliau menambahkan seorang yang diberikan nikmat sehat akal, dan Allah memberikan karunia kecerdasan dan ilmu pengetahuan kepadanya, dimanapun tempat dia berada, maka ia akan memberikan manfaat kepada sesamanya. Dimanapun dia berada, maka Allah akan memuliakannya meski fisiknya tidak/kurang sempurna, tidak punya harta, tetapi kekayaan akalnya dalam hal ilmu dan pengetahuan akan menjadikan dia sebagai seorang yang terhormat dan mulia. Terhormat di hadapan Allah dan Rasul-Nya. Menurut beliau setiap nabi selalu diberikan sifat fathonah yang menunjukkan kesempurnaan akal. Tidak setiap nabi memiliki harta, tidak semua nabi fisiknya kuat,  tetapi setiap nabi pasti memiliki kecerdasan yang dengan kecerdasan itu ia mampu untuk memimpin umat. Beliau mencontohkan seorang ulama besar dari Tulungagung yang memiliki keterbatasan, K.H. Khabir  -kalau tidak salah- dari pondok pesantren Menara Mangunsari. Meski beliau memiliki keterbatasan secara fisik –maaf tidak bisa melihat- tetapi Allah menganugerahkan ilmu pengetahuan yang berlimpah kepadanya. Itulah sebabnya saat beliau menunaikan haji bersama K.H. Khabir, banyak para ulama Jawa Timur yang mencari dan sowan kepada beliau untuk tafa’ulan dan tabarukan. Hal ini tentunya adalah satu anugerah Allah yang diberikan kepada beliau lantaran nikmat akal yang sempurna yang diberikan kepada beliau. Makanya nikmat akal lebih tinggi nilainya bil adibanding dengan nikmat yang lain selain nikmat hati.

Puncak dari semua nikmat adlaah nikmat hati. Seperti apapun banyaknya dunia yang kita kumpulkan, kesehatan tubuh yang kita miliki, akal sempurna yang kita punya, akan tetapi bila tidak didukung dengan nikmat hati semua itu hanya akan sia – sia belaka. Hati adalah tempat dimana iman itu tumbuh. Iman akan tumbuh dengan subur manakala dua saratnya terpenuhi. Ibarat kita menanam diladang apabila dua sarat itu terpenuhi maka tanaman yang akan kita tanam akan tumbuh subur dan buahnya lebat seperti yang kita harapkan. Sarat pertama saat kita menanam adalah tanahnya subur dan kedua adalah tanahnya gembur. Tanah yang subur apabila tidak gembur maka tanaman tidak akan mampu menyerap makanan dari dalam tanah. Sebaliknya tanah gembur tetapi tidak subur, apa yang hendak dimakan.

Berkaitan dengan tanaman iman dalam hati beliau mengatakan bahwa sarat yang harus terpenuhi dalam menyuburkan dan memperkuat iman adalah ibadah dan nasihat. Ibadah ibarat tanah yang subur. Hati kita harus senantiasa kita siram dengan ibadah – ibdah terutama adalah ibadah mahdlah dengan istiqamah disamping ibadah yang lain. Keistiqamahan dalam ibadah menjadi penting untuk memupuk keimanan. Beliau menyitir qaul ulama:
خيرالعمل مادام وإن قل
“Sebaik – baik amal adalah yang berkelanjutan meskipun sedikit”

Amal sedikit yang dijalankan dengan istiqamah akan membawa dampak besar bagi tumbuhnya iman dalam hati manusia. Sebaliknya amal yang banyak tetapi tidak istiqamah, sedikit sekali manfaatnya. Oleh karenanya istiqamah menjadi sesuatu yang penting untuk selalu dijaga dan dipertahankan.

Selanjutnya nasihat. Nasihat penting didapatkan. Dengan mendengarkan berbagai nasihat maka hati kita akan semakin mudah untuk mengingat Allah SWT. dengan nasihat semakin mudah dan ringan untuk menjalankan setiap ibdah yang diperintahkan oleh Allah. Oleh karena itu sudah sepatutnya seorang muslim untuk selalu berusaha mendapatkan nasihat.

Iman itu suatu saat bisa bertambah, tetapi suatu saat juga bisa berkurang. Maka untuk mempertahankan semua itu, rajin – rajinlah untuk mendengarkan nasihat (Tutur beliau). Ingat yang bisa membawa kita sampai kepada surge Allah hanyalah iman yang terdapat dalam hati kita.

Semoga bermanfaat…

Wallahu A’lam bish Shawab…




Jeli Memahami Karya Orientalis


Orientalis adalah para sarjana barat yang memiliki kecenderungan untuk mempelajari Islam. Para sarjana barat banyak yang berkecimpung dalam hal ini. Islam memang seolah menjadi topik yang menarik untuk selalu dikaji, dikaji dan dikaji. Tidak salah bila banyak para ilmuan dan intelektual baik muslim maupun non muslim yang lantas ingin melakukan eksplorasi secara mendalam tentang wacana ke-Islam-an.

Motif dalam mempelajari Islam juga beragam. Adakalanya mereka mempelajari Islam untuk kepentingan pemahaman yang sesungguhnya, mendudukkan islam pada posisi yang sebenarnya, adapula yang sebaliknya belajar Islam untuk kepentingan mencari titik kelemahan dalam Islam. Setelah titik kelemahan Islam mereka dapatkan, mereka berusaha untuk menyerang Islam, tentu bukan dengan menyerang secara frontal dengan kekuatan senjata, mengangkat bendera perang atau yang sejenisnya. Akan tetapi serangan mereka adalah melalui tulisan dan wacana – wacana diskursus yang mereka lontarkan. Peperangan semacam ini justru sangat berbahaya apabila generasi islam tidak waspada.

Kejelian kita dalam mengkaji dan memahami buku – buku karya orientalis mutlak diperlukan. Kejelian ini penting agar kita tidak terjerumus dalam kesalahpahaman terhadap ajaran – ajaran Islam yang benar ala madzhabi Ahli Sunnah wa al-Jama’ah tentunya. Seringkali ditemukan dalam buku – buku dan karya para orientalis yang kemudian mengangkat sisi – sisi yang musykil, syadz dan bahkan diingkari oleh para ulama salaf soleh, akan tetapi dikemas dalam bentuk diskursus yang seolah ramai dibicarakan. Ini harus diteliti. Kalau tidak boleh jadi urusan musykil, syadz atau musykil justru dianggap sebagai satu hal yang benar. Bila ini yang terjadi sangat berbahaya.

Memang benar tidak semua orientalis memiliki orientasi demikian. Ada sementara orientalis yang memang bersifat netral dan objektif dalam menilai Islam. Tidak jarang mereka yang pada awalnya mempelajari Islam untuk mencari kelemahan dan kemudian menyerang Islam,justru berbalik arah dan masuk Islam karena menemukan fakta yang benar dan tak terbantahkan. Hal ini banyak dialami oleh para orientalis yang memiliki kepentingan untuk misioneris. Tetapi Allah justru memberikan hidayah kepada mereka. Ya Alhamdulillah…

Nah, inilah yang penting bagi kita generasi Islam untuk senantiasa berhati – hati. Selektif dalam mengambil referensi dan hati – hati dalam memahami karya – karya mereka. Apakah kita tidak boleh mempelajari? Oh, bukan begitu, justru kita harus mempelajari. Kalau kita tidak mempelajari justru ini menyebabkan kita semakin lemah dalam membaca dan mengantisipasi serangan pemikiran yang mereka lancarkan.

Serangan wacana tentunya harus dilawan dengan cara yang sama, dengan menciptakan karya yang bisa menandingi karya mereka. Nah, inilah yang sampai saat ini, saya merasa bahwa banyak diantara generasi Islam yang lemah. Umat islam banyak yang ahli dalam berdebat, diskusi oral yang luar biasa, tetapi mereka lemah dalam menuangkan ide dan karyanya melalui wacana teks yang dibukukan. Hal ini sungguh sangat disayangkan.

Budaya literasi saat ini harus di galakkan pada generasi islam. Ini menjadi satu keharusan untuk membentengi serangan – serangan mereka yang digulirkan melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik. Dengan adanya gerakan literasi yang digalakkan akan menjadi kekuatan penyeimbang yang bisa menandingi dan mengcounter pendapat – pendapat yang berusaha untuk menebar pemahaman – pemahaman yang salah. Gerakan literasi ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam Islam, akan tetapi merupakan gerakan yang sudah ada semenjak dulu yang tenggelam pasca serangan salibis terhadap umat Islam.

Di era kejayaan Islam, gerakan literasi sangat marak. Mereka yang menerjemah buku, menulis buku dan sebagainya mendapatkan pengahargaan yang luar biasa dari khalifah. Khalifah – khalifah terutama pada masa dinasti Abasiyah adalah khalifah yang memilki kecenderungan serius dalam gerakan literasi. Mereka sangat menghargai  ilmu pengetahuan. Tak heran, jika dalam pemerintahan mereka banyak di bangun madrasah – madrasah, perpustakaan dan pusat – pusat kajian keilmuan. Semua itu dalam rangka untuk memperkuat literasi umat Islam kala itu. Dari tempat – tempat itulah muncul ulama – ulama besar yang saling berlomba dan berkarya untuk memajukan pengetahuan.

Tidak berhenti dalam ilmu agama, ilmu – ilmu yang nota benenya hari ini dikenal dengan ilmu umum juga banyak menyedot perhatian ulama muslim. Gerakan penerjemahan terhadap karya – karya Yunani dan Romawi klasik marak dalam dunia Islam. Tak tanggung – tanggung dari rahim umat Islam lahir ulama – ulama besar dalam kajian ilmu filsafat, matematika, sains, fisika, kimia, astronomi dan sederetan ilmu yang lain. Semua itu tidak terlepas dari upaya dan kerja keras khalifah dalam memajukan peradaban umat Islam. Alhasil, Islam menjadi pusat perhatian dunia, menjadi pelopor dalam berbagai bidang kehidupan. Generasi Islam pun terbentengi dengan berbagai literasi yang dilahirkan oleh ulama muslim, sehingga akidah dan pengetahuan mereka semakin memperkuat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Pasca runtuhnya kekuasaan Gereja akibat kesadaran pemikir – pemikir Barat yang bersentuhan dengan pemikir muslim saat belajar di Universitas Cordova, bangsa barat memulai babak baru dalam kesejarahannya. Persentuhan pemikiran dengan pemikir muslim telah menjadikan mereka terbuka cakrawalanya dan berlomba – lomba untuk melakukan penelitian dan pelayaran ke penjuru dunia. Konsekuensi dari semua ini adalah munculnya para peneliti dan ilmuan handal yang kemudian membuat perubahan besar bagi bangsa barat. Bangsa yang kala itu masih dalam kegelapan berubah menjadi bangsa yang maju dan berperadaban karena ilmu pengetahuan.

Saat ini, bangsa barat banyak melakukan kajian – kajian tentang Islam yang tujuan dari proses pembelajaran itu bersifat variatif. Banyak kita temukan di berbagai took buku yang tersebar di berbagai belahan nusantara dihiasi dengan karya – karya orientalis yang tersebar secara bebas. Boleh jadi di antara karya – karya itu berisi pemahaman yang kurang benar atau bahkan bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab kita untuk selalu berhati – hati dalam mempelajari karya – karya tersebut. Selain itu, seyogyanya untuk umat Islam berusaha menumbuhkan budaya baca dan tulis sebagaimana yang dahulu telah dirintis dan diperjuangkan oleh para ulama dan umara pendahulu kita.

Allahu A’lam bish Shawab…


Semoga bermanfaat… 

Kamis, 12 Januari 2017

Kesuksesan Itu Bagi Mereka Yang Mau Berusaha

Kesuksesan Itu Bagi Mereka Yang Mau Berusaha
“Kesuksesan itu bukan milik mereka yang intelek, tetapi bagi mereka yang mau berusaha” (Baharudin Yusuf Habibi)

Begitulah pesan singkat yang saya temukan di status facebook milik seorang teman. Pesan singkat yang dikutip dari seorang Guru Bangsa yang pernah menjadi presiden ke-3 Republik Indonesia. Dialah Baharudin Yusuf Habibi.

Nama besar beliau sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Dialah Guru Besar bangsa yang memiliki kecerdasan intelektual yang mungkin belum ada tandingannya di negeri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi ini. Bangsa yang selalu menjadi incaran mata dunia karena keelokan, kesuburan dan kekayaan alamnya. Tak tanggung – tanggung sejarah telah mencatat bahwa negeri ini pernah mengalami penjajahan dari bangsa lain, tentunya karena keinginan mereka untuk menguasai seluruh kekayaan alam yang ada di dalamnya.

Figur Habibi tidak hanya dikenal sebagai manusia genius pembuat pesawat saja, akan tetapi beliau dikenal sebagai sosok yang sederhana, religious dan ulet. Kesederhanaan beliau tampak dari kehidupannya yang hampir – hampir jauh dari hingar bingar kehidupan dunia yang profane. Beliau lebih dikenal sebagai seorang yang sederhana, rajin dan taat dalam beribadah serta ulet dalam setiap usahanya.

Kesuksesan beliau dalam belajar sehingga menjadikan beliau sebagai intelektual yang termasyhur. Kehebatannya dalam tehnologi telah mengantarkannya sebagai menteri riset dan teknologi di era kejayaan orde baru. Tentu ini merupakan pilihan yang sangat tepat. Kegigihan dan keuletannya telah mampu membawa Indonesia menjadi Negara yang bisa membuat pesawat terbang sendiri. Meski demikian usaha dan cita – citanya yang masih berada di batas awal perjalanannya ini mesti terhenti dengan tumbangnya rezim orde baru dengan munculnya gerakan reformasi besar – besaran yang melibatkan jutaan mahasiswa dan berbagai kalangan yang menuntut lengsernya presiden Soeharto. Hal ini menyebabkan proyek Dirgantara mesti berhenti dan tinggal sebuah nama.

Terlepas dari berbagai perdebatan dan pro kontra yang muncul berkaitan dengan figur seorang Habibi, beliau adalah orang besar, Guru Bangsa, yang telah menorehkan sejarah dan jasanya di Garda depan bangsa ini.peran dan jasanya tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Mengabaikan peran dan jasanya adalah tanda kerdilnya sifat dan kepribadian bangsa ini. Meski apapun alasannya, tidak dibenarkan apabila sosok seorang Habibi dilupakan begitu saja.

Kesuksesan itu bukan milik mereka yang intelek, tetapi kesuksesan itu adalah milik mereka yang mau untuk berusaha. Pesan singkat ini menarik untuk kita renungkan dan kita analisa secara seksama. Banyak orang yang tertipu dengan kemampuan yang dimilikinya, pun pula sebaliknya banyak orang yang lantas merasa minder karena merasa kemampuan intelektual yang dimiliki tidaklah sebanding dengan apa yang dimiliki oleh temannya yang lain.

Lewat pesan ini Habibi ingin menyampaikan kepada generasi bangsa, khususnya para pemuda untuk tidak terpedaya dengan kemampuan intelektual yang dimiliki. Kecerdasan intelektual bukanlah jaminan akan kesuksesan di masa yang akan datang. Berapa banyak orang yang memiliki kekuatan intelektual yang istimewa, namun nyatanya mereka justru menjadi –maaf- babu dari orang yang kemampuan intelektualnya biasa – biasa saja.

Kesuksesan bagi Habibi hanya bisa diperoleh dengan usaha. Usaha yang sungguh – sungguh tentunya, bukan sekedar usaha sekenanya. Orang yang sukses biasanya telah melewati masa – masa tersulit dalam kehidupannya. Mereka tidak pernah menyerah dan tidak mau berpangku tangan dalam menjalani hidupnya. Apabila mereka terjatuh, mereka segera bangkit dan berbenah diri, melihat sisi – sisi kekurangan yang ada pada diri dan berusaha untuk memperbaikinya, bukan sebaliknya menyalahkan keadaan atau orang lain. Demikian halnya dengan apa yang dialami oleh Habibi. Potret miniatur kehidupannya dapat kita saksikan dalam film “Habibi Ainun”. Kisah cinta romantis antara Habibi dan istrinya Ainun. Perjuangannya yang luar biasa dalam menjalani kehidupannya ketika masih berada di Jerman. Liku – liku kehidupan susah dan senangnya hingga akhirnya dia sampai pada puncak kesuksesan.

Orang sukses selalu menanamkan semangat dalam menjalani kehidupan. Bila dia gagal dalam menjalani sebuah proses dia justru mengubahnya menjadi kekuatan yang dengannya ia bisa lebih baik. Kira – kira itulah yang ingin dipesankan oleh Habibi kepada generasi bangsa ini. Ia ingin generasi bangsa ini tidak menjadi generasi yang mudah patah semangat, tetapi sebaliknya memiliki semangat membara yang dengan semangat itu, mereka mampu mengubah wajah dunia.

Keistiqamahan dalam ikhtiar juga tersirat dalam pesan ini. Bagaimana mana mungkin seseorang akan sampai pada puncak kesuksesan manakala ia tidak istiqamah dalam menjalanii hidupnya? Sungguh itu adalah satu hal yang mustahil. Mustahil orang akan sukses apabila dalam kehidupannya dia tidak berusaha beristiqamah dalam setiap apa yang dikerjakannya.

Kesuksesan itu bukan monopoli bagi mereka yang memiliki kekayaan. Kekayaan seberapa pun besarnya, apabila tidak dimanfaatkan dan digunakan dengan baik, justru akan habis dan menenggelamkan yang punya kelembah kehinaan. Kekayaan yang tidak dikelola dengan baik boleh jadi justru berubah menjadi bencana dan malapetaka. Oleh karenanya penting untuk belajar dalam mengelola kekayaan yang ada. Kesuksesan tidak ditentukan oleh kekayaan dan harta. Mungkin ada sebagian di antara kita yang beranggapan bahwa harta dan kekayaan mempunyai pengaruh besar untuk kesuksesan seseorang. Menurut saya pendapat itu sah – sah saja. Akan tetapi menggeneralisir dengan mengatakan bahwa kesuksesan hanya milik mereka yang kaya, itu sangat tidak benar.

Fakta telah membuktikan, banyak orang sukses yang terlahir dari keluarga yang serba kekurangan, berjibaku hanya untuk mendapatkan sebutir nasi dan seteguk air demi melangsungkan kehidupan. Bertarung dengan waktu dan alam yang kejam, namun karena keberanian dan usaha kerasnya, ia sukses dalam kehidupannya.

Tampaknya, figur Nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW tepat untuk dijadikan sebagai suri teladan. Kehidupan alam yang keras yang beliau jalani telah menghantarkannya kepada puncak kesuksesan. Kehebatannya diakui oleh umat manusia baik yang pro maupun kontra dengannya. Kesuksesannya pula yang memaksa seorang ilmuan non muslim menempatkannya di urutan pertama orang yang paling berpengaruh di dunia. Satu prestasi yang ditorehkan oleh seorang yang lahir dalam keadaan yatim, di tinggal wafat ibunya diusianya yang ke 6 tahun, bertarung dengan kerasnya alam, menjadi penggembla kambing dan ikut dalam perjalanan dagang. Semua kesulitan dalam hidupnya di hadapi dengan jiwa besar. Keuletan beliau dalam berjuang meski mendapat penentangan, terror bahkan penyerangan kaum kafir Arab kala itu,justru berbuah manis dengan penempatan posisi beliau yang tidak akan pernah tertandingi.

Begitulah teladan orang sukses. Orang sukses tidak akan pernah menyerah dalam hidupnya. Ia akan terus dan terus belajar dari setiap sisi kehidupan. Apabila ada kekurangan yang dia dapati, maka dia akan berusaha untuk memperbaiki. Sebaliknya bila ia menemukan sesuatu yang baik, dia akan mengambil pelajaran dan berusaha untuk menjadikannya lebih baik lagi.

Pertanyaannya apa yang ingin kita dapatkan dari kehidupan ini? Apakah kita ingin sukses sebagaimana sukses yang di dapatkan oleh Nabi? Atau kita hanya ingin menjalani hidup sekedarnya saja? Semua terserah dan tergantung pada pribadi kita masing – masing. Bila kita ingin sukses, maka rubahlah pandangan hidup anda sebagaimana pandangan orang – orang yang sukses dalam menjalani kehidupan. Tataplah masa depan anda dengan penuh keyakinan. Jadikan setiap peluang menjadi kenyataan, jangan mudah menyerah apalagi berputus asa. Rubahlah setiap kritikan, kesalahan yang ada dalam kehidupan kita sebagai satu pelajaran, menjadikannya sebagai kekuatan yang akan merubah diri kita menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Istiqamahlah dalam menjalani kehidupan, berusahalah untuk terus berjalan, jangan pernah berhenti sebelum sampai pada tujuan yang diinginkan.

Allahu A’lam bish Shawab…

Semoga bermanfaat…



Rabu, 11 Januari 2017

Keramat Dunia yang Terabaikan


Siapa yang tidak kenal ibu? Setiap manusia terlahir dari Rahim seorang ibu. Ibu adalah permata di dunia yang tiada tara. Peran dan jasanya dalam kehidupan kita tidak akan pernah tergantikan meski emas permata dan berlian kita berikan kepadanya. Dialah wanita tangguh tiada taranya di dunia. Mengandung kita selama Sembilan bulan, dengan rasa berat yang semakin bertambah, bertarung antara hidup dan mati dikala berjuang melahirkan kita. Ya, itulah ibu, manusia terhebat dan terkuat di dunia. Sosok yang siap mengorbankan dirinya demi kebahagiaan putra – putrinya

Sosok ibu memiliki peran dan dimensi yang istimewa dalam Islam. Islam sangat menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, terlebih ibu. Dalam Surat Luqman (31); 14, Allah SWT berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)

Artinya:
“Dan Kami telah mewasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah – tambah dan menyapihnya di usia dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku tempat kembali.” (Q.S. Luqman (31); 14)

Ayat di atas menjelaskan kewajiban kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Ayah telah bekerja keras, menghabisakn waktu dan tenaganya untuk memberikan nafkah kepada kita, mencari biaya untuk kehidupan sehari – hari, membiayai sekolah kita dan seterusnya. Tanpa mengenal lelah seorang ayah rela bekerja di siang hari yang panas, dibawah terik matahari yang membakar kulit. Waktu di mana biasanya kita bermalas – malasan di kamar, ditemani bantal guling dan smart phone untuk bermain. Tetapi seorang ayah, meski capek ia rasakan, keringat bercucuran, pakain lusuh dan kumul ia kenakan demi anak – anaknya ia rela untuk banting tulang dan keluarkan keringat. Itulah ayah, yang demi kemapanan dan kebahagiaan kita ia rela korbankan segalanya untuk kita.

Ibu, wanita terkuat di dunia. Dialah yang telah mengandung anaknya selama Sembilan bulan tanpa mengenal lelah. Meski tubuhnya merasakan lemah yang terus bertambah tetapi karena curahan kasih sayang dan cintanya kepada kita, ia rela menanggunggnya. Itulah ibu. Ia juga yang senantiasa menjaga dan merawat kita semenjak kita masih dalam kandungan sampai kita beranjak dewasa. Bahkan, disaat kita sudah berumah tangga, ia pun masih sibuk memikirkan kita, berusaha terus bekerja untuk membantu perekonomian kita yang masih belum tertata. Ia juga sering terjaga, terbangun ditengah malam saat kita masih terlelap dalam tidur sembari mengangkat kedua tangannya untuk mendoakan kesuksesan dan kebahagiaan kita. Perhatian dan curahan kasih sayangnya tidak pernah pudar di makan zaman. Seperti apapaun kita dan bagaimanapun keadaan kita, ibu selalu sayang dan mencintai kita dengan ketulusan hatinya. Beliau tidak pernah menginginkan balasan dari kita, hanya satu yang menjadi harapan dan kebanggaannya, kebahagiaan dan kesuksesan kita. Itulah ibu.

Kedua orang tua memang orang yang paling berperan dalam kehidupan kita. Oleh karenanya berbakti kepada mereka adalah satu keharusan yang tidak bisa ditawar. Setiap muslim harus senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya. Meski keduanya sudah tiada kita masih tetap saja memiliki kewajiban untuk berbakti kepada keduanya dengan mewujudkan keinginannya dan menyambung tali silaturrahmi dengan orang – orang yang pernah beliau pergauli dalam kehidupannya.

Tidak berlebihan kiranya al-Qur’an memerintahkan kepada umatnya agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua mengingat jasa dan perannya yang sangat besar dalam kehidupan anak – anaknya. Begitulah agama memerintahkan kepada umatnya agar selalu memenuhi hak – hak kedua orang tua. Berusaha berbakti kepada keduanya senyampang kita masih mempunyai kemampuan dalam melakukannya.

Mengenai hak antara keduanya, siapakah yang harus kita dahulukan? Ayah atau ibu? Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ جَمِيلِ بْنِ طَرِيفٍ الثَّقَفِيُّ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ وَفِي حَدِيثِ قُتَيْبَةَ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِي وَلَمْ يَذْكُرْ النَّاسَ (رواه مسلم)

Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif Ats Tsaqafi dan Zuhair bin Harb keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Jarir dari 'Umarah bin Al Qa'qa' dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah berkata; "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu dia bertanya, "Siapakah orang yang paling berhak dengan kebaktianku?" Jawab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Ibumu!" dia bertanya lagi; "Kemudian siapa?" beliau menjawab: "Ibumu!" dia bertanya lagi; "Kemudian siapa?" beliau menjawab: "Kemudian Ibumu!" dia bertanya lagi; "Kemudian siapa?" dijawab: "Kemudian bapakmu!" sedangkan di dalam Hadits Qutaibah disebutkan; 'Siapakah yang paling berhak dengan kebaktianku? -tanpa menyebutkan kalimat; 'An Nas.'” (H.R. Muslim)

Hadits di atas memberikan penjelasan tentang hak seorang ibu yang lebih tinggi bila dibandingkan ayah. Seorang ibu memiliki kedudukan yang lebih tinggi bila dibandingkan ayah. Perannya dalam membentuk pribadi seorang anak jauh lebih banyak bila dibandingkan ayah. Ibulah yang setiap hari bergumul dalam merawat anak. Setiap keluh kesah anak adalah sayatan perih dalam hati ibu. Tak heran, bila seorang ibu memiliki ikatan batin yang kuat dengan anak – anaknya melebihi seorang ayah.

Saat para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang siapa yang lebih berhak untuk mendapatkan kebaktiaannya, dengan tegas Rasulullah SAW menjawab “Ibumu”. Tidak tanggung – tanggung sahabat itu bertanya hingga berkali – kali tetapi jawaban Rasulullah tetap sama “ibu”. Baru setelah kali keempat pertanyaan itu disampaikan Rasulullah menjawab ayahmu.

Jawaban Rasulullah SAW ini memberikan isyarat kepada umat Islam tentang sakralitas dan ketinggian posisi dan kedudukan ibu di dunia ini. Seorang anak wajib berbakti kepada kedua orang tuanya terutama ibu. Bila kedua orang tua memerintahkan sesuatu kepada kita, maka orang yang pertama harus kita laksanakan perintahnya adalah ibu. Itulah yang benar. Saat sungkem di hari raya untuk meminta maaf atas segala kesalahan dan mohon doa restu, maka ibulah orang pertama yang berhak untuk mendapatkannya. Subhanallah begitulah kedudukan ibu di hadapan Allah SWT.

Namun, bagaimana realitas yang kita jumpai saat ini? Apakah realitas telah menunjukkan bahwa seorang ibu telah didudukkan pada posisi yang semestinya? Sudahkan seorang ibu kita tempatkan pada derajat yang tinggi dan mulia sebagaimana keramat yang diberikan Allah kepadanya? Jawabannya mungkin sebaliknya.

Di zaman sekarang ini, kita justru menjumpai fenomena yang sangat bertolak belakang dari apa yang telah digariskan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW. Ibu yang semestinya menduduki tempat yang mulia di sisi anak – anaknya, seringkali justru didudukkan pada tempat yang tidak semestinya. Banyak sekali anak yang berani kepada ibunya, kata – kata dan nasihatnya tak lagi diindahkan. Seorang anak seringkali takut kepada ayahnya, tetapi berani kepada ibunya. Secara fisik, memang ibu memiliki fisik yang lebih lemah sehingga anak cenderung berani kepada ibu bila dibandingkan kepada ayah.

Fakta semacam ini seringkali kita jumpai dalam kehidupan sehari – hari. Banyak ibu yang terabaikan dan tersisihkan dari kehidupan anak – anaknya, apalagi ketika anaknya sudah berkeluarga. Tidak jarang perselisihan kecil antara seorang ibu dan menantu perempuannya berubah menjadi permusuhan. Anak karena jatuh cintanya kepada istri seringkali melupakan ibunya. Hubungannya menjadi renggang bahkan tidak jarang yang lantas memusuhi ibunya sendiri karena kecinta butaannya yang tidak beralasan. Na’udzu billah…

Ketika menikah seharusnya seseorang menyadari bahwa dia tidak hanya menjadi pasangan hidup bagi suami atau istrinya. Ia harus sadar bahwa setelah menikah dia harus siap menerima setiap kekurangan dan kelebihan yang dimiliki suami/istri berikut semua keluarganya. Keluarga istri adalah keluarga suami, pun pula sebaliknya keluarga suami adalah keluarga istri. Seorang istri harus taat kepada suami karena semenjak ia menikah, surganya berada di telapak kaki suaminya bukan pada ibunya. Sebaliknya suami tidak boleh lantas melupakan ibunya, karena sampai kapanpun surganya terletak dibawah kaki sang ibu. Begitu seharusnya.

So, mari senantiasa koreksi diri dan ingatlah bahwa ibumu adalah keramatmu. Dialah orang yang menjadi penentu kesuksesan dan kebahagiaanmu di masa yang akan datang. Jangan pernah engkau mengabaikannya. Jadikanlah istrimu sebagai bagian dari kehidupanmu dan kehidupan ibumu yang tak terpisahkan. Semoga kita selalu diberikan kekuatan untuk selalu menjaga ibu, menunaikan semua haknya dan berbakti kepadanya hingga akhir hayat kita. Amin.

Allahu A’lam…

Semoga bermanfaat…


Selasa, 10 Januari 2017

MENJAGA RASA MALU


Sepintas banyak orang yang beranggapan bahwa rasa malu berkonotasi negatif. Malu identik dengan rasa tidak percaya diri, minder dan penakut. Asumsi semacam ini sah – sah saja, akan tetapi tidak semuanya benar. Adakalanya malu itu justru menjadi tanda adanya rasa iman kepada Allah, bernilai positif dan justru menjadi dambaan setiap mukmin.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari di sebutkan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُعْفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ (رواه البخاري)
Artinya:
 Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al Ju'fi dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu 'Amir Al 'Aqadi yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman". (H.R. Bukhari)
Hadits riwayat Imam Bukhari ini menjelaskan bahwa iman memiliki lebih dari enam puluh cabang. Kata enam puluh dalam tradisi masyarakat Arab digunakan untuk menunjukkan arti banyak, bukan bilangan khusus. Dengan demikian cabang dari iman jumlahnya sangat banyak, termasuk didalamnya ‘rasa malu’.
Berdasarkan hadits di atas malu termasuk bagian dari iman. Mungkin ada sebagian orang yang bertanya mengapa malu bisa termasuk bagian dari iman, malu yang seperti apa yang dimaksud oleh hadits ini? Apakah setiap rasa malu bisa dikategorikan sebagai bagian dari iman?
Malu yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah malu yang positif, bukan melu yang bersifat negatif. Malu yang negatif tidak bisa digolongkan sebagai bagian dari iman. Malu untuk melakukan kebaikan,malu untuk memberikan nasihat kepada yang lain, malu dalam pergaulan dengan orang miskin, malu dianggap sebagai orang bodoh, malu mengingatkan teman yang berbuat salah tentu semua itu bukanlah yang diharapkan dalam hadits di atas. Lalu malu yang bagaimana?
Malu yang diharapkan oleh hadits di atas adalah malu yang positif. Malu dalam melakukan kemaksiatan, dosa dan pelanggaran kepada ketentuan – ketentuan Allah SWT. menjaga rasa malu kepada Allah adalah hal yang sangat diharapkan dan dianjurkan oleh agama. Oleh karenanya banyak sekali keterangan – keterangan yang menunjukkan tentang pentingnya rasa malu kepada Allah SWT.
Apabila seseorang memiliki rasa malu kepada Allah, maka dalam kesehariannya dia akan selalu dituntun dengan petunjuk – petunjuk Allah. Setiap perilaku yang terwujud dalam kehidupan sehari – harinya adalah wujud dari hidayah Allah yang diberikan kepadanya.  Dia akan berusaha untuk selalu memperbaiki diri dan setiap akan melakukan hal yang dilarang oleh Allah maka hatinya akan mencegah dan melarangnya karena rasa malu yang ada pada dirinya.
Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
عن أبي مالك الأشجعي ، عن ربعي ، عن حذيفة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : ' آخر ما تمسك به كلام النبوة الأولى : إذا لم تستحي فاصنع ما شئت '
Artinya:
Dari Abi Malik al-Asyja’I, dari Ruba’i dari Hudaifah ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Akhir dari apa yang dijadaikan pedoman oleh Kalam Nubuwwah yang pertama adalah Ketika engkau tidak memiliki rasa malu maka lakukanlah apa yang kamu inginkan.’
Hadits ini secara tegas menunjukkan pentingnya rasa malu dalam diri setiap muslim. Apabila rasa malu telah hilang dari diri seorang muslim maka sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan melakukan apa yang mereka inginkan tanpa rasa malu sama sekali meski pada hakikatnya sesuatu yang mereka lakukan adalah sesuatu yang memalukan bahkan menjijikkan.
Kenyataan di era sekarang banyak sekali kita jumpai di sekeliling kita orang yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu dalam dirinya. Banyak sekali para pemuda hari ini  yang tidak lagi memiliki rasa malu. Pemuda – pemuda hari ini banyak yang menuruti keinginan hawa nafsunya untuk memenuhi kenikmatan sesaat tanpa mereka memikirkan akibat dari apa yang mereka lakukan. Banyak di antara pemuda yang terjerumus dalam pergaulan bebas, tidak jarang pula yang sampai diluar batas sehingga terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.
Demikianlah, saat rasa malu sudah tidak lagi ada dalam diri muslim, maka semua pagar dan batas – batas keimanan seolah telah runtuh. Banyak yang kemudian terjerumus kedalam hal – hal yang tidak diinginkan. Bergelut dengan dunia hitam, terjerumus kedalam kemaksiatan dan kedlaliman. Begitulah seterusnya ketika rasa malu sudah tidak ada, maka yang ada hanyalah keinginan syahwat nafsu. Melampiaskan segala keinginan tanpa ada kontrol yang menjadi penyeimbang.
Semoga kita senantiasa bisa menjaga diri kita dari segala hal yang tidak diridlai Allah SWT. Mudah – mudahan selama hidup kita, kita selalu bisa menjaga rasa malau, malu kepada Allah SWT. seandainya kita melakukan maksiat dan durhaka kepada-Nya. Amin
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…



Senin, 09 Januari 2017

Ketika al-Qur’an Tinggal Tulisan


Keberadaan al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi sumber hukum islam pertama merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Semenjak al-Qur’an pertama diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. umat islam selalu sibuk dalam mempelajari dan memahami al-Qur’an. Berhari – hari, berbulan – bulan, bahkan bertahun – tahun perhatian mereka tercurah untuk mempelajari dan memahami al-Qur’an. Mereka tidak akan beranjak dari satu ayat ke ayat yang lain, melainkan mereka telah menghafal dan memahami ayat tersebut. Demikianlah keadaan umat islam periode awal yang selalu menjadikan al-Qur’an sebagai prioritas awal dalam kehidupannya sebelum mereka beranjak kepada urusan yang lain. Tidak mengherankan bahwa kehidupan mereka selalu terang benderang karena cahaya al-Qur’an.

Dalam kehidupan sehari – hari mereka selalu berkiblat kepada Nabi Muhammad SAW., seorang nabi yang kepadanya al-Qur’an diwahyukan. Rasulullah adalah sosok ideal dalam berperilaku qur’ani. Siti Aisyah Radliyallahu ‘Anha saat ditanya kepribadian Rasulullah mengatakan, “كان خلقه القرأن” , akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an. Demikianlah jawab Siti Aisyah. Beliau adalah al-Qur’an yang terwujud dan hidup di bumi ini. Oleh karenanya setiap ada peristiwa ataupun persoalan yang muncul dalam kehidupan para sahabat, mereka selalu menyelesaikannya dengan solusi yang diberikan Rasulullah.

Pada satu kesempatan Rasulullah SAW menyampaikan sebuuah hadits yang menjelaskan tentang keadaan al-Qur’an pada zaman akhir. Hadits itu diriwayatkan dari Khalifah Ali ibnu Abi Thalib:

عن علي ابن أبي طالب عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ياتي على الناس زمان لا يبقى من الإسلام إلااسمه ولا من الدين إلا رسمه  ولا من القرأن إلا درسه يعمرون مساجدهم وهي خراب عن ذكر الله أشر ذالك الزمان علماؤهم منهم تخرج الفتنة وإليهم تعود وهؤلاء علامة القيامة (زبدة الواعظين)

Artinya: “Dari Ali ibnu Abi Thalib dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Akan datang kepada umat manusia zatu zaman dimana Islam tinggal namanya, agama tinggal tulisannya, al-Qur’an tinggal pelajarannya, mereka meramaikan/menghuni masjid – masjidnya, tetapi hati mereka kosong, jauh dari ingat kepada Allah. Sejelek –jelek/seburuk-buruk orang di zaman itu adalah ulama – ulama mereka. Dari mereka munculnya fitnah, dan kepada mereka fitnah itu kembali, dan itu semua adalah tanda – tanda kiamat.” (Zubdatul Wa’idzin)

Hadits riwayat Khalifah ke-empat Imam Ali ibnu Abi Thalib ini mengingatkan kepada kita semua bahwa kelak suatu ketika –entah apakah sekarang sudah terjadi/atau belum- akan datang satu masa dimana di masa itu Islam tinggal namanya, agama tinggal tulisannya, al-Qur’an tinggal pelajarannya, masjid ramai dipenuhi umat tetapi hati mereka kosong dari dzikir/mengingat Allah dan seburuk – buruk orang pada masa itu adalah ulama – ulamanya. Hadits ini perlu untuk kita renungkan dan kita gunakan sebagai sarana muhasabah, introspeksi diri, memperbaiki setiap kesalahan yang seringkali mampir dalam diri kita.

Islam tinggal namanya. Islam artinya selamat, damai, pasrah. Kira – kira demikian. Rasulullah SAW bersabda kelak Islam tinggal namanya. Kedamaian yang digagas dan diperjuangkan Rasulullah SAW di masa awal diutusnya beliau hanya tinggal sebuah nama. Banyak yang menggunakan nama Islam hanya sebatas untuk memenuhi kepuasan pribadinya.  Mereka tidak menggunakan agama untuk menebar kedamaian di muka bumi. Justru karena pembenaran terhadap nafsu, Islam digunakan untuk merusak dan memporak – porandakkan setiap sisi kehidupan yang mereka anggap berseberangan dengan prinsip dan keyakinan mereka. Apabila ini sudah terjadi, tanda bahwa kiamat akan segera tiba.

Agama tinggal tulisannya. Ini mengingatkan kepada kita bahwa nilai – nilai luhur yang tertuang dalam berbagai kitab hanya sebatas tulisan. Tidak ada lagi orang yang mau menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari. Kitab suci dan buku – buku agama hanya tinggal karya – karya bacaan yang tidak pernah diwujudkan dalam perilaku kehidupan masyarakat. Fenomena semacam ini mungkin sudah mulai tampak dalam kehidupan masyarakat di era modern saat ini. Banyak orang pandai tetapi kepandaian dan kecerdasan mereka tidak diikuti dengan penghayatan dan upaya untuk melakukan semua yang mereka ketahui. Ini merupakan tanda – tanda hilangnya ruh dan nilai luhur agama. Agama hanya tinggal tulisan yang bisa dibaca dan dinikmati.

Al-Qur’an tinggal pelajarannya. Banyak orang yang belajar membaca al-Qur’an, mempelajari ilmu – ilmu al-Qur’an tetapi jarang sekali orang yang mengambil al-Qur’an sebagai imamnya, menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Mereka memperindah bacaan – bacaan al-Qur’annya tetapi tidak mau melaksanakan isi dan tuntunannya. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah bahwa al-Qur’an hanya tinggal pelajarannya.

Masjid ramai dan dipenuhi umat, tetapi hati mereka kosong, sepi dan jauh dari mengingat Allah. Saat ini kalau kita perhatikan disekeliling kita, banyak bangunan masjid berdiri dengan megah, arsitekturnya sangat luar biasa, banyak yang datang meramaikan masjid, tetapi jarang sekali diantara mereka yang selalu mengingat Allah. Buktinya banyak yang selalu menghidupkan masjid tetapi mereka masih terbuai dengan kehidupan dunia yang serba fana. Inilah fenomena akhir zaman yang perlu kita prihatinkan.

Seburuk – buruk umat manusia pada masa itu adalah ulamanya. Ulama adalah panutan umat. Mereka adalah lampu dan lentera yang menerangi kehidupan umat agar selalu berada di jalan Allah. Seharusnya titel ulama tidak hanya menjadi titel dan jabatan dunia belaka. Keberadaan mereka penting untuk menjadi sandaran dan rujukan kaum awam dalam kehidupannya. Akan tetapi dalam hadits ini justru disabdakan Rasulullah SAW. bahwa mereka adalah seburuk – buruk umat.

Ini bukan berarti menyepelekan dan menistakan pribadi seorang ulama. Ini justru menjadi sebuah wahana bagi para ulama untuk senantiasa mawas diri dalam kehidupannya sehari – hari. Mereka adalah pribadi – pribadi yang diharapkan menjadi tangan kanan dari Rasulullah dalam kehidupan dunia. Namun sangat disayangkan apabila mereka justru berbuat sebaliknya.

Fenomena akhir – akhir ini, kita dihadapkan pada persoalan yang sangat memprihatinkan. Kita melihat dari berbagai media yang ada, baik cetak maupun elektronik, banyak di antara ulama – ulama kita saling serang antara yang satu dengan yang lain. Bahkan perselisihan pendapat di antara mereka terkadang berujung pada caci maki bahkan pen –takfiran- kepada kelompok yang berseberangan. Ini adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Siapa korbannya? Bukan ulama, tetapi yang menjadi korban adalah kaum awam. Masyarakat awam menjadi korban dari segala bentuk perbedaan pendapat yang –maaf- terkadang sudah tidak wajar lagi. Sungguh ini menjadi sebuah pemandangan yang tidak elok.

Bagaimana sikap kita? Saat ini kita seharusnya introspeksi diri, melihat diri dan pribadi kita untuk berbenah. Bolehlah kita berbeda pandangan antara yang satu dengan lainnya, tetapi tetaplah selalu menjaga kerukunan. Kita tidak harus sama, tetapi kita harus tetap saling menghargai antara yang satu dengan lainnya. Sudah saatnya perbedaan kita jadikan sebagai wasilah untuk semakin memperkuat ukhuwwah. Jangan sebaliknya.

Bila al-Qur’an hanya tinggal tulisannya, tinggal sebagai ilmu yang diajarkan tetapi jauh dari penerapan, waspadalah kawan! Boleh jadi kiamat sudah dekat. Bila ulama saling menjatuhkan, saling mencari pembenaran, sadar dan bangunlah bahwa itu adalah tanda datangnya janji Allah, kiamat akan datang. Fastabiqul Khairat… berlombalah dalam kebaikan…

Semoga bermanfaat…


Allahu a’lam… 

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...